Budaya, Nomor 6-8, Juni-Agustus, Tahun X, 1961
Filem, sebagai medium kesenian yang paling langsung menyampaikan pesannya kepada publik mengalami perkembangan yang agak seret di negeri kita, yang timbul oleh berbagai sebab. Sebenarnya filem merupakan medium yang paling langsung sekali, sehingga tiap-tiap feet pita filem yang tampak dilajar, langsung pula memberikan respons dari publik penontonnnya, yang bagi penonton-penonton filem kita respons itu memberikan corak yang tegas berupa sinisme.
Sebutan ‘filem Indonesia’ seakan-akan telah sekaligus membawa jawaban yang kurang serius dari si penyebutnya dengan nada yang kurang menyenangkan pula bagi telinga pembuat-pembuat filem.
Kritik Filem makin hari makin bertukar coraknya pula dan paling belakang ada tanda-tanda tidak adanya kritik filem. Resensi-resensi filem menukar gayanya ke arah semangat yang janggal sekali, sehingga penulis-penulis resensi filem Indonesia di hari-hari akhir ini menukar bajunya, seakan-akan mereka menjadi kolportir atau agen-agen dari perusahaan filem. Maksud yang dikandung semula barangkali baik, agar publik kita lebih menyukai filem-filem nasional dari filem-filem import. Agar filem-filem nasional kita mendapatkan pasaran penonton yang luas biarpun tidak sekaligus mengharapkan akan menempati box office. Hal ini dari satu segi saja mungkin dapat diterima, tapi segi lain telah dipilih oleh kalangan publik penonton kita yang sudah kritis dan tidak bodoh lagi, tanpa menukar bajunya. Kalangan penonton ini masih memakai baju yang sama: mereka adalah bangsa Indonesia yang ingin melihat filem nasionalnya mempunyai nilai yang tinggi, baik dari segi teknik maupun artistik.
Sebutan ‘filem nasional’ juga menjadi ejekan dari kalangan yang mempunyai respons ini. Mereka baik secara objektif dan dengan intelejensianya yang tajam ataupun mereka yang berukuran subjektif dengan segala keprimitifannya, menghubungkan perkataan ‘nasional’ dengan ‘kepribadian bangsa’. Bahkan mereka ini sadar atau tidak sadar, jauh lebih kritis lagi dengan penilaian ‘kepribadian bangsa’ itu : Mereka menilai manusia-manusia Indonesia yang terlihat di layar putih itu bukan saja yang tampak lahiriah, tapi juga satu sudut dalamnya : yaitu manusia Indonesia yang bagaimana cara berfikirnya lengkap dengan perasaannya. Kelanjutan dari hal itu ialah, bahwa mereka yang menuntut di lajar putih itu suatu gambaran manusia Indonesia yang sewajarnya.
Hal ini semuanya sebenarnya dapat difahami kalau diingat pula cara imajinasi manusia merdeka dan manusia di alam penjajahan kolonial sudah sangat jauh berbeda, sehingga selayaknya pula tuntutan merdeka mereka ini dapat lebih disaring lagi dari segi-segi positifnya.
Seperti kita tidak dapat benarkan seluruh aspek-aspek yang dikatakan mereka itu, sebaliknya juga kita tidak dapat menolak sama-sekali, ciri-ciri yang benar daripadanya.
Penonton tidak tahu atau tidak mau tahu umpamanya bahwa untuk membuat filem bukan saja diperlukan bintang-bintang filem. Segi-segi material berupa bahan baku yang kedengarannya sukar didapat sejak akhir-akhir tahun 1960 yang lalu dan awal tahun ini, sama-sekali sukar bagi pembuat filem sebagai alasan kepada publik. Bahwa filem kita kebanyakan dikerjakan oleh tenaga-tenaga tua yang sudah pantas pensiun. Pensiun dalam cara berfikir dan daya kreatif dalam menghasilkan karya dan pensiun dalam pengertian umur yang sudah lanjut karena linglung atau pikun. Hanya sedikit dari perusahaan filem memberikan tempat pada tenaga-tenaga muda. Dan ada pula yang dengan perhitungan bahwa tenaga-tenaga yang bersemangat itu bisa dibayar murah. Kesemuanya terjadi diluar jangkauan mata si penonton filem.
Kesulitan bahan baku, misalnya tidak memberikan jalan lain bagi sebagai pilihan selain menghemat bahan yang ada sehingga jika ada hal-hal yang sepantasnya dikerjakan kembali terpaksa ditiadakan. Filem yang seharusnya mengutamakan segi-segi artistik mendapat tempat kedua setelah memperhitungkan segi-segi komersil finansil. Jika kemudian hadir pemikiran lain dalam tahun-tahun belakangan ini, mengatasi kelanjutan produksi dengan mengubah sikap menuju filem-filem hiburan enteng, hal, ini sebenarnya tidak ada hubungannya sama-sekali dengan kekurangan bahan baku. Segi yang ditempuh oleh karyawan filem kejurang yang menyenangkan sepintas lalu inilah yang belakangan menjadi persoalan yang paling urgent dalam pemecahan kelanjutan produksi-produksi filem.
Idee(ide), yang semula dikandung barangkali adalah demikian: dibuatnya filem-filem ringan hiburan ini bedasarkan selera umum yang diduga sudah terlampau lelah karena faktor-faktor ekonomi yang menimpa sehari-hari sehingga mereka kurang suka kepada filem-filem yang mengemukakan problem-problem berat. Tapi dibuatnya filem-filem demikian ini bukan saja dimaksud melayani selera publik yang sudah payah, tapi juga melayani selera produser yang mengharapkan uang masuk. Uang masuk yang lebih dituju ini kemudian diusahakan mengimbangi filem murahan ringan hiburan sebagai ‘batu loncatan’ kearah membikin filem-filem yang serius dan dapat dipertanggung-jawabkan sebagai hasil seni.
Idee ini pada sebenarnya masih bisa diterima kalau hal itu dilakukan sebagai batu loncatan.
Tapi kemudian idee itu bukan saja berubah bentuk, tapi berubah fundamennya dari menuju mencari uang semata. Disini pula saat nya lahir filem-filem rongsokan, dibikin tergesa-gesa agar dapat melayani bioskop yang sedang menganga menunggu pasaran pula, bukan saja dibikin untuk menghemat waktu, tapi juga menghemat uang tapi sebaliknya mengharapkan banyaknya masuk uang. Usaha mempertinggi saja belum ada. Usaha ini baru sampai pemasukan uangnya. Usaha ini baru sampai pada taraf ‘hak hidup’ filem nasional, yang sedang mengalami bahaya dalam pemasukan uanangnya. Taraf ini lantas bertolak belakang bentuknya menjadi semacam kerja-paksa atau adu-lomba dikalangan pengusaha filem dengan memakai perkataan ‘nasional’ sebagai kedok, sedang ciri yang dipakai oleh sebagian besar mereka ini adalah ciri-ciri perekonomian liberal yang kapitalistis memasukan uang sebagai tujuan.
Suatu skenario yang sebenarnya harus sudah matang ketika diadakan script-conference adalah salah satu gejala yang paling penting dalam pembikinan filem. Suatu perdebatan yang matang mengenai suatu filem yang akan dibuat, suatu pemecahan segi-segi lahir dan batin suatu cerita, segi-segi artistik yang terutama, sudah merupakan bahan yang sudah lengkap. Pembuatan filem setelah ini tinggal lagi merupakan proses kelanjutan saja berpedoman pada script-conference yang sudah jitu itu.
Agaknya hal ini diabaikan, ataupun jika diperhatikan kemudian menjadi suatu pro forma belaka. Ini mungkin dikarenakan adanya kultus diri sendiri dalam diri karyawan-karyawan filem yang menggampangkan persoalan, sebab berkaca pada sifat rutin membikin filem sebagai yang ditempuh selama ini. Membikin filem bukan lagi jadi kerja kreatif yang melahirkan kreasi-kreasi dengan pemikiran baru, tetapi ulangan-ulangan pengalaman sebagai penghematan waktu. Sebab pemikiran-pemikiran gaya baru memakan waktu pula. Ini bukan saja karena kultus diri-sendi, tapi sebagai dikatakan di tengah-tengah tadi, bahwa karyawan-karyawan itu kebanyakan adalah tenaga rutin yang sudah impoten dalam menciptakan ciptaan-ciptaan baru. Bukan saja impoten, tapi juga tidak ada usaha untuk mengobati penyakit itu.
Lebih lahap dari itu, suatu skenario yang sudah selesai, dirobah dalam waktu sedetik, bukan disebabkan pengetahuan baru, tapi karena dianggap tidak bisa dilaksanakan cuma karena pengetahuannya memang cuma sampai di situ saja. Lebih jelek lagi, perobahan itu mempunyai motif yang lebih lapar : puradukkan menjadi aspek-aspek ‘seni baru’ dalam hal mencipta suatu. Mengaharpakn dapat jerih payah daripadanya.
Aspek-aspek merasa diri sudah sempurna sebagai old-crack, ditambah aspek-aspek kelaparan yang berhubungan dengan hidup sehari-hari, dicampuradukkan menjadi aspek-aspek ‘seni baru’ dalam hal mencipta, suatu ‘seni baru’ yang terletak disebuah jurang yang dalam dengan istana megah yang jauh dari perasaan rakyat banyak yang tinggal di bukit-bukit di atasnya . Kebanyakan mereka ini bukan lagi berdiri di tepi jurang, tapi sudah masuk ke dalam jurang.
Karena cara berfikir itu sama-sekali sudah jauh dari ciri dan cara berfikir manusia Indonesia yang sederhana, mereka ini melahirkan karya-karya yang dinamakan ‘kepribadian nasional’ adalalah ‘kepribadian golongan elite nasional’ yang jauh dan terlalu silau dari pandangan mata biasa manusia Indonesia.
Respons publik penonton bukan terletak pada soal apakah suatu perusahaan filem menghasilkan filem hiburan ringan atau filem kelas berat. Respons mereka, seperti dikatakan semula, ditujukan tepat-tepat pada masalah manusia Indonesia yang sebagaimana yang dipindahkan kelayar putih oleh filem-filem Indonesia.
Barangkali ada dugaan dari karyawan filem kebanyakan itu, bahwa manusia Indonesia yang mayoritasnya bukan kaum elite tidak punya humor dan hal-hal yang bisa menjadikan penghibur yang dapat diambil dari kehidupan mereka. Seakan-akan, humor dan kesenangan hidup hanya dimonopoli golongan minoritas kaum elit yang sudah jauh sekali dalam menenggang rasa kaum terbanyak dari manusia Indonesia. Jika ada kelihatan kaum terbanyak dari manusia Indonesia yang sederhana hidupnya itu, dalam filem mereka jadi wakil-wakil yang menggelikan dan menyedihkan atau kebodohan yang berlebihan untuk mencari sumber tertawaan belaka.
Kalau kita sebentar melihat beberapa filem-filem Jepang yang diproduksi oleh karyawan-karyawan yang sadar, filem-filem Jepang belakangan ini bukan saja menunjukan pandangan yang luar-biasa dalam melukiskan suatu realisme kehidupan manusia Jepang, tapi bersamaan dengan itu ada pula ciri heroisme yang militan, seakan-akan menjelmakan suatu kebutuhan lain : semacam ekspansi kerohanian cara baru dengan moral manusia Timur yang tinggi itu.
Pandangan yang realistis inilah yang diminta oleh banyak orang selama ini terhadap filem Indonesia. Manusia Indonesia Baru lahir dan batin, mewakili nasib golongan yang terbesar dari rakyat Indonesia dan bukan mewakili segolongan kecil saja.
Disamping itu amatlah disayangkan sebagian besar sutradara Indonesia mempunyai pengetahuan yang agak mendalam tentang cabang-cabang kesenian lainnya. Pengetahuan seni rupa misalnya, menambah artistik komposisi, bentuk dan cara dalam pengambila suatu adegan. Pengetahuan musik memelihara ritme dari suatu gelombang cerita. Pengetahuan sastra menambah erat hubungan cerita dalam bentuk fisik dan psikisnya, membawa acuan dan arah pemikiran. Dan pengetahuan directing sendiri, sehingga tidak berbekal pengetahuan rutin belaka, mengulangi suatu yang sudah usang. Jarang ada yang terdengar di telinga kita sutradara filem Indonesia mempunyai penasihat artistik, kecuali belakangan kedengaran adanya penasehat militer sehubungan adegan-adegan perang.
Tapi di samping hal-hal yang mengecilkan hati itu, masih juga usaha yang lain, sebagai misal mengambil cerita-cerita yang dilahirkan oleh sastrawan-satrawan kita untuk difilemkan.Ini tetap tidak akan merobah kekecilan hati itu, jika sekiranya tidak lebih dahulu diperhitungkan dengan pemecahan yang matang, sebelum membuat filem dan ketika membuat filem itu bedasarkan pegangan manusia Indonesia dengan kemanusiaan bangsa Indonesiannya sebagai darah, daging dan hati yang tercakup oleh pita-pita filem diatas layar putih.
Agaknya bisa dipertimbangkan bahwa perlu adanya suatu team.
Suatu team yang terdiri dari penulis cerita/skenario, sutradara, editor, penasehat artistik, juru kamera dan produser.
Team ini benar-benar suatu team yang kompak, bukan saja dalam cita rasa, tapi juga cita-cita dan tanggung jawabnya sebagai karyawan dan budayawan. Team ini bukan pula suatu team borongan, dimaksudkan bukan beberapa bidang yang diborong oleh satu tangan sehingga tidak ada lagi kesempatan untuk mengoreksi diri dan hasilnya.
Dari karyawan filem ada dikatakan, bahwa membikin filem tidak semudah membikin tempe. Perkataan inilah yang harus dipegang benar-benar sesungguhnya membawa jawaban : Semoga saja yang dikerjakan adalah filem. Dan bukan seperti senda-gurau orang banyak : Yang dibikin filem tapi jadinya tempe.
Sinisme demikian cukup sumbang adanya.
sebagian foto berasal dari http://indonesiancinematheque.blogspot.co.id