Kronik kali ini menampilkan tulisan yang pernah terbit di majalah Pertjatoeran Doenia dan Film No. 2, Tahun ke-1), bertanggal 1 Juli 1947, hal. 18-19. Majalah itu sendiri diterbitkan oleh Uitgeversbedrijf “Noesantara”, Sluisbrugstraat 31 B, Telf. 6299 WL. Batavia C., dipimpin oleh Boerhanoedin M. Diah (Directeur) dan Hoofdredacteur K. Kamadjaja (Hoofdredacteur).
Penulis bernama Soerono ini memberikan masukan bahwa dalam tiap pembikinan film yang dilakukan di rumah produksi di Jakarta, hendaknya mempertimbangkan aspek-aspek moralitas agama. Baginya, sinema bisa digunakan digunakan untuk menyampaikan ‘pesan-pesan’ agama demi kebutuhan umat. Soerono juga membandingkan film-film produksi Amerika Serikat dan Mesir, bagaimana mereka menampilkan moralitas agama sesuai dengan standar yang dimilikinya.
Ada beberapa istilah yang digunakan penulis dan perlu diperjelas, seperti Batawood yang merupakan kependekan dari Bataviawood, artinya industri film yang terkonsentrasi di Batavia, dan menyerupai konsep studio di Hollywood.
Mengenai penulisnya, karena tidak ada nama belakangnya, kami menduga bahwa ia adalah Soerono Wirohardjono, seorang jurnalis yang lahir pada tanggal 11 Desember 1910. Beliau pernah menjabat sebagai redaktur dan pemimpin redaksi yang di berada dibawah naungan Persyarikatan Muhammadiyah bernama Adil. Soerono Wirohardjono pernah ditangkap dan ditahan selama tiga bulan lamanya karena menampilkan artikel yang bersifat subversif pada pemerintah kolonial Hindia Belanda di majalah Adil. Beliau juga tercatat pernah menjadi pemimpin redaksi harian Indonesia Raya dan Pasific.
Pertimbangan redaksi untuk menayangkan ulang tulisan ini untuk menunjukkan bahwa pembacaan serta pergulatan antara moralitas yang bersumber dari agama, terhadap sinema ternyata sudah cukup mengakar di Indonesia.
Selamat membaca!
Film dan agama…… kaku agaknya kita terima di telinga, terutama telinga muslimin. Sebab, memang bukan ‘jodohnya’ film dengan agama. Sudah barang tentu, agama Islam yang kita kehendakkan.
Bukan saya akan mengupas film untuk kita sikat dengan hukum-hukum agama. Sebab, mengupas [secara] demikian itu adalah sukar dan banyak syarat yang harus dikumpulkan lebih dahulu.
Hingga saat ini, saya belum membaca satu karangan dari seorang pemimpin agama Islam di Indonesia, yang menjatuhkan hukum terhadap film dengan secara ‘radikal’. Bukan karena tidak ada hukumnya atau tidak dapat memberi hukum, akan tetapi, karena soal filmbedrijf, aktris dan aktor film [merupakan] barang baru bagi kita, terutama bagi para…… ulama. Jadi, akan memberi hukum yang ‘pas’ kita masih ragu-ragu. Perlu kita selidiki sedalam-dalamnya.
Oleh karena itu, saya tidak akan menjatuhi hukum. Hanya akan ‘mencoba’ membelokkan langkah dan tujuan dari ‘beberapa’ usaha film ke jurusan ‘manfaat’ bagi umat Islam Indonesia.
Orang tentu akan menuduh gila bagai ‘si cebol merindukan bintang’ pabila kita menganjurkan aksi memberantas film. Oleh karena itu, lebih baik kita majukan pendapat-pendapat, mudah-mudahan, pendapat saya diperhatikan oleh segenap ‘produsen’ film di Betawi.
Dari Hollywood kita kerap sekali dibikin tercengang dengan pertunjukan filmnya yang seratus persen berisi propaganda agamanya. Ceriteranya, dasar-dasar tempat bermainnya, tingkah laku pemain-pemainnya, penuh dengan aksi kekristenan. Kita melihat gereja-gereja, pastor-pastor dengan tingkah laku yang membungkuk dan sebagainya. Segenap penonton yang berjumlah milyunan sama kena pengaruh jalannya ceritera yang menyatakan ketinggian ajaran Kristen.
Di Indonesia, adalah umat Islam termasuk golongan terbesar sendiri.
Oleh karena itu, pertama-tama, yang saya ajukan disini: “Tidak mungkinkah, salah satu dari tuan-tuan majikan film mempunyai angan-angan membikin film yang bersifat propaganda Islam?”
Saya tidak mengerti jelas, apakah negeri sudah punya perjanjian dengan kaum majikan, bahwa tidak dibolehkan membikin film [yang] bersifat propaganda sesuatu agama. Tetapi, menurut bukti, adanya film Amerika [yang demikian] yang boleh diputar di sini, tentu tidak ada perjanjian itu.
Memang, tidak gampang orang akan membikin film agama itu. Hajat pula dengan pengarang Islam, regisseur, decorator dan lain-lainnya, harus pula mempunyai rasa keislaman sehingga suasana yang timbul dari film itu berupa suasana [ke]agama[an] pula.
Kita agak gembira, karena melihat akan adanya film Panggilan Darah, (Sutan Usman Karim, 1941) di mana rekan Suska turut bekerja. Nyonya S. Z. Goenawan pun ikut main. Di situ dipertunjukkan dengan jelas ‘perintah agama’ terhadap pemeliharaan anak-anak yatim-piatu.
Demikian itulah yang saya kehendakkan dengan ‘film propaganda agama’.
Bukannya terang-terangan satu film dengan titel “Masuklah Islam”, “Jadilah Orang Islam” dan sebagainya [melainkan] cukup dalam ceritera dicantumkan satu-dua peristiwa [dari] suruhan agama.
Ambillah achtergrond shalat Jumat di masjid, di mana halaman masjid dibanjiri orang, [dan] gapura dan menara masjid kelihatan berdiri tegak. Cara demikian itulah yang kita kehendaki.
Ceritera yang mengandung keislaman, saya kira, pada dewasa ini cukup banyaknya. Dari Medan datang berpuluh-puluh, tidak ketinggalan dari majalah saya sendiri, setiap terbit tentu memuat kisah keislaman, yang dengan senang saya sajikan untuk keperluan-keperluan film.
Saya kira, [itu] akan diterima oleh publik dengan amat gembira, karena perasaan hatinya, semangat, angan-angan dan suasana hidup sehari-hari terlukis jelas di film itu.
Sangatlah kecewa hati kita, kalau kita melihat beberapa pertunjukan film yang mempertunjukkan beberapa scenes yang ‘onzin’ dipandang oleh kacamata Islam. [Yang] Begitu itu hendaklah dijauhi benar-benar, atau kalau perlu akan membikin scene [yang] berisi keislaman, mintalah pertimbangan pada pemimpin pergerakan Islam yang tentu mengerti akan soal itu. Bagian teknik, tentu saja, tidak menjadi hak kaum pergerakan Islam itu.
Lebih-lebih pula, kalau di situ kita jumpai ‘penghinaan’ terhadap agama Islam, boleh dipastikan, akan mendapat ‘pukulan’ yang pedas dari pihak kita.
Dapatkah Batawood melimpahkan sedikit tenaga untuk memenuhi harapan umat Islam dengan film-film yang bersifat keagamaan?
Keperluan ini jangan hanya diadakan semata-mata untuk mengambil hati umat Islam, tetapi pantas[lah] mereka merasa bahwa keperluan ini wajib diadakan karena sebagian besar bangsa kita memeluk agama ini. Sebaliknya, orang Islam wajib menghargai film [yang] demikian. Jangan kita selalu menerima baik yang dihidangkan kepada kita, sebagai[mana] suatu keganjilan yang telah kita lihat. Orang-orang Islam yang menonton film Kruisochten (The Crusades, Cecil B. DeMille, 1935) tidaklah merasa ‘terjolok matanya’ melihat lukisan Loretta Young didukung oleh Sultan Saladin, dan lain-lain scene ‘pertemuan’ antara perempuan Kristen dan lelaki Islam.
Tetapi, cobalah dilukiskan oleh Batawood film semacam Kruistochten, di mana Roekijah atau Fifi Young sebagai seorang gadis Nasrani didukung oleh Suska sebagai pemuda Islam, para penonton tentu akan berteriak: “Cabul!”
Sebabnya hanyalah karena ‘perasaan’! Penonton tidak dapat diabui lagi bahwa mereka yang bermain dalam film itu, antara lelaki dan perempuan, tidak ada pertalian ‘mukhrim’, melainkan asing antara yang perempuan dan yang lelaki; sedang, pergaulan selama bermain antara lelaki dan perempuan yang bukan mukhrimnya saja telah ‘diharamkan’ oleh orang-orang surau, belum lagi, hukumnya lelaki menonton perempuan dan perempuan menonton lelaki! Meskipun, dalam hakikatnya sehari-hari, orang lelaki telah biasa menonton perempuan di setiap jalan, dan sebaliknya pula. Taruh kata, tidak berdosa percakapan atau pergaulan antara bujang dengan gadis di dalam memainkan rol film karena itu termasuk dalam ‘muamalat’, dalam pekerjaan, sebagaimana percampuran antara lelaki dan perempuan di pasar: berjual beli! Bukankah aktris dan aktor film itu bekerja di studio karena mencari penghidupan, sebagai halnya orang mencari rezeki di pasar dan di toko-toko? Maka, yang ‘dilihat’ itu hanya ‘gambar’ yang berhakikat selembar kain putih terbentang, bukanlah berupa manusia yang lengkap. Hal ini masih diperselisihkan pula tentang hukumnya!
Orang bertanya, bukankah di Mesir, di kota Kairo, telah biasa ada film berbahasa Arab yang lebih ‘cabul’ lagi daripada Batawood? Kenapa tidak digemparkan oleh orang-orang di Indonesia? Malahan, kalau ada ‘film Mesir’, berduyun-duyun orang Islam menontonnya? Seolah-olah, film Mesir itu halal hukumnya dan ‘sunnah’ ditonton orang Islam, sekalipun yang ditunjukkan hanya dansa-dansa dan nyanyian Abdulwahab! Memang aneh sekali……
Akan tetapi, biar bagaimanapun sulitnya, kita percaya, nanti ada ulama Islam (pemimpin) dapat menyingkapkan soal yang sulit itu sehingga dapat kemaslahatan yang menyenangkan: munculnya film yang tidak janggal dilihat orang Islam. Yang masih tinggal dalam masa ini, rasanya, kita tidaklah ‘nakal’ kalau kita katakan bahwa umat Islam Indonesia [adalah] sebagai pengamat-amat, sebagai korektor atas Batawood dalam perjalanannya. Jangan sampai membuat film yang melukai perasaan keagamaan dan kesopanan Timur. Batawood belum berani membikin film bercium-ciuman di taman bunga, bukan karena putra-putri Indonesia belum ada yang ‘biasa’ berbuat demikian, melainkan karena untuk menjaga perasaan bangsa Indonesia jangan sampai ‘mencabulkan’ Batawood karena itu! Dan, kita memang mengharapkan sangat supaya Batawood memperbaiki lakon filmnya; jangan asal menarik ribuan penonton kelas kambing, jangan asal dapat untung bagus, lalu berbuat sesuka hatinya. Hendaklah bikin yang selaras dengan kesopanan bangsa Indonesia yang kebanyakan beragama Islam! Alangkah janggalnya, dalam film Harta Berdarah (Rd Ariffien, R Hu, 1940) ada lukisan seorang haji memelihara anjing di rumahnya! Masa pencaroba bagi dunia film Indonesia, rasanya, sudah hampir lampau, yaitu perlintasan antara zaman sensasi dan adu gelut ke zaman realitas yang bersesuaian dengan jiwa bangsa kita yang berisi intelek.
Bangsa Indonesia dan umat Islam pada pendapat [yang] sebaiknya terhadap film, berpendirian: “Kalau tak kuasa menghalang-halangi, cari dan pergunakanlah untuk mendapat manfaat yang boleh dirasakan.” Dengan pendirian ini, rasanya, kita akan lebih cepat dapat mencapai tujuan, juga yang berkenaan dengan agama kita. []
*) Penoelis karangan ini, Hoofredacteur weekblad “Adil” dan maanblad “Alfatch”