SEKETIKA MUNCUL DI kepala sebagai simpulan berdasarkan kesan pertama setelah menonton film Shalahuddin Siregar, Pesantren (2019), saya sengaja menggunakan kalimat itu untuk judul artikel ini. Dalam amatan saya, dokumenter ini sungguh “biasa”. Bukan dalam artian kualitasnya gagal memuaskan, tapi sebaliknya: karya ini tampil sangat baik dan apik dengan menerjemahkan unsur “biasa” melalui eksperimen estetika sinema. Yang saya maksud “biasa” juga menyangkut perihal pembawaan dan sikap film ini: ia secara tak langsung menghadirkan sentilan tentang bagaimana semestinya kita bersikap biasa saja terhadap haru biru masalah sosial dan politik.
Tayang perdana untuk skala global tahun 2019 di International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA), dipresentasikan di Asiatica Film Festival 2020, dan menjadi film pembuka di Madani Film Festival 2021, Pesantren hadir di bioskop nasional pada 17 November 2022. Film ini juga tayang di ARKIPEL International Documentary and Experimental Film Festival 2022: “CATCH-22” dalam program Presentasi Khusus—program kuratorial yang mewakili pandangan sosio-politik festival— bertajuk “Mandala”. Mengacu tahun penayangan skala nasionalnya, saya ingin memasukkan Pesantren ke dalam daftar film Indonesia terbaik tahun ini. Alasannya, Pesantren punya banyak keunggulan di banyak aspek: kematangan ceritanya, kemantapan bangunan plot dan karakternya, kedisiplinan artistiknya, keramahan cara pandang sutradaranya (yang tidak menggurui), serta kepiawaiannya dalam menyisipkan adegan-adegan andalan pemicu empati dengan proporsi yang pas.
Selain itu, membawa konteks persoalan tentang stereotipe dan stigma terhadap pesantren (yang disebabkan oleh fenomena terorisme, radikalisme, fundamentalisme, dan konservatisme agama di tingkat global hingga lokal), Pesantren hadir sebagai sajian yang berbeda di tengah-tengah lonjakan eksponensial dari kemunculan netizen promotor pandangan-pandangan progresif soal kesetaraan, inklusivitas, dan pluralitas. Film ini adalah pengingat: lakukan kritik sosial dengan santai, adem, dan menenangkan, sembari tetap menyuguhkan gambaran yang jelas, jernih, dan terang-terangan. Bersahaja dari segi gaya pengungkapan, tapi ulung dari segi kedalaman pesan; kekokohan konstruksi filmis Pesantren terbilang tak terbantahkan.
***
Tilawah QS. Al Baqarah (Ayat 155) oleh seorang pemuda santri mengawali adegan pembuka film ini yang berisi serentetan bidikan tentang ritme aktivitas harian warga pesantren: suasana dini hari ketika santri terlelap (tidur beramai-ramai di dalam ruang-ruang gedung), hiruk-pikuk menjelang fajar beriring rutinitas melafal ayat-ayat, hingga keramaian dan keceriaan saat proses belajar-mengajar di dalam kelas ataupun kerja-kerja harian lainnya di luar jam pelajaran. Lalu, untuk pertama kalinya, film ini memperkenalkan kita kepada Diding, salah satu protagonis, seorang pengajar di sebuah pesantren yang menjadi latar dokumenter ini, Pondok Pesantren Al-Islamy Kebon Jambu, Cirebon. Diding saat itu sedang menyampaikan petuah mengenai hikmah ibadah sholat Jum’at kepada murid-muridnya: Jum’at-an sebagai sarana integrasi sosial.
Dalam adegan-adegan selanjutnya, kita akan melihat kejadian-kejadian kecil tentang pahit-manis para santri dan guru selama menjalani hari-hari mereka di pesantren. Beberapa contoh di antaranya: komunikasi jenaka antara santri dan orang tuanya melalui ponsel yang disewa di koperasi sekolah; rutinitas santri menjemur pakaian—visual ini cukup mewarnai lanskap di sejumlah sekuens film (dan dalam satu adegan bahkan ada kejadian puitik di mana sebagian besar pakaian yang luput diangkut basah kuyup terguyur hujan); latihan musik dan tari untuk penampilan di acara budaya yang diadakan pesantren; adu pendapat antarsantri soal fenomena terkini (ijab-kabul pernikahan via video online) di pertemuan informal; ataupun interaksi canggung sekaligus intim di hari kunjungan orang tua ke pesantren.
Selain Diding, subjek yang menjadi poros naratif Pesantren adalah Bibah (guru musik), Dika (santri senior dan kepala kamar 17), dan Dul Yani (santri yang ingin menjadi komika). Kisah Diding dan Bibah dibangun sejak paruh pertama dari total durasi film, sedangkan Dika dan Dul Yani melengkapi bobot cerita di paruh kedua. Keempat protagonis itu merupakan simpul-simpul dalam benang merah kisah mengenai pesantren yang dipimpin oleh seorang ulama perempuan, Masriyah Amva. Aktualitas, peran, dan keterlibatan mereka dalam berbagai kegiatan yang terekam dalam film, pada dasarnya, mewakili ideologi pesantren tersebut, sekaligus arah keberpihakan si pembuat film ini sendiri.
***
Diketahui bahwa Nyai Masriyah Amva mulai memimpin Pondok Pesantren Al-Islamy Kebon Jambu sejak suaminya wafat di tahun 2007. Berhadapan dengan tradisi pesantren tradisional yang patriarkis, konon masa awal kepemimpinan Nyai sempat mendapat penolakan dari para alumni dan pengurus internal pesantren. Belajar dari kesulitan itulah, Nyai lantas mendalami, memperkenalkan, serta mempraktikkan paham tentang kesetaraan gender di ponpes yang ia pimpin. Salah satu bentuk konkretnya, ia memberi ruang dan kesempatan yang besar kepada para santri perempuannya untuk bisa berkiprah dan bersaing secara sehat dan setara dengan santri laki-laki.
Tapi kisah besar memperjuangkan emansipasi itu tidak diambil Shalahuddin sebagai alur utama naratif; ia pun tidak menceritakan ulang secara gamblang kisah itu di dalam film ini. Informasi tentang adanya ketegangan antara santri perempuan dan santri laki-laki yang muncul di penghujung tiga puluh menit pertama film—lihat adegan percakapan antara Bibah dan rekannya—tidak diperpanjang sebagai konflik utama. Toh, perbedaan pendapat terkait masalah ini diklarifikasi dalam sekuens berikutnya, melalui mana kita diperlihatkan sejumlah pengajar muda di pesantren tersebut, perempuan dan laki-laki, bersama-sama mengikuti kelas kajian tentang Islam dan Gender tingkat universitas. Kita juga tidak akan melihat kejadian ataupun dialog yang membicarakan secara berlarut-larut masalah persaingan tak adil yang disinggung dalam percakapan Bibah dan rekannya itu; kita malah menyaksikan banyak peristiwa yang merepresentasikan keberpihakan pesantren terhadap kesetaraan gender. Pesantren membingkai situasi terkini Ponpes Al-Islamy Kebon Jambu yang sudah terbuka dan lebih berkeadilan gender.
Mungkin awalnya dokumenter ini terasa seolah-olah sedang menolak “konflik” dalam tataran dramatik film jika dikaitkan dengan kebutuhannya untuk membicarakan isu. Tapi tentu saja keliru jika kita mengambil kesimpulan itu. Yang lebih tepat, film ini sedang menolak keras “dramatisasi” dalam dokumenter. Apa yang dilakukan Shalahuddin untuk membangun plot, serta karakter dan personalitas setiap protagonisnya, ialah dengan cara menebar kejadian-kejadian kecil—beberapa contohnya sudah saya sebut pada penjelasan sebelumnya—di sekeliling peristiwa-peristiwa yang secara proporsional lebih kental mengandung pesan berbasis isu: ceramah intelektual antara guru dan murid, juga antara cendekiawan dan publik. Lewat kombinasi yang demikian, kritisisme film terkemas dengan lebih menarik dalam rangka mengarahkan perhatian penonton ke isu-isu krusial terkait keadilan gender, keterbukaan dunia pendidikan, dan kemanusiaan, yang berhadap-hadapan dengan kepentingan dari keyakinan beragama.
Di samping kekuatan isunya, keistimewaan film ini juga mencuat dari kecanggihan Shalahuddin mengeksplorasi teknik sinema dokumenter observasional, yang dalam hemat saya, dapat ditarik kesesuaiannya dengan interpretasi atas tradisi pesantren, secara visual.
***
Sebagaimana karya observasional yang punya kemanjuran mengungkap hal-hal yang jarang disadari awam, film ini menyeleksi bagian-bagian kejadian—khususnya percakapan-percakapan—yang dialami para protagonis dalam rangka mengafirmasi citra non-konservatif dari agama dan pesantren, dua jenis lembaga sosial yang hakikatnya melayani kebutuhan masyarakat. Akan tetapi, pengungkapan berbasis observasi ini, seperti yang sudah saya katakan di atas, tidak tampil dalam lilitan benalu “spektakuleritas”. Kamera bukan sedang dalam misi heroiknya membongkar “drama” internal ataupun eksternal institusi yang bersangkutan.
Film ini adalah rekaman tentang habitus sosiokultural warga pesantren dengan penekanan konstruktifnya pada hal-hal yang memang sudah menjadi kebiasaan di sana: kajian agama berdasarkan kitab kuning, tradisi pengabdian santri di lingkungan nyata sosial masyarakat, dan acara-acara seremonial dan hiburan tahunan. Acara baru semacam konferensi cendekiawan dan ulama perempuan, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI, 2017), pun ada karena tradisi dan orientasi yang telah terbangun panjang di pesantren tersebut. Keberadaannya di film ini, secara ontologis, lebih berguna sebagai penegas realitas dari profil pesantren itu sendiri ketimbang sebagai tujuan naratif.
Percakapan-percakapan yang saya maksud adalah peristiwa dialog (baik searah maupun dua arah) yang berlangsung di antara para subjek yang direkam kamera. Di dalam film ini, tidak ada komunikasi antara subjek-subjek itu dengan orang di belakang kamera; atau dengan kita, penonton. Bidikan peristiwa semacam ini memang khas dalam pendekatan sinema observasional.
Percakapan-percakapan subjek di depan kamera, tanpa berbicara ke arah kamera, adalah sebuah gaya ungkap tersendiri, yang bisa memiliki kedudukan istimewa lebih dari sekadar fragmen kecil dalam keutuhan peristiwa yang lebih besar. Dalam konteks Pesantren, pengadaan suatu percakapan tematik ke dalam sekuen panjang menjadi metode sublim untuk menunjukkan pandangan politik kultural Ponpes Al-Islamy Kebon Jambu. Dari segi sinematografi, tangkapan terfokus terhadap percakapan yang berlangsung dalam kegiatan belajar-mengajar, misalnya, merupakan strategi cerdas untuk menghindari jebakan dari opini-opini yang provokatif. Ceramah dan dakwah satu arah, adalah contoh lainnya.
Meskipun tetap mewakili tafsiran subjektif si pembuat film (karena, bagaimanapun, pilihan peristiwa-peristiwa itu ditentukan oleh sutradara, ditangkap oleh juru kamera, dan disusun menjadi adegan-adegan oleh penyunting gambar), cara seperti itu—yaitu memfokuskan sekuen pada peristiwa percakapan atau performa dakwah/ceramah—cenderung mereduksi otoritas dominan sutradara dalam menetapkan batasan standpoint filmnya. Dengan “hanya mengamati”, “ikut mendengarkan”, dan intervensi yang minimal terhadap konstruksi adegan—misalnya: tidak gegabah menambah-nambah bidikan dari luar lingkup peristiwa yang sedang berlangsung demi “mempercantik” sekuen—si sutradara memberi ruang dan waktu yang cukup kepada penonton untuk mencerna wacana apa yang dibicarakan para subjek yang ia rekam.
Percakapan-percakapan di dalam Pesantren juga menjadi gaya ungkap untuk menyiratkan lapisan-lapisan isu dalam penggambaran karakter para protagonis, yang masing-masing ternyata mengemban masalah personal yang kompleks di luar peran sosial utama mereka sebagai warga (murid ataupun guru) Ponpes Al-Islamy Kebon Jambu. Sutradara tidak mendahulukan rasa penasarannya dengan mengulik lebih dalam persoalan apa yang sebenarnya sedang dihadapi para protagonis. Melalui kameranya, ia bergeming sebagai pengamat yang empatik.
Bidikan yang cukup lama dan intim terhadap tangisan bahagia Bibah taktkala mengabari orangtuanya via telepon bahwa ia lolos ke perguruan tinggi; terhadap gerutu manja dan malu-malu Dul Yani saat bertanya, juga via telepon, kapan ibunya pulang dari Arab Saudi; atau terhadap peristiwa ramah-tamah Dika dan teman-temannya saat membantu seorang petani membersihkan ladang; serta terhadap cerita bangga Diding kepada sejawatnya tentang jadwal mengajar yang bertambah di tengah-tengah krisis kepedulian terhadap agama. Itu adalah beberapa contoh yang memperlihatkan bagaimana kamera berupaya—dan dalam amatan saya terbilang berhasil—menangkap sisi manusiawi dari intelektual muda yang tumbuh dewasa dengan membawa harapan-harapan sosial tertentu di zaman mana ketika banjir informasi dan wabah isu kebencian mewarnai cara pandang kita sehari-hari dalam memaknai dunia sekarang ini.
***
Sehubungan dengan pilihan artistik Shalahuddin, yang menekankan percakapan sebagai gaya ungkap khusus untuk mengisi sebagian besar bobot dari sejumlah sekuen, kita seakan menangkap gema dari metode “bandongan” yang berkembang dalam tradisi pesantren. Metode ini kerap dipasangkan dengan metode “sorogan”.
Ringkasnya, metode yang pertama, “bandongan”, adalah metode “memperhatikan dengan saksama secara kolektif penjelasan seorang guru”, sedangkan metode yang kedua, “sorogan”, mengacu kepada “inisiatif seorang santri untuk menyodorkan materi yang ingin didalaminya kepada seorang guru yang akan membimbingnya secara individual”.
Gema “bandongan” yang dihadirkan film ini, tentu saja, bukan sesederhana bahwa ia memantulkan makna, atau memainkan metafora dari, situasi “menonton film” sebagai “kegiatan menyimak cerita secara kolektif”. Yang patut dicermati, ialah, bagaimana pembuat film turut melarutkan diri dan kameranya ke dalam suatu model interaksi sosial yang lazim di kalangan santri.
Jika dokumenter observasional menangkap performativitas peristiwa berbasis aksi partisipatoris—yang dengan sengaja tidak mengeliminasi subjektivitas sutradara—dan menjadikan hal itu sebagai teknik sinematik yang pokok, saya kira estetika dalam metode “badongan” adalah padanan yang pas untuknya. Kita tahu bahwa pendekatan observasional secara politis membedakan diri dengan pendekatan positivisme naif yang lebih mengamini metode “kamera objektif” (memaksimalkan fungsi kamera layaknya instrumen saintifik). Kehadiran pembuat film, dalam sinema observasional, dengan sengaja ditegaskan.
Tapi di mana kamera Shalahuddin “berada” dalam interaksi ala santri dan guru-guru agama ini?
Dia menunjukkan kehadiran pada caranya yang turut merekam dalam posisi “duduk bersimpu” di peristiwa percakapan antara Bibah dan Nyai; di peristiwa para santri menyimak telaah Kyai Husein Muhammad tentang pemimpin perempuan; di peristiwa tatkala para santri mendengarkan nasihat Nyai sebelum mereka turun ke masyarakat menuntaskan tugas KKN; atau di kelas-kelas kajian kitab kuning yang diampu Diding.
Pada sekuen-sekuen yang saya sebut sebagai contoh tersebut, kamera bukan saja cermat menangkap posisi sosial setiap subjek dalam suatu formasi alamiah yang telah menjadi tradisi dalam pendidikan tata krama kesantrian (misalnya, posisi duduk guru dan santri yang berbeda, merepresentasikan relasi sosial keduanya), tetapi juga melibatkan diri sebagai partisipan “badongan” itu sendiri. Salah satu wujud visualnya: kamera membidik di tengah-tengah barisan tempat duduk murid yang mendengar guru mereka bercerita.
Gelagat yang berbeda dapat diamati terjadi pada sekuens-sekuens yang menghadirkan percakapan subjek-subjek yang mempunyai posisi sosial yang relatif sama (misalnya, antarsantri atau antar-pengajar di luar formalitas peristiwa majelis atau peristiwa belajar-mengajar), atau adegan subjek yang secara fisik terekam secara individu di hadapan kamera. Bidikan empatik terhadap Dul Yani yang berinteraksi dalam diam dengan bapaknya, atau saat dia menelepon ibunya; atau salam perpisahan Bibah dengan para santri peserta kelas keseniannya pada suatu kesempatan di tengah-tengah kesibukan acara pementasan; adalah contoh-contoh adegan yang di dalamnya kamera hadir secara intim, tanpa ada jarak (dalam pengertian apa pun). Contoh lainnya lagi, saat Diding berbincang dengan para koleganya di dalam kantor, membahas situasi sosial terkini di luar pesantren.
Sementara itu, pada sekuens-sekuens “badongan”, kamera menegaskan “jarak” tertentu terhadap juru cakap, dan secara bersamaan “menularkan” jarak itu kepada penonton. Jarak, atau distansi (dalam pengertian yang bersifat Brechtian), merupakan konsekuensi logis dari usaha si pembuat film yang membidik secara terfokus isi-isi dakwah, petuah, nasihat guru terhadap murid, dengan durasi sekuens yang relatif lebih panjang. Sorotan kamera dalam sekuens-sekuens ini mengutamakan komprehensivitas ujaran-ujaran oral, dalam rangka mentransformasi uraian eksegetis menjadi kemasan dialog yang alamiah.
Saya pikir, dengan cara-cara semacam itulah film Pesantren terbilang berhasil membingkai isu sosial dan melemparkannya ke penonton sebagai hal yang ringan cerna, yang steril dari distorsi-distorsi jargonistik, dari persuasi yang menggebu-gebu, dari provokasi yang doyan tampil garang dan marah-marah.
Sekali lagi, demikian bersahajanya pembawaan film ini, ia memang menyentil kita agar bersikap biasa saja, tak perlu berlebihan, apalagi kebablasan dengan salah kaprah yang tak disadari, dalam menyuarakan dan menggiatkan aktivisme sosial dan politik. *