Jurnal Footage menampilkan tulisan D.A.Peransi yang terbit pada Suara Pembaharuan, Selasa, 7 November 1989.
D. A Peransi menulis tentang kecenderungan pembuat film yang menawarkan tema film seragam. Tema mistik dan kekerasan dilihatnya sebagai polemik kultural dalam kehidupan era modern di Indonesia saat itu.
Jurnal Footage melihat kembali artikel ini sebagai pembanding atas tema utama film Indonesia yang masih juga serupa saat ini.
Selamat membaca!
Ada sekitar 25 film cerita yang ditonton untuk membuat tulisan ini. Penulis telah melihatnya secara acak. Film-film tersebut diproduksi antara tahun 1971 sampai saat ini. Tidak ada tema khusus yang menjadi pilihan, demikian pula sutradara khusus. Ada film-film yang box office, ada pula secara komersial merupakan kegagalan. Dengan begitu suatu gambaran selayang pandang namun lengkap bisa diperoleh dari pilihan yang acak ini. Di dalam pengamatan ini, baik konsep masyarakat maupun konsep bermasyarakat mau dijabarkan dari tema maupun cara bercerita film itu.
Desa Versus Kota
Sangat menarik bahwa tema maupun cara bercerita senantiasa berkisar pada masalah konflik individu dengan lingkungannya. Settingnya hampir selalu antara desa dan kota. Melihat ini dapat dikatakan bahwa persoalan yang dilihat oleh pembuat film adalah ketegangan antara norma-norma yang berasal dari pedesaan dan kota, terutama Jakarta sebagai suatu masyarakat Indonesia baru. Desa selalu digambarkan sebagai asal dari tokoh-tokohnya yang terdampar di kota (Jakarta) yang penuh percobaan, keras, dan tidak manusiawi. Orang kota digambarkan sebagai serigala yang melihat orang lain sebagai mangsanya, melihat manusia sesama sebagai “it”, bukan sebagai “Thou” untuk meminjam konsep Martin Buber.
Hedonisme, yaitu pemuasan kesenangan hidup menjadi ciri utama manusia kota. Di dalam film Indonesia penggambarannya selalu orang kaya yang mempunyai rumah dan perabot mewah dengan hampir selalu sebuah atau beberapa Mercedes. Kalau ia seorang usahawan, kita tidak hampir melihat dia bekerja di kantornya, akan tetapi bersantai di bar, night club atau tempat pelacuran. Hidupnya sehari- hari dikelilingi bodyguard yang selalu sedia menuruti perintahnya karena mereka dibayar untuk itu. Kehidupan rumah tangganya selalu berada di dalam keadaan kritis, kalau tidak di ambang perceraian.
Di kota, manusia diperdagangkan, terutama wanitanya. Wanita ini berasal dari hampir selalu desa. Ia ke kota atas bujukan seorang laki- laki yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Sudah dapat diterka bahwa laki- laki itu adalah kaki tangan usahawan itu. Di kota wanita itu terdampar, kalau tidak di night club, di tempat pelacuran. Di situ ia menjadi objek pelampiasan nafsu belaka.
Kalau ia tidak jatuh ke tangan germo atau laki- laki hidung belang, ia tetap merana di kota (pengemis dan tukang becak), hidup sebagai gelandangan, bertahan dengan belas kasihan orang lain (biasanya orang yang juga dalam kesusahan seperti tukang becak atau pemilik warung). Orang- orang seperti inilah yang selalu digambarkan masih mempunyai perasaan manusiawi dan biasanya malaikat penolong berasal dari kalangan ini.
Tanpa disadari, pembuat filmnya masih memilih moral dan norma “pedesaan” sebagai jalan keluarnya. Kelompok yang senasib ini biasanya digambarkan bermasyarakat lebih genuine. Begitu pula dengan kelompok WTS yang selalu membantu walaupun mereka dieksploitasi oleh orang kota (Cinta Semalam, IM Chandra Adi, 1983. Bibir-Bibir Bergincu, Mardali Syarief, 1984).
Kehidupan orang Indonesia yang telah tersentuh oleh kebudayaan modern menyebabkan juga perubahan pada hubungan antara suami dan istri. Wanita Indonesia tidak lagi digambarkan sebagai seorang yang berdiri di dapur belaka. Ia mempunyai profesi, meniti karirnya. Perkawinan seorang diplomat dengan seorang perancang interior, walaupun dua-duanya terpelajar bukan berarti mesti mulus.
Terbenamnya masing-masing ke dalam pekerjaanya membuat mereka makin terasing, yang satu terhadap yang lainnya. Walaupun sudah punya dua anak yang remaja, orang ketiga sempat juga muncul di tengah-tengah kehidupan perkawinan mereka. Dan itu dibiarkan berkembang. Orang ketiga itu juga mengalami nasib yang sama, kurang dihiraukan oleh suaminya yang playboy. Kehidupan sang diplomat dan perancang interior kemudian diliputi oleh penipuan dan kebohongan.
Setting yang kosmopolitan hanya merupakan dekor saja yang tidak berarti (seperti ke Australia untuk membicarakan masalah Timor Timur). Masyarakat film di Indonesia memang memungkinkan orang mengambil keputusan yang paling fatal. Si playboy terbunuh oleh anggota keluarga wanita yang menjadi korbannya dan si wanita karir mencoba membunuh diri, walaupun gagal. Sangat menarik untuk melihat, juga di pedesaan banyak terjadi kasus bunuh diri karena percintaan yang gagal sebagaimana sering diberitakan di koran (Suami, Sophan Sophiaan,1988).
Kehidupan modern tidak selalu diterima begitu saja. Sutradara seperti Sjumandjaja misalnya, selalu kritis dan penuh satire. Si Doel Anak Modern (1976)-nya adalah sebuah contoh. Si Doel anak betawi asli, saleh dan seluruhnya berakar di dalam kebudayaan Betawi berusaha untuk menjadi modern. Ia memakai dasi, sepatu boot dan berusaha untuk bisnis. Tetapi ia sama sekali tidak mengerti kehidupan modern di Jakarta yang serba palsu.
Sewaktu bertemu di sebuah rumah orang kaya ia mencoba mencicipi buah anggur yang ada di meja. Ternyata dari plastik. Ia mengeluh, “Orang modern kok suka kepalsuan.” Ia pada akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya dan menjadi si Doel yang saleh, jujur, dan sederhana.
Dengan satire ini, Sjumandjaja dengan leluasa melakukan kritik sosialnya. Di dalam produksi film cerita Indonesia, film yang memiliki konteks sosial seperti ini sangat langka. “Kejahatan Kota” juga merembes ke desa. Di desa pun terjadi kelompok-kelompok yang terpecah-belah, akibat orang kota.
Modernitas tidak saja masuk ke desa dalam bentuk “kaki tangan pedagang” yang memerlukan gadis desa yang cantik dan masih perawan. Modernitas itu masuk pula dalam bentuk program pemerintah, seperti program keluarga berencana. Tetapi desa menerimanya dengan acuh tak acuh (Rembulan dan Matahari, Slamet Rahardjo, 1979), karena desa mempunyai masalahnya sendiri, yaitu perjuangan melawan kejahatan yang bersumber pada kekuatan gaib.
Bagian Integral
Kekuatan gaib memegang peranan yang penting di dalam kehidupan manusia Indonesia, terutama di desa. Kehidupan masyarakat ditentukan oleh kekuatan gaib. Walaupun ia beribadah dan berusaha hidup saleh, kekuatan gaib selalu mengganggunya.
Tampaknya tema-tema alam gaib ini merupakan best-seller melihat bahwa banyak produser dan sutradara menggarapnya. Seri Nyi Blorong (Sisworo Gautama Putra, 1982), Sundal Bolong (Sisworo Gautama Putra, 1981), dan sebagainya tetap dibanjiri oleh golongan menengah ke bawah, bahkan produser asing pun tertarik untuk memfilmkannya. Di dalam Pembalasan Ratu Laut Selatan (H. Tjut Djalil, 1988), yang gaib berhadapan dengan teknologi modern, suatu kenyataan fiktif yang tetap menghibur masyarakat.
Kekuatan “hitam” dan “putih” di dalam film-film jenis ini menjadi peran utama, manusia hanya menjadi marionetnya. Agama sesekali menjadi jalan keluar bagi situasi kritis, akan tetapi penemuan penangkal bagi kekuatan gaib yang hitam lebih sering menjadi jawaban pokok.
Dari sini mungkin bisa disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia, semodern apa pun, masih percaya pada kekuatan gaib. Ini tidak saja tergambar di dalam film, akan tetapi juga pada tulisan-tulisan yang berserakan di hampir semua halaman dari Buana Minggu.
Produksi film Indonesia tahun 1989 dibanjiri oleh tema-tema mistik dan kekerasan. Saur Sepuh (Imam Tantowi, 1988), Misteri Gunung Merapi (Lilik Sudjio, 1989), Pertarungan Menumpas Ilmu Santet (Maman Firmansjah, 1989) menelan miliaran rupiah dalam produksinya. Biaya produksi yang begitu besar sedikit-banyak membuka rahasia mengenai jumlah penonton di dalam masyarakat Indonesia yang mau dihibur. Tampaknya masyarakat dan kebudayaan Indonesia merupakan tanah yang subur untuk tema mistik. ‘
Di dalam film Indonesia jenis ini tercermin pergumulan antara tradisi dan modernitas, antara mistik dan pemikiran rasional. Masyarakat Indonesia diombang-ambingkan di antara kedua kutub itu, dan di dalam bermasyarakat, manusia Indonesia masih menggantungkan nasibnya pada unsur-unsur paranormal.
Moral Ganda
Kehidupan yang modern merupakan gambaran dari masyarakat Indonesia di dalam banyak film dewasa ini. Tokoh-tokohnya mencari bentuk-bentuk hubungan antara manusia yang baru, mencobanya, dan menggumulinya. Pergumulan ini terjadi karena di dalam dirinya masih melekat kaidah-kaidah yang lama, berasal dari orang tua dan tradisi, pada lain pihak masyarakat modern menawarkan berbagai kemungkinan yang menawan. Sering tawaran itu sesuai dengan keinginan-keinginan yang timbul dalam dirinya: keinginan untuk mengecap kebebasan yang lebih banyak, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Keinginan untuk mengecap kenikmatan badani terlepas dari ikatan lama, keinginan untuk menikmati kekayaan material lebih banyak.
Konflik dalam dirinya menjalar pula ke konflik dengan keluarga, teman, suami atau istri, dan lingkungan. Dalam banyak film hubungan antara laki-laki dan wanita menjadi problematis, baik hubungan resmi yang diikat oleh perkawinan maupun hubungan-hubungan tidak resmi. Hubungan seks di luar perkawinan, yang menghasilkan anak, adalah akibat dari tawaran masyarakat yang makin memperbolehkan semua, berakhir dengan sejumlah konflik yang rumit dan dipecahkan secara dramatis. (Arini, Sophan Sophian, 1987. dan Arini II, Biarkan Kereta Itu Lewat, Wim Umboh,1988).
Kondisi rohani yang semakin retak biasanya menjadi lebih parah lagi, karena anggota keluarga lainnya ditimpa kemalangan seperti sakit ginjal yang parah atau kanker yang makin mempersulit hidup. Hubungan antara laki-laki dan wanita tidak saja terjadi antara kawan sebangsa. Film Indonesia mulai memperlihatkan nafas kosmopolitannya. Hubungan antara laki-laki Indonesia dan wanita asing menjadi tema pokok. Perkawinan antarbangsa ini juga tanpa persoalan. Konflik terjadi pada saat wanita asing itu merindukan kampung halamannya dan kemudian pulang ke negerinya. Karena kerinduan pada istrinya ini maka di dalam masyarakat yang “permissive” ia dengan mudah meniduri pembantunya yang kemudian mengandung anaknya (Selamat Tinggal Jeanette, Bobby Sandy, 1987)
Kebebasan yang dirindukan dan digapai oleh tokoh-tokoh utamanya, terutama berkisar pada kebebasan untuk menghayati nafsu-nafsu badani secara lebih intens, menarik untuk melihat bahwa dorongan ini juga kuat sekali terdapat pada wanita di dalam film Indonesia. Ia adalah wanita yang emancipated, tidak lagi mau melihat dirinya sebagai objek dari laki-laki. Ia menentukan masa depannya sendiri, menentukan dengan siapa ia mau naik ranjang, tanpa merasa berdosa. Laki-laki menjadi objeknya, pada suatu saat dipeluk, pada saat berikutnya dibuang. Ia hidup dalam ritme kota metropolitan, melanglang dari klab malam yang satu ke klab malam yang lain, disko yang lain ke disko yang lain (Cinta di Balik Noda, Bobby Sandy, 1984. Titik-titik noda, Henky Solaiman,1984). []