Rencana pemerintah Indonesia untuk memulai era penyiaran televisi digital harus dicermati saksama. Selama ini sistem penyiaran analog bebas mengudara (free-to-air) memang menyisakan beberapa persoalan, terutama masalah rebutan frekuensi. Dengan sistem penyiaran digital, dapat dipastikan akan lebih banyak kanal terpakai tanpa menimbulkan masalah. Sebabnya, secara teknis, pita spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk televisi analog dapat digunakan pula oleh siaran televisi digital. Lebar pita frekuensi analog dan digital berbanding 1:6, yang berarti bila pada teknologi analog memerlukan pita selebar 8 MHz untuk satu kanal transmisi, maka pada teknologi digital, dengan memakai teknik multiplek, dapat digunakan untuk memancarkan 6-8 kanal transmisi serempak dengan program berbeda.
Selain didukung oleh teknologi penerima yang mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan, televisi digital juga didukung oleh sejumlah pemancar yang membentuk jaringan berfrekuensi sama sehingga daerah cakupan siar bisa diperluas. Dengan begitu, akan terjadi efisiensi pemanfaatan kanal frekuensi, di mana satu kanal dapat diisi 4-6 program sekaligus, dengan kualitas digital definisi standar (standard definition) maupun definisi tinggi (high definition). Kemungkinan multi-penyiaran membuat sistem ini bisa jadi solusi pengembangan televisi berjaringan, seperti diamanatkan oleh undang-undang penyiaran No. 32 tahun 2002, yang mengusung semangat desentralisasi dan otonomi daerah warisan orde reformasi.
Kemungkinan membuat program interaktif pun akan lebih mudah, sebab secara genealogis, televisi digital diciptakan untuk bisa melihat simpanan program. Teknologi siaran ini menawarkan layanan interaktif komunikasi dua arah layaknya telepon atau internet. Siaran televisi digital terestrial ini bisa diterima oleh sistem penerimaan televisi statik maupun mobil. Kebutuhan daya pancarnya pun lebih kecil dengan kondisi lintasan radio yang stabil, sehingga membuat penerimaan gambar lebih jernih. Bayangkan, meski dalam bentuk definisi standar, tangkapan visual yang dihasilkannya sungguh tajam. Efek bayang (ghost effect) yang sering terjadi pada siaran televisi analog tidak akan lagi terjadi meski antena tertiup angin. Belum lagi sistem tata suara stereo yang akan memanjakan degup-degup kendang telinga kita. Dan bayangkan pula, jika siarannya dilakukan dalam bentuk definisi tinggi, pasti tangkapan visualnya akan luar biasa bening.
Perlu dicermati bahwa referensi sistem penyiaran televisi analog terestrial di Indonesia memakai standar PAL Eropa. Seperti kebanyakan negara Asia-Pasifik, terkecuali Jepang, standar PAL dipakai untuk siaran televisi analog terestrial. Singapura dan Australia menggunakan teknologi DVB-T (Digital Video Broadcasting-Terrestrial), sebuah standar transmisi model Eropa, untuk siaran televisi digital mereka. Sistem ini pulalah yang dipakai Indonesia. Rencananya, pemerintah akan mengalokasikan 18 kanal pada frekuensi layanan televisi digital free-to-air DVB-T di pita IV dan V UHF, dengan memakai kanal 28-45. Di setiap wilayah layanan disediakan jatah enam kanal yang dapat diisi 6-8 program siaran.
Selain standar Eropa (DVB-T), ada juga standar penyiaran digital Jepang (DTTB) dan Amerika (ATSC). Ketiga standar referensi penyiaran ini merupakan kelanjutan dari tiga standar penyiaran televisi analog: PAL (Eropa), NTSC (Amerika) dan SECAM (Jepang). Meski demikian, negara-negara tersebut tengah berupaya untuk melakukan standardisasi teknologi televisi digital, sehingga memungkinkan produksi massal dengan harga yang lebih murah.
Pemilihan standar referensi menjadi esensial bagi setiap negara, sebab hal ini berhubungan dengan aspek kemampuan ekonomi dan potensi kerugian yang mungkin dihadapi masyarakat. Indonesia pernah mendapat mimpi buruk ketika menetapkan standar video Betamax beberapa tahun silam. Ternyata, standar ini hanya digunakan di Indonesia. Negara lain menggunakan standar VHS. Pada akhirnya, teknologi Betamax jauh tertinggal dengan teknologi VHS. Kenyataan ini membuat produk video Betamax sulit didapat di pasaran. Masyarakat pun mengalami kerugian besar sebab video Betamax tidak diproduksi lagi. Pemilihan sistem DVB-T sebagai standar penyiaran televisi digital dinilai wajar, sebab standar ini digunakan juga oleh beberapa negara di kawasan Asia-Pasifik.
Transisi penyiaran televisi digital ini akan dimulai pada tahun 2009 mendatang, khusus untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek). Siaran ujicobanya sendiri sudah dilakukan pada tanggal 13 Agustus 2008 di TVRI Pusat. Menurut rencana, seluruh wilayah Indonesia akan mengalami migrasi penuh ke siaran televisi digital tahun 2018. Persoalannya, apakah migrasi penyiaran analog ke digital ini merupakan hal mendesak bagi Indonesia?
Kehadiran penyiaran televisi digital memang suatu revolusi dalam dunia penyiaran. Tidak hanya korporasi media televisi mengalami perombakan, pesawat televisi analog pun tidak akan diproduksi lagi. Untuk menerima siaran, pesawat televisi analog memerlukan alat konversi set-top box (semacam dekoder penerima siaran digital). Persoalan juga bertambah rumit sebab bangsa ini sedang menghadapi masalah mendasar, seperti kemiskinan dan kebodohan masyarakat.
Sebagai negara berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa, Indonesia merupakan pasar potensial bagi produk televisi. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 1997, aksesibilitas penduduk Indonesia terhadap televisi mencapai 78.22%. Ini berarti pasar potensial bagi perusahaan manufaktur dan penyelenggara jasa siaran televisi. Di kawasan Asia-Pasifik, terdapat sekitar 500 juta pesawat penerima televisi analog. Dengan rencana migrasi siaran televisi analog ke digital, diperkirakan sekitar 50-70% dari jumlah rumahtangga di kawasan Asia-Pasifik akan memiliki pesawat penerima televisi digital.
Kenyataan bahwa potensi pasar ini begitu besar membuat kita harus bertanya: apakah migrasi dari penyiaran analog ke digital hanya merupakan jerat jaring kapitalisme, di mana masyarakat semakin dibuat tergantung pada produk-produk konsumtif? Apakah ini hanya semacam upaya dari proyek globalisasi yang menginginkan akselerasi kultur mélange, suatu proyek besar untuk membuat masyarakat dunia homogen?
Jika kita harus mengaitkan penyiaran televisi digital dengan globalisasi, maka kita harus mengenali tanda-tanda yang menghubungkannya dengan kenyataan sekarang. Globalisasi ditandai dengan bentuk-bentuk budaya mobil dan beragamnya produksi dan konsumsi benda material beserta transfer simbol berkecepatan tinggi. Hal ini seringkali dilihat sebagai persambungan arus gagasan, informasi, komitmen, nilai dan citarasa yang dimediasi individu-individu mobil, simbol-simbol, dan simulasi elektronik. Konsekuensinya, arah budaya yang tidak mengenal kedalaman (depthless), lebih menonjolkan tampak luar (glossy appearance), ilusi dan imaji filmis superfisial. Sebuah kolase dan montase mélange, yang mengacu pada bentuk-bentuk imaji dan gaya hidup mendunia. Mélange merupakan peleburan budaya dan gaya hidup, yang di dalamnya terdapat hibridisasi sebagai refleksi persilangan budaya Asia-Amerika/Eropa-Asia. Hibridisasi menjadi proses penciptaan budaya global, di mana teknologi mengemban peran besar dalam membangun hubungan-hubungan tersebut.
Sebab globalisasi mendorong terciptanya budaya dunia, konsumerisme pun menyebar melintasi batas-batas negara. Sebuah perjalanan mengenalkan identitas etnis baru “pusat” menuju “periferi”. Sebaliknya, wilayah “periferi” pun melangkah menuju “pusat” melalui migrasi ekonomi serta ekspor-impor barang dan jasa eksotis. Proses timbal balik ini membuat hampir semua orang terpengaruh globalisasi budaya. Kecanggihan teknologi media dan infrastruktur korporasi global menjadi dua faktor utama dalam proses penyebaran globalisasi kebudayaan. Teknologi media mampu melakukan akselerasi transformasi dan kapasitas yang membuat besaran intensitas, dan percepatan distribusi pesan meningkat pesat. Bicara masalah teknologi, tentu bicara pula masalah dominasi dunia Barat. Sedangkan infrastuktur korporasi global menjadi penting untuk mempermudah distribusi filem maupun program televisi korporasi multinasional. Tujuan akhirnya adalah homogenisasi dunia. Ketika masyarakat begitu cinta pada tayangan seri televisi seperti Gossip Girls, Smallville, Desperate Housewives, atau gandrung pada produk Prada dan Armani, maka sesungguhnya tanda-tanda proses homogenisasi dunia komoditas tunggal sedang berlangsung. Kemudian, identitas-identitas lokal terkikis dan digantikan simbol-simbol yang berasal dari publisitas dan sodoran imaji korporasi multinasional. Selain untuk meraih keuntungan besar, kapitalisme internasional juga berkepentingan menjaga keberlangsungan proses homogenisasi komoditas dengan senantiasa membuka pasar-pasar baru.
Kecanggihan teknologi komunikasi telah menjadikan dunia semakin dekat. Batas-batas kelas dan bangsa teratasi dengan mudahnya. Tidak heran jika prediksi Marshall McLuhan tentang sebuah ‘Global Village’ semakin mendekati kenyataan. Bahkan, ahli hubungan internasional seperti Kenichi Ohmae menyebut kalau munculnya jalur bebas-hambatan informasi membuat batas-batas antarnegara luntur. Kita sekarang hidup dalam dunia tanpa kejelasan batas-batas.
Namun, berkebalikan dengan rancangan budaya homogen globalisasi, hibridisasi-kreolisasi ada dalam simpangan arus besar gagasan. Dalam proses hibridisasi, nilai-nilai budaya asing mendapat makna baru di dalam budaya lokal. Di sini, konsumen menerima sekaligus mencipta makna baru saat dihadapkan dengan budaya asing. Kolonialisme menjadi proses sejarah penting dalam mempengaruhi budaya-budaya hibrida ini. Jelas, wilayah budaya satu tidak akan sama dengan wilayah budaya lain dalam menerima maksud produsen makna, dan dengan begitu akan terlahir identitas dan bentuk-bentuk kebudayaan lokal yang baru di masing-masing wilayah budaya. Bagaimanapun, tanpa peran media, baik proses homogenisasi maupun hibridisasi dalam konteks globalisasi budaya tidak akan pernah terjadi. Secara ekstrem, terciptanya budaya global menjadi pijakan untuk revitalisasi dan akselerasi kapitalisme global. Untuk hal ini, dunia Barat sangat berkepentingan memegang kendali ekonomi dan teknologi sebagai landasan hegemoni kebudayaan mereka.
Meski demikian, teknologi digital memang menguntungkan pihak-pihak berdedikasi pada dunia visual. Sistem digital membuat produksi visual menjadi semakin murah. Sekitar 60% dari produksi filem Indonesia, dibuat dengan teknologi digital. Berbagai rumah produksi mencipta program tayangan televisi juga dengan memakai teknologi digital. Dibanding seluloid, teknologi digital jauh lebih murah dan prospektif bagi penduduk negara miskin. Dengan melihat pada perspektif itu, maka rencana migrasi penyiaran analog ke digital selayaknya tidak terhenti, meski kita dapat menduga bahwa migrasi ini terkait erat dengan proyek kapitalisme global. Kita tidak bisa memungkiri kalau dunia sudah bergerak ke arah revolusi teknologi yang begitu hebat. Dan, jika kita tidak ikut ambil bagian dalam proses ini, mungkin di kemudian hari kita hanya akan merasakan penyesalan.
Memang harus diakui bahwa selama era penyiaran analog, yang kita dapatkan sebagian besarnya adalah sampah. Selama ini, kita disuguhi tayangan-tayangan yang semakin membuat bodoh masyarakat. Sebut saja sinetron yang begitu melecehkan kecerdasan atau banyak lagi tayangan lainnya. Tapi kita tahu juga, bahwa di balik sampah pasti terselip barang berharga. Barang berharga itu adalah kejernihan pikiran. Inilah yang harus diperjuangkan bersama.
Dengan melihat prospek yang ditawarkan sistem penyiaran digital, kita seharusnya bisa memanfaatkan peluang. Bagaimana tidak, jumlah siaran televisi yang sudah ada sekarang bisa meningkat menjadi 4-5 kali lipat di era penyiaran digital. Sampai saat ini, jumlah permohonan izin penyelenggaraan penyiaran di Indonesia mencapai 2425, yang terbagi dalam 2167 untuk radio dan 258 televisi. Dari sebanyak 258 perizinan itu, 12 diberikan kepada Lembaga Penyiaran Publik (LPP), 179 Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), 13 Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK), dan 54 Lembaga Penyiaran Berbayar (LPB).
Dengan jumlah sebanyak itu, apakah kita akan membiarkan siaran televisi kita dipenuhi sampah, tanpa sedikit pun berusaha untuk setidaknya menawarkan alternatif penyiaran berharga kepada masyarakat? Di sinilah peran komunitas visual (video dan filem) diperlukan. Komunitas visual seharusnya dapat memberikan kontribusi dengan membuat konten tayangan cerdas. Jika kita harus menghitung, ada banyak kemungkinan penjajagan kerjasama, teristimewa dengan LPP dan LPK. Lembaga-lembaga ini diharapkan masih memiliki idealisme untuk tetap berpartisipasi melakukan pencerdasan kepada masyarakat. Jika memang tidak ada yang seperti itu, maka kemungkinan lainnya adalah membuat lembaga penyiaran sendiri, yang secara khusus mendedikasikan diri menayangkan siaran berkonten intelektual.
Era siaran televisi digital mendatang akan menjadi semacam tantangan bagi komunitas visual untuk berkiprah. Komunitas visual harus menggalakkan semacam intervensi intelektual pada siaran televisi. Semakin banyaknya kanal yang dapat dipakai di era penyiaran digital menjadi ladang tersendiri untuk memupuk kesadaran intervensi intelektual tersebut. Tapi, intervensi ini tidak akan berhasil ketika komunitas visual tidak memiliki kesadaran organisasi yang kuat. Kesadaran bahwa membuat karya-karya intelektual itu penting. Kesadaran bahwa sejarah harus ditulis sendiri, bukan dicatat oleh orang lain. Kesadaran bahwa siaran televisi itu mampu menjangkau relung-relung terdalam massa, sehingga semakin banyak tayangan berkualitas intelektual tinggi akan pula membuat berkembangnya kesadaran partisipasi politik massa. Bisakah kita semua berharap? *