“Memang banyak yang takkan kembali lagi. Bukan hanya benda-benda,
juga anggapan-anggapan, dan waktu.”[1]
Istirahatlah Kata-Kata (atau Solo, Solitude., 2016) adalah suatu kabar gembira bagi sinema negeri ini, karena ia turut meringankan kebegahan kita terhadap karya-karya fiksi yang kehilangan perbendaharaan bahasa sinematik. Rilis pertama kali pada Agustus, 2016, di Locarno International Film Festival ke-69, karya Yosep Anggi Noen ini telah mendapatkan penghargaan untuk kategori “Apresiasi Film Panjang Non Bioskop” dari Apresiasi Film Indonesia tahun 2016—suatu kategori penghargaan yang aneh dan ironis, mengingat bahwa rencananya, filem ini akan beredar di layar-layar bioskop dalam negeri pada 19 Januari, 2017.[2] Filem tersebut juga telah tayang, antara lain, di 11th Jogja-NETPAC Asian Film Festival – ISLANDSCAPE, Yogyakarta (dan memenangkan Golden Hanoman Award); di 21st Busan International Film Festival, Busan, Korea Selatan; dan di Pacific Meridian – International Film Festival of the Asian-Pacific region 2016, Vladivostok, Rusia.
Berlatar tahun 1996, Istirahatlah Kata-Kata mengisahkan kehidupan Wiji Thukul—bernama asli Widji Widodo, salah seorang dari 13 aktivis ’98 yang masih dinyatakan hilang—ketika menghindari penangkapan dirinya setelah ada kabar bahwa ia dan beberapa aktivis masuk dalam daftar buronan militer. Meninggalkan istri dan anak-anaknya di Solo, Wiji Thukul dibantu oleh beberapa temannya untuk lari ke luar kota untuk menyamarkan identitas. Sutradara mengembangkan garis besar cerita itu dengan mengimajinasikan situasi dan kondisi yang dialami Wiji Thukul selama berada di Pontianak hingga ia kembali lagi ke Solo, menemui istri dan kedua anaknya.
Cerita ini terasa jelas dibuat bukan sebagai penggalan kisah heroik si penyair, pejuang demokrasi, itu. Wiji Thukul tidak dikultuskan di dalam filem. Anggie Noen mengemasnya sebagai daya empati untuk memahami sisi kemanusiaan seseorang dalam memerangi penindasan yang dilakukan Rezim Orba, bahwa keteguhan hati dan sikap keras itu tak luput dari kecemasan, ketegangan, dan risiko, baik personal maupun sosial. Interpretasi Anggie Noen terhadap puisi-puisi Wiji Thukul mengarah pada bagaimana kita dapat membayangkan (lantas memahami) pengalaman si penyair atas gejala-gejala yang ada saat ia menuliskan dan melafalkan perlawanannya lewat kata-kata. Karena filem ini adalah fiksi dan bukan “filem sejarah”, yang menjadi pokok perhatian kita tentunya bukan lagi pada keakuratan naratif mengenai biografi Wiji Thukul, tetapi pada “konstruksi visual yang bagaimana” yang mampu mengalih-bentukkan sekian fakta-fakta umum terkait Wiji Thukul—yang sangat sedikit dan terbatas itu—menjadi konstruksi sinema yang puitik.
Menyebut nama Yosep Anggie Noen, kita perlu menggarisbawahi pengetahuannya yang baik dalam menerapkan metode sinematik untuk menyajikan “realitas objektif”. Artinya, pada tangkapan-tangkapan visualnya, gagasan secara objektif dikandung oleh image itu sendiri sehingga memungkinkan sinema untuk tidak meng-impose[3] interpretasi peristiwanya pada penonton lewat suatu order (‘perintah’ dan ‘susunan’ gambar). Realitas objektif justru membuka peluang bagi penciptaan hubungan yang lebih dekat, dari pikiran penonton ke image. Meskipun, tak dapat dipungkiri, tetap menggunakan manipulasi editing dalam satu shot, filem Genre Sub Genre (2014) adalah contoh lain dari karya Anggi Noen yang menunjukkan kecenderungan ini. Bidikan Anggi Noen mengundang pengamatan mendalam si penonton terhadap realitas (peristiwa) di dalam frame. Dalam hal ini, ia telah beranjak dari “ego subjektif sinema” yang memaksakan makna absolut kepada penonton—ego tipikal yang dapat kita pahami justru diamini oleh metode penyusunan gambar dalam “tradisi montase” a la Rusia dan Hollywood.
Hentakan semacam itu pun sudah terasa sejak cerita dalam Istirahatlah Kata-Kata dibuka. Merayu anak kecil (Fitri, anak Wiji Thukul, diperankan oleh Putri Fathiya) yang bersandar di pelukan ibunya (Sipon, istri Wiji Thukul, diperankan oleh Marissa Anita), seorang laki-laki (anggota intelijen, diperankan oleh Rukman Rosadi) berusaha mengorek keterangan soal keberadaan Wiji Thukul (diperankan oleh Gunawan Maryanto) sambil makan lemper. Adegan itu dilatari oleh peristiwa penggeledahan buku—tentu saja background adegan ini menjadi penting untuk menegaskan konteks yang melatarbelakangi kisah aktivis seperti Wiji Thukul. Kamera memang tidak bisa melihat semuanya sekaligus, tetapi dapat memastikan untuk tidak kehilangan setiap bagian dari apa yang dipilihnya untuk dilihat.[4] Terutama, jika kita menyadari signifikansi lemper yang meruntuhkan stereotipe tentang militer—yang biasanya lekat dengan rokok dan kopi—yang biasa terekam dalam filem-filem dengan tema yang sama. Ini layak dicatat sebagai suatu temuan baru dalam gaya ungkap sinema kita, Anggi Noen memanfaatkan konteks lokal dalam merelasikan pikiran penonton dengan image yang dihadirkan. Dan frame ini mengindikasikan bahwa kamera merekam peristiwa, baik foreground maupun background, itu sebagai satu keutuhan lewat pendekatan deep focus, tetapi adegan tersebut tidak tendensius mengarahkan makna yang seolah-olah sudah ditetapkan oleh sutradara untuk kita telan mentah-mentah.
Jikalau memang Anggi Noen berniat untuk meringkas pengalaman Wiji Thukul,[5] yang berarti pula meringkas wacana panjang lebar mengenai peristiwa penculikan aktivis 98, metode ini adalah yang terefektif, selain menjadi langkah genial untuk meningkatkan potensi puitik bidikan. Informasi mengenai PRD pun, sebagai latar belakang kisah, tidak bertele-tele; cukup lewat teks pada adegan panci di atas kompor, lalu punggung Sipon yang duduk lebih dekat ke batas frame di kanan, pindah ke punggung Wiji Thukul yang duduk di dalam mobil yang bergerak menuju entah ke mana dan diiringi audio berita, pemandangan langit, dan mobil parkir. Setiap bidikan itu, yang sejatinya dapat berdiri sendiri, dirangkai dengan apik sebagai prolog narasi tanpa niatan untuk menentukan point of view penonton atas adegan. Susunan tersebut tidak tampil dengan ekspresionisme plastis dan hubungan simbolik antar-image, dan karenanya berhasil menghindari sindrom ‘aludisasi’ (pengkiasan) peristiwa yang berlebihan sehingga mereka hidup sebagai realitas yang objektif.
Kita masih akan melihat indikasi ini, misalnya, pada adegan ketika Wiji Thukul makan bersama dua kawannya di sebuah rumah yang menjadi tempat persinggahan sementara sebelum bertemu Thomas (diperankan oleh Dhafi Yunan). Adegan ini tidak berhenti pada dialog mengenai fakta bahwa Wiji Thukul masuk ke dalam daftar buronan, karena latar berupa gambar The Last Supper di dinding meluaskan peluang interpretasi kita mengenai misteri 13 aktivis yang masih hilang. Di mata saya, pilihan Anggi Noen untuk menggunakan gambar tersebut terbilang menarik, menimbang kompleksnya pengamatan dari sudut dan bidang apa pun terhadap lukisan kontroversial itu. Visinya: Anggi Noen bukan melemparkan pernyataan, melainkan melebarkan pertanyaan “menolak lupa” kita.
Namun, di sinilah poin menariknya: kita tidak bisa menafikan bahwa The Last Supper-nya Anggi Noen telah hadir lebih dulu sebagai bidikan yang tendensius sebelum adegan makan malam tersebut. Kedua shot ini saling menjukstaposisi. Dalam konteks yang lain, komposisi adegan makan malam, yang menyusul setelah bidikan close-up gambar The Last Supper, merepresentasikan simbol matematis (i.e. segitiga—interpretasi umum mengenai keunikan form lukisan tersebut). Ini menunjukkan pertimbangan yang tidak sembarangan; ini berarti bahwa gagasan image pada filem seturut dengan ide mandiri—komposisi ketigabelas figur dalam lukisan—dari atribut-atribut yang digunakan. Akan tetapi, kepentingan kita menyinggung persoalan ini lebih kepada analisa mengenai perbedaan pendekatan filem yang “percaya kepada image” dan yang “percaya kepada realitas”.[6] Metode deep focus yang diterapkan Anggi Noen, yakni upayanya untuk menghidupkan peristiwa di dalam frame agar menunjukkan dirinya (kenyataannya) sendiri, ternyata tidak serta merta melupakan potensi montase gambar dalam lingkup keseluruhan struktur bahasa filemnya. Alih-alih memilih salah satu, Anggi Noen mengombinasikan kedua pendekatan itu dalam rangka mendefinisikan kekhasan sinema puitiknya. Kepercayaan atas realitas, dengan kata lain, dipicu lewat montase (kepercayaan atas image), dan demikian pula sebaliknya. Montase, dalam pengertian Anggi Noen, adalah metode untuk menarik atensi penonton, bukan untuk menyampaikan makna. Menurut saya, ini adalah nature dari sebuah puisi.
Berangkat dari sudut pandang pemikiran ini, kita boleh berpendapat bahwa keputusan Anggi Noen meletakkan bait-bait puisi Wiji Thukul lewat teknik “voiceover”, dengan kata lain, bukan sebagai strategi naratif, melainkan untuk memanjangkan konteks. Yang mana, fungsi kiasannya tidak bermaksud menghantarkan kita pada makna tertentu yang absolut (misalnya, mengarahkan kita kepada ide ceritanya), tetapi untuk menguatkan potensi tampilan adegan (peristiwa yang dikemas sutradara) menjadi lebih dapat “dialami” penonton. Sebagian besar image di dalam filem ini, sadar atau tidak, dihadirkan sutradara dengan tanpa “penambahan” apa pun terhadap realitas image yang direkam tersebut, sedangkan voiceover bait puisi—selain menjadi bukti dari perayaan atas revolusi bahasa sinema pada filem bersuara—dimaksudkan menjadi bagian tak terpisahkan yang merangsang hubungan antara pikiran penonton dan image yang objektif tersebut. Dengan kerangka seperti itu pulalah dapat kita sadari signifikansi siulan nada “Darah Juang” di dalam filem ini, bahwa konsekuensi naratif yang dihasilkan terkait bentuk komunikasi (keintiman) suami-istri itu merupakan buah dari upaya sutradara untuk menonjolkan “aspek mengalami” peristiwa.
Namun memang, metode sinematik ini tidak terbangun secara konsisten dalam keseluruhan isi filem Istirahatlah Kata-Kata. Dalam adegan percakapan Wiji Thukul dengan seorang mahasiswa, misalnya, Anggi Noen tampak masih terikat oleh kebutuhan untuk meyakinkan kepala penonton mengenai karakter si tokoh utama: pejuang kata-kata yang menyerahkan diri kepada sastra. Strategi pengadeganan dengan teknik cut, dan face-to-face, memang pas untuk membangun persepsi itu, tetapi sayangnya menghilangkan potensi “amatan mendalam” terhadap realitas yang direkam—suatu langgam yang seharusnya mulai kita perhatikan untuk merevolusi tutur bahasa sinema kita. Kita juga bisa melihatnya pada adegan percakapan Wiji Thukul dan istrinya di kamar motel: kebutuhan untuk menegaskan pandangan ideologis sang tokoh lewat simbol-simbol kapital (produk minuman). Atau, adegan saat Wiji Thukul menulis puisi “Istirahatlah Kata-Kata” di selembar kertas, yang tak bisa diingkari masih mengindikasikan kelemahan yang bersemayam di lingkungan sineas nasional: terjebak dalam attitude verbalisme visual (kasarnya, tutur bahasa visual yang cerewet). Padahal, menurut saya, jika kita menyetujui ide besar Anggi Noen yang memilih untuk tidak mengultuskan sosok Wiji Thukul, karakteristik dan perilaku subjek dalam memproduksi “teks-teks perlawanan” semestinya tidak lagi dibebankan dengan keharusan untuk exist secara fisik (visual) dalam konstruksi sinemanya. Dengan kata lain, kebutuhan untuk mengulangi sikap memproduksi “teks perlawanan”, sebenarnya, tidak lagi relevan bagi filem ini.
Akan tetapi, bagi saya, kelemahan ini agaknya dapat dimaklumi. Barangkali karena pertimbangan bahwa sosok historik Wiji Thukul, sebagaimana pendapat si sutradara sendiri, belum diketahui secara umum.[7] Oleh karenanya, keputusan ini tidak bisa serta merta dihakimi sebagai kesalahan fatal. Toh, ketelitian Anggi Noen untuk mengupayakan gaya bahasa yang segar, yang eksperimentatif, cukup mendominasi dalam konstruksi filemnya ini.
Pada beberapa adegan kunci, Anggi Noen berhasil menegaskan bahwa filemnya lebih pas untuk dialami (sebagaimana kita menikmati sebuah karya puisi) ketimbang dibaca sebagai teks telanjang (sebagaimana kita menikmati sebuah novel). Yang pertama, ialah adegan ketika Wiji Thukul dan Thomas dihadang oleh orang gila yang menanyakan KTP dan mengulang-ulang ancamannya, “Aku ada pistol.” Adegan ini merupakan suatu teknik yang cukup cemerlang untuk membangun nuansa kerisauan dan kecemasan. Bahwa, selama ini kecemasan terhadap ancaman kekerasan militer justru terasa begitu kuat karena “sifat samar”-nya. Menurut saya, bidikan statis dan jauh yang dilakukan Anggi Noen-lah yang memunculkan relasi itu dan menghadirkan peristiwa sebagaimana adanya untuk dilihat penonton. Pengadeganan lewat montase konvensional (cut-to-cut) hanya akan menghentikan peristiwa semacam ini sebagai semata shock therapy.
Demikian halnya dengan adegan di tempat tukang cukur. Anggi Noen menerapkan metode yang sama. Akan tetapi, sekali lagi, di sini Anggi Noen menunjukkan keberpihakannya pada kombinasi antara “realitas objektif” dan “gambar yang dimontasekan”. Ketika kamera berpindah ke wajah Wiji Thukul yang di-close-up, efek ketegangan secara otomatis berubah. Pengalaman ini juga dapat kita bandingkan saat kamera menyorot sisi kiri wajah Wiji Thukul yang menoleh ke arah kiri frame pada adegan makan malam di rumah yang ada gambar The Last Supper.
Selain itu, adegan anggota ABRI bermain bulutangkis adalah contoh lain dari bagaimana Anggi Noen dengan dewasa mengemas puisi visualnya. Tentu kita tidak memungkiri bahwa nuansa “mengerikan” itu telah dibangun oleh sutradara sejak adegan percakapan tentang mimpi antara suami-isteri, Martin dan Ida (diperankan oleh Eduwart Boang Manalu dan Melanie Subono), lalu gerak kamera yang memperlihatkan suasana ruangan (rumah Wiji Thukul) dengan iringan voiceover puisi. Bahkan, bidikan dengan teknik slow motion pada adegan bulutangkis itu jelas kontradiktif dengan teori “realitas objektif”. Namun, attitude yang ditawarkan oleh Anggi Noen tidak berubah, yakni mengundang “amatan mendalam” dan “pengalaman” penonton ketimbang mengarah-arahkan makna atas adegan. Ini menegaskan pembacaan dan praduga kita tentang kombinasi dari kedua pendekatan yang disinggung sebelumnya.
Lewat cara membaca yang sama, adegan percakapan Wiji Thukul, Martin, dan Thomas di sebuah pondok dekat Sungai Kapuas kemudian menjadi tak kalah penting. Di sini, Anggi Noen benar-benar menghidupkan objektivitas peristiwa yang ia pilih dengan kameranya. Image yang dihadirkannya tidak memberikan penjelasan tambahan (lewat susunan atau jukstaposisi image) apa pun karena substansi peristiwa itu justru muncul melalui gerak aktor—Thomas yang datang terlambat dengan menggiring sepeda motornya, Wiji Thukul yang keluar frame untuk buang hajat, dan pemain figuran yang bermain gitar—dan posisi duduk para tokoh yang menjadi sentral perspektif kamera. “Kepercayaan terhadap realitas” justru menguatkan “kepercayaan kepada image”, dan sebaliknya. Inilah suatu gaya bahasa yang menghasilkan konsekuensi puitik itu.
Maka wajarlah kemudian jika kita, pada akhirnya, akan begitu terpesona pada adegan terakhir, yakni setelah kamera dengan saksama merekam gesture Wiji Thukul yang duduk di sofa, memperhatikan istrinya yang menangis, lalu kamera bergerak membidik Sipon. Sinema puitik Anggi Noen bekerja dengan begitu efektif: tentang harapan kita mengenai keberadaan si penyair, yang “dikonflikkan” lewat adegan saat Wiji Thukul ke dapur mengambil segelas air putih untuk sang istri, yang kemudian ditenggak tak bersisa, lalu ia menghilang ke dapur dan tak kembali lagi. Seolah tanpa ada kecemasan berkelanjutan, filem ini ditutup dengan adegan sang istri menyapu rumah. Penutup ini menjadi ungkapan metaforik dari kegelisahan si sutradara sendiri mengenai Wiji Thukul, tetapi tidak menutup interpretasi yang lebih luas karena Anggi Noen tidak menentukan makna dan jawaban atas riwayat Wiji Thukul. Itu adalah fakta yang kemudian ditransformasi menjadi puisi visual.
Dan sebagai sebuah “puisi”, lemper pada adegan pembuka dan air putih pada penutup filem, adalah pilihan semantik yang ampuh untuk mengungkai permainan gramatikal guna membungkus konstruksi cerita ini sebagai bahasa sinema lokal.
Kata-kata Wiji Thukul tidak pernah beristirahat sejak puisi “Peringatan” (1986), dan “Istirahatlah Kata-Kata” (1987-1988) hanyalah penegasan akan kebangkitan nanti, yang ditulisnya sebelum ia berujar “Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa” (1997). Jika kita merefleksi memoar Pram dalam “Yang Takkan Kembali Lagi”, apa yang dialami orang-orang yang hilang akibat ditindas ketidakadilan, tidak akan kembali lagi pada generasi penerus, sejauh generasi itu mampu memberikan sumbangsih apa pun lewat pengetahuan. Mungkin Wiji Thukul memang sedang beristirahat, dan dengan Istirahatlah Kata-Kata, Anggi Noen melanjutkan kata-kata itu lewat pengetahuan mengonstruksi sinema yang puitik.***
Catatan Kaki:
[1] Pramoedya Ananta Toer (1976), “Yang Takkan Kembali Lagi”, dalam Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Jilid II, ed. Joesoef Isak (Jakarta: Lentera, 1997), hlm. 33
[2] Ivan Makhsara (22 November, 2016), “Film Wiji Thukul Mulai Tayang di Bioskop Awal Tahun Depan”, diakses dari situs web Rolling Stone Indonesia, tanggal 31 Desember, 2016.
[3] Saya memutuskan untuk menggunakan kata bahasa Inggris ini karena arti dalam bahasa Indonesia-nya terasa kurang memadai untuk digunakan.
[4] André Bazin (1950-1955), “The Evolution of The Language of Cinema”, dalam André Bazin, What Is Cinema? Volume 1, trans. Hugh Gray (Barkeley/Los Angeles: University of California Press, 2005), hlm. 27
[5] Leila S. Chudori (8 November, 2016), “Dari Pojok Sunyi Wiji Thukul”, diakses dari Tempo.com, tanggal 2 Januari, 2016.
[6] André Bazin, op. cit., hlm. 24
[7] Rizky Sekar Afrisia & Agniya Khoiri (7 Oktober, 2016), “Wiji Thukul Bersuara Lewat Film ‘Istirahatlah Kata-Kata’”, diakses dari situs web CNN Indonesia, tanggal 2 Januari, 2017.