Dalam tempo sekitar sepuluh tahun, dijamin filem berwarna akan rusak gambarnya kalau tidak disimpan secara memadai. Copy terakhir filem Asrul Sani “Apa yang Kau Cari Palupi?”, pemenang Festival Film Asia 1970, kini warna gambarnya sudah kemerah- merahan. Ternyata unsur-unsur kimia yang melapisi seluloid itu tidak ambil pusing, bahwa filem ini amat penting bagi Indonesia dan bahwa itulah copy satu-satunya yang masih tinggal, karena negatif filemnya sudah musnah. Begitu didorong oleh kadar temperartur dan kelembaban yang tinggi, unsur-unsur kimia itu bereaksi mengusir lapisan warna kuning dan biru. Proses berikutnya adalah menghilangnya lapisan warna merah, maka lenyap pula satu warisan budaya kita. Seluloid hanya tinggal kosong-blong.
Filem-filem hitam-putih memang lebih tahan dari filem berwarna. Produksi PERFINI, yang sudah berusia 20-an tahun dan tersimpan di gudang biasa, sebagian besar masih utuh ketika dipindahkan ke penyimpanan Sinematek. Sayangnya, justru filem “Krisis”, karya Usmar Ismail yang sangat terkenal itu yang telah hancur sama sekali. Negatifnya juga lengket, karena terkena air dan didiamkan. Copy lainnya hanya tinggal potongan-potongan saja dan sedang digerogoti jamur, tumbuhan dari filem.
Tingkat kelembaban udara di Jakarta ini sangat tinggi, bisa mencapai 90% RH. Sejumlah filem dokumenter milik salah satu Departemen [Departemen Penerangan], yang usianya belum begitu lama, tahu-tahu diketahui seperti habis tercebur di saus tomat. Warna gambarnya telah serba merah, rusak. Padahal selama ini tersimpan dengan “baik”, di ruangan kantor ber-AC. Tingkat kedinginan AC kantor tidak cukup mampu menahan kecepatan berlangsungnya reaksi kimia yang didorong oleh tingkat kelembaban yang begitu hebatnya. Apalagi pada filem yang sering dipakai [diputar], banyak tertinggal sidik jari, kotoran proyektor, atau berbagai macam debu, yang memperamai pesta-pora proses kerusakan.
Pekerjaan mahal dan tidak menarik
Sampai kini belum ada kesepakatan yang bulat mengenai berapa kadar kelembaban dan temperatur yang ideal bagi gudang arsip filem (film vault). Pihak Kodak pernah merekomendasikan temperatur 00 C dan kelembaban 60% RH untuk bisa melestarikan filem berwarna sampai 100 tahun. Tapi beberapa ekspert dari lingkungan FIAF (Federasi Internasional Arsip Film), beranggapan bahwa temperatur cukup 50 C. Karena lebih dingin dari itu bisa mengganggu keutuhan bentuk (form) dari seluloidnya sendiri. Kadar kelembaban sama seperti yang diusulkan KODAK, antara 60-70% RH. Kalau lebih lembab dari itu bisa melahirkan jamur, dan kalau terlalu kering filemnya akan keriting atau mengelinting.
Nah, bayangkan betapa sulit dan mahalnya untuk membangun gudang dengan kondisi demikian itu di Indonesia. Dinding-dinding gudang ini harus dibikin kedap terhadap temperatur yang begitu tinggi di luar, dan udara dingin di dalam jangan sampai terserap keluar. Sebaiknya dinding dibikin dua lapis, di tengah diisi dengan glass-wool, permukaan bagian dalam dilapisi porselen atau setidaknya cat email. Pada tahun 1977, Pemerintah DKI Jakarta pernah berkeinginan membantu Sinematek Indonesia meningkatkan kemampuan tampung dan kondisi gudang filemnya, menjadi sekitar 15 x 10 m dengan temperatur 50 C dan kelembaban 60% RH. Setelah para insinyur DKI sibuk mengukur dan menghitung, semua jadi mendelik . Biayanya sekitar Rp100 juta! Padahal biaya untuk membangun seluruh komplek Pusat Perfilman H Usmar Ismail, belum lama berselang, cuma Rp 700 juta. Bagaimana pula biaya perawatan dan ongkos listrik selanjutnya? Kondisi temperatur dan kelembaban harus tetap seperti demikian itu secara terus menerus, mesin AC harus terus hidup siang malam. Maka rencana upgrading ini selesai hanya sampai tahap semua membelalak itu saja.
Bukan hanya soal uang, yang merupakan dilema bagi kita… tapi juga mendapatkan tenaga pelaksananya, terutama untuk menangani perawatan filem. Orang tersebut harus menguasai teknik editing filem, mengetahui karakteristik material filem, menyenangi pengarsipan, memiliki pengetahuan tentang prinsip laboratorium filem, memiliki ketekunan yang tinggi dan… Tunggu dulu! Tidak usah memiliki begitu banyak syarat, asal orang itu memiliki kemampuan menyunting filem saja. Namun ia pasti akan lebih memilih pekerjaan jadi editor di industri filem. Prospek penghasilannya lebih besar. Apa yang bisa diharapkan dari menangani arsip filem? Bahkan tugas ini tidak memberikan pintu kepada jenjang karir apa-apa.
Dilema demikian itu kini indekos di Sinematek. Lembaga ini hanya menang bendera: “Arsip Filem pertama di Asia Tenggara, telah di terima tergabung dalam FIAF, mempuyai hubungan internasional yang luas, dan sebagainya.” Tapi pertumbuhannya selama 11 tahun ini hanya menjadikannya “bonsai” sinematek. Bukan embrio, bentuknya sudah mirip betul sinematek, cuma kelewat kerdil. Hanya bagus sebagai tanaman hias. Kenapa? Karena ia hanya merupakan secuil dari usaha pengarsipan filem di negeri ini. Siapapun akan merasa terlalu berat menolong mengembangkannya, untuk ukuran keuangan negeri kita. Siapa yang akan tertarik meniti karir di situ? Di bidang pengarsipan pula. Tidak menyerah! Sinematek sedia mendidik tenaga baru sama sekali dari awal. Tapi sudah bisa diramalkan, bahwa kalau tenaga itu sudah mulai terampil ia akan kabur. Tenaga yang sempat dikirim untuk studi orientasi ke Jerman dan Australia, atas bantuan FIAF, sudah keluar tiga tahun yang lalu. Pindah kemana? Jadi juru foto di salah satu majalah, lebih memberikan prospek.
Pusat budaya filem
Di tiap negeri selalu hanya ada satu saja arsip filem induk. Di situ terhimpun semua arsip pokok yang menyangkut filem. Pengkhususan begini memang tidak bisa dihindarkan oleh negeri yang sudah memandang arsip sebagai hal yang sungguh-sungguh penting. Karena arsip khusus akan sempat menaruh perhatian terhadap yang berkecil-kecil di bidang garapannya. Seperti potongan-potongan filem yang semula mungkin tidak akan berarti sebagai arsip umum, atau bahkan selebaran bioskop yang sama sekali tidak bermutu sebagai barang cetakan. Memang, “Imperial War Museum” Inggris punya juga bagian arsip filem, yakni khusus menyimpan dokumentasi filem perang saja. Dokumentasi mengenai filem dan perfileman yang umum terhimpun di British Film Archive. Museum Tropen di Den Haag menyerahkan koleksi filemnya untuk diarsipkan dan dikelola oleh Nederlands Filmmuseum, Amsterdam [sekarang EYE Filmmuseum]. Maka di situ kita bisa menyaksikan rekaman filem dari “dolanan” anak Sunda tahun 1920-an, atau ingin nonton filem cerita “Pareh” (1935) yang dibintangi oleh RD Mochtar untuk pertama kalinya main filem, atau menyaksikan karya sutradara Belanda yang baik.
Maka itu, alangkah baiknya kalau dari sekarang ini aneka ragam filem yang diproduksi oleh berbagai Departemen/lnstansi bisa dihimpun pengarsipannya di Sinematek Indonesia. Paling tidak negatifnya. Mungkin filem penyuluhan Keluarga Berencana atau cara membiakkan katak beberapa tahun kemudian dianggap kadaluwarsa dan dinilai lebih tepat dibuang saja, tapi setelah berada dalam arsip Sinematek sekian puluh tahun memiliki nilai yang tinggi sebagai bahan studi. Bahkan kumpulan kertas selebaran program bioskop ternyata bisa dijadikan salah satu acuan studi tentang perkembangan selera penonton.
Dengan adanya pemusatan arsip akan sangat memudahkan bagi para peneliti. Maka itu pula kemudian sinematek bisa menjadi pusat pertemuan berbagai pihak dan kepentingan. Karena ternyata filem bisa menjadi sumber penelitian bagi berbagai disiplin ilmu. Dan persentuhan yang terjadi dengan orang filem di situ memperkaya cakrawala percaturan budaya filem kita. Dalam skala kecil, gambaran harapan itu sudah bisa dilihat di Sinematek kita sekarang ini.
Apa lagi keuntungannya?
Dengan besarnya variasi koleksi akan memperluas kemungkinan pertukaran filem dengan arsip lain dalam variasi yang aneka ragam pula.
Suatu daftar yang panjang bisa dibuat mengenai manfaat yang bisa ditarik dari menghimpun arsip dari berbagai pihak di Sinematek. Antaranya yang penting bahwa dengan demikian beban bagi pengembangan Sinematek juga bisa dijadikan masalah bersama dan menjadi lebih fisibel untuk dipecahkan. Karena dengan cara melihat usaha arsip filem tersebut dari sudut kegunaan yang begitu besar, serta menyangkut kepentingan bagi pihak yang luas, maka dana besar yang dituntut untuk menghidupkan sebuah sinematek sebagaimana layaknya, tidak perlu lagi menjadi dilema untuk dipikul oleh Indonesia.
Kita tidak perlu gila memimpikan bisa punya sinematek raksasa, seperti Cinémathèque Française atau memiliki teknologi serba canggih seperti Canadian Film Archive. Cukup asal bisa menampung keperluan yang ada dan dikembangkan secara bertahap. Tapi harus memiliki kemampuan kerja yang memenuhi syarat profesional. Meskipun dalam derajat yang paling rendah; serta kemampuan hidup yang pantas, setara dengan bidang lainnya. Agar masuk diakal mengharapkan adanya orang normal yang bersedia memilih arsip filem sebagai karir hidupnya dan diandalkan akan menjadi ekspert sesungguhnya.
Sinematek serupa itu sejuta kali lebih baik dari sejuta pengasipan yang berserakan tanpa dapat dipertanggungjawabkan. Ditinjau dari sudut apapun. Kalau pemecahan yang kita harapkan ini memang bisa dilaksanakan, mungkin pula akan merupakan pemecahan pula bagi para negara ASEAN. Karena sampai kini semuanya praktis belum ada yang punya arsip filem. Padahal rata-rata sudah mulai menyadari pentingnya melestarikan filem yang mereka hasilkan. Setidaknya merasa semakin terdesak oleh himbauan UNESCO, agar di tiap negara anggota didirikan arsip filem, termasuk Indonesia. Maka itu, seandainya Sinematek kita bisa tampil sebagai sinematek yang sebetulnya, akan cukup memberi alasan kepada mereka untuk mengganti sikap terdahulu dengan kesediaan menjadikan Sinematek Indonesia sebagai Arsip Filem Regional ASEAN. ‘Kan bisa bertambah lagi jasa kita buat sesama tetangga.
Sinematek Indonesia. Jakarta, tengah Juli 1986.
Love this article…
tapi akan lebih baik jika Indonesia dipenuhi film bermutu….
sehingga sinematek tidak dipenuhi karya2 sampah yang sekarang banyak beredar……
miris melihat perkembangan film Indonesia yang menurun drastis seiring waktu bergulir….
Maju terus perfilman Indonesia… 🙂
tulisan yang bagus..sayang dibagian bawah ada paragraf yang mengulang..jika itu dihilangkan tentu akan lebih baik.
Terimakasih koreksinya. Bagian paragraf tersebut sudah diperbaiki–Red