“Suatu hari kita hanya akan tinggal mengenang seluloid,” begitu tulisnya. Kalimat ini cukup lama mendiamkan saya pada sebuah kenyataan yang sedang bergerak, besar-besaran, cepat, dan serentak secara global. Perkembangan teknologi dengan cepat mengubah cara pandang kita terhadap realitas. Tak terkecuali sinema beserta perangkat-perangkatnya. Hanya 10 tahun sejak pertama kali saya mendengar kalimat itu, kini semua bioskop telah mengganti proyektor seluloid dengan digital. Juga para pembuat filem, mulai dari amatir, komersil, ataupun komunitas yang menggunakan kamera digital dari bentuknya yang paling canggih sebagai upaya mendekati ‘kesakralan’ seluloid hingga paling populer dan ringkes seperti telepon cerdas. Tak ketinggalan media penyimpanan atau pengarsipan yang bertransformasi pada tubuhnya yang kecil dan tak berbentuk zat asalinya, elektromagnetik dan kode-kode digital dalam pita dan hard disk drive (HDD), atau mengawang di angkasa yang bisa diakses kapan pun melalui sebuah jaringan yang menghubungkannya pada sebuah ruang yang dinamakan server. Lalu saya teringat dengan sebuah percakapan dalam filem Senandung Kita (Notre Musique, 2004) Jean-Luc Godard:
“Apakah kamera digital kecil akan menyelamatkan sinema?”
“Ya, mereka semua akan mati muda.”
1
Saya terpaku diam tak beranjak ketika seluloid itu mulai dipasang di meja Steenbeck oleh Firdaus. Hari ini adalah hari ketiga bagi kami melakukan perekaman terhadap filem Misbach Yusa Biran. Sebelumnya dilakukan pada tanggal 8 dan 13 Maret 2012 untuk merekam filem Di Balik Tjahaja Gemerlapan. Namun saat itu saya tidak ikut proses shooting.
Seumur hidup saya belum pernah melihat mesin editing Steenbeck bekerja memutar seluloid. Firdaus memasang gulungan pertama di meja itu. Dalam beberapa detik saja gulungan plat yang ditidurkan di sebelah kiri mulai berputar mendorong seluloid bergerak horisontal ke arah kanan dan perlahan mengisi plat di sebelah kanan yang berputar menarik seluloid dari kiri. Suara gesek seluloid dan roda-roda di meja editing meraung dan mendecit. Tak lama kemudian terdengarlah suara musik mono.
Filem yang akan direkam yaitu Operasi X. Filem yang juga membenamkan saya pada satu peristiwa besar di tahun 1965, Gerakan 30 September. Proyeksi berwarna agak kecoklatan. Namun ketajaman gambar tetap terjaga. Lambang bintang dilingkari oleh sebuah tulisan Pusroh [Pusat Rohani] Islam Angkatan Darat muncul. Disertai kalimat Dengan ridho dan rahmat Allah. Garis-garis scratch dan debu yang menjadi ciri khas proyeksi seluloid membelah dan ‘mengotori’ adegan proyektor 35 mm yang berputar dan menjadi gambar pembuka filem itu.
Ada satu cahaya lain yang juga menarik perhatian. Cahaya dari ruang kecil persis di bawah layar proyeksi, ruang optik. Dari situlah gambar pada seluloid diproyeksikan. Tidak seperti pada proyektor yang memutar gulungan seluloid secara vertikal, di meja Steenbeck, seluloid justru diputar secara horisontal. Gambar yang awalnya dalam posisi menyamping 900 terproyeksi dalam posisi 00. Dari ruang optik itulah saya melihat dengan samar sebuah adegan anggota militer yang sedang menonton dokumentasi penangkapan dan pembersihan Partai Komunis Indonesia. Ada tiga jenis gambar yang terpola dan berulang-ulang dimunculkan dalam adegan pembuka itu. Gambar proyektor seluloid, anggota militer yang sedang menonton film, dan footage dokumentasi penyergapan dan penangkapan. Pada adegan filem dalam filem ini dengan tegas menyatakan fungsi dan peran filem sebagai alat dokumentasi suatu peristiwa. Angkatan Darat yang membiayai filem ini sangat sadar bahwa filem bisa dijadikan sebagai ‘alat kebenaran’, menguji suatu analisa atas asumsi dan perkiraan, dan juga sebagai alat yang produktif untuk mendistribusikan tuduhan terhadap suatu golongan. Bahkan menghasilkan suatu hipotesa baru yang mampu membalikkan 1800 kebenaran yang ditunggalkan.
Menonton di ruang optik sejatinya seperti melihat langsung bagaimana tubuh seluloid itu membentuk citraan bergerak. Pergeseran seluloid yang cepat bingkai per bingkai telah membentuk bayangan dan ketika saya lihat dari LCD kamera digital akan terlihat bergaris atau interlaced yang disebabkan oleh transformasi jumlah bingkai dari 24 menjadi 25/50 untuk PAL dan 29.5/60 untuk NTSC. Proyeksi dari penambahan jumlah bingkai itulah yang kami tonton sekarang ini sebagai generasi yang lebih akrab dengan teknologi digital ketimbang analog atau seluloid. Entah apakah hal itu akan menjadi persoalan pengalaman menonton atau tidak, yang pasti telah terjadi reproduksi atau penambahan 1 bingkai atau lebih dalam tiap 1 detiknya.
Layar proyeksi meja Steenbeck itu berasio 16:9 atau melebar sehingga untuk filem yang tidak menggunakan kamera cinemascope seperti filem Operasi X telah menyisakan ruang hitam di kanan dan kirinya. Aspek rasio 4:3 yang direkam dengan kamera video 16:9 yang digunakan saat itu telah menyisakan ruang hitam pula di kedua sisinya. Persoalan ini menjadi lain jika filem yang diputar memiliki aspek rasio 16:9 sedang kamera video yang merekamnya hanya 4:3. Kalau si perekam memiliki kesadaran untuk menjaga ‘orisinalitas’ dari arsip maka ia akan membiarkan sisi hitam pada atas dan bawah layar. Namun saya kembali teringat dengan filem-filem Indonesia yang saya beli di tukang-tukang VCD dan DVD pinggir jalan, seperti filem Benyamin, Warkop, Suzanna, Rhoma Irama, Barry Prima, Eva Arnaz dan filem-filem periode 70-80an yang banyak didistribusikan dalam bentuk VCD dan DVD. Hampir semua filem-filem yang ditransfer dengan cara manual itu tampil tidak utuh dengan sudut kanan-kiri yang terpotong.
Senilai dengan saat kita menontonnya di kanal youtube. Pada saluran Koleksi Jaman Dulu [sekarang telah berganti ke Koleksi Jaman Dulu 2][1] yang telah berinisiatif meng-upload 333 filem Indonesia tahun 70-90an, kualitas yang ditayangkan hanya untuk ditonton pada layar kecil dengan besar file tidak lebih dari 2 gigabyte. Walau ia layak tonton, namun detail-detail gambar, terutama latar, banyak yang tak jelas bahkan buram.
Inilah generasi yang besar sesudah tahun 2000an yang hidup dalam dunia digital. Kami lebih dekat dengan teknologi itu ketimbang teknologi analog macam seluloid atau bahkan kamera video Umatic. Walau kami pernah mengalami masa-masa seluloid ketika kecil dulu, namun kami lebih akrab dengan hard disk drive yang berisi ratusan filem hasil download-an. Begitupun dengan soal penyimpanan dimana hard disk drive begitu rentan akan ‘keabadian’. Irwan Ahmett pernah berkata bahwa jangan percaya digital, klik kanan dan klik move to trash maka semuanya akan hilang.[2] Begitu mudahnya ia direproduksi, begitu mudahnya ia dihancurkan.
2
Setelah menghadiri kongres FIAF (International Federation of Film Archive) ke 34 tahun 1978 di Brighton, Inggris, Misbach Yusa Biran menulis sebuah laporan tentang fenomena terbaru dari dunia arsip:
Simposium mengenai pemindahan film ke videotape dan sebaliknya dari videotape ke film, khususnya ditinjau dari segi kegunaannya bagi pengarsipan film.
- Pemindahan dari film ke videotape sudah banyak dilakukan. Yang dibicarakan adalah kesempurnaan hasilnya kalau dipindahkan lagi ke film. Jumlah frame dari film yang ditransfer dari videotape bisa kembali sama seperti film aslinya. Tapi mutu film dari hasil pemindahan videotape yang didemonstrasikan masih kurang meyakinkan.
- Kalau teknik pemindahan ke video ini sudah sempurna, maka akan banyak menguntungkan bagi cara pengarsipan film. Karena akan memerlukan lebih sedikit ruangan penyimpanan dan lebih sederhana perawatannya.
- Teknik lain yang juga diperkenalkan dalam simposium ini adalah videodisc. Piringan hitam video ini sebesar piringan standard. Ini lebih tahan dalam penyimpanan dan dari kerusakan akibat gesekan tangan. Tapi problemnya juga bahwa hasil pemindahannya kembali ke film masih belum terjamin sebagaimana film aslinya.
- Jadi pemindahan film ke bentuk videotape atau disc ini masih baru bisa dianggap penting bagi pemutaran, agar tidak selalu memutar film aslinya. Tapi belum bisa dipakai untuk merekam film sebagai dokumentasi arsip dan menghancurkan film aslinya.[3]
3
Filem Operasi X (1968) direkam dengan kamera Sony EX 1 pada tanggal 15 Maret 2012. Filem Operasi X mencoba menggambarkan situasi pergulatan politik di tahun 1965 selain filem resmi buatan pemerintahan Orde Baru yang dibuat oleh Arifin C. Noer.[4] Dalam filem Operasi X, Misbach Yusa Biran tidak frontal membicarakan perang ideologi terhadap komunisme, seperti yang digambarkan dalam film Pengkhianatan G-30-S PKI. Operasi X justru menghadirkan perseteruan dan perselisihan paham di dalam tubuh internal Angkatan Darat yang diakibatkan faktor ekonomi, penyelundupan barang, korupsi, manipulasi, dan persoalan-persoalan mantan tentara perjuangan revolusi yang sakit hati karena dipensiunkan dini atau terbengkalai tidak mendapatkan jatah kekuasaan dan kekayaan yang marak terjadi di akhir masa pemerintahan Orde Lama. Filem ini juga menegaskan pengidentifikasian suatu kelompok yang disebutnya sebagai gerombolan (yang berasumsi pada segelintir orang saja), bukan sebuah gerakan (yang berasumsi pada massa yang lebih besar) seperti yang digambarkan dalam filem Arifin C. Noer. Ketika kami mewawancarai Misbach Yusa Biran pada 22 Oktober 2009, ia tidak menjawab begitu detail tentang filem ini. Bahkan ia mengatakan kalau filem ini kurang bagus dibanding filem-filemnya yang lain.
Sejak tahun 1998, banyak dibuat filem-filem dengan tema mengkonstruksi kembali sejarah. Melihat, mempertimbangkan, menggali, menemukan, memungut, menganalisa dan menyusun perspektif sejarah yang lain di masa pos-moderen ini telah menghadirkan begitu banyak kenyataan-kenyataan baru yang selama masa pemerintahan Orde Baru tertutup rapat. Arsip filem kemudian menjadi alat penting dalam menciptakan lajur-lajur sejarah yang baru ‘bisa dibaca’ dan atau ‘baru terbaca’ di situasi masyarakat kontemporer dewasa ini. Bagaimana kita mempertanyakan kembali dan mengembangkan sejarah-sejarah sinema Indonesia yang sudah dituliskan oleh Misbach Yusa Biran, Taufik Abdullah, Krishna Sen, Salim Said, JB Kristanto, Aiko Kurasawa, Regina Bogner yang menulis dalam bahasa Jerman, dan penulis lainnya. Persoalan Sinematek Indonesia tidak berhenti pada kualitas seluloid yang sudah rusak dan tidak bisa ditonton semata tetapi lebih jauh lagi, musnahnya pengetahuan.
[…] Ketika terjadi peristiwa pemberontakan G-30 S/PKI banyak orang-orang yang merasa takut dituduh PKI termasuk orang-orang PPFN [Pusat Produksi Film Negara] sendiri. Karena takutnya maka film-film yang berisi rekaman kegiatan PKI, sengaja dibakar seperti kegiatan kampanye Aidit dan komplotannya.[5]
4
Siang itu sama seperti siang-siang sebelumnya. Sunyi. Walau kadang terselip suara televisi. Tak ada pengunjung yang duduk di meja sebelah kanan pintu masuk yang sedang mengakses arsip-arsip filem. Sebelum masuk ke dalam, seperti biasa, saya selalu mengintip buku tamu yang ditaruh di meja permintaan arsip. Sehari kadang ada satu atau dua orang pengunjung, terkadang pula seminggu tidak ada pengunjung. Siang itu Nia duduk di mejanya yang berhadapan dengan pintu masuk. Di balik meja permintaan, di antara pintu masuk dan meja Nia, di situlah tempat Satiri dan Ardian duduk. Di sisi kiri meja permintaan biasanya bertumpuk skenario-skenario filem yang disimpan di Sinematek. Skenario menjadi salah satu arsip yang paling banyak diakses bagi peneliti, wartawan, mahasiswa, atau bahkan orang-orang filem.
Filem Krisis (1953) tidak ada di Sinematek Indonesia. Menurut Misbach Yusa Biran, filem yang sukses secara komersial itu dikatakan kurang bagus secara estetika ketimbang filem lanjutannya, Lagi-Lagi Krisis (1955).[6] Percakapan kemudian berhenti di situ. Pandangan Misbach Yusa Biran menjadi pandangan tunggal yang sulit untuk ditinjau ulang mengingat kita hanya dapat menonton filem Lagi-Lagi Krisis (1955) saja yang masih tersimpan di Sinematek dan dapat diakses dalam bentuk video. Filem Krisis hanya tersisa skenario shooting-nya saja yang penuh dengan detail tulisan tangannya Nya’ Abbas Akup.
Begitu pula jika kita ingin menimbang kembali sejarah filem Indonesia sebelum 1942 dan mempertanyakan apakah orang-orang Cina keturunan atau pindahan dari Shanghai itu benar-benar hanya membuat filem untuk hiburan dan sebagai barang dagangan saja. Tak adakah pertimbangan estetika yang pantas untuk dibaca? Dari 91 filem[7] yang diproduksi rentang 1926-1941 hanya tersisa tujuh filem dalam berbagai kondisi. Filem tidak lengkap: Gagak Item (1939), disutradarai Tan Koen Yauw; Singa Laoet (1941) dan Tengkorak Hidoep (1941), disutradarai oleh Tan Tjoei Hock. Dalam kondisi rusak berat: Srigala Item (1941) dan Matjan Berbisik (1940), disutradarai oleh Tan Tjoei Hock; serta Koeda Sembrani (1941) yang disutradarai oleh Wong Bersaudara; dan Tie Pat Kai Kawin (Siloeman Babi Perang Siloeman Monjet) (1935), disutradarai oleh The Teng Chun yang tidak diketahui kondisinya.[8] Sedang 84 filem lainnya tidak diketahui keberadaannya.
Nasib filem-filem Indonesia di periode seks dan komedi tahun 80-90an sama persis dengan filem-filem Indonesia sebelum tahun 1942. Filem-filem itu dikatakan sebagai barang produksi ‘toko kelontong’ semata yang tidak membeberkan persoalan kenyataan sehari-hari. Persoalan moral kemudian dijadikan alasan untuk melihatnya sebagai barang kacangan. Padahal filem-filem itu telah berhasil keluar dari krangkeng represi Orde Baru yang semakin kuat di awal tahun 80an dan mengekang setiap gagasan politik dan kenyataan sosial di masyarakat. Filem-filem itu melakukan ‘perlawanan’ melalui bahasa metafora yang dituangkannya ke dalam estetika filemis.
Lalu bagaimana membaca filem-filem produksi yang dituduhkan hanya sujud pada konsep “Politik adalah Panglima” yang dibuat oleh organisasi-organisasi seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat, Lembaga Kebudayaan Nasional, Lembaga Seni Budaya Indonesia, Serikat Buruh Film dan Sandiwara, dan Panitia Aksi Pengganyangan Film Imperialis Amerika Serikat, yang seluruhnya telah membuat sebanyak 25 filem rentang 1957-1965 yang disutradarai oleh Bachtiar Siagian, Basuki Effendi, Tan Sing Hwat, S. Waldy, Ahmadi Hamid, Amir Jusup, Kotot Sukardi, dan Ruslizar.[9]
[…] Juga tenaga teknis perfilman hampir tidak dipunyai oleh mereka, sehingga kesempatan untuk membuktikan teori-teori estetika mereka yang berlandaskan realisme sosialis atau Manipol –sebagai yang dirumuskan dan dikampanyekan oleh Sitor Situmorang– tidak pernah bisa mereka laksanakan. […] Menarik untuk dicatat bahwa bahkan dari ke-25 hasil sutradara-sutradara yang tegas-tegas menggolongkan diri ke dalam kubu golongan kiri itu, sulit ditemukan film yang betul-betul bernafaskan atau bertemakan semangat kekirian.[10]
Senada dengan yang diungkapkan oleh Misbach Yusa Biran bahwa filem-filem yang dihasilkan oleh kelompok itu tidak pernah mencapai estetika komunis.[11]
Terlepas dari pengaruh partai atau organisasi politik, satu hal yang kiranya menjadi pekerjaan rumah yang hingga kini belumlah tersentuh bahwa di periode tahun 50-60an, baik kelompok sutradara Perfini ataupun kelompok Lembaga Kebudayaan Rakyat sama-sama terinspirasi oleh gerakan sinema Neorealisme Italia. Filem Tjorak Dunia (1955) yang disutradarai Bachtiar Siagian dikatakan oleh Sitor Situmorang telah terinspirasi oleh Neorealisme Italia.
[…] Film ini sebagai keseluruhan memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan baru yang menggembirakan dan menimbulkan harapan. Walaupun pilihan serta pengolahan ceritanya masih menurut resep biasa, bersifat melodrama, sedang perkembangan dan saat psykhologisnya tidak selalu diselesaikan atau cukup dipersiapkan kekurangan yang umum pada penulisan scenario film Indonesia, nyata sekali regi dengan mengusahakan unsur-unsur filmis, dan yang terpenting lagi usaha itu dihubungkan pula dengan mencari ilham dari neo-realisme Italia di sana-sini, yang kesemuanya memperlihatkan hasil-hasil yang menimbulkan harapan tadi […][12]
Begitupun dengan Usmar Ismail,
[…] Mereka yang pernah menyaksikan bagaimana neo realisme Italia datang ke Indonesia dua puluh tahun yang lalu, antara lain dengan film ‘Riso Amaro’ (Nasi Pahit), dan sekaligus terkenang bagaimana Usmar Ismail membuat ‘Krisis’ (Perfini, 1953) atau ‘Lewat Jam Malam’ (Perfini, 1954) sebagai dua film terkemuka dengan latar sosial Indonesia yang tegas […][13]
[…] Disebutnya Realisme Italia dalam resensi tadi barangkali memang tidak kebetulan, sebab yang dilakukan Usmar Ismail dengan teman-temannya di Perfini memang bukan hal baru. Ketika Perfini memulai kegiatannya, di Italia sedang masyhur suatu kecenderungan baru dalam pembuatan film yang dalam sejarah perfilman dunia terkenal sebagai Neo Realisme. Semboyan pembuat-pembuat film Neo Realis di Italia “Bawa kamera ke jalan raya, pakai orang biasa, bukan bintang“ [George A. Huaco, The Sociology of Film Art, New York, London, Basic Books, 1965, h. 189] juga menjadi semboyan yang waktu itu amat popular di kalangan Perfini. Begitu fanatiknya Usmar dengan kecenderungan baru itu, hingga Perfini selalu tampil dengan film-film yang terutama dibintangi bukan oleh aktor yang sudah berpengalaman.[14]
5
Sinematek menyimpan cukup banyak data-data tentang semua filem yang diproduksi di Indonesia dan yang menarik dari data itu ada sebagian kecil berupa fotokopian. Misbach Yusa Biran sangat rajin mengumpulkan artikel-artikel fotokopian dari berbagai sumber penyimpanan arsip di Jakarta seperti Perpustakaan Nasional, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin ataupun koleksi-koleksi pribadi. Namun sekarang ini, beberapa materi asli yang pernah difotokopi oleh Misbach Yusa Biran, di sumber-sumber penyimpanan arsip di luar Sinematek itu tidak diketahui kondisi dan keberadaannya.
Misbach Yusa Biran juga sangat obyektif dalam menyimpan arsip filem. Ia tidak pernah menganaktirikan data-data filem dari kelompok atau periode tertentu. Semuanya ia kumpulkan dan simpan di Sinematek Indonesia. Ia sangat sadar dan percaya bahwa suatu hari nanti ketika perubahan dan perkembangan teknologi, juga percepatan distribusi dan sirkulasi informasi akan melahirkan suatu generasi baru yang haus akan pengetahuan sejarah sinema. Jika saat itu tiba, data-data yang berhasil ia kumpulkan akan melahirkan perspektif-perspektif baru terhadap sejarah yang pernah dituliskan.
Tak bisa dipungkiri bahwa Sinematek Indonesia pernah menjadi tempat Qu’est-ce Que le Cinema berasal. Namun di situasi sekarang ini ia sangat membutuhkan The Language of New Media.
[1] http://www.youtube.com/user/FilmJamanDulu.
[2] Kuliah Irwan Ahmett dalam Workshop Kurator, 30 November – 12 Desember 2009 di ruangrupa Jakarta.
[3] Misbach Yusa Biran & H.A. Karim, “Kongres FIAF ke 34”, Citra Film, No. 05, Oktober 1981.
[4] Pengkhianatan G 30 S/PKI (diproduksi sejak tahun 1982 dan dirilis tahun 1984) selalu diputar setiap tanggal 30 September malam oleh TVRI sejak 1984-1997. Footage pengambilan jenazah pahlawan revolusi di Lubang Buaya pernah dinyatakan hilang di tahun 1981 saat produksi filem Pengkhianatan G 30 S/PKI berlangsung. Berita tentang hilangnya film pengambilan jenazah Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya, cukup mengagetkan dan sekaligus memprihatinkan. Dibilang mengagetkan dan memperihatinkan karena film tersebut merupakan dokumen bersejarah yang seharusnya tersimpan rapih dan tak boleh hilang. (“Usaha Menyelamatkan Film Dari Kehancuran”, Citra Film, No. 5, Oktober 1981, hal. 46).
[5] Usaha Menyelamatkan Film Dari Kehancuran, Citra Film, No. 5, Oktober 1981, hal 46.
[6] Wawancara dengan Misbach Yusa Biran, Bukit Sentul, Bogor, 22 Oktober 2009.
[7] Dijumlahkan dari statistik produksi filem Indonesia 1926-1941, Sinematek Indonesia.
[8] Arie Kartikasari, “Daftar Film dalam Kondisi Kritis Per November 2011” dalam tulisan Catatan dari Ruang Penyimpanan Film Sinematek Indonesia – Hanya 14 Persen yang Tersimpan dan dalam Kondisi Memprihatinkan, hal 100-102, “Lewat Djam Malam Diselamatkan”, Sahabat Sinematek, 2012; dan juga dikutip dari Katalog Film Koleksi Sinematek Indonesia, Sinematek Indonesia.
[9] Alasan penetapan tahun 1957 sebagai tahun awal periode menurut Salim Said dikarenakan tahun itu “dikenal apa yang kemudian disebut sebagai tahun ramai-ramai tutup studio lantaran para produser tidak lagi sanggup berproduksi”, Politik Adalah Panglima Film: Perfilman Indonesia 1957-1965, Prisma, No. 10, Tahun VII, November 1978, hal. 89; Namun, sutradara-sutradara yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) seperti Bachtiar Siagian telah memulai produksi filem sejak tahun 1955 melalui Tjorak Dunia dan Kotot Sukardi di tahun 1951 melalui filem Si Pintjang.
[10] Salim Said, “Politik Adalah Panglima Film: Perfilman Indonesia 1957-1965”, Prisma, No. 10, Tahun VII, November 1978, hal. 88-89.
[11] Wawancara dengan Misbach Yusa Biran, Bukit Sentul, Bogor, 22 Oktober 2009.
[12] Sitor Situmorang, “Tjorak Dunia”, Aneka, No. 12/Tahun VII, 20 Juni 1956, hal. 10.
[13] Goenawan Mohamad, Film Indonesia – Catatan Tahun 1974 dalam “Seks, Sastra, Kita, Seri Esni No. 1, Sinar Harapan, Cetakan Kedua, 1981, Hal. 72-73.
[14] Salim Said, Ekspresi Lewat Film [Bab 4] dalam “Profil Dunia Film Indonesia”, Grafiti Pers, cetakan pertama, Oktober 1982, h. 53-54.
[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)[/tab_item] [/tab]