Sinema western, atau biasa kita sebut filem koboi, merupakan salah satu genre filem tertua, hampir seumur medium gambar bergerak itu sendiri. William K. L. Dickson telah memelopori beberapa filem jenis ini sejak akhir abad 19. Secara karakteristik, dengan durasi selama beberapa detik, filem-filemnya dapat dibagi ke dalam dua tematik subyek, yaitu seperti Annie Oakley (1894) dan Bucking Bronco (1894) yang memperlihatkan kehidupan koboi berkulit putih, sementara Buffalo Dance (1894) dan Sioux Ghost Dance (1894) memberikan gambaran tentang suku Indian Amerika.
Di masa keemasan filem bisu tahun 1920-an, berbagai variasi dari genre ini mulai bercabang, antaranya dengan penekanan kontur pada komedi seperti dalam Go West (Buster Keaton, 1925) atau yang menitikberatkan pada drama sebagaimana dalam The Wind (Victor Sjostrom, 1928), hingga yang mengangkat kisah action dan heroisme kehidupan para koboi semisal pada filem The Iron Horse (John Ford, 1924). Romantisme alam old western ini berkembang di era 1930-an dan 1940-an dengan penggambaran rasial melalui subyek naratif kulit putih sebagai tokoh utama dan indian sebagai musuh sekira di filem Stagecoach (John Ford, 1939), The Texas Rangers (King Vidor, 1936), dan Cheyenne (Raoul Walsh, 1947). Selama dekade 1950-1960-an, fiksi akan koboi Amerika mengalirkan percabangan lain. Beberapa sutradara coba mengalternasi romantisme kaum pemukim dan jagoan kulit putih old western serta mulai mengelaborasi porsi berimbang antara etnik lain sebangsa Indian dan Hispanik. Filem-filem semisal Johnny Guitar (Nicholas Ray, 1954), 3:10 to Yuma (Delmer Daves, 1957) dan The Man Who Shot Liberty Valance (John Ford, 1962) adalah beberapa contoh yang tampak berupaya mematahkan konstruksi imajinari akan koboi tradisional.
Di belahan dunia lain, para pembuat filem juga terinspirasi untuk melakukan pendekatan baru yang berbeda. Jelas, produksi western ala mereka berada di luar kesadaran tentang proyeksi rasial kendati tak sepenuhnya terlepas dari permasalahan etnik di tingkat lokal. Salah satu pencapaian tersebut bahkan memiliki istilahnya sendiri lantaran memperlihatkan secara spesifik terhadap bentuk genre ini, misalnya filem koboi buatan Italia yang umum disebut dengan spaghetti western, adalah secontoh yang paling populer di era 1960-an. Lewat produksi-produksi genre periferal ini, antaranya, yang paling terkenal yaitu The Good, The Bad and The Ugly (Sergio Leone, 1966) dan Django (Sergio Corbucci, 1966). Di Prancis lahir pula filem koboi dengan gaya sosial-komik semacam A Girl Is a Gun (Luc Moullet, 1971) yang terilhami dari kisah Billy the Kid dan The Legend of Frenchie King (Christian-Jaque, Guy Casaril, 1971) yang dibintangi pemain filem papan atas sepeti Brigitte Bardot dan Claudia Cardinale. Di Amerika Selatan, tepatnya Brazil, Glauber Rocha membuat Black God, White Devil (1964) dengan mengeksplorasi sekaligus mengeksposi serba ide terhadap old western sebagai sarana kritik atas dominasi kolonial dan Barat. Di Meksiko, sutradara Chile Alejandro Jodorowsky memproyeksikan El Topo (1970) sebagai sikap anti kejumudan moderen dari kawasan luar yang sarat dengan simbolisme keagamaan. Di Uni Soviet beberapa pembuat filem juga membuat filem koboi, yang kemudian dikenal sebagai Red Western. Salah satunya yang paling baik adalah A Man from the Boulevard des Capucines (Alla Surikova, 1987) yang membicarakan tentang kehadiran medium filem di dunia old western.
Dengan banyaknya turunan filem koboi seperti tersebut, hal ini menjelaskan kelenturan dari western genre ini sendiri. Filem-filem koboi yang disebutkan di atas memang mengambil latar yang diniatkan serupa dengan filem koboi Amerika meski, tentu, beberapa darinya tetap secara sadar mempertahankan akar lokal, misalnya dalam hal bahasa yang digunakan dan subteks berupa kritik atas kondisi yang terjadi saat itu.
Sebagaimana kemunculannya di berbagai belahan dunia lainnya, produksi-produksi sinematik era 1970-an dari sejumlah pembuat filem Indonesia juga tergerak untuk mereka naratif perkoboian dengan mengadopsi kultur yang serupa dalam sinema koboi Amerika. Sutradara Nyaâ Abbas Akup untuk pertama kalinya mengarahkan sejenis fiksi koboi yang cukup populer kala itu, berjudul Bing Slamet Koboi Cengeng (1974), dan hampir sedekade berikutnya dengan Koboi Sutra Ungu (1981). Menyusul, ada Nawi Ismail dengan Benyamin Koboi Ngungsi (1975) dan Tiga Janggo (1976). Motif sinematik, kalau bukannya murni tendensi sosial-politis, setidaknya telah mengalami relasi kesalingkaitannya di dalam filem-filem tersebut. Beberapa tandanya, dibaca kembali kini, bahkan mengarah pada gagasan tentang kawasan lain yang di luar pusat, yang marjinal, yang periferal. Tulisan ini secara khusus membahas bagaimana Nawi Ismail mengartikulasikan tanggapan perspektifalnya terhadap budaya old western dengan caranya sendiri.
Dalam terminologi bahasa Inggris, kata western mengacu pada Dunia Baru, yaitu tanah di bagian barat Eropa yang ditemukan oleh para penjelajah pada abad ke 15. Kondisi alam di Dunia Baru sangat berbeda dengan Eropa di mana banyak ditemukan gurun serta padang rumput dengan cuaca ekstrim. Para pemukim dari Eropaâyang sudah tinggal di lokasi tersebut selama bertahun-tahunâadalah orang-orang yang mencoba beradaptasi dengan lingkungan itu, bertahan hidup dengan beternak dan berinteraksi bersama suku lokal. Para pemukim inilah yang dipersonifikasikan ke dalam filem oleh aktor seperti John Wayne. Mereka hampir selalu diperlihatkan memiliki fisik sempurna, tangguh dan kejam dengan sorot mata yang kuat, serupa dengan latar alamnya. Pemukim ini, karena kesehariannya beternak sapi, maka disebut sebagai cowboy. Dalam bahasa Indonesia kata cowboy mengalami perubahan tulisan dan makna. Koboi tidak hanya digunakan sebagai deskripsi filem dan kehidupan old western, namun juga untuk menyebut untuk orang yang menggunakan senjata api tanpa aturan. Sementara western dalam bahasa Indonesia dapat berarti segala sesuatu yang berasal dari Barat, yaitu Eropa dan Amerika Utara.
Bila John Ford menggunakan John Wayne, maka Nawi Ismail menggunakan Benyamin Sueb dan Eddy Gombloh sebagai personifikasi koboi Indonesia. Benyamin Koboi Ngungsi mengetengahkan seorang koboi bernama Billy Ballâdiperankan oleh Benyamin Suebâyang rumah dan peternakannya digusur lantaran adanya pembangunan proyek kompleks pabrik. Bersama temannya yang tinggal seatap, Charles Dongoâdimainkan oleh Eddy GomblohâBilly Ball pergi ke Bodong City guna menuntut hak ganti rugi atas penggusuran yang menimpanya. Benyamin Koboi Ngungsi melontarkan narasi tentang penggembala dari barat di padang luas sebagaimana latar tempat dalam kebanyakan filem koboi; corak budaya yang juga jamak ditemui, seperti misalnya lewat penokohan seorang sheriff yang berkuasa dalam suatu kota; saloon sebagai arena sosio-budaya para koboi; arsitektur bangunan dan tata kota Bodong City; serta pakaian dan dandanan para pemain yang juga terlihat serupa dengan yang ada di filem-filem koboi. Sementara, Tiga Janggo menampilkan cerita tentang tiga orang koboi bernama Janggo yang saling bersaing untuk menjadi pemimpin keamanan setempat dengan latar lanskap dan kota serupa dengan Benyamin Koboi Ngungsi.
Ada yang sangat kentara dalam filem koboi ala Nawi ini, yaitu hampir semua perangkat dan tampilan yang biasa ditemukan di filem old western dimainkan dengan gaya dan cara yang tidak sesuai dengan kegunaan atau penempatan yang sebenarnya. Penonton akan melihat ini adalah sebuah kebodohan yang disengaja dari setiap pemain untuk membuat tertawa namun, ternyata, ada fungsi lain di balik itu semua. Para pemain, yang penampilannya dimiripkan sebagai sosok-sosok dari Barat (versi Hollywood, tentu) secara vulgar dilunturkan topeng-topengnya sehingga yang terlihat adalah ketidaksesuaian latar old western Amerika dengan koboi ala Nawi. Ketidaksesuaian ini tidak hanya berguna untuk mengundang tawa tapi juga sebagai alat untuk mengantarkan pandangan politis dan sosial Nawi Ismail.
Kesengajaan untuk tidak cocok dengan latar dan tempat tersebut sudah terlihat sejak awal filem Benyamin Koboi Ngungsi dimulai. Â Benyamin keluar rumah sambil bersenandung yodel untuk memeras susu namun sebelum ia berjongkok di bawah si sapi, tanpa nyana bokongnya tertusuk spur, roda besi tajam yang biasa terekat di tumit sepatu koboi. Adegan ini menunjukan bahwa, bahkan, karakter utama dalam narasi itu sendiri seperti terasing dalam latar filem itu ketika dengan gagap si tokoh mengadopsi kultur koboi.
Pola anatopismeâyakni di mana latar dihadirkan di luar kesesuaian dengan konteks asalinyaâsebagaimana adegan pembuka tadi, secara konsisten diulang oleh Nawi Ismail sepanjang filem dengan serangkaian variasi yang membawa berbagai atribut baru dalam penceritaan. Misalnya, adegan baku tembak di depan rumah William Ardhi (Ardi H. S.) dipicu oleh kesalahpahaman Billy Ball yang mengira bunyi petasan sebagai suara tembakan. Saat tembak-menembak, peluru dari pistol Billy Ball menyasar ke wig pirang dari perempuan yang diperankan oleh Connie Sutedja. Begitu wig itu jatuh, rambut hitam Connie Sutedja yang tersembunyi lalu terungkap. Selain memancing tawa, adegan ini, sekali lagi mengungkap keberjarakan antara pemain dan atribut koboi yang dikenakanâyakni wig tadiâberoperasi tidak hanya sebagai penutup rambut namun juga penanda kultural dari milieu koboi yang ditempatkan tidak sempurna oleh Nawi.
Tiga Janggo adalah parodi filem spaghetti western karya Sergio Corbucci berjudul Django. Ini bisa dilihat dari tiga karakter dari Tiga Janggo yang namanya disesuaikan menjadi Janggo. Penampilan Benyamin sebagai sang koboi pembawa peti mati dan terpikat seorang wanita, serupa dengan yang terjadi di filem Django. Polemik identitas dari siapa sebenarnya Janggo yang asli juga tidak lepas dari kesadaran Nawi terhadap tren filem koboi saat itu. Sejak pertama kali ditayangkan pada 1966, Django sendiri menjadi sangat terkenal dan menghasilkan banyak sekali sekuel tak resminya di seluruh dunia, bahkan hingga sekarang. Sekuel tidak resmi tersebut mengaburkan pandangan tentang Django yang asli dibuat oleh Corbucci. Celah duplikasi inilah yang dimanfaatkan oleh Nawi Ismail sebagai bahan parodi dalam filem Tiga Janggo. Di antara banyaknya hero koboi yang mengaku sebagai Django, siapakah Django/Janggo yang asli?
Baik Benyamin Koboi Ngungsi dan Tiga Janggo, memang tidak diniatkan untuk mengadopsi secara utuh filem-filem koboi dengan latar old western otentik. Melainkan, Nawi menciptakan satu lanskap baru, sebuah tempat di mana budaya akar, yaitu budaya Indonesia bersintesis dengan budaya old western. Dunia old western di sini tidak lagi sama dengan filem koboi otentik dari Amerika yang dibuat oleh John Ford atau Anthony Mann yang memiliki kontak langsung dengan budaya itu. Atau, bila disamakan dengan spaghetti western, sutradara semacam Sergio Leone dan Sergio Corbucci mencoba menciptakan ulang dunia koboi yang betul-betul serupa dengan menghadirkan latar dan budaya yang menyerupai old western lengkap dengan jejak-jejak kesejarahannya. Franco Nero sebagai Django yang dulunya adalah tentara Union mampu berbaur halus bersama topi koboi hitam, revolver dan jaket biru gelap di depan tampilan muka bangunan old western.
Nawi justru merayakan ketidaksempurnaannya dalam mengadopsi western. Cara bahasa yang dipakai oleh semua karakter di filem-filemnya merupakan kombinasi antara bahasa slang Indonesia, Betawi dan Inggris. Bahasa Inggris hanya digunakan sebagai bentuk ganti âsayaâ dan âkamuâ dan kadang-kadang hanya berupa sisipan kalimat pendek dengan pengejaan sesuka pemain, serupa dengan ketidakmampuan atau ketaksempurnaan pemain-pemainnya memakai atribut koboi. Nama karakter utama itu sendiri yakni Billy Ball dan Charles Dongo adalah modifikasi dari tokoh legendaris dalam budaya old western Amerika. Billy Ball dicomot dari tokoh Billy the Kid dan Charles Dongo dari Charlie Siringo. Kedua tokoh ini beberapa kali direka ulang dalam filem-filem western Amerika dan spaghetti western. Modifikasi nama ini juga merujuk pada sintesis yang dilakukan Nawi. Nama Ball dari Billy Ball disebutkan fonetik seperti bool, bahasa betawi untuk dubur, lalu Dongo ditekankan menjadi dongo yang berarti bodoh. Nama kota mereka yaitu Bodong City merujuk pada bahasa betawi untuk bagian tubuh yaitu pusar, juga memiliki penggunaan lain dalam percakapan sehari-hari yaitu sebuah istilah untuk menyebut suatu produk tiruan yang menyerupai produk aslinya, seperti filem Nawi ini. Cara ini sekali lagi adalah upaya Nawi mendekonstruksi budaya dan sejarah old western, baik itu budaya dan kesejarahannya dalam sinema, maupun realita.
Di samping terlaras sebagai komedi, keberjarakan dalam koboi-koboiannya Nawi juga menunjukan potensi kritik sosial yang sensitif pada saat itu. Konflik mendasar dalam Benyamin Koboi Ngungsi, sebenarnya, adalah antara Billy Ball dan korporasi yang sudah âjoint ventureâ dengan pemerintah setempat yaitu pada sang sheriff Bodong City untuk membangun pabrik. Penggusuranâyang mencerminkan kenyataan politis dari dampak kebijakan negara masa itu di tingkat lokalâinilah pokok masalah yang dialami oleh Billy Ball yang mengharuskannya pergi ke Bodong City untuk meminta kompensasi. Penggusuran tanah dengan pemaksaan adalah hal lazim semasa Orde Baru, dan tepat pada titik itu Benyamin Koboi Ngungsi menyampaikan suatu kritik yang, sesungguhnya, cukup langsung terbaca. Namun, bersama taktik naratif dan performatif dalam latar yang sangat terasing dengan keadaan di Indonesia upaya tersebut ditempuh demi menghindari gunting sensor dan demikian, kritik tersebut bisa menjangkau masyarakat. Bila disanding dengan sejarah dan tradisinya, koboi yang terusirâyang memberikan efek marjinal dan dunia periferalâitu tentu di luar jangkauan kaidah old western itu sendiri. Sebab, melihat fakta sejarahnya, justru secara sepihak para koboi lah yang merebut tanah yang menurut mereka dan negara adalah tanah tak bertuan dengan memberlakukan perundangan Homestead Act of 1862, yaitu undang-undang yang mengizinkan penduduk Amerika menduduki tanah di wilayah barat seluas 647497 meter persegi (160 acre) untuk tinggal dan beternak. Homestead Act menjadi salah satu pemicu konflik tergenting antara pemukim asli dan koboi, dan dalam sinema old western, perundangan tersebut adalah akarnya. Hebatnya, Nawi Ismail mampu menarik isu old western ini dengan isu serupa yang terjadi di Indonesia masa Orde Baru dan mentertawakan hal tersebut.
Kritik terhadap pemerintah yang berkuasa, di dalam filem komedi tidak sepenuhnya milik Nawi Ismail. Nyaâ Abbas Akup cukup dikenal sebagai sutradara yang secara lantang juga mengartikulasikan gaya komikal sebagai sarana kritik sosial-politis. Dalam Bing Slamet Koboi Cengeng, sang antagonis yang diperankan oleh Eddy Sud adalah seorang jago tembak kharismatik dengan penampilan yang jauh dari kesan penjahat, melainkan dia berhasil memanipulasi Bing Slamet dan seluruh penduduk kota bagi kepentingan kelompoknya. Bila kita melihat filem ini dengan konteks politik saat itu, ada relasi nyata antara pemimpin negara kita dengan penipu yang diperankan oleh Eddy Sud.
Benyamin Koboi Ngungsi dan Tiga Janggo besutan Nawi Ismail mengeksplorasi bagian-bagian yang belum maksimal diungkap oleh Nyaâ Abbas Akup. Meskipun cara-cara anatopisme juga diperlihatkan dalam Bing Slamet Koboi Cengeng namun itu sebatas koboi mengurusi bebek dan petasan (sebagai siasat pengganti senjata api) sehingga anatopisme di situ tidak mampu memantik penyataan sosial dan politis sebagaimana dilakukan Nawi Ismail. Hierarki rasial/etnis seperti Kaukasian, Indian dan Hispanik yang menjadi basis ideologis filem koboi tradisional Amerika sedikit-banyak masih diwariskan oleh Nyaâ Abbas Akup. Hal ini berbeda dengan Nawi Ismail yang menghilangkan sama-sekali keragaman ras/etnis. Kita tidak melihat adanya ras/etnis lain kecuali para pemain yang berkulit sawo matang, bahkan ketika ada karakter yang berupaya menjadi Kaukasian, penonton kembali diingatkan pada yang seolah-olah itu bahwa pemain-pemain di situ tetap saja berkulit sawo matang seperti pada adegan tertembaknya wig Connie Sutedja. Hanya ada tiga hierarki sosial di filem Nawi dan semuanya bedasarkan dari status kekuasaannya, yaitu pejabat pemerintahan yang diwakilkan oleh sheriff, rakyat jelata dan penjahat. Jalur tempuh representasi filem koboi Nyaâ Abbas Akup menempatkan kelas rasial/etnis antara kulit sawo matang yang mencoba menjadi mirip Kaukasian begitu pun sosok-sosok Indian yang juga diperankan pemain berkulit sawo matang. Apa yang Nawi Ismail lakukan bisa dikatakan sejalan dengan Glauber Rocha dalam kesadarannya mendekonstruksi struktur filem dan budaya arustama global sebagai alur persepsi yang dibentuk oleh Barat. Baik Nawi maupun Akup, keduanya berupaya lepas dari westernisasi hegemonik dengan kembali ke budaya akar, budaya yang tidak dipahami oleh Barat. Hanya, Glauber Rocha dengan tegas menorehkan posisinya melalui pernyataan tanding budaya dari Aesthetics of Hunger, sementara Nawi Ismail sepenuhnya mengandalkan âintuisi-intuisiâ kelianan (otherness) dan kontradiksi di filem-filemnya untuk mengukuhkan pilihan politisnya.
Ekspresi-ekspresi sinematik Nawi Ismail selalu identik dengan komedi gaya lenong yang dipasarkan untuk khalayak penonton kelas bawah. Sebagai sutradara, namanya jarang disebut-sebut bila kita bicara mengenai Sinema Indonesia dalam konteks kanonikal. Usmar Ismail, Teguh Karya dan Sjumandjaja adalah nama-nama yang jauh lebih monumental sebagai figur yang dipandang merepresentasikan âseni agungâ dari wajah Sinema Indonesia. Jika demikian, penting bagi kita untuk mulai saat ini menengok adanya sisi lain dari sinema kanonikal, pada wajah berbeda yang mengekspresikan suatu âpandangan duniaâ melalui kelokalan yang tampak naif di permukaan namun, sesungguhnya, sarat pergulatan di dalam.