[tab] [tab_item title=”ID”]
Ada banyak hal yang bisa didiskusikan saat kita bicara tentang komunitas filem dan filem komunitas. Dari persoalan pilihan untuk berkumpul sebagai sebuah kelompok, apa itu penonton, tema-tema, hingga persoalan pengertian-pengertian tentang filem itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan ini telah menjadi dugaan-dugaan yang tak terjawab bagi Jurnal Footage dalam melihat komunitas filem. Karena dari banyaknya tumbuh komunitas filem sejak Reformasi 1998, hingga saat ini hanya sedikit komunitas filem yang bisa bertahan dan tetap konsisten bekerja di wilayah komunitas. Dari yang sedikit itu, ada beberapa komunitas yang memunculkan ‘orang filem’ baru di industri filem kita saat ini.
Tentu kita tidak bisa mengabaikan peran besar kawan-kawan komunitas ini dalam perkembangan perfileman nasional sekarang. Mereka adalah orang-orang yang menghadirkan filem Indonesia di komunitas dan membentuk penonton filem Indonesia di tingkat paling bawah. Industri filem kita mengambil buah yang sangat manis dari energi yang telah terbangun dari kalangan komunitas. Peran Konfiden, sebagai salah satu pelopor dan penggerak produksi filem-filem indie di berbagai daerah adalah kenyataan sejarah yang tidak bisa begitu saja kita lupakan. Jurnal Footage melihat, seharusnya para penggerak industri filem sekarang berterimakasih kepada komunitas ini.
Namun, tentu kita perlu melihat lebih obyektif peran komunitas filem ini saat ini. Pertanyaan-pertanyaan di atas tentang pilihan berkomunitas, penonton, tema-tema yang mereka pilih dan pengertian atau pengetahuan tentang filem adalah hal yang perlu kita ketahui. Pertanyaan yang paling standar adalah pengetahuan tentang filem. Karena penggiat komunitas ini menyebut dirinya sebagai “komunitas filem”. Tentu selayaknya pengetahuan filem yang mereka miliki “cukup”. Tapi, Jurnal Footage menemukan bahwa pengetahuan inilah yang justru “terabaikan” oleh komunitas filem, yaitu pengetahuan tentang bahasa visual, teori, dan sejarah filem. Kelemahan-kelemahan ini tergambar dalam Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komuntas 2010 di Taman Budaya Surakarta, Solo – Jawa Tengah, pada 17-19 Maret 2010. Maka, selayaknya pula ada sebagian kalangan menyebut komunitas filem hanya para hobbies dan keren-kerenan dalam pergaualan anak-anak muda. Jurnal Footage tidak mencoba memandang anggapan ini sebagai sesuatu yang negatif. Karena kritik sebagian kalangan ini tentu berkaca dari posisi tawar komunitas filem dalam pewacanaan dunia filem di Indonesia yang lemah. Untuk itulah, Jurnal Footage merasa perlu untuk bertemu langsung dan berdiskusi dengan komunitas-komunitas filem untuk dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka di atas tadi.
Jurnal Footage melakukan wawancara dengan beberapa komunitas filem yang hadir pada kongres yang berlangsung selama tiga hari itu. Mereka adalah sebagian dari 42 komunitas yang hadir pada salah satu pertemuan komunitas terbesar ini. Dalam kesempatan itu hadir; Dharmansyah Lubis (Sources of Indonesia, Medan), Weldy Indra (Wakref UIR Marpoyan, Pekanbaru), Insan Indah Pribadi (Sangkanparan, Cilacap), Damar Ardi Atmaja (komunitasfilm.org, Wonogiri), Joko Narimo (Mata Kaca, Solo), Elida Tamalagi (Kinoki, Yogyakarta), Agus Mediarta (Konfiden, Jakarta), Stefanus Andre Agung (12,9 AJ Kineklub Atmajaya, Yogyakarta). Tentu dari wawancara ini tidak mewakili semua komunitas yang hadir pada kongres ini, apalagi komunitas filem di Indonesia. Minimal, dari diskusi ini, kita dapat menemukan bagaimana beberapa komunitas filem bergerak dan mengembangkan dirinya.
Wawancara dilakukan di sekretariat panitia penyelenggara Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komuntas 2010. Pewawancara Hafiz dan direkam oleh Mahardika Yudha dengan kamera video. Berikut hasil wawancara selama 100 menit itu.
Hafiz: Banyak persoalan-persoalan penting dalam filem yang tidak hadir di forum ketika saya lihat tadi. Bagi saya banyak persoalan-persoalan ini perlu kita bahas. Saya sebenarnya, tetap saja lebih percaya pada komunitas. Komunitas itu punya peran penting dalam konteks gerak kebudayaan di Indonesia sekarang ini. Kita ingin membaca perspektif kawan-kawan tentang komunitas filem, perfileman, dan sebagainya. Terakhir saya sempat berdiskusi dengan beberapa filmmaker atau orang filem senior. Semuanya mengabaikan posisi komunitas atau melihatnya tidak terlalu penting dalam perfileman Indonesia. Karena dianggap hanya kelompok anak-anak muda saja atau para hobbies. Jurnal Footage ingin tahu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, dan keraguan-keraguan orang-orang filem terhadap komunitas filem di Indonesia. Jadi begitu. Kenapa kawan berkomunitas? Apa yang bayangkan terhadap komunitas filem sendiri?
Dharmansyah Lubis: Kita punya kesadaran berkomunitas itu sebetulnya baru. Dan kesadaran itu lahir secara tidak sengaja karena memang proses bermain dengan filem indie. Itu dilandasi sebuah kesadaran pemanfaatan media. Jadi kita melihat filem adalah media penyampai pesan. Kemudian kita manfaatkan untuk tujuan lainnya. Setelah tiga empat tahun kita mulai sadar, “Kayaknya kita gak cukup deh main hanya dengan filem dokumenter untuk menyampaikan pesan yang tidak di-cover oleh media-media mainstream”. Terbukti, ketika suatu waktu kita bikin filem dokumenter tentang ibu hamil yang tinggal di sebuah kampung di dataran tinggi. Dia harus turun-naik dan melalui tangga sekian banyak sehingga tidak manusiawi dan berisiko terhadap kehamilannya. Filem itu kita kemas, lalu dikirim ke DPRD, dan Bupati. Tiga hari kemudian Bupati ambil inisiatif untuk langsung datang ke lokasi. Seminggu kemudian Bupati menyatakan harus ada Puskesmas pembantu di desa tersebut. Lalu kita berpikir, “Wah, ini ternyata bisa menjadi media efektif bila pesan yang kita kemas sampai pada sasaran yang tepat!”. Kemudian kawan-kawan mulai mengembangkan diri ke filem-filem fiksi. Kenapa? Karena kita sadar bahwa orang-orang di kampungku, di Tapanuli misalnya, ngomongnya sudah bisa, “Enak aja lo, emang lo siape?”. Jujur, itu jadi dendam tersendiri bagi kita. Memangnya bahasa Betawi itu jauh lebih baik ya, dari bahasa Tapanuli? Bahasa Jawa itu jauh lebih baik dari bahasa Tapanuli? Karena semua media televisi swasta hanya menyampaikan pesan-pesan dengan bahasa Betawi dan bahasa Jawa. Indonesia bukan Jawa. Kemudian, karakter yang dibentuk oleh media-media mainstream itu terhadap masyarakat, terutama yang jauh dari akses-akses kekuasaan. Masyarakat menjadi punya karakter yang instan. Dan gak ada upaya counter atas itu. Teman-teman filem komunitas yang lain yang ada di Medan juga masih asyik dengan dirinya sendiri. Asyik dengan gagasan yang kadang-kadang sangat temporer. Dan tidak mengkerucut sampai tingkat substansi bahwa fungsi filem sebagai media penyampai pesan. Kita nyadarin itu. Nah, secara komunitas kita sadar. Ketika ada kongres ini, kita ikut. Kita punya kesadaran bareng juga. Mulai mengasah diri. Kira-kira begitu. Kita berpikir, Kenapa kita gak mencoba merebut peluang membangun TV lokal dengan cara apapun. Mungkin saja ini bisa kita lakukan. Kalau di Sumatera misalnya, ibukota provinsi sebagai pemilik informasi, gitu. Dan Jakarta tidak pernah mau melepaskan daerah-daerah. Di kampung-kampung kami itu tidak bisa mendapat akses dari Medan. Tapi mereka tetap mendapat akses informasi dari Jakarta. Lagi-lagi itu terjadi. Ku kira tanggung jawab kita orang-orang di Medan paling tidak dengan sedaya-mampu dan apapun yang bisa lakukan membuat pesan melalui media yang disampaikan kepada masyarakat.
Hafiz: Sejauh ini impact yang kalian dapat apa? Dalam artian bukan hanya sebagai aktivitas penyadaran dan gerakan. Tapi gue juga ngelihatnya sebagai aktivitas kultural.
Dharmansyah Lubis: Cukup bagus. Karena Sumatera itu adalah kawasan yang basis kulturalnya bukan kultur menulis. Tidak ada sastra tulis di sana. Kalau ada kecil sekali. Basisnya adalah sastra lisan. Sastra lisan jelas berdampingan dengan sastra visual. Karena orang harus ngobrol untuk menyampaikan sesuatu. Artinya, lisan dan visual berdampingan. Ketika kita menawarkan media dalam menyampaikan pesan dengan media audiovisual, itu jauh lebih efektif dibandingkan disampaikan secara tertulis. Itu terbukti. Kita melihat reaksinya ketika beberapa kali kesempatan, filem-filem yang dibuat teman-teman itu disampaikan pada pemerintah. Dia memiliki respon yang jauh lebih baik dibandingkan tertulis.
Hafiz: Pengetahuan filem yang kalian dapat dari mana? Kenapa kalian membuat filem? Tentu ini ada pengetahuannya, baik secara teknologi, bahasa. Selama ini dari mana?
Dharmansyah Lubis: Komunitas kita itu kebetulan sebagian jurnalis. Juga ada yang pernah bekerja di TVRI. Kita belajar padanya. Lalu, kita juga belajar pada orang-orang televisi, “Gimana sih caranya meramu sebuah story melalui gambar, termasuk pesan?”. Melalui buku dan informasi di internet. Ya, itu keterbatasan dan jujur, kita sebetulnya bukan orang filem sehingga memang informasi tentang filem sangat minimal. Tidak punya akses dengan teman-teman filem dari Jakarta. Misalnya, walaupun ada, seperti yang selama ini bekerja di dunia industri perfileman, ya… gak match sama sekali dengan mereka. Itu juga membangun kesadaran bahwa kita harus mencari teman-teman yang bisa match dengan itu.
Hafiz: Kalau kalian di Purbalingga gimana? Pengetahuan filemnya dari mana?
Insan Indah Pribadi: Aku dari Cilacap. Maksudnya pengetahuan filem bagaimana?
Hafiz: Ya, macam-macam. Baik secara bahasa, teori, dan sebagainya. Kalian sudah memutuskan menyebut diri “komunitas filem”. Tentu misalnya saya membuat komunitas sastra, minimal saya mengerti sastra. Mengerti bahasa sastra. Apa itu sastra. Terus, ketika kalian membuat sebuah komunitas filem, pengetahuan itu dari mana?
Insan Indah Pribadi: Kalau aku dari Cilacap, berkomunitas hampir sama dengan teman-teman, ingin menyampaikan segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita. Komunitas menjadi kontrol sosial terhadap sesuatu yang terjadi di sekitar kita. Misalnya begini, di Nusakambangan ternyata terjadi penggalian batu kapur sampai berapa puluh hektar. Masyarakat di Indonesia hanya tahu misalkan semen di Nusakambangan digali dan perusahaan semen melakukan penghijauan. Padahal itu gak segampang itu. Semua orang susah mengakses sampai ke dalam situ. Hanya komunitas-komunitas yang ada di Cilacap yang bisa mengakses. Hal-hal semacam itu. Jadi, secara gak langsung, ya… kita harus membuka mata masyarakat lebar-lebar tentang itu. Salah satunya dengan berkomunitas ini. Selama ini yang kita lakukan mengajak teman-teman yang terdekat dam sama-sama punya hobi. Karena basic-nya berkomunitas, kita juga gak bisa memaksa mereka harus tetap berada bersama kita terus. Juga gak bisa memaksanya untuk melakukan sesuatu. Kadang mereka cuma bisa berpikir, dan punya ide.
Hafiz: Pertanyaannya, pengetahuan filem dari mana?
Insan Indah Pribadi: Pengetahuan itu dari jejaring. Sama-sama. Kayak Cilacap, Purbalingga, Purwokerto, Banyumas, Banjarnegara itu punya kultur yang sama. Rata-rata kebutuhan mereka juga sama. Ketika kita sama-sama ketemu antar komunitas dan memetakan kebutuhan itu, ternyata sama. Kita membentuk namanya Jaringan Kerja Film Banyumas. Fungsi jaringan adalah sebagai wadah. Jadi kebutuhan apa saja di setiap kabupaten yang tidak bisa ter-cover, kita rembuk sama-sama di Jaringan Kerja Film Banyumas. Kita sama-sama mendapatkan solusi itu. Gak pernah buntu. Misalkan, ternyata ada filem dari teman-teman siswa-siswa Purbalingga dan Cilacap diputar di Jakarta, ini sebuah permasalahan karena siswa-siswa gak bisa berangkat. Yang berangkat misalkan dari Purbalingga 20 orang, Cilacap 20 orang, ini permasalahan. Sekolah gak bisa ngasih bantuan apa-apa. Pihak penyelenggara festival, gak bisa ngasih apa-apa. Otomatis kita harus berpikir sama-sama. Nah, Jaringan Kerja Film Banyumas sama-sama memecahkan itu. Jadi itu fungsi jaringan itu. Apalagi ya?
Hafiz: Pertanyaannya itu sebenarnya, aku loncat-loncat aja, ya. Kawan-kawan bisa menimpali. Gak mesti harus satu-satu menjawab. Bagi saya, ketika memulai membuat komunitas, kan biasanya punya basis pengetahuan. Misalnya, seperti Dharmansyah bilang tadi, tentang basis pengetahuan, konteks lokal, juga konteks pengetahuan bahasanya. Makanya, saya jadi ingin tahu. Kan ada pernyataan-pernyataan misalnya, “Ah, mereka kan gak tahu apa-apa. Cuma ya, senang-senang saja membuat itu, gitu loh”. Tapi mereka kan gak tahu bahwa ada intensitas di dalamnya. Intensitas di dalam komunitas itu.
Elida Tamalagi: Hafiz, gue bisa jawab gak?
Hafiz: Ok.
Elida Tamalagi: Bagaimana jadinya Kinoki. Gue mulai puter filem itu di kos. Tahun-tahun awal gue kuliah. Waktu itu Kine Klub gak ada. Segala hal di Fakultas Sastra itu basi banget buat gue. Band-band-an, pecinta alam udah, yang gitu-gitu deh, “I’ll be there, then death”. Jadi, gue mulailah buat pemutaran di kos-kosan. Gue suka nonton. Terus mulai ada yang suka ini. Gue sampai bikin flyer kecil-kecilan. Ke kamar-kamar kos teman-teman. Sampai mengubah kultur kos-kosan gue. Mereka harusnya jam segini makan sama pacarnya, pacarnya pun boleh masuk dan kita bikin pemutaran bersama. Waktu itu masih TV 21 inch. Kemudian ada Kine Klub. Terus Kine Klub itu bergeser ke produksi juga. Saya patah hati lagi, “Gak bisa ini gagal seperti ini”. Pengetahuan saya dari menonton. Pengetahuan tentang filem dan tentang hidup, ya, itu dari menonton. Dan buat saya satu-satunya cara menyebarkannya adalah dengan memutarkan filem. Saya cepat-cepat lulus. Cari duit. Buka Kinoki. Nah, waktu mau buka Kinoki, di sinilah kita bicara komunitas. Teman lewat naik sepeda (bertanya), ‘Eh, ini ngapain?“, waktu kita lagi renovasi dan ngecat-ngecat. “Bikin bioskop”. Nah, saya selalu ngomongin itu. Jadi kalau mabuk atau apa gitu, “Aku ingin buka bioskop”. Kayak sudah terlalu sering diomongin. Jadi buat orang-orang juga, “Hah? Beneran? Beneran jadi bikin?”. Akhirnya, semua orang kontribusi ke situ. Renovasi itu berlangsung sangat cepat. Orang bekerja dengan waktu biologisnya. Ada yang datang jam 3 pagi bawa kuas, ngecat sendiri. Di situ saya bicara komunitas. Itu kenapa Kinoki lebih sering clash dengan komunitas filem yang ada di Yogyakarta. Karena mereka basisnya produksi. Mereka sama sekali gak menonton filem, seperti itu. Ketika ditanya, “Basisnya Kinoki siapa? Penonton!”. Terbukti waktu lampu proyektor kami mati. Ini pertama kalinya saya ngomong di publik. Selama ini saya baru ngomong kurang dari lima orang. Betapa hancurnya hati saya ketika kita bikin fundraising untuk kita bisa beli lampu lagi. Tidak ada satu anak filem pun yang datang. Satu Yogyakarta! Tidak ada satu pun! Yang ada anak musik, DJ, seniman. Itu yang datang. Tidak ada satu pun anak filem! Dan yang mengobati sakit hati saya waktu itu adalah semua email dan sms yang masuk ke Kinoki semuanya dari penonton. “Mbak, kalo udah muter lagi kabarin ya“. Nah, di situ saya mengambil pondasi yang saya letakkan pertama bahwa kami adalah komunitas filem. “Kami adalah komunitas yang menyebarkan filem’. Ini bukan komunitas filem semata karena ternyata banyak yang mendapatkan manfaatnya itu justru dari orang-orang yang non-filem. Penonton berkebutuhan khusus, guru yang nyari materi ini, yang kayak-kayak gitu.
Hafiz: Elida sudah menyinggung penonton, definisi penonton buat komunitas filem itu apa sih?
Elida Tamalagi: Gue sih lebih kayak gini, penonton adalah orang yang benar-benar datang dengan satu niat mulia: nonton. Entah itu ngisi waktu atau kebetulan dia lewat. Bukan penonton yang datang karena dia nemenin teman kos yang pacarnya kru. Mereka itu tidak bisa kita tanya pendapatnya. Tidak bisa kita hitung kehadirannya. Kalau kuliah pun titip absen gak sah, gitu…
Hafiz: Aku sempat tadi ngobrol di luar sama teman dari Pekanbaru. Kerjanya kayak Elida, Kine Klub; memutar filem. Terus ada yang bikin festival. Definisi penonton apa sih? Misalnya, definisi penonton bagi industri adalah “pasar”. Definisi penonton bagi kita komunitas, gue juga dari komunitas, itu apa? Itu perlu kita pertanyakan.
Elida Tamalagi: Future friends. Kalau ada orang yang datang menonton satu filem yang gue gak pede (percaya diri—Red.) waktu programming-nya, karena gue suka banget. Kok gak ada yang nonton? Gak apa-apa lah. Terus ada yang nonton sampai habis. Itu pasti gue datangin. Terus ngobrol. Future friends. Dan dari situ ada keterlibatan lebih lanjut. Misalnya, saya tidak pernah tahu kalau ada golongan orang-orang yang menyukai. Mereka tidak pernah terfasilitasi atau bahkan berpikir untuk memfasilitasi diri sendiri. Kemudian kan kita akhirnya jadi bisa punya ide. Terus kerja bareng. Tapi, pertama dan terutama, Future friends, gitu. Itu sih, buat gue.
Hafiz: Dari kawan-kawan Solo, bagaimana?
Joko Narimo: Apa itu, Mas?
Hafiz: Ya itu tadi. Definisi penonton buat kalian apa?
Joko Narimo: Ya, hampir sama sih. Kalau penonton tetap teman. Masalahnya kadang kita kesepian sih. Ketika muter gak ada yang nonton, “Ahhh“. Kita bisa ngobrol banyak. Mungkin gak cuma tentang filem itu juga, tetapi hal-hal lain. Sering juga, ketika kita muter, datang teman baru. Ketika di luar pemutaran, kita tetap cari teman baru, jaringan baru. Kalau cerita tentang Mata Kaca sih, kita sebenarnya datang ketika dulu pernah lihat filem-filem dari teman, ada yang bagus. Menurut saya sih, itu lebih bagus dari yang ada di TV dalam arti isinya. Masalah teknik, biasalah dari teman-teman. Meskipun tidak sebagus yang ada di bioskop, tapi saya lihat isinya menarik. Terus ada diskusi juga. Kami diundang Konfiden. Sebetulnya belum jadi komunitas, masih pribadi. Terus kita datang. Di Konfiden ditanya macam-macam belum tahu. Ketika melihat filem-filem di sana banyak banget, tidak cuma satu dua, “Wah, ini lain daripada yang ada di TV atau di bioskop”. Setelah pulang ke Solo, saya cari teman-teman, “Ayo, kita putar filem bareng yang waktunya kita bebasin“. Misalnya kita mulai jam 7, diskusinya sampai jam 12 malam atau jam 3 pagi. Dari situ mungkin timbul rasa asyik, gitu. Asyik loh! Benar! Awalnya di kontrakan. Pinjam LCD (proyektor), tembakkan ke tembok. Lama-lama kenal dengan Bowo (Bowo Leksono) dan teman-teman. Terus dikirimi filem. Mas Insan juga, dikirimi filem banyak, kan jadi senang. Masak cuma kita tonton sendiri aja. Bagaimana kalau kita muternya keluar juga? Ya udah, kita keluar muter filem itu. Orientasinya memang bagaimana filem ini bisa ditonton lebih banyak orang. Aku melihat isinya ini penting untuk ditonton. Tetap yang penting bisa muter, meskipun kita gak punya apa-apa. Kita berhubungan dengan teman yang dulu datang ke pemutaran pertama, misalnya kan dia dari salah satu institusi, “Di kampus kamu ada LCD gak? Bisa dipinjam gak? Ya udah, kalau ada berarti, ya sudah kita muter di kampusmu”. Itu terus sampai beberapa kampus. Itu tidak terprogram.
Hafiz: Selama ini kalian menemukan penonton-penonton yang memberikan kontribusi pikiran terhadap perkembangan komunitas?
Insan Indah Pribadi: Secara gak langsung penonton akhirnya akan mengontrol karya-karya kita. Terlepas dari cuma datang pengen nonton, cari sesuatu yang lain dari kebiasaan mereka. Se-enggaknya kita bisa tahu ketika karya-karya kita dipertontonkan. Kita bisa mengukur, “Oh karya kita apa ini yang salah”. Kalau mereka akhirnya bubar, berarti ada yang salah di komunitas, penyelenggaraan, dan metodenya. Nah, secara gak langsung itu sebagai kontrol juga dan jadi motivasi bagi komunitas untuk melakukan yang lebih baik.
Hafiz: Biasanya, apa yang dikoreksi oleh penonton?
Insan Indah Pribadi: Macem-macem. Penonton itu kan bisa bebas sekali. Kadang mereka mengkritisi filemnya, kadang mengkritisi penyelenggaraannya. “Wah, aku bingung ya Mas, nonton di tempat ini tempatnya panas banget jadinya aku gak enak nontonnya”. Itu permasalahan ruang untuk nonton. “Wah, Mas, aku gak masuk filemnya loh. Itu ceritain apa?”. Berarti permasalahan menyampaikan visualnya. Atau kita salah membuat program itu untuk ditontonkan, pasti ada target-targetnya lah. Kita muter filem itu untuk apa. Kalo pelajar-pelajar ditontonin filem-filem yang terlalu berat juga, dia juga gak akan paham hal itu.
Elida Tamalagi: Kalau di Kinoki, pemutaran-pemutaran yang kita bikin, semakin ke sini-sini itu yang menarik. Kayak Insan bilang, pasti soal kenyamanan ada lah. Ya… Karena kita sering pindah-pindah. “Ini kursinya gak enak”, apalah gitu. Tapi terus yang menarik ke sini-sini itu, soal umur, klasifikasi. Banyak orang tua yang ngeyel. “Ya, gak apa-apa. Ini kan anak-anak saya”. Nah, kalau udah kayak gitu, saya bilang biasanya, “Ok, fine. Tanggung jawab Bapak. Tapi nanti akan ada teman yang pegang senter di dekat Bapak. Kalau misalnya udah gak tahan, silahkan adiknya di bawa keluar kita bisa temenin di luar”. Sampai kayak gitu. Karena lama-lama dia sendiri juga yang gak nyaman. Jadi, banyak yang sok-sok-an. Ada juga yang aware dengan masalah undang-undang. “Oh, ini untuk yang undang-undang itu ya? Banyaklah di koran atau di ini”. Atau yang sepintas-sepintas, tapi mereka aware dengan itu. Kalo yang bisa sampai ngeyel, “Gak apa-apa. Anak saya, anak saya”. Kalo kontribusi sejauh ini, apa ya… Bahasa Jawa-nya gedo tular—dari mulut ke mulut itu memang lebih banyak dari penonton komunitas filem. Soalnya juga kan dari komunitas, kalau yang produksi agak awet lah ya. Tapi yang kampus, Kine Klub, ganti orang, ah, ganti lagi. Ganti kontak. Ya kayak gitu-gitu dari penonton. Ada yang sampai se-heroik. Misalnya datang ke kita minta dibikinin pemutaran acara Tujuhbelasan—Perayaan Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus. Karena dulu dan dia itu, saya lupa, tukang becak apa tukang sate di daerah Tirto (Tirtodipuran, Yogyakarta) itu lho. Soalnya gue mangkal di situ. Puter-puter filem. Terus nyari. “Bisa gak kita Tujuhbelasan dibikinin pemutaran? Bisa, berangkat Joni!” Sampai ke guru, dia minta bahan, “Bisa dong cariin beberapa filem untuk saya mengajar di kelas?” Sampai ke hal-hal kayak gitu.
Hafiz: Sebenarnya gue sedang mencari-cari juga parameter penonton. Selama ini dari tahun 1999, terus gue coba mencari parameter penonton. Karena tahun 1990an, filem Indonesia kan “hancur lebur”. Ketika ada gong ditabuh oleh Konfiden, muncullah penonton filem. Dan sejak itu sampai sekarang, gue sangat percaya banget bahwa apa yang diterima oleh para industri filem sekarang, misalnya; penonton sampai 4 juta, 5 juta, itu telah dibangun oleh jaringan komunitas filem. Gue percaya banget sama itu. Tadi Elida katakan, penonton adalah menemukan teman-teman. Dan teman-teman kita itu akan menemukan teman-teman yang lain, dan yang lain lagi. Itu bertahun-tahun dibentuk oleh komunitas. Menurut kalian apa sih parameternya? Parameter untuk melihat penonton ini punya fungsi yang sangat signifikan. Sehingga peran komunitas ngebentuk banget kesadaran terhadap apresiasi terhadap filem, terutama yang paling gue banggakan adalah apresiasi terhadap filem Indonesia sekarang. Orang datang ke bioskop untuk menonton, dan menonton filem Indonesia.
Stefanus Andre Agung: Bisa ngomong? Kalau dari komunitas Kine Klub Atmajaya Yogyakarta, dari awal mati selama beberapa tahun karena ditinggal dedengkot-dedengkot yang udah hilang entah kemana. Dari lima orang awalnya. Mereka bukan orang Yogyakarta semua, ada yang dari Temanggung, Solo, Tangerang, Palangkaraya, dan dari daerah Sumatera. Kita adalah orang-orang yang salah jurusan. Karena orang tua gak boleh masuk sekolah di seni, ya udah toh di komunikasi. Padahal, awalnya kita pengen jadi filmmaker. Kita ketemu di Kine Klub. Tanpa tahu bahwa Kine Klub memang tidak bertujuan buat produksi filem, untuk apresiasi. Akhirnya kita produksi filem untuk sekedar, memberikan tontonan. Awalnya seperti itu. Sampai sekarang, menurut kita penonton itu adalah sebuah value. Kebetulan filem saya sempat diputar di-shot Yogya TV, walaupun di situ hanya ada tiga orang yang nonton, tapi itulah value. Orang yang mau menyempatkan waktunya sekitar 1 jam nonton filem. “Dari siapa sih? Antah berantah!”, Orangnya siapa, gak tahu. Tapi dia mau ke situ adalah sebuah nilai sendiri. Kalau omong onani, klimaksnya di situ. Akhirnya, kita harus membiasakan dulu budaya nonton. Setelah itu baru produksi. Setelah jalan dua tahun, kita mencoba program yang namanya Belajar Bicara Film. Kalau budaya menonton saja belum ada bagaimana kita bisa produksi. Awalnya kita buat semacam gelar karya. Pengen tahu dulu animo penonton filem itu kayak apa dari filem komunitas, bukan dari filem yang udah diproduksi gede. Kita gelarin selama tiga hari. Di hari pertama yang datang cuma satu orang. Dan akhirnya selama tiga hari kita cuma nampung 60 orang penonton di situ. Ya udah, mungkin untuk Yogya apresiasinya mungkin sebatas itu. “Okelah, gak apa-apa”. Dan kita coba terus di kampus sendiri ngadain screening. Bahkan dari komunitas kita sendiri gak banyak yang datang. Kita mau diskusi, hanya lima, enam orang, yang ngomong. Ya kembali lagi ke kodrat. Ini mungkin kodrat kita sebagai, orang-orang komunitas. Ya kodrat udah dilahirin, kayak dosa turunan, gak ada penonton. “Ah, apa sih. Buang-buang waktu”. Mau terima nasib juga gak bisa. Mau gerak juga gak tahu kemana. Akhirnya, “Ini gimana sih kita, biar minimal ada kerjaan lagi, gitu“. Kalau mau lihat parameter penonton, di Yogya itu kayak gimana ya, mau ngomongin tapi takut claim seseorang. Menurut saya, untuk komunitas di Yogya, lebih mudah untuk menjalin relasi dengan komunitas di luar Yogyakarta seperti Bandung, Surabaya, Jakarta, daripada dengan Yogya sendiri. Jadi lebih enak berkomunikasi dengan orang-orang yang justru jauh-jauh. Dengan Bandung kita malah intens via facebook, via chating, dan tukar info. Tiga tahun di komunitas, saya juga masih meraba-raba. Sebenarnya saya juga gak tahu pangkalnya kayak apa. Saya datang ke dunia; “Wah ini, kok ada masalah gini tapi gak tahu apa-apa”. Seperti buta. Harus kemana dan sampai kapan.Yang ditakuti lagi kalau kontrak kerja saya di Kine Klub, lulus kuliah. Next time mau jadi apa?
Weldy Indra: Kalau penonton itu rasanya berbeda-beda. Kayak kami di Pekanbaru dulu pernah bikin apresiasi screening filem. Kita kedatangan tamu dari luar kota, dari Bandung. Waktu diskusi filem kita udah nyebarin undangan sebelum acara mulai. Nyiapin gedung yang selebarnya 30 meter. Tahu-tahu yang datang cuma 20 orang. Itu pun sudah kita telepon, “Datang lah, datang lah. Ini ada tamu nih,” Kayaknya hampir sama saja di Yogya. Mencari hubungan antar komunitas pun, ada gap-gap juga.
Stefanus Andre Agung: Eksistensi mungkin.
Hafiz: Kenapa itu bisa terjadi? Maksud aku, mengutip lagi kata-kata dari Elida bahwa berkomunitas atau memutar filem, menonton dan penonton adalah mencari teman. Kenapa teman-teman itu hilang ketika kita memutar filem?
Elida Tamalagi: Jadi gini, dulu, tahun berapa ya? Udah lama banget. Tahun 2007 atau 2008 lah pokoknya. Waktu Kinoki ikut sama FKY (Festival Kesenian Yogyakarta—Red.) di Benteng (Benteng Vredeburg, Yogyakarta). Gue bikin salah satunya workshop programming untuk semua tingkatan pemutaran; Kineklub dan festival. Paling gak ada hal-hal yang perlu diperhatikan. Kalau yang saya lihat banyak dari teman-teman itu, ketika ditanya, “Kenapa bikin pemutaran?” atau “Kenapa muter filem ini?”. Karena, “Kita merasa ini penting! Orang penting tahu!”. Tapi itu kita yang ngerasa. Terus abis gitu marah-marah, “Orang di sini tuh malas, hujan dikit aja gak datang!”, itu berbagai varian. Cuma, kalau gue lihat dari yang banyak, seperti itu.
Hafiz: Hanya di satu pihak aja yang menganggap seperti itu, ya?
Elida Tamalagi: Iya, seperti itu. Mungkin orang tidak mau datang bukan karena acara filemnya. Tapi, udahlah misalnya; filemnya aneh, tapi tidak ada sinopsis, tidak ada perkenalan. Atau misalnya, sejarah filem, memutarkan filem-filem penting karya Dziga Vertov. Terus, gak dijelasin kenapa Dziga Vertov itu penting. Yang kayak-kayak gitu. Motivasi orang kan beda-beda. Ya… ada orang buang sial, ada yang gak ketemu pacar ya… Udahlah nonton aja. Terus, lu menjejalkan sesuatu yang penting. Kita lupa bahwa budaya menonton itu adalah leasure time. Bagaimana, mungkin kita mengemas sesuatu yang penting-penting tadi itu, di kacamata dia pas.
Hafiz: Gue balik ke konteks komunitas dan pengembangan komunitas. Gue anggap posisi pentingnya komunitas karena basis pengetahuan. Seperti yang lu bilang tadi, kenapa komunitas menganggap Vertov penting? Karena basis pengetahuan kan? Persoalannya kan sekarang begini, kenapa jarak itu terlalu lebar? Gue mencontohkan begini, apa yang dibangun oleh komunitas di Jakarta, misalnya kayak ruangrupa, dari audiens yang cuma lima orang, sepuluh orang, sampai menjadi 5.000 orang, sekali dua tahun di OK. Video Festival. Maksud gue, padahal sama posisinya. Seperti yang lu bilang tadi, “Ini aneh-aneh nih yang dikasih. Apaan sih nih?”. Tapi kawan-kawan di sana tuh bisa mengemasnya menjadi leasure tadi. Sekarang kan ada gap distribusi pengetahuan itu. Bagaimana gap-gap distribusi pengetahuan di komunitas ini dipecahkan? Bagaimana?
Elida Tamalagi: Mungkin sebelum ke distribusi, dalam mengemas si leasure-nya tadi tersistematik dan ada target. Dari lima menjadi sepuluh, menjadi lima ribu itu ada perencanaan program yang panjang dan sistematis. Memang tujuannya meningkatkan penonton secara kuantitas, titik. Bagaimana pengemasan. Bukan penurunan/menaikan konten, tapi pengemasan. Gue pikir memang itu yang kurang dipikirin sama komunitas.
Hafiz: Maksud lu kerja sistematiknya kurang?
Elida Tamalagi: Bukan kerja sistematiknya. Itu kayak the last thing. Hal terakhir yang dipikirin. Karena masalah komunitas, lagi-lagi sustainability. Orangnya ganti. Kontrakan bayarnya gimana? Jadi ketika ada kesempatan pemutaran aja udah… (sambil menghela nafas—Red.). Ketika punya pemutaran rutin aja udah… (sambil menghela nafas lagi—Red.). Jadi memang penaikannya sangat lambat. Multiplikasi-nya memang lambat. Bahkan untuk berpikir ke situ.
Insan Indah Pribadi: Itu di kota yang ada bioskopnya. Kalau di kota yang tidak ada bioskopnya kayak aku, lambat lagi. Kadang-kadang muter filem pelajar yang apa adanya. Kalau dokumenter, masyarakat ora mudeng. Masyarakat di Cilacap ini tambah gak mudeng kalo dokumenter. Ya… bagi mereka filem ya… Seperti sinetron di TV-TV itu. Kesulitannya, bagaimana merubah pandangan ibu-ibu ini supaya filem gak sekedar cuma itu. Aku juga berusaha di komunitas. Kami mencoba menjelaskan bahwa ini karya dari anak-anak kalian. Kita puter kampung ke kampung. Mereka kebingungan menjawab pertanyaan ibu-ibu dan bapak-bapak yang sama sekali tidak tahu tentang dokumenter. Mereka tahunya filem itu ya… Sinetron-sinetron. Sampai sekarang kami belum menemukan siasat. Masa sih kita mau frontal-frontal ngomong, “Hei, jangan nonton sinetron. Sinetron itu bikin kalian tolol. Sinetron itu pembodohan masyarakat”. Mau frontal gitu kan gak bisa.
Dharmansyah Lubis: Kalau pengalamanku lain. Kita di sana tidak spesifik untuk bikin pemutaran secara khusus. Tapi karena filem kita banyak advokasi. Sehingga filem-filem itu banyak bercerita tentang kehidupan mereka sendiri. Ketika filem itu selesai, mereka respect dan begitu respon. Itu yang pertama. Yang kedua, filem-filem yang kita putarkan pada komunitas kita itu memang sangat kita kenali. Jadi, ini masyarakat punya problematika seperti ini. Nah, kita coba cari filem-filem yang terkait secara kontekstual dengan apa yang mereka alami. Biasanya mereka gak pernah pergi. Bahkan beberapa minta lagi. Itu yang mungkin saja persoalan, yang menurutku, kita gak mengenali. Kalaupun kata Mbak Elida, mencari teman baru. Sebetulnya kita enggak kenal dengan teman baru kita. Mungkin saat kerja-kerja seperti kata Mas Hafiz, kerja sistematik, kita harus lakukan kalau kita-kita mau melakukan pemutaran filem sebagai penyampai pesan melalui media yang kita sebut filem. Kenal gak sih kita dengan penonton kita selama ini, katakanlah yang selalu menonton kita. Aku juga misalnya kalau filem itu tidak sesuai dengan selera aku, ngapain aku tonton. Seseorang akan memilih pilihan medianya ketika media yang ada itu sangat banyak. “Oh, ini gak bagus. Aku memilih ini”. Apalagi teman-teman yang di wilayah akses informasinya sangat banyak kan. Kenapa gak coba mengenali secara lebih detail.
Hafiz: Terus bagaimana caranya menentukan dan menarik orang untuk memilih itu. Persoalannya kan gini, di dalam konteks apa yang dilakukan oleh kawan-kawan di Forum Lenteng sebenarnya kan sama dengan kawan-kawan di Medan. Memberikan alternatif tontonan. Lawan kita samalah, sinetron. Menurut kawan-kawan bagaimana sih caranya memberikan alternatif tontonan? Persoalannya kan dominasi media besar banget. Yang kedua dalam artian yang sama, kalau kita balikkan lagi ke komunitas, akhirnya itu kan pilihan komunitas untuk berkomunitas. Yang aku alami dulu di tahun 2001, sempat jalan-jalan ke banyak komunitas. Yang aku lihat sih memang, pilihan komunitas itu dalam posisi abu-abu. Dalam posisi yang enggak ajeg, gak jelas, maunya apa sebenarnya. Masalahnya itu. Sekarang, kawan-kawan komunitas ini apa sih sebenarnya?
Dharmansyah Lubis: Ya, itu yang sebenarnya terungkap dari kemarin sebetulnya dalam workshop-workshop kita ini. Teman-teman punya komunitas tapi kita tanya, “Sebetulnya kita itu berkomunitas mau ngapain ya?”. Udah kenal gak kita dengan diri kita? Kenal gak kita dengan kebutuhan kita berkomunitas? Kenal gak modalnya apa? Kenal gak kita siapa yang mau kita sasarkan? Kalau gak kenal, gimana neh? Kalau gak kenal kan jalannya seperti orang yang mau, “kita lapar neh. Ok. Kita butuh makan. Kita makan”. Tapi karena kita gak tahu lapar kita seukuran apa? Makannya juga tidak tahu ukuran apa? Akhirnya mungkin saja bisa keringetan semakin lapar. Atau malah tumbuh penyakit. Itu yang menurutku belum. Dari kemarin kita gak pernah membahas secara detail. Aku kebetulan ikut kelas yang lebih banyak membahas hal-hal semacam ini. Enggak nemu yang semacam itu. Sehingga memang, butuh reorientasi, menurutku. Kita di Medan merasa sekali datang kemari itu salah satu mau belajar dan mau kenal gimana kawan-kawan melakukan pengelolaannya. Dan ternyata, kondisinya sama saja dengan kita. Oke, kita sadar, kita harus reorientasi. Kalau tidak, tadi aku sempat cerita sama teman-teman. Bayangin, Medan itu ada tiga puluh kota kabupaten. Tiga puluh persen yang bisa di-cover oleh TV swasta. Langsung tanpa parabola. Sisanya itu harus pakai parabola. Yang tidak dengan parabola ini, Medan dan sekitarnya, dia masih punya banyak pilihan lain dengan informasi-informasi lokal. Hiburan-hiburan lokal yang masih punya konten kultural lokal. Dan pendidikannya jelas jauh lebih baik. Tapi bagi mereka yang jauh dari pusat kekuasaan katakanlah jauh dari Medan, itu sama sekali tidak punya bendungan apapun atau tidak punya benteng apapun. Tidak ada filter sama sekali. Dan itu yang jauh lebih berbahaya. Kebayang gak kita kalau misalnya informasi yang datang dari Jakarta masuk ke kampung, lalu kemudian tidak lakukan counter, tidak lakukan filter apapun. Ya mereka akan jadi apa, lalu kita datang dengan filem-filem yang ada pada kita dan nyuguhin itu kepada mereka.
Hafiz: Berarti apa yang kau temukan di sini, benar dong pendapat sebagian orang bahwa komunitas filem itu hanya hobbies atau keren-keren-an aja?
Dharmansyah Lubis: Sebagian besar mungkin. Karena landasan membuat filemnya teman-teman, apa dong? Apa sih dasarnya membuat teman-teman membuat filem? Aku dan teman-teman di Medan membuat filem karena ada kebutuhan bahwa kita butuh satu media lain di luar media-media mainstream untuk menyampaikan pesan sehingga terjadi perubahan-perubahan cara pandang. Atau kita butuh satu media alternatif di luar media mainstream yang ada untuk melakukan perubahan kebijakan. Itu awalnya. Kalau kemudian dalam perjalanan terjadi perubahan kebutuhan bahwa, oh… Ternyata untuk menyampaikan pesan. Tidak hanya untuk sebuah isu. Tetapi untuk isu yang lebih masif misalnya, ini kayaknya kita harus lebih mengintervensi media. Dalam media distribusi yang mungkin juga lebih bisa menjangkau secara jamak. Mungkin saja. Tadi kita baru bercerita lebih ke sana. Kenapa sih, kita gak pernah berpikir orang-orang yang jauh dari akses kekuasaan dan jauh dari pusat informasi untuk meng-cover wilayah-wilayah yang memang jauh tadi, tapi mendapat akses informasi dari Jakarta langsung dan itu hancurin mereka. Padahal, kalau saja itu dihidupkan, aku yakin Indonesia juga gak akan segoblok-goblok itu masyarakat yang jauh di sana. Dan mungkin juga perputaran ekonomi akan jauh lebih baik untuk kehidupan mereka. Juga akan berdampak sama kita. Ya kita gak pernah tahu dan belum mengkaji sejauh itu juga. Artinya, kongres ini merupakan kesempatan bagi kita untuk reorientasi. Menurutku itu. Dan kemudian menentukan langkah-langkah strategis apa yang harus kita lakukan dalam kurun lima tahun ke depan, sepuluh tahun, dan mimpi kita apa dua puluh yang akan datang. Sebagai komunitas. Baik dalam skala-skala kecil maupun dalam skala nasional. Kupikir, fungsi utama kongres ini menurutku itu. Memang politis. Kongres toh memang politis. Tugas berat kita untuk menentukan, kita mau kemana. Kita mau ngancurin perfilman Indonesia lagi atau kita mau letakkan (tegakkan).
Hafiz: Ya, karena memang dalam satu posisi, aku melihatnya ada negosiasi yang lemah di kalangan komunitas terhadap wacana perfileman itu sendiri. Karena, ya… Pertanyaan awal aku tadi. Pertanyaan tentang pengetahuan filem atau pilihan berkomunitas dan sebagainya. Banyak kawan komunitas masih hobbies. Kemudian pikiran tentang; “Moga-moga aja gue bisa loncat masuk ke industri filem”. Bukan pilihan. Apakah benar pendapat itu? Ada sebagian berpikir seperti ini, “kalo beruntung, gue bisa jadi seperti Ifa Ifansyah.”
(Tertawa)
Elida Tamalagi: Baru sms-an. Panjang umur lo.
Hafiz: “Mudah-mudahan gue dilihat Riri Riza, gue diajak.” Apakah begitu kenyataannya?
Dharmansyah Lubis: Bisa ya, menurutku. Pada kasus-kasus media cetak, aku kan kebetulan wartawan, dulu ya. Sekarang kerja freelance. Kita menemukan hal serupa. Mahasiswa itu masuk ke UKM yang namanya Pers Kampus. Belum selesai jadi mahasiswa, begitu mau ujian akhir dia sudah tidak lagi aktif disitu karena mau skripsi. Begitu sudah selesai, ada perusahaan mau terima. Dan tidak jadi wartawan. Itu kalau di kalangan mahasiswa. Dan kita harus paham bahwa level mahasiswa memang ‘terminal’. Jangan berharap banyak. Selesai. Yang harus dikuatkan adalah positioning filem indie yang diproduksi oleh komunitas-komunitas filem indie itu sendiri, non kampus—dimana dalam peta kultural Indonesia? Eh, tugas kongres yang belum selesai. Aku tadi bilang sama Dimas, “Ini gak selesai. Kita gak tahu mau ngapain teman-teman di tingkat regional. Nah, karena kita gak tahu. Akhirnya kita memilih sendiri. Aku akan melakukan ini, yang lain melakukan itu”. Bukan menafikan,… sorry, peran teman-teman di kampus. Tapi kita tahu kampus adalah ‘terminal’, tempat belajar. Begitu dia selesai, menemukan apa yang dia cari, dia akan memilih. Dia akan meninggalkan cari yang baru. Ini memang belum terjawab karena memang kita baru pertama sekali ketemu. Tapi mungkin teman-teman… Alex (Alex Sihar, Konfiden) misalnya, sepuluh tahun yang lalu juga melakukan hal serupa. Artinya ada yang salah dalam menganalisis. Dan kita belum jujur menganalisisnya.
Elida Tamalagi: Fiz, menurut gue ya, kita memang harus membuka lebar dengan kenyataan itu bahwa memang berada di komunitas filem itu keren. Dia adalah hobi yang gampang untuk mendekati cewek. Apapun lah ya,… “Iki opo toh”. Dan itu sah-sah saja. Yang bisa kita lakukan dalam tahap komunitas itu adalah, kalau tadi bahasanya adalah menjalin teman baru itu, kemudian meningkatkan intensitas itu menjadi “sahabat”. Maksudnya, buat gue, “kamu gak akan jadi volunteer Kinoki seumur hidup, keluar kau dari sini”. Tapi ada hal yang esensial yang ditularkan ke dia; Entah itu prinsip bahwa dengan sinema kita berbagi, dengan sinema kita mendapatkan pendidikan, hal-hal seperti itu. Sehingga ketika dia ngapain pun, ada sisi itu yang tertanam. Jadi bukan cuma peer grupnya aja yang kuat atau kenangan-kenangan romantis tentang itu. Tapi paling tidak bahwa, “Oke, kalau gue pernah melakukan sesuatu, gue melakukan itu dengan ini, karena ini”.
Hafiz: Kalau menurut amatan lu misalnya, berapa sih persentase dari yang hadir sekarang yang menjadikan komunitas sebagai pilihan? Seperti di India, Meksiko, di mana berkomunitas adalah pilihan. Membuat video komunitas adalah pilihan. Membuat filem pendek adalah pilihan. Dia menjadi punya negosiasi yang sama dengan industri filem sekelas Laskar Pelangi. Persoalan sekarang adalah kita gak punya itu.
Elida Tamalagi: Baru bertumbuh kali, Fiz.
Hafiz: Menurut gue untuk sepuluh tahun udah gak bertumbuh lagi sebutannya.
Elida Tamalagi: Ya, ya, ya, setelah sepuluh tahun.
Hafiz: Menurut gue komunitas-komunitas yang bisa bertahan, misalnya Konfiden. Seharusnya kan bisa menumbuhkan itu. Yang seperti Ade (Ade Darmawan, Ruangrupa) sempat bilang, “harus ada pilihan posisi”. Selama ini kan kita gak punya pilihan posisi. Apakah kita dalam posisi yang pilihan Mas tadi (Dharmansyah Lubis) di wilayah advokasi. Apakah pilihan kita wilayah estetika yang akan berseberangan dengan estetika yang dipunya oleh industri atau yang dipunya oleh Riri Riza atau Ifa Ifansyah. Gue perlu menyebut itu soalnya. Ini yang menurut gue, miss. Dari sepuluh tahun lalu gue gak melihat itu.
Elida Tamalagi: Ya, “ospek-nya” gak sampe situ.
Dharmansyah Lubis: Aku punya pertanyaan untuk itu, Mas.
Hafiz: Apa?
Dharmansyah Lubis: Aku kembali bertanya. Menurut kita semua yang ada di ruangan ini. Kenapa orang suka pada saat acara pesta pernikahan terus di shooting? Karena buktinya kemudian medium shooting itu menjamur sampai ke desa-desa. Kalau kita membicarakan kerangka filem prek dengan kualitas itu ‘filem’. Dan orang mau menonton dan mau beli.
Hafiz: Karena punya ikatan.
Dharmansyah Lubis: Apa yang mengikat mereka? Dan itu kan studi kasus yang menarik sebetulnya kalau kita mau berbicara tentang video komunitas. Tapi kita gak pernah melirik dan bahkan jangan-jangan kita gak nganggap mereka itu adalah filmmaker. Salah. Padahal mereka adalah filmmaker yang paling produktif menurutku.
Hafiz: Itu benar sekali.
Dharmansyah Lubis: Bukan soal orderan tapi penontonnya kenapa tetap meminta.
Hafiz: Itu benar sekali logika yang kamu bilang. Kami di Forum Lenteng kan, dua tahun terakhir ini melakukan riset tentang itu; tentang sejarah video. Sejarah penggunaan medium video. Salah satunya video kawinan. Ada semacam relasi-relasi romantisme di dalam konteks masyarakat kita. Terutama itu spesial di Indonesia sebenarnya. Kita yang punya relasi romantisme terhadap “kita dihadirkan”. Kita dihadirkan di ruang publik. Bahwa itu yang selama ini yang, “dia gak punya”. Itu didapat di situ. Sebenarnya strategi-strategi ini yang selalu dipakai oleh kawan-kawan di Forum Lenteng untuk kerja akumassa-nya. Di proyek video komunitas dan media komunitasnya selalu memakai pola itu. Tapi, okelah kita nggak bicara lebih jauh tentang itu. Tapi kalau aku bilang pertanyaan besar aku selama ini sebenarnya karena aku percaya banget bahwa posisi penting dari komunitas. Dia punya peran strategis terhadap bagaimana kita bisa berkaca terhadap filem Indonesia jaman sekarang gitu. Aku melihatnya ini tidak lepas dari peran kerja Alex Sihar (Konfiden) dan Lulu (Lulu Ratna, Boemboe) dari jaman dulu. Nah, tapi kenapa hanya sampai di situ. Lemah posisi negosiasinya. Itu adalah pertanyaan-pertanyaan.
Dharmansyah Lubis: Dalam apa?
Hafiz: Dalam konteks tadi pertanyaanmu kan ada dominasi media. Dominasi media televisi, dominasi bahasa visual di filem-filem Sinepleks 21. Filem-filem sekarang kan lagi heboh lah. Bahasa visualnya hampir sama semuanya. Terakhir saja kita melihat misalnya Festival Konfiden (Festival Film Pendek Konfiden), jujur saja ada filem baik di situ. Tapi dalam konteks pewacanaan mana pernah itu dianggap sebagai sebuah gerakan kebudayaan yang sangat penting. Padahal posisinya benar-benar penting.
Elida Tamalagi: Akhirnya yang menganggap penting kita-kita juga.
Hafiz: Kita yang menganggap penting. Gue menganggap itu selalu penting selalu. Festival seperti Konfiden harus ada tiap tahun. Tapi proses negosiasinya dengan orang-orang filem ya… Selalu diabaikan.
Dharmansyah Lubis: Ya, kalau kita bicara berjaringan sesama komunitas dan berjaringan dengan luar komunitas misalnya, tadi kan pertayaan yang aku tanggep dari Mas Hafiz ada tuh ya… Harus ada proses transaksional, itu kalimatnya Dimas. Ya toh, pertanyaannya kemudian, apa yang kita bisa transaksionalkan kepada lembaga-lembaga yang bisa menyebarluaskan pesan-pesan dari filem yang diproduksi teman-teman. Kepada orang-orang atau personal-personal yang memiliki akses, modal itu atau alat itu. Kita kan cuma mampu membuat alat atau punya alat produksi dan memproduksi sebuah filem. Ini adalah layer pertama. Layer kedua adalah butuh alat yang mampu menyebarluaskan sehingga mampu dikonsumsi secara jamak gitu loh. Kalau kita mempunyai bargaining ini, ya kita harus mengintervensi itu juga. Bagaimana caranya? Aku bukan ahlinya! Tapi itu harus diintervensi menurutku. Kalau tidak bargaining posisinya lemah. Minimal peluang itu ada pada TVRI sebagai TV publik. Itu bisa. Kalau kita tidak masuk ke dalam ruang-ruang itu, berat sekali memang, Mas. Berat sekali. Aku gak yakin kita mampu melakukan perlawanan terhadap dominasi modal yang begitu besar. Sementara teman-teman komunitas itu bertarung. Jangankan bertarung melakukan perlawanan terhadap apa yah… Modal gitu yah. Bertarung dengan diri sendiri saja, teman-teman di komunitas ini masih semerawutan. Masih ‘kacak burak’ lah istilahnya kalau di Medan. Belum bisa melakukan penataan-penataan untuk itu. Orang wong mengenali diri kita masih sulit gitu, kan? Jadi yah harus ada yang mengikat. Kalau tadi video wedding itu diikat oleh kepentingan finansial, pelakunya dan kepentingan romantisme kliennya, kita juga harus lihat kepentingannya kita apa. Kenali dulu itu, bisa gak ketemu? Dan kita memang belum melakukan analisa tentang itu kan. Gak tahu aku, apakah temen-teman yang lain sudah melakukan itu tapi aku belum menemukan, belum, jujur belum. Hanya baru di ruang-ruang advokasi, ketika irisan kepentingannya ketemu dalam konteks melakukan pembelaan dan penguatan proses kehidupan yang berkelanjutan pada masyarakat yang diadvokasi itu sendiri. Itu ruang irisan yang kepentingan yang bisa kita temukan, dan filem pada satu sisi itu menjadi efektif.
Hafiz: Pertanyaan terakhir, Filem buat kalian apa sih? Apa itu filem?
Joko Narimo: Kalau aku pribadi, filem itu media curhat. Sudah.
Damar Ardi Atmaja: Filem itu, menyitir dari salah satu seorang sutradara filem Indonesia lah; filem realita yang difiksikan.
Joko Narimo: Opo cuks. Sok seniman.
Insan Indah Pribadi: Filem itu media audio visual untuk menyampaikan sesuatu, itu saja.
Stefanus Andre Agung: Filem itu apa yah? Media ekspresi yang sebenarnya paling mudah untuk diakses. Paling mudah. Ya ekspresi kita, ya… Sekarang masih apa yang ada dari pikiran kita, otak kita, kita ambil gambar dari teman-teman, jadiin satu editing dan jadi filem. Ekspresi kita sampe yah that’s filem gitu. Seperti itu.
Dharmansyah Lubis: Filem itu alat penyampaian pesan, media menyampaikan berbagai pesan kepada publik.
Weldy Indra: Filem ya… Gambaran pengelihatan yang oleh pembuat… Apa yang dilihat oleh pembuat filem berarti itu kan pandangan kamera dia, mata kamera.
Hafiz: Oke. Terima kasih.
*Artikel wawancara ini telah disunting dari transkrip naskah aslinya tanpa mengurangi maksud dari isi wawancara.
[/tab_item]
[tab_item title=”EN”]
(Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item]
[/tab]