In Edisi Khusus, Katalog ARKIPEL

Oleh Manshur Zikri

Artikel berjudul “Forgotten Tenor: Ada Nostalgia dalam Setiap Jumpa” ini pertama kali terbit dalam katalog ARKIPEL – International Documentary & Experimental Film Festival, 2013, hal. 200-204, ditulis oleh Dag Yngvesson sebagai pengantar kuratorial untuk program penayangan film yang bertajuk sama pada festival tersebut.

Yngvesson memaparkan tulisannya dengan berangkat dari memorinya mengenai pengalaman bekerja bersama Abraham Ravett, sutradara Forgotten Tenor. Dari pengalamannya itu, ia menyoroti ucapan Ravett kepada para narsum ketika melakukan wawancara: “Saya hanya ingin kamu ada dalam film saya.” Kalimat ini kemudian menjadi poros pemikiran Yngvesson untuk menganalisis Forgotten Tenor dalam kaitannya dengan penjelajahan si sutradara terhadap bahasa sinema untuk membingkai isu tentang memori dan masa lalu. Film, dalam buah pikirnya, menjadi medium pertemuan dan pertukaran, di mana partisipasi aktif antara pembuat film dan narsum menempati fungsi penting dalam proses mengingat dan merekonstruksi sejarah tertentu sehingga apa yang muncul di dalam film adalah sebuah akses ke kebenaran yang autentik: proses mengingat, dengan kata lain, adalah suatu fakta filmis.

Jurnal Footage memuat kembali tulisan ini, dengan suntingan minimal, menjadi bagian dari Editorial 09: Diskursus Satu Dekade.

Selamat membaca!

Forgotten Tenor: Ada Nostalgia dalam Setiap Jumpa

SAYA CUKUP BERUNTUNG untuk bisa mengenal dengan baik Abraham Ravett, seorang pembuat film, seorang teman, pembimbing, dan profesor saya, yang saya ikut bantu dalam proses perekaman dan penyuntingan gambar dalam pembuatan karya terbarunya. Proyek itu adalah Blues and The Abstract Truth yang fokus pada proses rekaman musik jazz terkenal pada awal 1960-an, membawa kembali ingatan ke salah satu film Abraham Ravett favorit saya, yaitu Forgotten Tenor (1994), yang saya pilih menjadi salah satu program di ARKIPEL. Film ini juga bercerita mengenai dunia jazz, tentang masa akhir kehidupan seorang pemain saksofon yang ‘terlupakan,’ Wardell Gray (1921-1955). Namun, hubungannya bukan sekadar antara dua film yang terhubung dengan jenis musik tertentu, di mana proses pembuatan karya yang baru menjadi pengingat akan karya sebelumnya yang sudah kita rekam, dan menghubungi narasumber yang potensial untuk film yang lebih baru, mereka yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang dapat menjelaskan proses pembuatan album, para musisi, khususnya komposer Oliver Nelson—dan konteks sosial, sejarah, dan musik yang ada di sekitar mereka.

Tangkapan layar dari film "Forgotten Tenor" (1994) karya Abraham Ravett.

Dalam Forgotten Tenor, beberapa narasumber potensial yang kami hubungi terlihat keberatan untuk berbagi kisah mereka, dengan berbagai alasan seperti: sudah lama dan sudah lupa tentang informasi yang seharusnya punya nilai penting. Namun, apa untungnya buat mereka? Mengapa mereka harus menolong orang asing untuk ‘menghasilkan uang’ berdasarkan pengalaman masa lalu mereka tanpa kompensasi yang menjanjikan? Siapa Abraham? Dan mengapa tiba-tiba ada ketertarikan dengan sebuah album yang diproduksi lima puluh tahun yang lalu?

Berikut adalah jawaban Abraham terhadap pertanyaan-pertanyaan itu, yang membuat saya ingat akan karya-karya Abraham sebelumnya. Dia sering berkata kepada narasumber yang akan diwawancara maupun yang berkeberatan: “Saya hanya ingin kamu ada dalam film saya.” Pernyataan yang terkesan sederhana namun secara implisit mampu mengidentifikasi memori, dan tujuan mewawancara itu sendiri, tiada lain sebagai rangkaian fakta mengenai masa lalu yang dapat dimasukkan ke dalam film untuk memberikan legitimasi, atau sebagai akses ke kebenaran sejarah yang otentik dan tunggal. Selanjutnya, Abraham menyarankan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang dimulai dengan kehadiran: pertemuan. Apa yang pada akhirnya diberikan, kemudian, akan berkembang melalui pertemuan ini, saat di mana pembuat film dan yang diwawancara melakukan ‘pertukaran’, di mana hasil, isi, atau nilai akan sulit untuk ditetapkan. Apa yang akhirnya benar terjadi, dalam kasus ini, mungkin sesederhana pertemuan itu terjadi, partisipasi kedua pihak menunjukkan ketertarikan dalam proses mengingat dan merekonstruksi sejarah tertentu.

Partisipasi mereka, terutama yang tertarik dalam ‘menjual’ fakta, tidak lebih penting dibanding eksplorasi sejarah yang dilakukan oleh Abraham Ravett ini. Mereka yang setuju untuk bertemu, walaupun masih menyimpan banyak keraguan, berpotensi menyediakan kesempatan bukan hanya sejarah itu sendiri, tetapi membuat sejarah, dan munculnya perkembangan yang kompleks—sosial, pribadi, ekonomi, dan sebaliknya—mengarah pada penataan pertukaran informasi dan proses mengingat. Mengenai pernyataan Abraham, saya berpendapat, hal itu menjadi salah satu kunci, struktur, dan teknik metodologis kedua film-nya, baik Forgotten Tenor maupun yang akan datang Blues and The Abstract Truth. Ini juga isyarat salah satu cara di mana ketegangan menghasilkan keberhasilan atau kegagalan dalam mengingat, dan dengan demikian, dalam banyak hal, film itu sendiri, dalam pertaruhan dalam dinamika setiap pertemuannya, dan hasilnya tidak berarti terjamin.

Dalam menceritakan adegan di Forgotten Tenor, Ravett mewawancarai Dorothy Gray, salah satu mantan istri subjek utama film ini, yaitu almarhum Wardell Gray. Saat ibu Gray telah setuju untuk bicara di depan kamera, jelas dia sudah mengajukan beberapa syarat. Menggunakan rekaman suara dari diskusi mereka (dibalik layar hitam dengan tulisan kontekstual) sebelum wawancara itu sendiri dimulai, Ravett mengedit tekanan ini: mungkin dia sedikit gugup dengan kemampuannya untuk mengingat dan mengekspresikan dirinya dengan jelas dalam situasi yang formal. Mungkin juga dia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengungkap dirinya terlalu banyak. Saat percakapan di film dimulai, ibu Gray memegang satu seri kartu catatan yang mana terlihat tulisan dari pertanyaan-pertanyaan yang sudah disediakan Abraham, bersama dengan pertanyaan yang sudah dia siapkan terlebih dahulu untuknya. Kamera memasukkan kartu-kartu itu ke dalam adegan, melatari tiap pergantian. Dia mulai membaca dari kartu, membaliknya satu per satu, mendeskripsikan almarhum suaminya dengan: “menarik, rajin, lucu… seorang pemasak yang handal… dekat dengan anaknya… penggemar olahraga, fanatik dalam mengkliping koran… ramah, hangat…” Di sini dia berhenti, membaca beberapa kartu, tapi tetap menyimpan isinya hanya untuknya: “ini sudah cukup.”

Seakan ibu Gray telah melalui proses perekaman dari memori dirinya sebelumnya, memungkinkannya untuk melihat kembali dan memilih bagian untuk diceritakan, mungkin berdasarkan perasaan dari bagaimana sesuatu terjadi bersama Abraham. Tetapi, kita tidak akan mendapatkan kesan bahwa ibu Gray menahan diri karena harapan bayaran atas informasi yang telah dia berikan. Sebaliknya, dia terlihat lebih peduli dengan bagaimana orang lain mengingat Wardell Gray, yang bakatnya diakui luas oleh publik dan seharusnya mendapat pencapaian dan penghargaan yang seharusnya ia dapatkan. Mungkin ini tekanan dari kekhawatiran yang awalnya membuat ibu Gray terlihat gugup. Ia memiliki keuntungan untuk menyampaikan gambaran dari mantan suaminya ke khalayak luas, tetapi dia harus melakukannya melalui mediator, Abraham, yang mana adalah orang asing. Walaupun tidak dibicarakan, kita bisa merasakan adanya permasalahan rasial (Dorothy dan Wardell Gray adalah Afro-Amerika sementara Abraham orang kulit putih). Mungkin juga terdapat kekhawatiran signifikan tentang apa yang harus ditampilkan, bagaimana menampilkannya, dan apa yang tidak seharusnya ditampilkan.

Tetapi ketegangan tersebut mencair saat Ibu Gray buntu selama beberapa saat, saat mencoba untuk menggambarkan perasaan almarhum suaminya mengenai reaksi kuat dan positif setelah melihat konsernya dari banyak pendengar yang di antaranya belum pernah mendengar nama Wardell Gray. Ibu Gray menolak untuk terkejut, Abraham berusaha untuk mengisi kekosongan itu: Wardell Gray tahu dia memang bagus, dia menyiratkan itu, jadi dia tidak seharusnya terkejut saat yang lain menyadarinya. Tapi di sesi kedua, dia “merendah,” terlihat banyak yang disukainya, dan dia menyetujui dengan apresiasi yang nyata. Sebuah persetujuan, walaupun terlihat kecil, tapi penting dalam aspek historis dari pertanyaan. Setelah itu, saat masih menggunakan kartunya sebagai sketsa jawaban, dia sering kali mengadah, tersenyum, dan menambahkan informasi tertulis dengan detail lebih banyak yang tenggelam dalam ingatan. Akhirnya dia menambahkan bahwa seringnya ketidakberadaan Wardell saat tur menyulitkan pada masa pernikahan mereka. Setelah kematian sang suami, hal itu memudahkannya mengatasi fakta bahwa suaminya tak akan pulang ke rumah selamanya. Dia “menghibur dirinya sendiri” bahwa “suaminya sedang tur ke luar kota.” Mengakhiri kalimat ini, walaupun terlihat spontan, ia membiarkan dirinya dibawa ke tempat lain, seseorang sekarang terlihat memainkan kartu dan mengontrol bagian dari kenangannya juga membantunya untuk menghindari konfrontasi dengan ingatan kematian, dengan cara yang tiba-tiba, misterius, dan keras, dari pasangan yang betul-betul dia cintai.

Tangkapan layar dari film "Forgotten Tenor" (1994) karya Abraham Ravett.

Saya merekomendasikan Forgotten Tenor untuk disertakan di ARKIPEL tidak hanya karena film ini merupakan salah satu favorit saya dan bisa dikatakan masuk dalam kategori “experimental documentary” yang sangat baik. Saya juga memilihnya karena caranya yang rumit dalam berurusan dengan ingatan dan masa lalu, serta dengan berbagai pertemuan yang dapat menghasilkan apa yang nantinya akan dikenal sebagai sejarah. Film ini akan memperkaya sejumlah kuratorial dalam tema kearsipan. Forgotten Tenor akan menjadi salah satu karya yang menantang dan layak untuk disimak, serta memperkenalkan karya-karya Abraham Ravett kepada penonton Indonesia. Ravett sendiri telah diakui secara luas dan berkarya selama lebih dari tiga dekade. Saya berharap film ini mampu menjadi inspirasi bagi teman-teman saya di Forum Lenteng, yang karya-karyanya juga sudah dikenal luas. Walaupun secara geografis dan budaya mereka jauh dari Abraham, namun saya bisa merasakan semangat yang sama. []

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search