Kronik kali ini adalah bagian ketiga dan terakhir dari serial tulisan yang ditulis D.A Peransi di harian Suara Pembaharuan, edisi Rabu, 8 November 1989. Bagian pertama dapat dilihat di sini dan bagian kedua di sini. Seperti tulisan sebelumnya, Peransi mengkritik jenuhnya kondisi industri film di Indonesia yang tidak menawarkan kebaruan dalam satu dekade terakhir, yaitu dekade 1980-an.
Rangkaian tulisan ini, selain sebagai dokumen penting tentang kritisisme film Indonesia, juga berguna sebagai cermin yang merefleksikan perkembangan sinema indonesia dari era 1980-an dan perkembangannya bila dibandingkan dengan sinema Indonesia sekarang.
Selamat membaca!
Masyarakat Indonesia yang mulai memperbolehkan segala, menawarkan pula peluang untuk hubungan cinta dan badan antara kawan sejenis. Pada saat hubungan laki-laki dan wanita sudah terkuras rahasianya maka imajinasi pembuat film Indonesia mencari kemungkinan baru. Hubungan lesbian menjadi tema utama. Settingnya, sekali lagi suatu community yang serba mewah dan mencari hiburan, kenikmatan, dan popularitas, yaitu community artis (Lintar, Ketika Musim Duren Tiba, 1988).
Remaja Indonesia, eksponen dari masyarakat Indonesia di masa yang akan datang tidak luput dari gelombang mencari kenikmatan badani. Secara karikatural tumbuhnya dorongan birahi yang menggebu-gebu pada remaja digambarkan. Seorang janda muda dan cantik menciptakan situasi yang memungkinkan ia melampiaskannya. Usahanya yang gagal untuk meniduri janda ini sekejap berbalik dengan pernyataan penyesalan dan dosanya ditopang oleh nasihat janda ini. Seluruh film merangsang birahi, tetapi akhirnya sarat dengan petuah. Suatu gambaran dari moral ganda dalam masyarakat Indonesia (Gairah Pertama, 1984).
Gambaran tersebut tidak selalu didiskualifikasikan oleh pembuat film. Ada usaha untuk mencari sintesa, bahkan pembenaran dari kehidupan yang permisive dan penuh dengan moral ganda.
Di dalam masyarakat Indonesia yang modern dan dinamis, krisis identitas melanda kaum mudanya. Diperlukan suatu tokoh idola, tokoh panutan. Salah satu film Indonesia menawarkan tokoh panutan itu. Ia bernama Boy (Catatan Si Boy, 1987). Ia seluruhnya menjadi idaman kaum muda, karena ia tampan. Dia sopan. Dia hartawan. Dia diperebutkan. Dia menawan dan dia beriman.
Apa kata remaja tentang tokoh si Boy? “Adik-adik saya mengagumi si Boy,” kata Permatadewi seorang mahasiswa Undip. “Ibu saya sampai bilang, kalau punya mantu, pingin seperti si Boy.” Lagi: “Kalau gue nanti punya cowok, pinginnya kaya Boy. Gue demen pribadinya. Pokoknya, dia itu idola gue deh,” berkata Erlina Elisawati, 13 tahun, pelajar kelas 1 SMP Al-Azhar (Tempo, 17 Desember 1988).
Nasri Cheppy, sutradaranya mengatakan: “Saya ingin memberikan suatu entertainment. Saya ingin bicara tentang mimpi. Tentang si Boy. Manusia biasa yang kebetulan dari segi materi kelihatan menonjol, punya BMW, Baby Benz, sampai Rolls Royce, tapi tidak sombong. Dalam kondisi seperti sekarang ini sulit mencari figur seperti itu. Namun saya ingin tokoh fiktif si Boy bisa menjadi panutan anak-anak muda. Umumnya orang kaya selalu dipojokkan. Dalam film ini saya ingin memberikan image yang lain. Ini merupakan suatu kebanggaan bagi orang-orang yang duduk di Baby Benz. Suatu pride. Pendek kata, melalui film ini saya ingin memberikan suatu nilai.”
Marwan Alkatiri memberikan kesaksian: banyak anak muda yang keren-keren sekarang ikut salat Jumat dan mencantelkan tasbih di kaca spion mobilnya, seperti si Boy.
Keadilan & Demokrasi
Tema-tema yang menggarap keadilan dan demokrasi sangat langka di dalam peta perfilman Indonesia. Kasus pemerkosaan seorang gadis desa yang bernama Sum Kuning diangkat menjadi film oleh Franky Rorimpandey dengan judul Sum Kuning [pada awalnya film ini berjudul Balada Sum Kuning, namun diganti menjadi Perawan Desa—red.] juga.
Film ini menggambarkan bagaimana orang desa menjadi objek pelampiasan nafsu orang kota yang modern. Lalu ia dilemparkan begitu saja di jalanan. Beberapa orang yang sadar akan keadilan kemudian mempersoalkannya, termasuk mahasiswa. Sosok seorang pembela wanita yang diperankan oleh Rae Sita tampil dengan kuat sekali.
Ia sedikit pun tidak mundur terhadap intimidasi dari kalangan yang melakukan pemerkosaan itu dan yang dipayungi oleh pejabat pemerintah. Masyarakat Yogya di dalam film ini tampil sebagai masyarakat yang sadar keadilan dan demokrasi. Personifikasinya adalah di dalam sosok sang gembala yang pada akhirnya menang.
Sangat ironis bahwa film yang mengangkat kejadian yang terjadi di Yogya ini kemudian dilarang di kota ini oleh para pejabat pemerintah.
Di antara pencarian nilai-nilai yang bersumber pada badan dan materi belaka, terdapat pula satu dua film yang secara jelas menawarkan alternatif lain. Di dalam banyak film yang tadi disinggung, peran agama di dalam kehidupan sehari-hari hampir tidak tampak. Sebentar orang haji muncul atau azan terdengar, bukan sebagai inti persoalan, akan tetapi sebagai penanda waktu saja. Tokoh-tokoh di dalam film-film yang kita lihat sebelumnya hampir tak beriman, kecuali si Boy yang rajin salat akan tetapi juga bermain cinta dengan gadis dengan pakaian bikini.
Tjoet Nja’ Dhien (1988) adalah salah satu film yang dengan serius menempatkan agama dan penghayatannya sebagai sumber hidup pribadi dan masyarakat. Penghayatan agama di dalam film ini menjadi dasar bagi perjuangan akan keadilan dan kemerdekaan, menjadi sumber inspirasi bagi ketabahan dan kekuatan.
Walaupun settingnya adalah perang Aceh di abad yang lalu, jelas terasa interpretasi baru Eros Djarot, tokohnya tampil dengan kukuh, tidak karikatural. Tjoet Nja’ Dhien terasa sebagai darah dan daging. Masyarakat Aceh yang tampil di dalam film ini memiliki apa yang oleh Buber disebut centre dan merupakan suatu genuine community.
Penghayatan iman Kristen yang berpangkal pada kepatuhan pada Tuhan, pengharapan yang kuat mewarnai Bila Saatnya Tiba (1985). Sosok tokoh-tokohnya tidak henti-hentinya dirudung malang, akan tetapi mereka dengan kukuh tetap berdiri dan berharap. Penghayatan iman yang kuat ini menciptakan suatu hubungan keluarga yang, walaupun menghadapi berbagai kesulitan, tetap utuh dan penuh dengan cinta kasih. Tokoh-tokohnya tidak menjadi tercerai berai karena diterpa kemalangan akan tetapi justru bersatu di dalam doa.
“Doa orang yang benar sungguh besar kuasanya,” tulis Yakobus di dalam surat penggembalaannya. Tokoh-tokoh di dalam film ini tampil sebagai orang-orang yang benar di hadapan Allah. Dan mujizat pun terjadi. Tokoh utamanya yang menderita kanker sembuh.
Jenis film ini juga berbicara pada orang-orang yang bukan seagama, melihat reaksi dari H. Rosihan Anwar yang diceritakan pada permulaan tulisan ini. Bila suatu cerita film bertolak dari centre yang disebut Buber, ia pun memiliki kemungkinan untuk ver-ride all other relations. Itu dilakukan oleh Bila Saatnya Tiba.
Kesimpulan
Film cerita Indonesia dewasa ini menawarkan berbagai nilai dan kaidah pada penontonnya, yang hidup di dalam suatu masyarakat yang cepat sekali berubah. Film Indonesia juga merupakan cermin dari masyarakat Indonesia yang tengah dalam perubahan itu. Apabila di dalam kehidupan sehari-hari berbagai pilihan masih sulit dilakukan karena kendala tradisi dan masa lampau pada masyarakat yang digambarkan oleh film Indonesia, pilihan itu lebih mudah dilakukan oleh tokoh-tokohnya.
Film memang merupakan suatu medium yang menyodorkan kenyataan-kenyataan yang didramatisasi sesuai dengan prinsip-prinsip dramaturgi film. Namun karena kekuatan magisnya yang kuat, film bisa menimbulkan ilusi bahwa apa yang terdapat di layar sungguh-sungguh kenyataan, apabila ditopang dengan latar belakang budaya kebanyakan orang Indonesia yang memandang cerita bukan cerita belaka, akan tetapi kenyataan, seperti halnya bagi orang Jawa, cerita wayang dan tokoh-tokohnya bukan cerita semata-mata akan kenyataan yang sungguh-sungguh ada. Di dalam kondisi seperti inilah hubungan film dengan masyarakat menjadi problematis, tetapi ini berada di luar jangkauan esai ini.
Di dalam film Indonesia, konsep masyarakat dan konsep bermasyarakat memperlihatkan kejamakan yang beragam. Sebagai masyarakat yang sedang berubah cepat, anggotanya mencari pegangan-pegangan baru. Yang baru ini tidak selalu merupakan jalan ke luar yang tepat, seperti pula berpijak pada yang lama tidak selalu mungkin. Namun manusia di dalam film Indonesia merindukan kebenaran, keadilan, keutuhan pribadi, walau yang dirindukan itu tidak selalu bisa ia rumuskan dengan tepat.
Tema-tema yang menyangkut keadilan dan demokrasi sangat langka di dalam film Indonesia. Keadilan selalu dipersonifikasikan oleh kelompok “polisi” yang di dalam setiap konflik fisik datang pada waktunya. Yang jahat selalu kalah, walaupun sebelumnya ia merajalela di dalam seluruh cerita film. Selain itu film Indonesia tidak melangkah lebih jauh.
Ini mungkin cermin dari situasi sosial politik Indonesia yang kurang memungkinkan seniman bergumul dengan tema-tema dan nilai-nilai yang mempunyai relevansi sosial. Pelarangan buku, pementasan teater, pembacaan puisi dan pameran beberapa lukisan (Lukisan Hardi. Hardi Presiden R.I tahun 2001), memaksa produser, penulis skenario dan sutradara mencari jalan yang lebih aman, yaitu penggarapan seks, mistik, dan kekerasan.
Seniman film Indonesia menjadi kurang mempersoalkan konsep masyarakat dan konsep bermasyarakat. Dunia film Indonesia kini hanya sibuk dengan concept of commercialism sebagaimana dinyatakan oleh sutradara Wahyu Sihombing.
Suatu masyarakat yang genuine dicari oleh tokoh-tokoh di dalam film Indonesia. Hubungan Aku Dikau sebagai pusat dari kehidupan bermasyarakat dirindukan, diraba. Sesaat ditemukan, tetapi lepas lagi dari genggaman pada saat berikutnya.
Perjalanan untuk menemukannya mungkin masih panjang walaupun tidak berarti tidak pernah akan ditemukan. Namun pada saat itu masyarakat Indonesia di dalam film Indonesia ibarat sebuah cermin yang pecah berkeping-keping dan di dalam cermin itulah manusia Indonesia melihat wajahnya. []