Memang ada visual lain selain hitam. Visual berwarna cyan-biru gelap-sedang berkedip memenuhi layar beberapa detik pada menit-menit tertentu, seakan menjadi tanda pergantian babak cerita. Sejumlah teks keterangan juga muncul beberapa kali di tengah frame, baik sebagai latar belakang cerita, pemandu plot, maupun sebagai subtitle. Selain itu, ada juga satu rekaman gambar bergerak yang akhirnya nongol di menit 58:17 sampai 59:57, berupa adegan (yang sepertinya adalah) peristiwa ritual di sebuah gua kelelawar—sebagaimana disebut di dalam film ini.
Akan tetapi, tiga hal di atas agaknya tidak mengurangi pengalaman aneh dan kesan tak biasa yang akan kita rasakan: menonton film dokumenter nyaris tanpa gambar; sebuah film yang sebenarnya bisa saja kita simak dan cerap tanpa menatap layar.
Sebab, yang memang menjadi keharusan saat menyimak film ini adalah mendengar. Duduk fokus di dalam ruang sinema yang gelap tanpa gangguan, kita “dipaksa” untuk melihat layar hitam sambil mendengarkan kumpulan suara dari sebuah arsip audio. Ernst Karel dan Veronika Kusumaryati memilah-pilih isi arsip audio tersebut dan mengkonstruksinya menjadi karya film sonik-eksperimental berjudul Expedition Content ini.
Audio yang digunakan—dan patut pula kita anggap subject matter—dalam Expedition Content berasal dari rekaman suara sepanjang 37 jam yang diambil Rockefeller ketika ia melakukan ekspedisi ke Papua dalam rangka penelitian dan produksi sebuah film dokumenter etnografis, berjudul Dead Birds (1963), yang disutradarai oleh Robert Gardner. Diselenggarakan oleh Harvard-Peabody Expedition pada periode tahun 1961-1965, sebuah tim lintas-disiplin (yang di dalamnya Gardner dan Rockefeller juga merupakan anggota)3 melakukan ekspedisi ke kawasan Lembah Baliem untuk mengumpulkan data tentang berbagai hal terkait budaya dan kehidupan sehari-hari masyarakat Hubula.
Hubula sendiri adalah suatu suku bangsa yang hidup di daerah pegunungan tengah Jayawijaya.4 Beberapa sumber lain menyebut bahwa Hubula adalah nama bagi gabungan dari tiga suku, yaitu Dani, Yali, dan Wamena.5
Produksi Dead Birds konon tidak menggunakan teknologi suara tersinkronisasi. Rockefeller bertugas merekam dan mengumpulkan berbagai suara alam dan aktivitas manusia di lokasi untuk nantinya disematkan ke film itu pada saat pascaproduksi. Tapi agaknya Gardner menggunakan tidak begitu banyak bagian dari rekaman audio tersebut. Rekaman-rekaman audio yang sebagian besarnya tak terpakai di Dead Birds itulah yang diteliti oleh Karel dan Kusumaryati; mereka lantas mengemas salah satu output penelitian menjadi film.
Jika kita perbandingkan, sangat mudah untuk mengetahui bahwa ada banyak rekaman suara yang dihadirkan dalam Expedition Content adalah suara-suara yang tidak muncul di dalam Dead Birds. Di antaranya, detail-detail suara alam (seperti serangga, hujan, angin, dan badai), suara asli individu-individu perempuan dan anak-anak Hubula pada masa itu, atau isi percakapan warga setempat yang menggunakan bahasa asli Hubula tahun 1960-an (bahasa yang sebagian besar kosakatanya sudah hampir punah dan konon tak lagi digunakan oleh orang-orang Hubula zaman sekarang),6 dan juga suara-suara para peneliti dan kru film Dead Birds, serta suara dari mesin (apparatus) perekamnya sendiri.
Mencermati hal itu, kita bisa berpendapat bahwa, pada satu sisi, Expedition Content adalah film yang secara kritis dibangun dari sisa-sisa [materi kolonial]; dan sebagai film yang lebih menekankan audio, ini kiranya juga layak disebut sebagai sinema “meta-audio”. Tapi, di sisi yang lain—dengan menimbang soal keberpihakan politik, skeptisisme etis, dan kewaspadaan epistemologis yang diungkapkan kedua sutradaranya7—ini juga merupakan film tentang dan untuk apa-apa yang [pernah] dikesampingkan, atau dihapuskan, baik karena faktor selera produksi yang ditentukan oleh batasan-batasan opsional berdasarkan keadaan, ketersediaan, dan kapasitas teknologis era 60-an,8 maupun oleh kuasa ideologis dan patriarkis yang menaungi para ilmuwan pelaku ekspedisi dan pembuat film Dead Birds.9
Expedition Content dirilis pada tahun 2020 dan tayang perdana untuk skala global di Berlinale Forum Expanded, bagian dari Berlin International Film Festival, pada bulan Februari di tahun yang sama.10 Film ini juga masuk dalam program International Selection di Cinéma du réel 2020 dan mendapat “Special Mention” untuk kategori penghargaan Loridan-Ivens/CNAP Award.11 Selain itu, film ini juga telah tayang di berbagai perhelatan film internasional, beberapa di antaranya: Open City Documentary Festival, London (2020)12; International Kaunas Film Festival, Lituania (2020)13; Festival Internacional de Cine Independiente de La Plata, Argentina (2020)14; Camden International Film Festival (2021)15; DC Environmental Film Festival, National Gallery of Art, Washington DC (2022)16; 17th Istanbul Biennial, Pera Museum, Istanbul (2022)17; Festival Film Dokumenter, Yogyakarta (2022)18; dan ARKIPEL International Documentary and Experimental Film Festival, Jakarta (2022)19.
Di tengah-tengah isu kolonialisme kontemporer yang masih melanda kawasan Papua saat ini, kehadiran film Expedition Content seakan menjadi pemantik tambahan untuk merefleksikan kembali bagaimana rezim kolonial bekerja hingga ke ranah-ranah epistemologis dan pengarsipan. Film ini juga mendorong lebih kuat pemikiran mengenai wacana tanding terhadap sinema yang umumnya dipahami selama ini sebagai praktik budaya yang berdiri mapan dalam naungan supremasi gambar (sight) atas suara (sound). Eksperimen Expedition Content pun pada akhirnya dapat mengajak kita untuk mencari jawaban yang, kalau bukan benar, setidaknya mengarah ke titik yang tepat, untuk pertanyaan-pertanyaan terkait etika dan moral dari aparatus sinema dan publiknya.
***
Film Expedition Content—sesaat setelah kedipan visual berwarna cyan-biru gelap-sedang yang pertama—dibuka dengan sebuah diskusi antara kru ekspedisi dan Gardner, si pembuat film Dead Birds: pemandangan langit pegunungan sebelum fajar, katanya, mempunyai semacam saturasi cahaya biru tidak kasatmata yang hanya dapat ditangkap oleh film (seluloid) karena sensitivitas teknologi tersebut terhadap cahaya. Sedangkan untuk pemandangan langit di saat fajar, kamera mampu memanipulasi tangkapannya (dengan menggunakan semacam filter) sehingga citra fotografis yang dihasilkan bisa memunculkan kesan “seolah-olah sebelum fajar”. Diskusi lantas berlanjut ke satu pertanyaan tentang pilihan: apakah pembuatan film etnografis untuk tujuan saintifik mesti, dari segi estetika, mempertahankan penampakan realitas yang asli, yang alamiah, sebagaimana mata manusia mampu menangkapnya, atau perlu mengoreksi gambar dengan menggunakan efek visual tertentu agar tampil seperti yang diinginkan juru kamera dan sutradara?
Ketika rekannya (Eliot Elisofon) bertanya apakah ia setuju untuk mempertahankan pilihan yang pertama demi objektivitas sains, Gardner menjawab: “Not exactly…”
Adegan audio kemudian berpindah, memperdengarkan suara seorang operator radio, diikuti oleh suara aktivitas manusia (terdengar suara dengusan binatang ternak di dekat orang-orang yang bercakap-cakap menggunakan bahasa lokal). Perlahan, mulai terdengar pula suara gemuruh mesin dari—sebagaimana dapat diterka—pesawat terbang yang melintas di dekat mereka, datang dan pergi. Lalu, kita mendengar lantunan bunyi pikon (alat musik tradisional Hubula), disusul visual cyan-biru gelap-sedang yang berkedip untuk kedua kalinya. Seiring dengan suara pikon yang masih terus berlanjut, layar yang sedari tadi hitam menyuguhkan teks pengantar tentang konteks peristiwa yang melatari adanya arsip rekaman-rekaman audio yang digunakan film ini.
Suara pikon berhenti seketika saat teks pengantar selesai bernarasi; kita kembali mendengar suara aktivitas orang-orang; sesekali juga terdengar bunyi dari sesuatu yang berputar (mungkinkah itu suara dari pita yang tengah digulung?).
Barulah di pertengahan menit ke-13, kita mendengar suara Rockefeller berbicara ke mikrofon.
“Boom boom! 15th of May, 1961, tape number three…,” katanya. “Occupational sounds…, cut one…, reaction to Eliot balancing a stick; the yells and shouting.”
Pada momen itu—juga di momen-momen Rockefeller berbicara ke mikrofon untuk melabeli setiap rekaman suara yang ia ambil—kita mendengar sekelebat decitan mesin rekaman audio tatkala suara Rockefeller berganti ke suara lain.
Selanjutnya di sepanjang film, selain suara Rockefeller, kita juga akan mendengar suara-suara alam, suara kegiatan sehari-hari warga setempat, suara acara ritual, suara percakapan via radio komunikasi, dan juga suara percakapan para kru ekspedisi, baik saat berbincang dengan orang Hubula maupun berbincang dengan rekan sesama anggota kru.
Dapat disadari bahwa audio dari arsip yang digunakan tidak sepenuhnya jernih—ada bising yang agaknya diakibatkan oleh hembusan angin, ambiens di lokasi, atau getaran tangan dan tubuh Rockefeller saat bergerak mengarahkan perantinya ke sumber suara, atau ketika ia memencet tombol on–off; semuanya ikut terekam saat alat perekam suara berputar. Tapi bising-bising ini agaknya sengaja tetap dihadirkan oleh Karel dan Kusumaryati sebagai elemen-elemen yang, sepertinya, justru merupakan bagian penting yang mereka ingin penonton dengarkan. Hal itu secara tak langsung menunjukkan bagaimana aparatus rekam suara ini bekerja dan bagaimana subjek perekam bekerja mengoperasikan alat itu. Dan nyatanya, film Expedition Content memang dikonstruksi tanpa intervensi apa pun terhadap bagian-bagian arsip audio yang dipilih dan digunakan, kecuali audio untuk scene pertama (diskusi tentang pemandangan sebelum fajar), tapi itu pun terbilang minim—Karel mendesentralisasi audio diskusi itu ke kanal kanan dan kiri.20 Pembuat Expedition Content mengakui bahwa mereka dengan sadar mempertahankan “aspek kearsipan” yang ada pada audio asli.21
Kecenderungan penyuntingan dengan mempertahankan secara utuh isi mentah audio-audio tersebut mengingatkan kita pada kritisisme Bazin mengenai evolusi bahasa sinema meskipun, di dalam Expedition Content, bukan materi visual gambar bergeraklah yang merupakan subject matter-nya. Berpijak pada gagasan bahwa realisme adalah tujuan dari potensi sejati film, Bazin menekankan “keyakinan pada realitas” ketimbang “keyakinan pada gambar.”22 Bahwa, pada keyakinan yang pertama: sinema, sebagai bahasa, menghindari unsur-unsur ekspresionisme dan mengamini ketiadaan efek montase, serta memapak dan mempertahankan suatu rasa dari ketaksaan realitas.23
Dengan tidak melakukan manipulasi, superimposisi, ataupun teknik potong-sambung yang brutal (cut-to-cut dua atau lebih bagian dari footage [trek audio] yang berbeda) pada sebagian besar isi film, Expedition Content mengajukan kedalaman24 aural dari materi sonik sebagai sarana yang melaluinya penonton dibawa lebih dekat kepada (1) realitas yang terekam, (2) realitas dari rekaman audio itu sendiri, dan (3) realitas dari arsipnya. Dalam situasi mendengarkan kumpulan rekaman suara mentah semacam itu, penonton secara tersirat dituntut untuk memiliki sikap mental yang lebih aktif dan berhadapan dengan lebih banyak pilihan. Semesta Hubula yang terepresentasi pada rekaman suara, alih-alih dalam gambar (atau dengan acuan gambar), pada satu sisi hadir ke hadapan penonton sebagai suatu bentangan luas akan hal-hal yang secara umum bersifat ambigu; audio yang digunakan merupakan “hasil galian” artefak yang arti substansialnya tidak dideterminasi. Akan tetapi, ambiguitas ini juga bisa menjadi sebuah kemungkinan yang menyediakan banyak celah untuk meninjau hal-hal di luar bingkaian kanon etnografi.
Audio-audio tersebut juga menjadi sarana alternatif untuk menganalisa kembali ideologi di balik subjek dan lembaga pengetahuan yang bekerja mengekstraksi fenomena, lantas menetapkan definisi dan memutuskan interpretasi tertentu mengenai masyarakat Hubula. Dalam konteks film Expedition Content, “interpretasi absolut” yang demikian dipreteli dengan cara mengafirmasi posisi dan peran penonton; film ini menyerahkan “kuasa interpretasi” atas gambaran Hubula dari tangan pembuat film ke penonton/pendengar. Kualitas perhatian, atau lebih tepatnya, “kualitas mendengarkan” (the quality of listening) si penonton terhadap audio akan menentukan makna apa dan makna yang bagaimana yang akan mereka tangkap. Imajinasi penonton atas citra memainkan peran yang lebih besar ketimbang arahan sutradara atas apa yang mesti dicerap sebagai naratif film.
Namun, penggunaan audio mentah bukan berarti serta-merta menyebabkan Expedition Content menjadi karya sinema yang mentah pula. Sebagai film, Expedition Content masih memegang kepercayaannya pada dramatik. Sebagai contoh: terlepas apakah audio-audio ini disusun berdasarkan urutan nomor rekamannya atau tidak, menempatkan diskusi tentang “pemandangan sebelum fajar” di awal film, menurut saya, merupakan sebuah keputusan jitu dari Karel dan Kusumaryati dalam konteks strategi penceritaan. Sementara diskusi tersebut membahas perihal daya penglihatan manusia dan kamera, faktanya penonton sedang ditawari sebuah wahana aural untuk menyimak kisah yang akan berlangsung. Penempatan adegan tersebut bukan saja mengawali suatu penciptaan tegangan yang menarik—kontradiktif—dalam kaitannya dengan pengalaman sensorik yang akan dilalui penonton, tetapi juga membongkar karakteristik dan standpoint kru ekspedisi dalam membingkai sebuah lokasi serta masyarakat yang mendiaminya, yang mana karakteristik itu akan terungkap sedikit demi sedikit sepanjang film Expedition Content pada sejumlah adegan suara percakapan yang terekam.
Dari semua rekaman suara yang terdengar alamiah, ada satu adegan yang memperdengarkan lantunan dan ratap orang-orang Hubula ketika melakukan ritual kematian. Hal ini dapat diduga karena suara tersebut terbilang “ikonik” di telinga mereka yang sudah menonton Dead Birds. Adegannya muncul di menit ke-49, menyusul setelah suara kawanan lebah di dekat pohon Pe. Berlangsung lebih kurang lima menit, dan tanpa “pengantar katalogisasi” dari Rockefeller, adegan itu bertransisi secara halus ke suara serangga, burung-burung, dan monyet [?] (yang sepertinya direkam di tengah-tengah hutan[?]), sebelum akhirnya dipotong oleh suara operator radio (dan di momen ketika operator ini berbicara, visual berwarna cyan-biru gelap-sedang itu kembali berkedip beberapa detik), dan tiba-tiba footage di gua kelelawar muncul (sementara, suara operator radio masih berlangsung, menginformasikan soal adanya footage yang rusak, yaitu merujuk ke visual yang dilihat penonton di layar). Suara radio kemudian berganti lagi (di menit 58:28) ke suara Rockefeller yang berkata, “Cut number two, recording of natives yelling in the bat cave at the end of the… Mimi river.”
Contoh sekuens audio yang saya deskripsikan di atas (sebagaimana juga keseluruhan sekuens di film ini), tentu saja, terdiri dari trek-trek audio yang sebenarnya dapat berdiri sendiri; memiliki isi yang spesifik dengan kedalamannya masing-masing yang berbeda satu sama lain. Mereka dikumpulkan ke dalam film bagaikan sebuah hasil kurasi atas sebuah database (audiobase) untuk menjadi rangkaian suara baru dengan total durasi yang lebih pendek daripada total durasi arsip asalnya. “Kurasi” Expedition Content dapat dipahami memang sedang mengambil bingkaian yang bertujuan memberikan counter atas wacana Harvard-Peabody Expedition dan Etnografi Amerika secara umum: mengungkapkan cara pandang (gaze) kolonial melalui suara-suaranya, membongkar pencitraan kolonial dengan cara menegaskan ketiadaan gambarnya, atau: dengan menghadirkan “footage rusak”—yang justru memperkuat gagasan “menyimak hal tanpa tahu siapa dan apa yang sedang bersuara” yang dibawa film ini—sebagai bukti dari adanya pengeliminasian citra tertentu oleh idealisasi para etnografer ekstraktor.
Akan tetapi, saya pikir apa yang bisa kita cerap sebagai “dramatik” dari film ini bukan hanya motif seperti itu. Sebab, penyusunan rekaman-rekaman yang sudah dipilah-pilih ini, terutama dengan mempertahankan “aspek kearsipan”-nya itu, juga mengindikasikan preokupasi (kalau bukan ketertarikan) Karel dan Kusumaryati, sadar atau tidak, terhadap timbre dan tekstur audio. Kita bisa merasakan semacam bentuk yang mempertimbangkan audibilitas rekaman di film mereka ini. Setiap sekuens (yang pembabakannya ditandai oleh kedipan visual cyan-biru gelap-sedang), dan juga transisi antar-sekuens, merupakan kumpulan unit rekaman suara yang di dalamnya timbre-timbre dan tekstur-tekstur yang saling berdiferensiasi merupakan persoalan, bukan hanya dalam kerangka sonik, tetapi juga sinematik. Sebagai sajian aural (sajian yang lebih mengutamakan telinga sebagai corong penerimaan konten), film ini mendudukkan akses terhadap “konflik naratif” pada sisi yang mesti dialami benar-benar melalui indra pendengaran (“dramatika yang bersifat auditori”), sedangkan konflik yang terbangun itu sendiri mempunyai relasi dengan perlakuan atas material suara (sound) dan material rekamannya (audio atau recorded sound)—dramatik yang bersifat audial (berkaitan dengan teknologi audio itu sendiri).
Sekuens menuju gua kelelawar adalah satu contoh penting dari logika tersebut: bagaimana timbre dan tekstur suara yang konstan dan repetitif di upacara kematian, yang terdengar “tebal”, bersanding dengan repetisi dan konstan suara satwa hutan yang lebih “ramping”; begitu pula dengan “gaduh” dari suara teknologis (operator radio dan mikrofon di alat perekam), yang terasa “kimpal” dan “tunggal”, bersanding dengan “gaduh” suara di gua yang terasa lebih “berongga” dan “spasial”. Alih-alih berasal dari “apa yang diceritakan”, kita justru menangkap konfliknya dari perbedaan tekstur-tekstur (“tebal vs ramping”, “padat vs berongga”) suara-suara tersebut. Di film ini, makna dari pencernaan serebral berbasis verbal dihimpit sama sekali oleh makna dari pencernaan eksperiensial berbasis pendengaran.
Pun kalau kita ingin menyoroti keberadaan rekaman suara dari percakapan tim ekspedisi pada sebuah momen perayaan ulang tahun (adegan yang muncul persis setelah footage di gua), dan rekaman suara percakapan bocah Hubula yang muncul menjelang film ini berakhir, saya pikir himpitan makna semacam itu tetap berlaku. Di satu sisi, isi percakapan di malam ulang tahun memang membangkitkan kritisisme penonton terhadap sikap dan cara pikir rasial dan seksis para peneliti Amerika, sedangkan isi percakapan bocah Hubula, yang diselimuti kecurigaan, memancing empati terhadap sudut pandang masyarakat lokal. Tapi, pada sisi yang lain, khususnya dari segi formalitas filmis, diferensiasi tekstur suara dari kedua adegan ini hidup sebagai suatu bangunan konflik melalui hubungan yang resonansial: rasialitas yang terkuak dalam hiruk-pikuk itu, perbincangan sembrono para elite intelektual, berresonansi dengan apa yang bisa kita sebut counter-nya di penghujung film, yaitu komentar bocah (dari masyarakat suku yang dianggap lian); counter suara yang justru terdengar tenang dan syahdu.
Kedua adegan percakapan yang saya sebut di atas tidak di-jukstaposisi di dalam satu sekuens, melainkan berada pada sekuens yang berbeda. Di antara mereka, menyela dulu suara operator radio, ambiens, dan suara Rockefeller di mikrofon, serta kedipan visual cyan-biru gelap-sedang itu. Perlakuan sutradara Expedition Content terhadap rekaman audio, dalam hal penyusunan urutan adegan, memang belum bisa kita pastikan apakah berdasarkan urutan nomor rekaman atau berdasarkan tujuan konstruktif tertentu. Namun begitu, kita bisa berargumen bahwa, jika penyusunan audio memang berdasarkan tujuan konstruktif tertentu, itulah yang saya maksud sebagai “kesetiaan mereka (kedua sutradara) terhadap dramatik”. Kalaupun penyusunan ini berdasarkan urutan nomor rekaman, memilih untuk tetap mengikuti urutan asli dari arsip audio itu pun adalah sebuah keputusan yang politis dari segi estetik, dan ini akan mengindikasikan pula suatu artian bahwa upaya dekonstruktif terhadap film Dead Birds benar-benar dilakukan dengan menyadari materialitas reproduksi rekaman suara; properti suara (sound) dari arsip audio itulah yang merupakan titik di mana konstruksi Expedition Content bermula. Bagi saya, titik ini semakin menegaskan konsep realisme sinematik yang kita singgung sebelumnya: kepercayaan pada realitas, yang dalam hal ini adalah realitas rekaman dan realitas arsip. Kepercayaan semacam itu, bagaimanapun, adalah sebuah pangkal dramatik juga.
***
Karel dan Kusumaryati, dalam sebuah wawancara, menyatakan bahwa mereka membuat Expedition Content sebagai “a sound piece for cinema”.25 Pernyataan itu perlu dipahami konteksnya, bahwa “sinema” yang mereka maksud bukan semata sinema sebagai karya (film), tetapi juga sinema sebagai ruang fisik, yang dengan kata lain juga merujuk sinema sebagai kultur. Ini adalah tentang sinema sebagai relasionalitas absolut antara bebunyian dan kondisi-kondisi arsitektural yang padanya bebunyian-bebunyian itu dapat didengarkan—dramatika akustik. Sebuah gagasan yang, tak lain dan tak bukan, tengah mengusulkan betapa sesungguhnya “Hukum/Kaidah Sinema(tik)”, salah satunya, adalah suara, bahkan sejak era film bisu sekalipun.
Ide dan eksperimen Karel dan Kusumaryati melalui karya ini, yaitu menyajikan rekaman suara sebagai bentuk dan konten mayor dari film, untuk dipertonton-perdengarkan di dalam sinema (bioskop), memang bukan hal baru. Mereka pun mengakui hal itu di dalam wawancara tersebut.26
Karya yang menekankan suara (sound) sebagai konstruksi utama sinematik pun telah beberapa kali ada dalam sejarah sinema dunia. Anthology Film Archive di awal tahun ini membuat program penayangan bertajuk “Imageless Films”,27 menyajikan tiga film lain sebagai perbandingan bagi Expedition Content, yaitu Blue (1993)-nya Derek Jarman,28 Movies for the Blind (1996-2000)-nya Jeffrey Perkins,29 dan The Disappeared (2018)-nya Adam Kaplan & Gilad Baram,30 sebagai contoh dari praktik sinematik yang menantang pemahaman konvensional mengenai medium sinema itu sendiri.31 Contoh lainnya di luar program tersebut, kalau boleh saya menambahkan, ialah Suitcase of Love and Shame (2013)-nya Jane Gillooly. Meskipun film yang saya sebut terakhir ini nyatanya tetap mengadakan visual (gambar) sepanjang film (sama sekali bukan “film tanpa gambar” sebagaimana empat film lainnya), ia layak kita jadikan perbandingan karena, selain eksplorasi maksimalnya terhadap arsip rekaman suara, juga mewakili topik perbincangan tentang sinema sebagai wacana dan praktik yang di dalamnya kita menempatkan suara setara dengan visual.32
Menyebut film-film di atas, bagi saya pribadi, terbilang penting untuk menegaskan bahwa eksperimentasi sinema dapat dijelajahi seekstrem dan seradikal mungkin. Melalui film-film tersebut, kita dapat memahami bahwa, sebetulnya bagi sinema, suara tidak subordinat terhadap visual, pun bukan sekadar komplementer yang mempertinggi atau meningkatkan potensi gambar dalam menawarkan arti mengenai dan untuk ragam realitas sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang dialami manusia. Hal ini perlu digarisbawahi dalam kepentingan kita untuk mengkritisi perkembangan wacana film di Indonesia. Apalagi, dengan telah hadirnya film Expedition Content ini, sebuah karya sinema yang sangat kontekstual dengan situasi sosio-politik kontemporer Indonesia, yang merefleksikan resistensi terhadap supremasi sistemik kolonial maupun supremasi citra visual sekaligus.
Menurut saya, film ini menyadarkan kita bahwa, aktivisme untuk mengangkat dan mempertahankan isu keadilan, serta perlawanan terhadap kolonialisme, bukan semata terletak pada usaha-usaha menyiarkan atau memperdengarkan suara-suara dari mereka yang selama ini haknya untuk bersuara telah sengaja diluputkan, tetapi juga pada kemauan kita untuk benar-benar mendengarkan suara-suara mereka. Dengan kesadaran ini, suara dan aksi mendengarkan suara akan mendapati posisi terlayaknya sebagai satu strategi filmis dalam rangka mengatasi jebakan-jebakan eksotisisme visual yang menghantui aktivisme sinema kita.
Jika, selama ini, di dalam wacana dan arus produksi perfilman Indonesia yang tengah berkembang, kita kerap berdebat tentang pertandingan antara “konstruksi visual” dan “konstruksi verbal (atau konstruksi berbasis cerita)” untuk merangsang kesadaran dan kecerdasan publik penonton terkait estetika film, sekarang sudah semestinya kita juga mempertimbangkan “konstruksi auditori” sebagai perihal yang sama pentingnya. ***
Endnotes