Apa yang kita ketahui tentang kekerasan dalam kenyataan sehari-hari? Darah! Itulah bahasa yang paling gampang untuk memperlihatkan kekerasan dan kesadisan sebuah peristiwa. Ditambah dengan benda-benda yang berbau “darah” seperti pisau, obeng, palu, dan silet. Lalu bagaimana sebaiknya kita membungkus kekerasan itu dalam bahasa sinema yang baik –yang lebih subtil ketimbang kenyataan visual yang sudah hadir dalam gambar-gambar media massa? Koran, televisi, filem-filem laga dan juga cetakan-cetakan kampanye anti kekerasan pun sudah menghadirkan kekerasan visual kepada khalayak.
Beberapa tahun silam saya tiba-tiba saya tertegun di depan layar televisi, saat sebuah tayangan filem yang menggambarkan sebuah peristiwa yang sangat menegangkan terjadi antara tiga tokoh yang bermain dalam tabung kaca tersebut. Karena menonton tidak dari awal, saya tidak mengetahui judul filem tersebut. Di akhir cerita, saya coba menunggu judul filem kalau-kalau ada di credit title-nya. Sayang, tidak tercantum, karena dipotong oleh stasiun televisi untuk mempersingkat waktu. Jadilah filem itu berakhir dengan iklan.
Yang menarik dari pengalaman ini adalah filem berdurasi satu setengah jam lebih itu adalah filem yang tidak biasa untuk ukuran filem-filem yang diputar di layar televisi swasta kita. Cerita dibuka dengan adegan seorang istri kedatangan tamu yang kebetulan mengantar suaminya pulang di tengah hujan lebat. Sang suami, Gerardo Escobar, memperkenalkan sang tamu dr. Miranda, seorang dokter bedah terkenal sebuah negara tanpa nama yang baru saja mengalami perubahan situasi politik setelah era kediktatoran fasis di Amerika Latin. Paulina Salas—tokoh istri, menyambutnya dengan hangat dan menyiapkan minuman. Mereka mulai bercerita tentang badai dan hujan yang melanda, sehingga akhirnya Gerardo Escobar memutuskan mengajak dr. Miranda untuk mampir ke rumahnya sembari menunggu hujan badai reda.
Paulina Salas adalah seorang mantan tahanan politik yang dipersunting oleh Gerardo Escobar—pengacara terkenal. Selama percakapan antara tiga tokoh ini, Paulina berusaha meyakinkan dirinya bahwa suara dr. Miranda bukan suara yang ia kenal saat mengalami penyiksaan dan perkosaan dalam tahanan pemerintah fasis. Untuk meyakinkan dirinya, ia memutar piringan hitam musik Schubert yang selama ini selalu ia dengarkan sebagai terapi terhadap peristiwa gelap yang ia alami. Dari reaksi sang dokter, Paulina akhirnya yakin bahwa dr. Miranda adalah orang yang selama ini menyiksa dan memperkosanya dalam keadaan mata tertutup selama dalam tahanan sembari diiringi oleh sayatan biola gubahan Schubert.
Paulina memutuskan untuk membuka tabir itu dengan menahan dr. Miranda. Sang suami yakin bahwa dokter ini tidak bersalah karena berasal dari kalangan terhormat. Layaknya pengacara yang membela seorang terdakwa di pengadilan, Gerardo membela sang dokter melawan istrinya. Namun, ternyata cara inilah yang dapat dilakukan Gerardo untuk menghapus trauma masa lalu istrinya.
Begitulah, filem ini penuh dengan penyiksaan “non-fisik” sepanjang berlangsung. Tentu, ada pergumulan fisik antara Paulina dan Miranda, namun sebatas usaha sang dokter untuk lepas dari sekapan Paulina saat sang dokter merebut pistol dari tangan Paulina. Filem diakhiri dengan pengakuan Miranda di hadapan Paulina dan Gerardo di sebuah tebing yang menghadap ke laut. Gerardo ingin mendorong Miranda ke tebing itu untuk menghapus masa lalu Paulina. Namun, ia tidak melakukannya karena Paulina menerima pengakuan sang dokter. Suami-istri ini akhirnya meninggalkan sang dokter dalam gumulan dosa masa lalu yang menyelimuti hidupnya di tepi tebing curam itu.
Setelah beberapa bulan, saya baru mengetahui judul filem yang saya tonton itu saat seorang kawan bercerita tentang naskah teater yang sedang ia terjemahkan untuk sebuah pertunjukan teater. Death and The Maiden, itulah judul filem yang disutradarai oleh Roman Polanski. Tiga tokoh yang bermain dalam dialog-dialog penuh intrik filem ini adalah Sigourney Weaver sebagai Paulina Salas, Ben Kingsley sebagai dr. Miranda, dan Stuart Wilson berperan sebagai Gerardo Escobar. Filem yang diproduksi pada tahun 1994 ini diangkat dari naskah teater penulis terkenal Chile, Ariel Dorfman.
Saat ini, saya baru saja menonton sebuah filem dengan tipikal cerita yang agak sama; yaitu penyekapan seseorang, pengakuan dosa, pemerkosaan, trauma dan penyiksaan. Saya langsung teringat pada Death and The Maiden-nya Polanski itu. Filem yang baru saya tonton ini saya beli di sebuah gelaran festival filem pendek. Karena rasa ingin tahu, akhirnya saya putuskan untuk mengeluarkan uang Rp. 50.000 membeli keping DVD filem seorang sutradara muda.
Kado Hari Jadi (The Anniversary Gift), begitulah judul filem berdurasi tujuh puluh menit ini. Disutradarai oleh Paul Agusta, produksi HouseofWaves Productions tahun 2008. Filem ini diproduksi secara independen oleh orang-orang muda kreatif dengan menggunakan kamera video sederhana. Ini terlihat jelas dari hasil gambar yang terekam sepanjang filem. Kemampuan teknis (kamera) dari filem ini masih sangat lemah. Tata suara masih jauh dari standar yang layak untuk sebuah filem. Tapi bukan itulah yang menjadi pokok persoalan bagi saya setelah menonton filem ini. Kendala teknis bukan berarti mengurangi kemampuan seseorang berbicara dalam bahasa sinema. Tapi yang ingin saya garisbawahi adalah bagaimana sutradara membungkus “kekerasan” dan penyutradaraan di dalam filemnya.
Filem dibuka dengan seorang lelaki tidur di atas kasur bendera Amerika Serikat. Kemudian seseorang mengetuk pintu dan membius tokoh yang tadinya tidur seketika saat dia membuka pintu. Kemudian hadir seorang tokoh duduk terikat di pojok ruangan. Di dekatnya ada lampu neon menyala terang di pojoknya. Di dekat si Pesakitan tergantung silet dan mata pensil yang tajam mengarah kepadanya. Sesekali, lelaki ini mengumpat. Kemudian adegan demi adegan berlanjut dengan kilat mundur peristiwa yang menggiring laki-laki ini ke kursi penyiksaannya. Kisah tragis si lelaki berawal dari peristiwa tabrak lari. Korbannya adalah dua orang laki-laki yaitu Adam dan Luki—dua sahabat yang sedang mengendarai sepeda motor dalam perjalanan membeli minuman. Sebelumnya digambarkan Adam dan Tika (istrinya) baru saja merayakan satu tahun pernikahan mereka bersama sahabat-sahabatnya. Salah seorang sahabat pasangan ini adalah Luki. Sementara itu di sebuah toko buku, Yoga—si Pengendara mobil—baru saja menerima telepon dari pacarnya dan minta untuk diambilkan sesuatu di kamarnya. Filem kemudian menggambarkan mobil sedang di jalanan dan cahaya motor lewat. Seketika terjadilah tabrakan. Luki meninggal. Adam cacat permanen. Di rumah sakit, Tika mendapatkan informasi dari Adam tentang nomor mobil yang menabraknya dengan cara menuliskan di secarik kertas. Filem kemudian menggambarkan pacar Luki menemukan mobil yang sesuai dengan nomor yang dituliskan Adam. Di sinilah penonton mulai diajak untuk mengerti kenapa sosok tubuh terikat itu ada di ruang kosong itu. Tika dan sahabatnya menculik Yoga. Puncak penyekapan adalah penyiksaan yang tiada henti kepada Yoga. Dari pukulan, makian, bor dari balik dinding, luka disiram dengan air jeruk, seks oral yang dilakukan Tika kepada Yoga dan kemudian meludahkan sperma itu ke muka si Pesakitan. Filem ditutup dengan pacar Yoga yang akhirnya menemukan ruangan penuh darah. Kemudian, dalam suasana gelap, tubuh Yoga terbaring di semak-semak dengan silet menggantung di lehernya. Dan, terdengar erangan kematian tubuh yang disiksa terus menerus itu.
Lalu, apa yang dapat kita ceritakan kembali tentang filem ini? Kekerasan! Kado Hari Jadi dibuat dengan pretensi balas dendam sangat jelas yaitu dengan kekerasan fisik. Inilah persoalannya. Setelah menonton filem ini, ingatan saya langsung kepada Death and The Maiden. Kenapa sutradara tidak bisa mencari bahasa yang “lain” daripada darah dan luka-luka di tubuh itu? Saya bukan ingin membandingkan Paul Agusta dengan Polanski. Tentu masih sangat jauh. Paul masih bergelut dengan kekerasa-kekerasan fisik yang jamak hadir dalam filem “sakit” di sinema Indonesia. Hal ini memang menjadi sangat “cool” bagi para pekerja filem muda, yaitu membuat filem dengan gaya “sakit” agar bisa dilihat beda dengan yang lain. Padahal kemampuan untuk menjadi beda dalam bahasa sinema tidaklah segampang menghadirkan darah dan sesuatu yang tajam (silet, pisau dan lain-lain) dalam setiap adegan kekerasan. Dalam filem ini Paul tampak masih sangat ceroboh menggunakan benda-benda yang “berbau” kekerasan. Silet hanya hadir sebagai silet. Darah hanya menjelaskan luka. Dan puncaknya adalah adegan seks oral yang saya rasa tidak perlu. Sebuah filem seharusnya berbicara dendam tidak dengan cara artifisial seperti itu. Mungkin Paul dan kawan-kawan perlu juga melihat filem Liebe ist kälter als der Tod (Love Is Colder Than Death, 1969) karya Rainer Werner Fassbinder—di mana adegan penyiksaan tokoh Bruno dibuat sesederhana mungkin, tanpa kekerasan visual melainkan sangat puitis. Penonton diberi ruang untuk berimajinasi dan melakukan interpretasi sendiri terhadap peristwa penyiksaan yang dilakukan bos gangster dalam filem tersebut.
Kelemahan dalam filem ini juga tergambar pada para aktornya. Tokoh Adam (Jeffrey Sirie) dimainkan persis seperti akting pemain-pemain sinetron. Tentu ada beberapa pemain yang bermain dengan cara sangat natural, seperti tokoh Tika (Kartika Jahja). Sedangkan tokoh Yoga (Rifnu Wikana) bermain cukup baik, meski saat adegan penyiksaan, teriakan dan makiannya terasa berlebihan. Teknik penceritaan yang membalikkan waktu dan peristiwa perlu kita apresiasi. Paul mencoba menghadirkan cerita dengan keterkejutan-keterjutan kepada penonton tentang rangkaian peristiwa yang membawa Yoga ke ruang “eksekusinya”. Namun, menurut saya teknik ini menjadi hambar karena kelemahan penyutradaraan Kado Hari Jadi. Pada adegan kecelakaan, saat dua tubuh terkapar di aspal, kamera berjalan ke kanan. Saya tidak bisa mengerti fungsi gambar itu bila kita rangkaikan dengan adegan selanjutnya, yaitu saat Yoga di dalam mobil terdiam dan memutuskan kabur karena tidak ada saksi. Padahal pada saat gambar tubuh-tubuh yang saya sebutkan tadi, ada seorang yang berdiri jauh melihat ke mayat itu. Ini menurut saya kecerobohan dalam syuting. Keinginan sutradara untuk menampilkan suasana tidak ada saksi, berlawanan dengan hadirnya tokoh di kejauhan, yang tentu tidak sengaja.
Pada bagian-bagian lain filem Kado Hari Jadi yang perlu saya catat di sini, karena tidak punya relevansinya dengan filem. Adegan Yoga tidur di atas sprei bendera Amerika Serikat. Apakah ini penting dilihat sebagai pretensi politis dalam filem ini. Ternyata tidak. Ia hanya hadir sebagai warna warni yang tidak mempunyai fungsi. Tapi ada ambigu di sini. Saat bendera itu hadir, ia mau tidak mau menjadi sangat politis. Karena semua orang tahu tentang warna itu. Tapi sayang, Paul tidak mengeksplorasinya sama sekali dalam filemnya. Kemudian, saat adegan mimpi yang dibuka dengan gambar Al-Quran terbuka dan di atasnya ada bunga Kemboja. Apa fungsi “tanda” ini dalam filem Kado Hari Jadi? Apakah Paul ingin memperlihatkan kematian agama karena ada bunga kuburan di atas Al Quran? Mungkin saya menjadi begitu jauh menghubungkannya. Tapi hal ini disebabkan fungsi-fungsi simbolis yang dihadirkan tidak ada hubungan yang saling menjelaskan.
Dari bungkusan filem Kado Hari Jadi, saya bisa melihat sutradara dan penulis mencoba menghadirkan potret anak muda perkotaan (Jakarta) yang penuh kebebasan seperti tergambar pada gambaran hubungan Luki (Yoggie Richard) dengan pacarnya Elly (Leha Patricia) yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Umum (SMU). Pacar Luki dengan santai mengajaknya untuk mandi bersama saat di kamar. Kemudian saat datang di rumah Adam dan Tika, pacar Luki dengan ringan bercerita tentang mandi bareng. Kemudian saat percakapan Luki, pacarnya dan para sahabat, salah seorang teman memberikan sebotol minuman. Tentu ini biasa dalam kehidupan anak muda Jakarta. Tapi saat terbingkai dalam filem, adegan ini menjadi sangat klise dan murahan. Rasanya sangat janggal melihat perempuan menenggak bir langsung dari botol. Juga pada adegan percakapan Luki dan Adam. Adam bertanya kepada Luki tentang rencana ke depan dengan pacarnya. Luki menjawab dengan jawaban “masih lebih senang kawin dulu”. Bagi saya, ini adalah penggambaran yang terlalu mudah untuk melakukan perlawanan terhadap ukuran-ukuran norma standar dalam masyarakat. Karena toh peristiwa adegan di kamar antara Luki dan pacarnya sudah menggambarkan hal yang dimaksud. Jadi, tidak perlu penegasan lagi dalam dialog dengan Adam.
Melihat usaha sutradara dalam filem Kado Hari Jadi, kita perlu memberinya semangat untuk belajar lebih jauh tentang bagaimana mentransfer bahasa kekerasan dalam filem. Karena saya sangat percaya kepada kekuatan sastra dalam filem. Jadi, sebaiknya memang harus ada upaya untuk menjadikan bahasa audio visual ini menjadi bahasa sastrawi dengan cara; melihat, menonton dan membaca persoalan masyarakat dengan lebih jernih. Dalam pandangan saya, filem yang baik adalah filem yang berhasil memindahkan bahasa-bahasa yang biasa menjadi tidak biasa dengan bungkus sastra yang kuat. Di dalamnya bisa saja ada hubungan politis dengan cerita yang kita sampaikan. Seperti karya Polanski yang saya sebutkan di awal tulisan ini. Adegan per adegan merupakan pembongkaran terhadap kekejaman sebuah rezim yang tidak hanya berhenti pada aksi balas dendam. Tokoh Paulina Salas adalah representasi masyarakat yang tertindas. Dan dr. Miranda adalah potret bagian sebuah rezim yang keji yang terbungkus dengan status sosialnya. Ariel Dorfman, sang penulis asli cerita, secara implisit menjelaskan peristiwa yang terjadi di Chile yaitu kediktatoran Auguste Pinochet. Ia membungkusnya dengan menghadirkan karya besar Schubert, Death and The Maiden yang merupakan repertoar klasik yang menyayat dalam gesekan biola.
Terlepas dari berbagai persoalan yang sudah dibahas di atas, usaha kawan-kawan dalam merealisasikan Kado Hari Jadi adalah sebuah prestasi sendiri. Dengan durasi filem yang cukup panjang dan swadaya, orang-orang yang terlibat di dalamnya filem ini memberikan semangat bagi para pembuat filem muda lainnya untuk tidak terlalu bergantung pada industri filem besar kita. Saya percaya, dengan konsistensi yang kuat dari orang-orang yang terlibat, pasti akan memunculkan karya yang jauh lebih baik.