Menghadapi kondisi defisit sudut pandang perempuan dalam penulisan sejarah Indonesia, peneliti feminis Ruth Indiah Rahayu memberikan tawaran untuk “menulis sejarah sebagaimana perempuan.” Saat perjuangan dan konflik perempuan tertutupi oleh peristiwa nasional yang lebih besar, perempuan yang menulis sejarahnya sendiri melalui lensa personal dapat menjadi suatu strategi untuk berbagi sudut pandang dan mendekatkan jarak antara penulis dan pembaca. Maka, alih-alih berusaha untuk “mendobrak” ke dalam ruang-waktu yang selama ini dikuasai oleh laki-laki, ia mengajukan kepada perempuan untuk mengungkapkan keberadaan mereka dalam ruang-waktunya sendiri.((Ruth Indiah Rahayu. Menulis Sejarah Sebagaimana Perempuan: Pendekatan Filsafat Sejarah Perempuan. Jurnal Sejarah dan Budaya Vol. 10 No. 1 (2016). Universitas Negeri Malang.)) Sebagai medium bercerita yang mampu mentransfer pengalaman ruang dan waktu subjektif secara masif, filem dapat menjadi medium yang tepat sasaran untuk berbagi sudut pandang perempuan dalam sejarah.
Semenjak Orde Baru hingga hari ini, partisipasi perempuan dalam perfileman Indonesia kian meningkat. Perspektif yang ditawarkan semakin beragam. Baru-baru ini, perbincangan penting mengenai sudut pandang perempuan terjadi dalam diskusi panel “Kamera Puan Peduli, Membuat Film untuk Merawat dan Mengasihi” dalam rangkaian acara Etalase Pemikiran Perempuan. Panel ini mengundang Dwi Sujati Nugraheni (sutradara Between the Devil and the Deep Blue Sea), Anggun Pradesha (sutradara Emak Dari Jambi), dan Fanny Chotimah (sutradara You and I), dan dimoderatori oleh Umi Lestari (pengajar dan periset). Dari perbincangan tersebut, saya mendapatkan kesan bahwa ketiga filem dokumenter tersebut disusun secara organik, menjadi medium untuk berbagi, saling menolong, hingga berproses bersama. Luwesnya ragam mode pembuatan filem menghilangkan singularitas ego sutradara sebagai auteur, sebaliknya proses pembuatan filem menjadi kolaboratif, dan mempererat persahabatan antara sutradara dan subjek-subjeknya. Pun, kisah-kisah perempuan diambil dari sudut pandang yang personal dengan penuh sensitivitas.
Percakapan ini membuat saya kembali mengunjungi filem You and I (2020). Saat menontonnya bulan April lalu, saya tertarik dengan pengungkapan fragmen peristiwa 1965 melalui fokus interaksi keseharian Kaminah dan Kusdalini yang mayoritas berada di ruang domestik. Filem ini meletakkan fragmen-fragmen keseharian tersebut di posisi yang setara dengan testimoni sejarah yang politis, memproduksi pemahaman atas sejarah yang tidak hanya sebagai monolit kisah-kisah heroik, namun juga dibentuk oleh relasi-relasi antar manusia yang saling merawat. Tindakan mengintip ke dalam lensa kamera untuk menceritakan sebuah kisah pun adalah upaya untuk merawat relasi, merawat kehidupan, dan merawat ingatan. Bukankah dalam struktur sosiopolitik yang mudah menolak dan melupakan, merawat adalah suatu tindakan radikal?
Ingatan yang Menghantu
You and I mengisahkan persahabatan antara dua penyintas tragedi 1965 yang bertemu di tahanan, Kaminah dan Kusdalini. Karena berpartisipasi dalam paduan suara organisasi Pemuda Rakyat, mereka dipenjarakan pada usia belia, 17 dan 21 tahun. Seusai masa tahanan, Kaminah tidak lagi diterima oleh keluarganya, dan ia hidup bersama Kusdalini dan mbahnya yang memiliki usaha warung makan. Kaminah dan Kusdalini hidup bersama hingga hari-hari tua mereka. Filem dokumenter ini merekam kegiatan sehari-hari mereka di masa tua dengan pendekatan observatif, terutama bagaimana Kaminah merawat Kusdalini yang menderita demensia dan kondisinya semakin menurun di hari-hari akhir hidupnya. Debut dari sutradara Fanny Chotimah ini memenangkan penghargaan Asian Perspective Award di DMZ International Documentary Film Festival 2021; NEXT:WAVE Award di CPH:DOX 2021; dan Piala Citra untuk Film Dokumenter Panjang Terbaik di Festival Film Indonesia 2021. Filem ini tersedia untuk umum di platform Bioskop Online.
Filem dibuka dengan adegan di dalam rumah. Kusdalini sedang membuka suatu buku (nampaknya album foto), berusaha mengingat-ingat teman-teman mereka, sembari diingatkan oleh Kaminah yang juga menertawakan ingatan Kusdalini yang semakin tipis. Selanjutnya, kamera mengikuti gerak Kaminah di dalam rumah mereka, melakukan berbagai kegiatan mulai dari memasak, meminumkan obat Kusdalini, memotong kukunya, menjemur keset, dan lain-lain. Penonton diperkenalkan kepada ruang hidup Kaminah dan Kusdalini yang sederhana melalui gerak Kaminah dan interaksinya dengan objek-objek dalam ruang itu. Foto Kaminah dan Kusdalini dalam situasi yang berbeda-beda hadir di setiap sudut ruangan tersebut. Ada dua foto Bung Karno terpasang di tempat yang berbeda di rumah tersebut.
Sebagian besar filem berlangsung di dalam rumah Kaminah dan Kusdalini. Pengambilan gambar yang konsisten dan peristiwa yang cenderung berulang di setiap sudut rumah membiasakan penonton dengan ritme domestik mereka. Dari hal-hal terkecil seperti posisi duduk mereka yang selalu sama, hingga tembok bata tempat menjemur baju. Gestur dan percakapan mereka menampakkan keakraban sekian dekade: ada sayang, canda, khawatir, dan mungkin sedikit rasa lelah dan maklum dari Kaminah untuk Kusdalini saat menghadapi pengulangan-pengulangan dalam percakapan mereka.
Apa Jasmerah?
Jangan melupakan sejarah. Kok kamu pelupa?
Jangan melupakan? Tentu saja, aku tidak melupakan.
Tapi kamu baru saja lupa.
Demensia yang diderita Kusdalini membuatnya lupa akan banyak hal, dan mengacaukan persepsi waktu dalam hidupnya. Sepanjang filem, ia berulang kali menghitung kawan-kawannya yang masih hidup dan sudah meninggal, sementara Kaminah dengan sabar mengingatkannya. Pun pada suatu momen saat Kusdalini menanyakan arti Jasmerah hanya untuk melupakannya kembali selang beberapa menit kemudian. Seperti refrain dalam sebuah puisi, pengulangan ini membentuk pola dalam filem dan menegaskan sebuah tema: krisis ingatan. Kaminah dan Kusdalini sebagai penyintas yang menjaga bara api sejarah yang liyan justru malah dikeroposi oleh bara api itu sendiri, yakni sang waktu.
Bude Harjo juga sudah meninggal? Berarti aku bermimpi tentang dia…
Setiap hari bermimpi. Mimpi apa?
Aku sering bermimpi tentang orang-orang yang sudah meninggal.
Jangan mau diajak mereka. Bilang pada mereka kamu masih mau membungkus kerupuk, ya.
Realita dan ingatan membaur, mengabur, menciptakan fiksi yang merembes dalam bentuk mimpi. Memimpikan orang meninggal kerap kali dianggap sebagai pertanda yang penting, adanya upaya dari mereka di alam lain untuk berkomunikasi dengan orang-orang hidup. Lantas, mimpi menjadi ruang liminal yang menjembatani kedua realitas tersebut—kebenaran hal-hal di dalamnya tidak bisa dipastikan, namun bagi sebagian orang, keyakinan saja cukup. Meskipun penonton tahu bahwa ia mengidap demensia, dalam realitas filem ini, celotehan Kusdalini tentang orang-orang di masa lalu menimbulkan liminalitas tersebut—adanya perasaan nyata-tidak-nyata sepanjang filem.
Lain pula kesaksian Kaminah tentang masa lalu. Filem ini hanya memiliki dua selipan adegan talking heads, saat Kaminah bercerita mengenai perjumpaan mereka, dan saat ia memberikan pandangannya terhadap situasi politik masa kini dan masa lalu. Dalam dua kesempatan tersebut, Kusdalini menginterupsi perkataan Kaminah dengan pertanyaan linglungnya, yang pertama tentang kawan mereka di masa lalu, dan yang kedua saat ia mencari canting yang ternyata sudah rusak dan lama tidak dipakai. Kesaksian Kaminah pun tidak selesai karena ia harus merespon Kusdalini, dan dibiarkan demikian sebelum berpindah ke adegan lain. Perlakuan seperti ini mungkin takkan memuaskan penonton yang ingin mengetahui kronologi dan fakta-fakta objektif terkait gerakan kiri dan peristiwa 65 secara langsung. Seolah-olah Kusdalini terus menginterupsi sejarah dengan yang fiksi, membiarkan ingatan tak terawat hingga tumbuh menggerogoti masa kini. Dalam rumah ini, sejarah tidak terjabarkan dalam fakta, namun ia hidup, bernafas, dan menghantu.
Politik yang Tak Terlihat
Pada awalnya, kekurangan informasi ini membuat saya resah. Saya ingin mengetahui kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Kaminah dan Kusdalini di masa lalu, lebih dari testimoni Kaminah akan keyakinannya dengan ajaran-ajaran Bung Karno. Tapi, barangkali kita perlu bertanya kembali: apa tepatnya yang kita anggap sebagai “aktivitas politik”? Apakah sosok-sosok pembuat sejarah hanya mereka yang tercatat dalam narasi sejarah objektif—pahlawan perang, negosiator, proklamator, politikus, penulis, pemikir, seniman, dan tokoh-tokoh protagonis lainnya? Bagaimana gagasan “aktivitas politik” dan sejarah disesuaikan kembali dalam bingkai filem ini?
Salah satu kegiatan yang merujuk pada identitas politik mereka dalam filem ini adalah pertemuan rutin sekelompok orang lansia, di bawah naungan Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba) Solo.((Filem tidak menyebutkan nama paguyuban. Keterangan tersebut diambil dari Randy Wirayudha, Potret Penyintas 1965 dalam You and I. Dapat diakses di https://historia.id/kultur/articles/potret-pahit-penyintas-1965-dalam-you-and-i-DLg4b/page/6)) Di sana mereka mendiskusikan tentang rencana pemerintah membongkar kuburan massal yang izinnya masih terhambat di Kejaksaan Agung. Yang menarik adalah, kamera mengikuti perjalanan mereka dari rumah sampai ke rumah Daryono, tempat pertemuan berlangsung. Adegan bermula dari Kaminah dan Kusdalini terduduk di pinggir jalan menunggu angkot untuk sampai, dengan atasan kebaya berwarna biru terang yang seragam. Saat angkot tersebut sampai, kamera merekam usaha Kusdalini yang nampak susah payah menaiki angkot tersebut karena masalah pada persendian lututnya. Di sini, keberpihakan kamera sudah nampak jelas: bahwa ada perjuangan-perjuangan yang tidak nampak saat kita bicara tentang sejarah politik. Susah-payah yang dialami Kusdalini yang sepuh pun dijalani karena ia dan Kaminah masih peduli dengan kelanjutan kasus 1965. Pun keberpihakan bisa diselidiki merujuk pada mayoritas bidikan-bidikan di ruang domestik. Pengalaman sehari-hari dianggap punya bobot yang sama dengan pertemuan-pertemuan politik—yang kedua takkan bisa terjadi tanpa kegiatan memasak, mencuci baju, dan menggodok air yang selalu berulang setiap harinya.
Posisi Kaminah dan Kusdalini sebagai mantan anggota Pemuda Rakyat, organisasi di bawah naungan PKI, meletakkan mereka di kutub terjauh di luar struktur sejarah resmi: pertama, sebagai terdakwa simpatisan PKI, dan kedua sebagai perempuan. Kita sudah tahu bahwa rezim Orde Baru memiliki dendam mendalam terhadap keduanya. Dendam tersebut ditanamkan dalam segala elemen masyarakat, untuk menolak hal-hal yang tidak mereka pahami, mengusir mereka dari struktur. Begitu berhasilnya penanaman narasi tersebut, memecah-belah hubungan keluarga hingga tetangga, termasuk penolakan yang terjadi pada Kaminah oleh keluarganya. Begitu berhasilnya penanaman narasi tersebut, hingga sentimen negatif terhadap segala yang berkaitan dengan komunisme, sosialisme, dan gerakan perburuhan masih menyisa hingga kini.
Dalam struktur yang tidak memberikan ruang hidup, tindakan merawat dan mengasihi menjadi sesuatu yang amat radikal. Dalam filem ini, tindakan kasih mampu berlipat ganda dan menjadi landasan kehidupan yang sirkular. Keputusan Kusdalini dan mbahnya untuk mengundang Kaminah hidup bersama mereka adalah upaya-upaya untuk menyambung kehidupan yang tidak diakomodasi oleh bangunan keluarga dan negara yang konvensional. Kaminah pun setia merawat dan menemani Kusdalini hingga akhir hayatnya, bukan sebagai tindakan transaksional atas kebaikan yang dulu diterimanya dari Kusdalini, namun karena kasih yang telah tumbuh lebih besar daripada mereka berdua. Hal yang sama dapat diambil dari cerita Kaminah bahwa semasa mereka dipenjara, mereka mencucikan pakaian para tahanan yang lebih senior sebagai tanda menghormati. Filem ini pun menunjukkan adegan sekelompok pemuda yang membenahi atap dapur rumah mereka secara cuma-cuma, suatu bentuk hormat yang kini kembali kepada mereka.
Kasih mewujud dalam hantu yang mengendap di dalam rumah, dalam nama-nama kawan yang terus dihitung dan dirindukan oleh Kusdalini. Kesempatan untuk menjumpai kawan sebaya jadi jauh lebih langka dibandingkan mengunjungi keluarga mereka di pemakaman mereka. Hal ini dipahami pula oleh tukang becak yang menolak bayaran Kaminah saat mengantarkannya menjaga Kusdalini di rumah sakit; oleh kerabat yang mengunjunginya di sana dan berdoa bersama. Dalam momen-momen terakhir Kaminah bersama Kusdalini, kasih itu membuat saya patah hati. Sebagai penonton, sulit bagi saya untuk menonton beberapa adegan terakhir, terutama saat-saat Kaminah harus menghadapi Kusdalini yang menolak tidur dan makan, dan saat mereka berbaring bersama. Saya merasa seperti menginterupsi momen intim yang seharusnya hanya milik mereka berdua.
Penutup
Dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Saskia Wieringa mewawancarai anggota-anggota gerakan perempuan di masa lalu perihal kegiatan-kegiatan mereka. Salah satu kesaksian dari mantan anggota Gerwani yang tak tertulis namanya berbunyi:
Sebagai seorang kader di Semarang, saya harus turun ke massa. Kegiatan utama kami pada tingkat kerumahtanggaan. Misalnya, kami mengadakan arisan untuk tetangga sekitar, membantu distribusi beras, mengunjungi kelahiran dan kematian, membantu anak-anak cacat. Mengadakan penitipan anak-anak di kampung, dan masing-masing yang berkepentingan membantu semampunya, untuk perempuan di desa, misalnya dengan hasil panennya […] Bersama dengan anak-anak muda dari Pemuda Rakyat, misalnya, kami memperbaiki rumah tinggal seorang janda yang tak mampu. Kami juga berusaha menyelesaikan soal-soal perkawinan dengan mengajak berbicara semua pihak yang terkait. Jika terjadi pemukulan oleh suami terhadap istri, kami akan mendatangi dan bicara dengan suami itu. […]((Saskia Eleonora Wieringa. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya, 1999. Hal. 305.))
Saya terus mengingat potongan wawancara tersebut sebagai testimoni sejarah bahwa gerakan sosial-politik yang radikal berakar dari kepedulian untuk merawat lingkungan sosial. Di tingkat akar rumput, gerakan-gerakan ini membangun struktur yang menyambung kehidupan alih-alih menyeragamkan dan menindas apa pun yang tidak sesuai dengan pola yang sudah ada. Pengetahuan sejarah ini masih amat langka dalam sirkulasi informasi di ranah publik, dan saya hanya bisa berspekulasi tentang penyebab-penyebabnya: arsip-arsip yang dihilangkan dan tercecer entah ke mana; masih adanya trauma terhadap hal-hal berbau komunisme; pengetahuan tentang gerakan ‘kiri’ yang masih terisap pada kekejaman pembantaian massal yang belum tuntas hingga kini; hingga masih meluasnya pola pikir yang membedakan antara gelanggang politik (laki-laki) dan urusan sosial (perempuan).
Bibit-bibit aktivisme untuk menyambung hidup terus hadir hingga kini. Ada berbagai protes untuk memperjuangkan hak hidup masyarakat dan lingkungan, dan berbagai inisiatif untuk membantu pangan dan penghidupan sesama warga, baik yang terorganisir maupun yang dilakukan secara alami dalam kehidupan bertetangga. Banyak pula gerakan-gerakan tersebut yang terdokumentasi dalam sinema. Namun, sejarah aktivitas gerakan sosial di tingkat akar-rumput masih penting untuk digali dan dihadirkan sebagai narasi yang radikal, dan bisa pula menjadi amunisi dan referensi untuk melakukan lebih banyak kegiatan secara masif dan terorganisir
Filem You and I memang tidak banyak menyajikan informasi tentang latar sejarah aktivisme Kaminah dan Kusdalini—konsekuensi yang wajar dari pilihan artistik dan fokus cerita yang dipilih oleh pembuat filem. Namun, ia berhasil menggeser fokus peristiwa sejarah dari narasi-narasi besar menuju narasi-narasi keseharian yang bersifat domestik, di mana kehidupan ditopang oleh kasih dalam ruang liminal yang disinggahi oleh orang-orang masa kini dan hantu-hantu masa lalu. Secara pribadi, setelah menonton filem ini, saya merasa harus lebih banyak belajar. Saya pun berharap filem ini mendorong antusiasme untuk menggali dan mengungkapkan persoalan domestik dan gerakan akar rumput (terutama yang diinisiasi oleh perempuan) di masa lalu. Hal ini bisa menjadi upaya untuk menyambung warisan aktivisme yang terputus oleh rezim Orde Baru, dan jika diizinkan, untuk menebar optimisme akan masa depan.
Politics of Care in You and I
On the deficit of women’s perspective in Indonesia’s historiography, feminist researcher Ruth Indiah Rahayu offered a strategy to “write history as women do.” When women’s struggles and conflicts are obscured by larger national events, writing their own history through a personal lens can be women’s strategy to share their point of views and reduce the distance between the writer and the reader. Thus, instead of trying to “break” into the space-time that has been long dominated by men, she proposed for women to reveal their existence in their own space-time.((Ruth Indiah Rahayu. Menulis Sejarah Sebagaimana Perempuan: Pendekatan Filsafat Sejarah Perempuan. Jurnal Sejarah dan Budaya Vol. 10 No. 1 (2016). Universitas Negeri Malang.)) As a storytelling medium capable of transferring subjective time and space experiences into the mass, film can be effective to share women’s perspective of history.
Women’s participation in Indonesian films have increased, and the perspective offered are increasingly diverse. Recently, an important discussion about women’s perspective in films took place in a panel discussion titled “Kamera Puan Peduli, Membuat Film untuk Merawat dan Mengasihi” (Caring through a Women’s Lens, Filmmaking to Foster and Nurture—trans.). This panel invited Dwi Sujati Nugraheni (director of Between the Devil and the Deep Blue Sea), Anggun Pradesha (director of Emak Dari Jambi), and Fanny Chotimah (director of You and I) and moderated by Umi Lestari (lecturer and researcher). From the discussion, I had the impression that the three documentaries were constructed organically as a medium to share and help each other while growing together. The versatility of their modes of filmmaking eliminates the singular auteur ego; instead, the filmmaking process becomes more collaborative and strengthens the friendship between the director and her subjects. The stories of the women they tell are taken from a personal perspective, full of sensitivity.
This conversation encouraged me to revisit You and I (2020). When I first saw it on April, I was interested with the expression of the fragments of the 1965 communist purge through Kaminah and Kusdalini’s daily interaction which mostly took place in the domestic space. This film places these everyday fragments equally to the political historical testimony, producing an understanding of history beyond the monoliths of heroic stories, but also the one formed by relationships between people who care for each other. Thus, the act of peering into the camera lens to tell a story becomes an attempt to nurture relationships, lives, and memories. In a sociopolitical structure that easily rejects and forgets, isn’t care a radical act?
Haunting Memories
You and I tells a story of a friendship between two survivors of the 1965 tragedy who met in jail, Kaminah and Kusdalini. They were imprisoned at the young age of 17 and 21 for participating in the choir of the Pemuda Rakyat (Youth People—trans.) organization. After her imprisonment, Kaminah was no longer accepted by her family, and she lived with Kusdalini and her grandmother who owned a food stall. Kaminah and Kusdalini lived together until the end of their days. This documentary film records their daily activities in their old age through an observational approach, especially reading close to how Kaminah cared for Kusdalini who suffers from dementia, her condition deteriorating in the last days of her life. As Fanny Chotimah’s directorial debute, this film won the Asian Perspective Award in DMZ International Documentary Film Festival 2021; NEXT:WAVE Award in CPH:DOX 2021; and Citra Award for Best Feature Documentary Festival Film Indonesia 2021. This film is publicly available in Bioskop Online.
The film opens with a scene in their living room. Kusdalini opens a book (what seems like a photo album), trying to remember who their friends were, while Kaminah reminded her, lightly laughing at Kusdalini’s deteriorating memory. Next, the camera followed Kaminah’s movement inside their house while she does various activities, ranging from cooking, helping Kusdalini takes her medicine, cutting her nails, drying the doormat, and others. The audience is introduced to their humble living space through Kaminah’s movements and interactions with objects in that space. Photos of Kaminah and Kusdalini in different occasions were present in every corner of the room. There are two photos of President Sukarno, Indonesia’s first president, installed in different places in the house.
Most of the film takes place inside Kaminah and Kusdalini’s house. Consistent angles and repetitive events in every corner of their house familiarize the audience with their domestic rhythms. From the smallest things like their seating arrangements, to the brick wall where they hang their clothes. Their gestures and conversations implied decades of familiarity: there are affection, jokes, worrisome, and even a bit of weariness and sympathy from Kaminah to Kusdalini upon the repetitions in their conversations.
What is Jasmerah?((Jasmerah is a wordplay spoken by President Sukarno in one of his speeches. Jas merah can be translated to ‘red suit’, but Jasmerah can also be a loose acronym to Jangan sekali-kali melupakan sejarah, or ‘Don’t ever forget history’. The phrase has since become a well-known proverb. ))
Jangan melupakan sejarah. Why are you so forgetful?
Don’t forget? Of course, I won’t.
But you just did.
Kusdalini’s dementia has made her forget many things and confused her perception of time in her life. Throughout the film, she repeatedly counts her friends, living and dead, while Kaminah reminded her patiently. There was also a moment where Kusdalini asked the meaning of Jasmerah just to forget it a few minutes later. Like a refrain in a song, this repetition forms a pattern that emphasizes a theme in this film: crisis of memory. Kaminah and Kusdalini as the survivors who guarded the embers of the ‘other’ history were instead burnt by its fire; Time itself.
So, Aunt Harjo is dead? I was probably dreaming about her then…
You dream everyday. What was it?
I often dream about people who have died.
Don’t follow them if they asked you to. Tell them you still want to wrap crackers [with me], okay?
Reality and memory blend, blur, and create a ficton that oozes out in the form of dreams. Dreams of dead people are often considered an important sign, an attempt by those in the other realms to communicate with the living. Thus, a dream becomes a liminal space that bridges those two realities—the truth in it cannot be proven, but for some reason, faith is enough. Even though the audience know she suffers from dementia, in the reality of this film, Kusdalini’s chatters about people in the past invokes such liminality—a feeling of unreality throughout the film.
This differed with Kaminah’s testimony about the past. This film only has two inserts of talking heads scenes, where Kaminah tells a story about their encounter, and where she shares her view on the political situation of the past and the present. On these two occasions, Kusdalini interrupted Kaminah’s words with absent-minded questions; the first was about their friends from the past, and the second was when she was looking for a canting (batik painting tool) that turns out have been damaged and had not been used for a long time. Kaminah’s testimony was not finished because she had to respond to Kusdalini, it abruptly ended before moving on to another scene. This kind of treatment may not satisfy the audience who are curious about the chronology and objective facts related to the leftist movement and events of the 1965. It was as if Kusdalini relentlessly interrupted history with fiction, allowing unkempt memories grow and distort the present. In this house, history is not explained in facts; but it lives, breathes, and haunts.
Politics of the Unseen
At first, this lack of information made me feel uneasy. I wanted to know about Kaminah and Kusdalini’s activities in the past, beyond Kaminah’s testimony of her faith in Bung Karno’s teachings. But perhaps we need to ask ourselves: what exactly do we consider “political activity”? Are the people who make history only those who are recorded in the objective historical narrative—war heroes, negotiators, proclamators, politicians, writers, thinkers, artists, and other protagonist figures? How does this film reconstruct the idea of “political activity” and history in its frame?
One of the activities that refer to their political identity in this film is the regular meetings of groups of elderly people under the banner of Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba) Solo.((Paguyuban Korban Orde Baru can be translated to Association of New Order Victims. The film did not mention the name of the association, but this information was taken from Randy Wirayudha, Potret Penyintas 1965 dalam You and I. Dapat diakses di https://historia.id/kultur/articles/potret-pahit-penyintas-1965-dalam-you-and-i-DLg4b/page/6)) They were discussing the government’s plan to dismantle the mass grave which permit was still pending at the Attorney General’s Office. What’s interesting is that the camera followed their journey from their home to Daryono’s house, where the meeting took place. The scene began with Kaminah and Kusdalini sitting on the side of the road waiting for their ride to arrive, wearing matching bright blue kebaya tops. When their ride arrived, the camera captured Kusdalini’s effort, obviously struggling to get to the car due to her troubled knee. In this scene, the camera’s positioning was clear: there are unseen struggles when we talk about our political history. Kusdalini went through this struggle because Kaminah and her still cared about the development of the 1965 case. Even the camera’s partiality can be seen through the majority of shots in the domestic space. Everyday experience weighs the same as political meetings—the second would not have happened without the activities of cooking, laundering, and boiling water which were repeated every day.
Kaminah and Kusdalini’s position as former members of Pemuda Rakyat, an organization under the auspices of PKI, placed them at the farthest pole outside the structure of history—the first as accused PKI sympathizers, and second, as women. We already know that the New Order regime has a deep grudge against both of them. The grudge is instilled in all elements of society, so that the society reject the things they do not understand and drive them out of the structure. Once the narrative was successfully implanted, it divides family and neigbourly relationships, including Kaminah’s family rejection of her. After the successful planting of the narrative, negative sentiments towards everything related to communism, socialism, and the labor movements still linger to this day.
In a structure that does not provide a space to live, the act of caring and nurturing became something radical. In this film, acts of care were able to multiply and transform into the basis of their circular life. Kusdalini and his mother’s decision to invite Kaminah to live with them was an attempt to sustain a life that was not accomodated by the conventional construction of family and the state. Kaminah faithfully cared and accompanied Kusdalini until the end of her life, not as a transactional act for the kindness she had received from Kusdalini, but because of the care that had grown bigger than the two of them. The same can be drawn from Kaminah’s story of their prison days, where they washed the clothes of senior prisoners as a sign of respect. This film also shows a group of youth fixing the roof of their kitchen for free, a form of respect that is now returning to them.
Care manifests in the ghosts that settle in the house, in the names of friends that Kusdalini counted and missed everyday. For them, opportunities to meet their peers have become much rarer than visiting their peers’ families at their funeral. This was also understood by a becak driver who refused Kaminah’s fare when he gave her a ride to accompany Kusdalini at the hospital; by the relatives who visisted her and prayed together for her. In Kaminah and Kusdalini’s last moments, their mutual care broke my heart. As an audience, I found it difficult to watch a few last scenes, especially when Kaminah had to deal with Kusdalini who refused to sleep and eat, and in the moment where they laid down together. I felt like I was interrupting an intimate moment that should have belonged only to the two of them.
Conclusion
In The Politicization of Gender Relations in Indonesia, Saskia Wieringa interviewed the members of women’s movements in the past about their activities. One of the testimonies of an anonymous former Gerwani member reads:
As a cadre in Semarang, I had to go down to the masses. Our main activity was in the household sector. For example, we organized social gatherings for neighbors, helped distribute rice, visited births and deaths, and helped disabled children. [We] organized a daycare in the village, and each interested party may help as they can, for example, some women in the village may donate their crops […] Together with young people from Pemuda Rakyat, for example, we repaired the house of a poor widow. We also tried to resolve marital problems by talking to all the parties involved. If a husband beated his wife, we would come and talk to the husband. […] ((Saskia Eleonora Wieringa. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya, 1999. Hal. 305.))
I kept recalling the interview snippet as a historical testimony that radical socio-political movement stems from a concern to nurture the social envoronment. In the grassroot level, these movements build structures that sustain life instead of homogenizing and repressing anything that does not fit into the established standard. Knowledge of this historical subject is still very rare in the circulation of information in our public sphere, and I could only speculate about the causes: lost and scattered archives; deep-rooted trauma towards anything associated with communism; knowledge of the leftist movements which is still concentrated in the atrocities of the massacres left unpunished until now; to the widespread mindset that still distinguishes the political sphere (masculine) to the social affairs (feminine).
The seeds of activism to sustain lives still exist. There have been various protests to fight for the right to life of the community and the environment, and various initiatives to help others in the form of food and livelihoods, whether it is organized or happened naturally in a social environment. Many of these movements are documented in cinema. However, the history of social movement in the grassroot level is still important to be explored and presented as a radical narrative and can also serves as an ammunition and reference to carry out more massive and organized movements.
You and I does not provide much information about the history of Kaminah and Kusdalini’s activism—a natural consequence of the filmmaker’s chosen artistic approach and story focus. However, it succeeded to shift the focus of the historical events from the grand narrative to the everyday domestic narrative, where life is sustained with care in the liminal space, where the people of the present and ghosts of the past belong together. Personally, after watching this film, I felt that I have to learn more. I also hope that this film will encourage enthusiasm to explore and express domestic issues and grassroot movements (especially those initiated by women) in the past. This could be an attempt to reconnect the legacy of activism that was severed by the New Order regime, and if allowed, to sow optimism for the future.
Translation by Dini Adanurani