In Edisi Khusus, Katalog ARKIPEL

Oleh Manshur Zikri

Artikel berjudul “Kepengarangan dalam Dokumenter Petit à Petit” ini pertama kali terbit dalam katalog ARKIPEL – International Documentary & Experimental Film Festival, 2013, hal. 74-82. Berjudul asli “Kepengarangan dalam Dokumenter Petit à Petit (Usaha Dagang “Petit à Petit”, 1968-1969)”, artikel ini ditulis oleh kritikus/kurator film Akbar Yumni sebagai pengantar kuratorial untuk program penayangan film yang bertajuk sama pada festival tersebut.

Dalam membahas film Petit à petit (1969/1970), Akbar menelaah lebih dalam pemikiran sinematik Jean Rouch mengenai “kebenaran filmis” dan keterhubungannya dengan diskursus antropologi, khususnya “antropologi reflektif”, yang dianggap merupakan salah satu bentuk kritik terhadap pendekatan antropologi visual yang lazim. Telaahnya juga mengurai pandangan soal hilangnya batas antara dokumenter dan fiksi, akar praksis cinéma vérité, dan pengejawantahan ide-ide dekolonialitas di dalam penjelajahan estetika dari bahasa sinema.

Tulisan ini sudah pernah dimuat di Jurnal Footage pada tanggal 3 Maret 2014. Kami memuatnya kembali di situs ini menggunakan tanggal yang baru, dengan suntingan kecil di beberapa bagian, terutama memenggal judul tulisan menjadi lebih singkat, sebagai bagian dari Editorial 09: Diskursus Satu Dekade.

Selamat membaca!

Kepengarangan dalam Dokumenter Petit à Petit (Usaha Dagang “Petit à Petit”, 1968-1969)

KEPENGARANGAN (AUTHORSHIP) MERUPAKAN ranah yang berpeluang untuk disentuh dalam perbincangan mengenai sinema dokumenter kekinian. Selama perkembangannya, upaya-upaya bagi sinema dokumenter kini bukan melulu suatu kesetiaan akan hal-hal yang menyingkap ‘realitas’, namun boleh jadi malah mempertanyakan ‘realitas’ itu sendiri demi menangkap relung terdalam pengalaman manusia yang mendiami realitas tersebut. Dalam sejarah sinema, kepengarangan yang dipelopori oleh para sutradara “gelombang baru” (nouvelle vague) Prancis 1960-an menjelaskan visi individual sutradara dalam mewujudkan bahasa sinema sehingga kesetiaan akan hal-hal estetis di situ benar-benar berdasar pada kepekaan sang pembuat film layaknya seorang pengarang roman. Dokumenter pada dasarnya adalah ‘perlakuan kreatif atas aktualitas’, dan hal ini sering kali ditafsirkan sebagai sikap takzim akan peristiwa-peristiwa aktual kala memandang momen realitas tersebut. Di sinilah Jean Rouch menjadi sosok penting dalam khasanah dokumenter yang membuka peluang pemanfaatan fiksi secara diskursif guna mencapai gambaran filmis dari realitas tertentu yang diungkapkan. Dalam pergulatan sinematisnya, penggunaan fiksi pada karya-karya dokumenter Rouch justru lebih dapat menangkap realitas dalam pengertiannya yang paling dalam melalui aktualitas pengalaman psikologis dari subjek yang ‘difiksikan’ secara filmis, sembari mempertanyakan ‘realitas’, dan bahkan sinema dokumenter itu sendiri. Usaha-usaha akan kepengarangan ini menjadi suatu cara pandang baru dalam memandang ‘kebenaran’ dalam sinema dokumenter.

Tangkapan layar dari film "Petit à Petit" (1969) karya Jean Rouch.

Pengalaman Modernitas para Native Afrika (Sinopsis)

Usaha Dagang: Petit à Petit merupakan “sekuel etnografis” dari karya Rouch sebelumnya, Jaguar (1957-1967). Digarap dengan skenario yang turut diimprovisasi oleh aktor-aktornya, narasi Petit à Petit mendedah petualangan dan perjuangan sekelompok kecil pengusaha Niger, yaitu Damoure, Illo, dan Lam, dalam usaha mereka membangun ekonomi niaga di tingkat lokal yang dinamai “Petit à Petit” (Kecil-Kecilan). Latar belakang tradisional mereka tampaknya menjelaskan posisi tersebut. Awalnya, Illo hanyalah seorang pemancing, dan Lam penggembala. Bertekad memajukan usaha, tokoh-tokoh ‘pos-kolonial’ ini berniat membangun sebuah gedung bertingkat sebagai tempat usaha mereka. Untuk itu, Damoure terbang ke Paris guna melihat dan menjajaki pembangunan gedung bertingkat, sekaligus bersua dengan fenomena kehidupan modern kosmopolitan.

Paris telah menakjubkan Damoure, juga Lam yang kemudian menyusulnya, dan kedua migrator seketika itu pula mengalami kejutan budaya. Tanpa sengaja, Damoure melakukan ‘eksperimen etnografis’ dalam mengenali orang Paris sambil merasakan tanggapan mereka mengenai keberadaan Damoure sendiri. Dalam pandangannya, betapa orang Paris melakukan suatu kamuflase antargender, dan strategi dokumenter film ini membuat kita melihat jembatan bagi jurang dua kebudayaan, kolonial dan poskolonial, terhadap pertukaran identitas sosial sebagian warga kosmopolitan dalam perkenalan mereka dengan tiga orang sesama asal Niger. Bersama-sama, mereka akhirnya merupakan satu komunitas kecil yang kembali ke Niger demi melanjutkan usaha Petit à Petit. Kelompok baru ini memutuskan untuk menjalani kehidupan di negeri asal budaya mereka, kendati upaya ini tidak semudah yang dibayangkan. Praktik modernitas yang coba diterapkan membuat orang-orang baru tersebut memikirkan ulang identitas dan keberadaan mereka melalui kejemuan dan perasaan tak nyaman sehingga tinggal Damoure dan Lam yang kembali ke upaya semula untuk membangun peradaban mereka sendiri dengan cara yang lama.

Dalam film ini, Rouch mencoba memberi keleluasaan pada tokoh-tokohnya, terutama Damoure dan Lam, untuk berpartisipasi dalam ruang konstruksi dokumenter ini guna melacak sejarah penindasan mereka, khususnya terkait dengan pengaruh-pengaruh sejarah kolonial Afrika sesudah kemerdekaan. Kisah mereka sebenarnya menggarisbawahi benturan antara “tradisi” dan “modernitas” yang berlangsung di Afrika pascakoloni, dan dalam narasi film ini ditunjukkan lewat kegagalan Damoure menjalankan usaha Petit à Petit secara profesional dan modern. Secara naratif, film ini berakhir sama seperti awalnya ketika Damoure memakai kuda sebagai sarana transportasi. Ideologis, ini menunjukkan bahwa eksistensi Damoure berawal dari kesadaran tradisional, yang lalu di pertengahan kisah, mengalami proses modernisasi selama berada di Paris, dan kemudian berakhir ke alam tradisional.

Kebenaran Dokumentaris sebagai Kebenaran ‘Filmis’

Jean Rouch adalah etnografer yang berpandangan bahwa tak ada batas antara dokumenter dan fiksi. Di saat yang sama, ia juga menganggap bahwa sesungguhnya tidak ada objektivitas sinema. Rouch mengandaikan bahwa ‘realitas sebagai kehidupan’ merupakan sesuatu yang tak sepadan dengan keperihalan akan yang ‘nyata’ atau ‘kebenaran’. Pengalaman-pengalaman pasca jajahan yang dialami komunitas-komunitas bangsa Afrika adalah kenyataan yang demikian ‘subtil’, hasil perbenturan peradaban yang membutuhkan kemungkinan-kemungkinan sureal yang bisa digali dalam memposisikan kondisi-kondisi pascakoloni di Afrika. Secara kasatmata, realitas pascakoloni yang demikian adalah realitas yang masih diselubungi dampak-dampak kekuasaan kolonial. Apa yang dimaksudkan Rouch tentang ‘realitas sebagai kehidupan’, yakni bagaimana realitas tersebut dikonstruksi berdasar kemungkinan-kemungkinan psikologis dari pengalaman represif di masa kolonial ketika tiba saatnya harus menghadapi kekinian.

Dalam Petit à Petit, kemungkinan-kemungkinan psikologis tersebut nampak pada adegan cemburu sang pribumi Niger sekretaris Damoure kepada Ariene, si pendatang dari Paris, yang sama-sama bekerja sebagai sekretaris tetapi bergaji jauh lebih besar dari si pribumi. Atau pada adegan kecanggungan Lam melihat Safi – juga pendatang dari Paris – berpakaian seronok memperlihatkan bagian dadanya sehingga Lam berada dalam posisi kemoralan native dengan kebebasan ala Paris. Siasat-siasat pengisahan dalam Petit à Petit maupun dalam beberapa karya Jean Rouch merupakan upaya penyingkapan atas patologi-patologi psikologis para protagonis yang hidup di antara pengalaman keterjajahan mereka dengan modernitas yang sedang mereka ikuti. Siasat-siasat tersebut juga menjadi semacam eksperimen untuk melihat respons-respons perbenturan antara modernitas dan tradisionalitas, pengalaman keterjajahan serta situasi pascakoloni di wilayah lokal. Eksperimen Rouch dalam mengeksplorasi perbenturan budaya seperti itu juga diperlihatkan pada adegan ketika Damoure melakukan “pengenalan etnografis” terhadap sejumlah orang Paris dengan cara memeriksa bagian-bagian tubuh mereka.

Petit à Petit adalah etno-fiksi yang menghadirkan subjek lewat percobaan-percobaan menempatkan tokoh pada situasi dan naratif tertentu untuk mencapai momen-momen diskursif sinema dokumenter. Dalam etno-fiksi tersebut, pemerihalan konstruksi gambar diciptakan melalui dan bersama dengan keterlibatan tiap subjek, misalnya, pada adegan Damoure memandang Paris dari ketinggian, persis ketika saat itu Paris baginya bukan lagi sekadar Menara Eiffel atau kubur Napoleon dalam gambar-gambar kartu pos kota itu. Konflik-konflik imaji dan psikologis tentang modernitas dari pengalaman Damoure adalah semacam etno-fiksi yang notabene adalah pengalaman sang aktor itu sendiri. Untuk menemukan momen-momen yang demikian dari tokohnya, Rouch berupaya memasukkan struktur dan siasat pengisahan yang berasal dari pengalaman aktor-aktor native itu sendiri sebagai metode demi mencapai relung terdalam pengalaman modernitas Damoure, misalnya. Pada titik inilah, ‘Kepengarangan’ memiliki relevansi yang penting bagi khasanah dokumenter yang mencoba menangkap realitas paling konstruktifnya manakala perlakuan kreatif atas aktualitas tidak sekadar cukup melalui bidikan-bidikan (shot) dan bingkaian (frame) kamera, tetapi juga dalam hal bagaimana memperlakukan dan memandang realitas itu sendiri.

Bagi Jean Rouch, tak ada ‘kebenaran murni’ kecuali ‘kebenaran filmis’. ‘Kebenaran sinema’ pada Jean Rouch sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh Dziga Vertov dengan kino-pravda (sinema-kebenaran)-nya. Rouch merenungkan ulang makna kebenaran pada kino-pravda Vertov, dan berpandangan bahwa bidikan-bidikannya yang langsung hadir pada realitas, sesungguhnya bukan suatu ‘kebenaran murni’, melainkan lebih sebagai ‘kebenaran filmis’. Kebenaran dalam sinema adalah ‘kebenaran filmis’ karena pada fitrahnya itu sudah melekat sebagai kodrat sinema dalam membentuk cara pandang tertentu. Demikian pula halnya dengan cinéma vérité, sesungguhnya ia bukan ‘kebenaran’ objektif dalam film, karena media itu sudah mengandaikan suatu klaim yang berasal dari satu abstraksi tertentu. Perbincangan soal kebenaran dalam dokumenter sungguh tak terlepaskan dari dunia pengetahuan sinema. Sebagai barang seni, fitrah ‘realitas’ yang dimasukkan ke dalamnya mustahil kembali untuk berlaku ‘murni’ lantaran dengan seketika itu juga ‘realitas’ tersebut sudah terperangkap dalam ideologi-ideologi seni sinema. Dalam kisah Petit à Petit itu sendiri, gambaran sebagaimana dicontohkan pada Damoure menunjukkan tampilnya satu entitas budaya tertentu yang senantiasa dalam tegangan antara modernitas dan tradisionalitas yang diwujudkan melalui konflik antara keperihalan-keperihalan ‘fiksi’ dengan ‘dokumentaritas’ demi menyentuh impresi-impresi akan kebenaran.

Kamera Sebagai ‘Kehadiran’ dan ‘Pihak Ketiga’

Seturut sejarah dokumenter, Rouch memandang Robert Flaherty sebagai khasanah etnografis, dan Dziga Vertov sebagai khasanah sosiologis. Flaherty lah ilham Rouch untuk menempatkan kamera sebagai ‘pihak ketiga’. Dalam Nanook of The North (1922), sutradara mampu menangkap pergulatan kemanusiaan masing-masing anggota komunitas Eskimo sebagai individu yang berhadapan dengan alam. Kepiawaian Flaherty dalam menyingkapkan sejarah alamiah ini disebabkan oleh penempatannya atas kamera sebagai “pihak ketiga”. Pengandaian ini memungkinkan adanya “observasi partisipan” (participant observation) dan timbal balik (feedback). Dalam bahasa Luc de Heusch, “observasi partisipan” adalah wujud “kamera partisipatoris” (participatory camera), yang memainkan peran penting dalam mengisi peluang-peluang dialogis antara kamera dengan subjek. Rouch mengembangkan “kamera partisipatoris” sebagai semacam metode refleksi timbal balik antara hasil bidikan dan peran subjek dalam mengkonstruksi gambar.

Kamera sebagai “pihak ketiga” secara niscaya juga mengandaikan kamera sebagai kehadiran yang dengan itu Rouch merefleksikan perannya sebagai sutradara manakala selama proses pembidikan ia benar-benar berada di lokasi. Di situlah, keberadaan kamera menjadi semacam ‘pihak ketiga’ yang memberi pengaruh terhadap interaksi yang dimungkinkan oleh para aktornya dalam merespons lokasi dari lingkungan kehidupannya. Kehadiran kamera bagi Jean Rouch adalah stimuli, akselerasi, bahkan katalisasi, sedemikian hingga kamera sebagai “pihak ketiga” sejajar dengan kehadiran sang etnografer sendiri. Pada posisi demikian, kehadiran kamera menjadi momentum pengungkapan diri kaum native tentang pengalaman represi kolonial dan benturan budaya. Rouch memainkan proses penyingkapan ini sebagai sebentuk pengisahan pada sinema yang secara bebas memilih keperihalan ‘tematik’ maupun diskursif terkait pengalaman aktual kaum native.

Pada hakikatnya, “kamera partisipatoris” adalah sebentuk pendekatan etnografis yang mengandaikan sejenis momen etis bagi proses-proses representasi. Rouch mengembangkan ide ini menjadi anthropologie partagée atau shared anthropology, yang bisa juga disebut dengan antropologi egaliter atau antropologi reflektif. Antropologi egaliter merupakan momen etis karena mengandaikan adanya upaya-upaya bagi pihak yang direpresentasikan (dalam kasus ini, kaum pribumi Afrika) untuk bersama-sama terlibat dalam proses representasi tentang diri mereka sendiri. Secara metodis, antropologi egaliter adalah hubungan timbal balik (feedback) antara yang direpresentasikan dan yang merepresentasikan. Rouch sendiri juga menyebut antropologi egaliter ini sebagai contre-don audiovisuel (timbal balik audiovisual). Dalam perkembangannya, model keterlibatan pihak yang direpresentasikan dalam proses representasi bersama dengan pihak yang merepresentasikan adalah usaha untuk mencapai semacam ‘totalitas’ gambar atau semangat untuk menangkap ‘totalitas fakta sosial’. Secara tidak langsung, metode timbal balik dalam proses representasi ini mengingatkan pada diskursus antropologi Marcel Mauss (1872-1950) tentang konsep pemberian (gift) sebagai bentuk pertukaran mengikat yang melestarikan keberadaan masyarakat.

Antropologi egaliter juga adalah semacam kritik terhadap model-model pendekatan antropologi visual atau dokumenter antropologi yang sekadar memuat laporan tentang dan dari ‘yang liyan’ tanpa kehadiran sang antropolog, kecuali hanya menyusun pengarsipan pasif lantaran telah mengobjektifikasi ‘yang liyan’. Antropologi egaliter sebagai teorema dari antropologi reflektif dapat terwujud karena mengandaikan hubungan timbal balik antara pembuat film dengan subjek yang difilmkan. Dalam tradisi sinema dokumenter sejak Lumière, seolah-olah menciptakan ilusi ketidakhadiran kamera untuk menangkap aktualitas ‘kenyataan’, di sini terjadi semacam “pencurian reflektif” atas bidikan-bidikan gambar yang dihasilkan.

Rouch selalu mengabarkan kepada para subjeknya bahwa mereka sedang dibidik. Ini dilakukan sebagai usaha mendapatkan autentisitas gambar, atau secara lebih esensial lagi, adalah demi menghindari sang ‘pencuri’ refleksi atas kehidupan. Pendekatan ini mungkin bisa dilihat pada adegan ketika Damoure berada di bandara di Niger untuk terbang menuju Paris, serta ketika Safi berada di pasar berbelanja bahan pakaian. Pada adegan-adegan tersebut nampak bagaimana orang-orang merespon para aktor yang sedang dibidik. Tentu terdapat hal berbeda dalam skema perekaman model Rouch ini, yaitu ketika subjek gambar merasa lebih sadar saat tengah direkam, subjek juga merasa sedang berada dalam sejenis interogasi sadar mengenai perilaku dan gerak mereka. Bahkan dalam beberapa pendekatannya, Rouch menempatkan proses “timbal balik (feedback)” dari subjek representasi sebagai upaya bersama dalam mengkonstruksi gambar. Dalam hal ini, keperihalan akan teknologi film juga menjadi hal yang amat dipertimbangkan oleh Jean Rouch. Seturut Edgar Morin, “Kita tidak dapat memisahkan image dari kehadiran dunia di dalam diri manusia dan kehadiran manusia di dalam dunia. Image adalah medium yang resiprokal.”

Gagasan dan karya Jean Rouch adalah kelanjutan dari proyek ‘Museum Manusia’ yang dalam tradisi sebelumnya banyak dilakukan oleh kalangan etnografer. Dalam proses perkembangan atas gagasan ‘kedisanaan’, ketika kelahiran kamera menjadi sebuah cara pandang baru terhadap realitas, Rouch meluaskan khasanah etnografi baru melalui kamera yang dianggap memiliki keterkaitan etis serta kemungkinan-kemungkinan lebih subtil tentang pengalaman psikologis terhadap proses representasi. Keterkaitan etis inilah, yang bagi Rouch sendiri, kamera sengaja dihadirkan kepada subjek gambar, baik sebagai satu entitas tertentu dari sebuah dunia maupun jendela untuk melihat dunia. Melalui penghapusan batas terhadap keperihalan dokumenter maupun fiksi, Rouch secara bebas mengembangkan kepengarangan dalam etno-fiksinya guna memperoleh kegairahan diskursif dalam gambar-gambar sinematisnya.

Petit à Petit merupakan salah satu dari karya-karya penting Rouch, terutama mengenai pengalaman para native Afrika dalam menghadapi dan menanggapi modernitas. Rouch melakukannya dengan cara antropologi egaliter, di mana konstruksi gambar tersusun berdasarkan pengalaman para native atau pemain-pemain itu sendiri. Konstruksi-konstruksi sinematis oleh Rouch menjadi upaya untuk mencapai diskursus visual tentang etno-antropologis sebagai bentuk ungkapan naratif filmis dari pengalaman kolonialisme di masa lalu. Etno-fiksi Rouch memaparkan cara pandang berbeda dari etnografi melalui kodrat sinema dan kemungkinan-kemungkinan kamera untuk secara diskursif menangkap kehidupan tentang masyarakat-masyarakat dunia ketiga (Afrika).

‘Kepengarangan’ dalam sinema dokumenter Rouch, yakni bagaimana menciptakan kebenaran filmis dalam pencapaian yang sedemikian tinggi sehingga penggunaan fiksi justru bukan halangan guna menyibak realitas yang ingin ia tangkap. Alexandre Astruc telah menyebutnya dengan camera stylo, suatu pembayangan tentang kamera sebagai pena, yang mengandaikan seorang pembuat film layaknya penulis yang dengan bebas menyingkapkan apa yang hendak ia tulis. Demikianpun Jean Rouch, dengan semangat kepengarangannya ia berupaya melepaskan diri dari segala hambatan definitif terhadap pemahaman akan aktualitas dan bahkan realitas demi mencapai diskursus mengenai kaum Afrika. Merujuk Rouch, “sinema adalah seni kegandaan, yang siap ditransformasi dari dunia nyata ke dunia imajinasi, dan etnografi sebagai ilmu tentang sistem pengetahuan akan yang liyan, adalah sebuah silang nilai permanen dari keuniversalan yang konseptual ke yang liyan…”

Akan tetapi, Rouch tidak serta-merta sekadar menampilkan upaya etis yang masih menyisakan kodrat representasi tentang Eropa maupun Afrika dalam tegangan antara kodrat kenativean versus strategi Barat dalam memandang ‘yang liyan’. Setidaknya sebagaimana sejarawan film asal Prancis sendiri, Georges Sadoul, menyebutkan masalah tegangan itu sebagai ‘penggambaran dua ratus juta orang Afrika yang dikucilkan dari bentuk paling maju akan seni paling modern…, representasi tentang Afrika dalam sinema malahan menjadi suvenir murahan tentang masa lalu’. []

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search