There is usually no time to build a relationship with the image: if we are not in motion, then the image is designed to pass us by in an instant.
Pernyataan dua penulis budaya visual di atas tampaknya mampu menggambarkan apa yang sedang terjadi di dunia sekarang. Bagaimana tidak? Hidup kita yang sudah malang ini penuh dibanjiri citraan-citraan luar biasa: filem, televisi, layar telepon genggam dan blackberry, komputer, internet, papan lampu iklan, penanda jalan, papan nama, video game, apa pun. Citraan tampak mengalami overproduction.
Revolusi kebudayaan citra (atau secara umum disebut budaya visual) merupakan hal yang khas abad ke-20 (dan sekarang, abad ke-21), meski materi-materi visual selalu menjadi bagian integral dari kehidupan manusia. Contoh mudah, filem. Menurut pelajaran sejarah filem dunia yang menjadi agenda wajib mahasiswa-mahasiswa departemen filem, filem sebagai teknologi telah ‘ditemukan’ pertama kali tahun 1895 oleh Lumière bersaudara, dalam sebuah pertunjukan ajaib tentang gambar bergerak di Grand Café, Paris. Filem yang mulanya sebuah atraksi,[1] dibakukan menjadi sebuah industri penghasil citra yang melibatkan berbagai formasi ekonomi dan kepentingan politik.
Contoh lain, komputer dan internet. Teknologi yang mulanya dikembangkan militer untuk kepentingan pengawasan (intelligent, surveillance, reconaissance) akibat Perang Dingin, kini menjadi bagian tak terpisahkan dari perilaku manusia moderen. Ketiga teknologi ini: filem, komputer dan internet mengubah pemahaman manusia akan citra secara revolusioner. Kini perubahan itu berada di titik yang semakin cepat dan luar biasa. Apa yang bisa dilihat dari semua ini selain istilah lama macam simulacra dan simulacrum?
Saya teringat diskursus ini setelah melihat OK. Video dan mengikuti satu-dua kuliah tentang Kajian Media Baru yang diselenggarakan sebagai rangkaian acara festival. OK. Video adalah acara festival video dua tahunan yang dilaksanakan ruangrupa. Tahun ini merupakan tahun keempat penyelenggaraan. Saya sendiri menonton acara ini sejak 2007. Sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya, istilah video memiliki nama buruk di kalangan anak-anak filem. Videoarts is bad art by any other name. Setiap nonton videoart, saya contohnya, bukannya mengalami kesenangan atau penghiburan atau pencerahan, tetapi justru pusing tujuh keliling. Tetapi ini sungguh bisa dimaklumi. Aneh juga mengharapkan penghiburan dari video.
Tapi di samping hal-hal nyinyir tentang video (masturbasi, seperti kata beberapa orang), saya sebenarnya memikirkan juga hal-hal ini. Bagaimana tidak? Selama satu semester mendapatkan satu kelas tentang Kajian Budaya dan Media Baru (cultural studies and new media arts), tetapi selama perkuliahan yang saya dapatkan adalah definisi-definisi tentang ideologi, hegemoni, televisi, Arjun Appadurai,[2] ISA (ideological state apparatus) dan hal-hal semacam itu. Tentu saja itu penting, tapi tetap saja saya tidak tahu apa yang disebut dengan media baru.
Lalu datanglah sebuah masa di mana saya menatap dinding Galeri Nasional dengan perasaan hampa, di sebuah siang yang terik, dengan seorang kurator muda berbahaya yang datang ke Jakarta hanya untuk OK. Video. Tulisan kuratorial dari Aminudin TH Siregar di dinding putih itu tampak seperti sebuah ensiklopedia tentang jenis-jenis video yang ada di Indonesia. Dia menulis begini:
“Ada dua kecenderungan yang lazim ditempuh dari sejumlah tayangan di OK. Video Comedy, yaitu pertama, seniman membangun narasi –panjang maupun pendek—yang lalu secara sengaja ditata, baik alur, suara dan pola komunikasinya, untuk kemudian direkam. Kedua, menunggu momentum dari realitas kehidupan sehari-hari yang secara kebetulan memancing tawa dan secara tak sengaja terekam oleh kamera.”
Pengantar pameran ini tampak seperti diktat kuliah taksonomi yang dingin tetapi dengan tepat menggambarkan bagaimana orang-orang Indonesia memperlakukan teknologi seperti video. Karya-karya video yang dipamerkan dan ditayangkan di OK.Video sendiri berjumlah 95 karya, dengan berbagai asal (negara, artis, macam, dan lain-lain). Ketika masuk galeri pertama kali, pengunjung akan melihat video Anggun Priambodo berjudul Sinema Elektronik-Video Elektronik. Setelah itu, pengunjung akan menemukan ruang luas di tengah galeri yang menampilkan berbagai video dari televisi layar datar di dinding-dinding, dan dua buah layar besar yang ada di tengah.
Kalau dilihat sepintas, penataan televisi-televisi ini tampak datar, bersih, tanpa aksen berarti. Semua video ditayangkan dengan satu jalur visual (single channel). Meski demikian, suara yang dikeluarkan video-video itu sangat riuh, melebihi suara televisi yang dinyalakan bersama-sama di toko elektronik atau pun bagian penjualan televisi di supermarket Carrefour mana pun. Suara-suara dari video yang diproyeksikan ke layar dibiarkan bersahut-sahutan, menimbulkan noise yang bisa dianggap mengganggu, bisa dianggap bagian dari instalasi seniman.
Saya melihat sebagian besar video dari awal hingga akhir, dari bagian judul sampai bagian kredit. Beberapa video tampak menyenangkan, dalam arti bisa membuat tertawa, beberapa yang lain bisa membuat kita berteriak, “Gila, cerdas banget nih orang”, atau yang lain lagi membuat saya nyinyir sambil bilang, “Apaan sih ini? Nggak penting banget.”
Dibandingkan dua tahun lalu, video yang ditampilkan OK.Video memang lebih sedikit. OK.Video Militia 2007 menampilkan lebih banyak karya video (119 video, karya 99 artis dari 27 negara). Tahun ini video-video dari Indonesia yang diputar banyak dibuat oleh artis-artis video yang memang sudah terkenal. Katakanlah, Anggun Priambodo, Muhammad Akbar, Ariani Darmawan, Henry Foundation, Maulana M. Pasha, Wimo Ambala Bayang dan lain-lain. Namun demikian, di seksi kompetisi, video-video yang menang adalah video-video yang (kebetulan) berasal dari Eropa: sebuah self-conscious video yang sangat cerdas berjudul Ivo Burokvic dari Paul Wiersbinski (Jerman), sebuah video sederhana yang sangat menyenangkan berjudul How To Make A Table dari Lemeh42 (Italia) dan video yang agak heboh berjudul The Door of The Law dari Morten Dysgaard (Denmark).
Bagaimana dengan video-video Indonesia? Dari segi jumlah, saya merasa pasti jumlah video di Indonesia semakin banyak. Bukan hanya video yang ditujukan untuk ekspresi seni seperti OK. Video ini, tetapi video secara umum (filem, sinetron, video rekaman pernikahan/kelahiran/acara, dan lain-lain). Di OK. Video sendiri, karya dari Indonesia mendapat kuota yang cukup besar.
Beberapa waktu sebelumnya, saya datang ke pameran hasil riset dari Forum Lenteng di Bentara Budaya. Dengan judul Videobase, pameran ini memperlihatkan berbagai praktik video yang banyak dilakukan di Indonesia, mulai dari produksi video konvensional naratif (dalam bentuk filem panjang, filem pendek, termasuk serial di televisi, dll.), video yang merupakan rekaman jurnalistik (rekaman berita dari televisi, laporan khusus yang bersifat dokumenter), video rekaman acara (pernikahan/kelahiran/kematian/pertunjukan musik/acara-acara lain), video rekaman hal sehari-hari (misalnya dari telepon genggam), dan lain-lain (tetapi tidak termasuk di dalamnya pornografi/rekaman yang bersifat pornografis yang juga populer beredar di Indonesia).
Pameran ini dan acara-acara sejenis menampakkan gejala intensifnya penggunaan medium video di kalangan masyarakat, terutama dengan diproduksinya ribuan bahkan mungkin jutaan jam keping gambar (footage). Video tampaknya menjadi media baru yang cukup menjanjikan bagi masyarakat luas untuk membuat dokumentasi, kepentingan propaganda atau sekadar buat bermain-main.
Kedua, secara umum, seluruh video Indonesia menggunakan referensi visual lokal. Contoh yang mudah, video Sinema Elektronik-Video Elektronik dari Anggun. Teman saya yang kurator dan hanya bisa berbahasa Inggris itu tidak bisa tertawa seheboh saya saat menonton video Anggun. Kita semua tahu bahwa Anggun menggunakan ambilan gambar-ambilan gambar, bingkaian-bingkaian, gaya akting, singkatnya: referensi visual sinetron Indonesia –yang ditonton hanya oleh orang Indonesia. Contoh lain, video Muhammad Akbar dan Yusuf Ismail yang menjadikan visual televisi Indonesia sebagai referensi. Tak ayal, orang yang tidak menonton televisi Indonesia tidak akan tahu sepenuhnya maksud sang seniman.
Menandakan apakah dua hal ini bagi kita? Pertama, kita memproduksi banyak video sehingga OK. Video bisa bertahan sebagai salah satu festival video terkuat di Asia Tenggara (mungkin hanya Indonesia yang memiliki festival video reguler). Kedua, teknologi video ternyata lebih lentur dalam fungsinya, baik fungsi artistik (seperti videoart), fungsi sejarah (dokumentasi, counter-history),[3] fungsi sosial/politik (bermain-main, propaganda ide), dan lain-lain. Beberapa fungsi memang inheren dalam medium video (terutama artistik), tetapi beberapa fungsi lain sangat khas Indonesia. Tak heran bahwa di Indonesia, seperti kata kurator OK.Video dan kurator berbahasa Inggris saja itu, video bisa jadi diperlakukan secara serius (penuh dengan perhitungan, baik teknis, artistik maupun ekonomi), tetapi bisa juga diberlakukan sebagai medium yang lebih fleksibel dengan sifatnya yang dapat menangkap spontanitas, sesuatu yang bersifat instan, simultan, dan interaktif.
Thomas Elsaesser mengatakan, nilai-nilai spontanitas, instan, simultan dan interaktif adalah nilai-nilai kapitalisme masa Victorian (di abad ke-19) yang muncul dalam bentuk televisi dan internet. Baginya, sinema (dengan S besar) bukanlah mimpi dan hal yang diharapkan abad ke-19. Yang mereka harapkan adalah teknologi yang bisa interaktif, instan, dan simultan sesuai nilai-nilai baru kapitalisme industrial. Dan inilah yang sedang terjadi di negeri ini.
Sinema (dengan S besar) sebagai produk murni kapitalisme, membutuhkan proses literasi yang lebih massif dari video. Pembuat filem perlu menyusun narasi, butuh membuat sistem produksi yang mengakomodasi kepentingan ekonomi dan politik. Terbukti, dalam banyak hal, sinema di Indonesia tidak diberlakukan sebagai medium moderen (dalam arti sesungguhnya: produk Renaisans dan kapitalisme matang, dengan individu sebagai tokoh sentral).[4] Tak mengherankan bahwa sinema di Indonesia masih berfokus pada proses menyampaikan cerita/narasi, bukan sebagai bahasa visual yang memungkinkan terjadinya eksplorasi. Sinema diberlakukan seperti video: medium yang diharapkan dapat menangkap citraan-citraan yang berlari dengan sangat cepat, yang bersifat instan dan simultan, tanpa kedalaman.[5]
Oleh karena itu, dalam sebuah perbincangan, teman kurator saya itu berkata bahwa video justru mungkin lebih cocok dengan Indonesia karena ia dengan mudah dapat menyesuaikan diri dengan tradisi atau situasi lokal.[6] Dengan referensi lokal dan proses bercerita video yang tidak membutuhkan struktur sangat tertutup seperti filem,[7] video bisa jadi satu taktik bagi mereka yang tidak mengendalikan proses produksi visual dominan, tanpa harus mengikuti aturan-aturan baku sistem dominan tersebut.
Footnote:
[1] Sinema sebagai atraksi diteorikan pertama kali oleh Tom Gunning dan André Gaudreault untuk menyebut fenomena kelahiran sinema awal (early cinema). Dalam fase awal kemunculannya, filem lebih dianggap sebagai atraksi visual, sebuah tontonan, bukan sebuah bentuk seni tertentu (dengan sendirinya bentuk ini mengantarkan kita pada satu ciri sinema, yakni naratif). Thomas Elsaesser & Adam Barker (ed.), Early Cinema: Space Frame Narrative, London: BFI, 2008 dan Wanda Strauven (ed.), Cinema of Attractions Reloaded, Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006.
[2] Arjun Appadurai adalah seorang Penasihat Senior untuk Global Initiatives di The New School, New York City, merupakan seorang Profesor di bidang Ilmu-ilmu Sosial.
[3] Menampilkan hal-hal yang selama ini berbeda dengan gambaran dominan tentang sejarah. Contohnya, video-video hasil kesaksian para korban peristiwa 1965 di Indonesia.
[4] Sinema dominan yang diproduksi Hollywood serta filem seni Eropa menjadikan individu sebagai sosok sentral di dalam naratif sinema. Dengan cara yang berbeda, dua sinema ini memperlihatkan bagaimana ideologi dominan kapitalisme bekerja di dalam proses produksi citra (image-making practice). Sementara dalam kasus Indonesia, contohnya dalam filem horor, naratif tidaklah semata-mata digerakkan oleh individu, dengan pola naratif Hollywood yang ketat. Resepsi/proses menonton filem di Indonesia sangat berbeda dengan proses resepsi filem dalam ‘masyarakat moderen’ dalam arti, filem dilihat sebagai tontonan, atraksi, dan perayaan yang bersifat kolektif. Lihat David Bordwell, Janet Steiger dan Kristin Thompson, The Classical Hollywood Cinema: Film Style and Mode of Production to 1960, London & New York: Routledge, 1988.
[5] Kegagapan pembuat filem Indonesia dalam menghadapi medium filem yang naratif terlihat dengan jelas dari filem-filem yang dihasilkannya, antara lain, sangat sulitnya filem Indonesia mencapai standar naratif yang memadai dan eksplorasi estetik yang baik.
[6] Gridthiya Gaweewong dan David Teh, “Unreal Asia” programme introduction, Oberhausen Film Festival, 2009.
[7] Video sendiri adalah sebuah medium yang menggunakan sinyal (isyarat-isyarat) elektronik untuk menghasilkan citra (image). Karena sifatnya yang demikian, maka video lebih bersifat tidak stabil. Ia bisa memberikan keleluasaan bagi seniman/pengguna video untuk memproduksi karya dengan prosedur yang bervariasi. Dibanding filem dan jenis medium seni lain, video memiliki struktur yang lebih terbuka. Hal ini dimungkinkan oleh begitu mudahnya unsur-unsur sinyal, segmen atau sekuens dari peranti video diubah, didistorsi, dirusak, atau ditumpuk dalam presentasinya dan ditransformasikan menjadi objek yang sama sekali berbeda. Video bisa berfungsi sebagai alat perekam (recording), bisa mereproduksi (menyalin), dan bisa pula hanya sebagai pajangan (instalasi/pameran). Video pun bisa dihubungkan dengan perangkat lain untuk mendapatkan fungsi yang lain lagi. Video tidak memerlukan sinematik aparatus seperti yang berlaku pada filem (ruang gelap, proyektor dari belakang yang memantulkan sinar tunggal, dan layar) atau pun televisi yang memiliki hukum dan konvensi serialitas tersendiri. Video tidak mensyaratkan peranti tertentu. Sinyal video bisa dihasilkan dari kamera, atau bisa diciptakan di dalam peralatan video itu sendiri. Video bisa memaklumi main-main secara teknis sebagai proses menghasilkan citraan (superimposition, berbagai reproduksi gambar). Filem membutuhkan waktu dan ruang yang berbeda untuk merekam dan menampilkan gambar, video memiliki kelebihan dalam melakukan keduanya. Video dapat melakukan kerja-kerja simultan, merekam sekaligus menampilkan, menyatukan visual dan audio (dalam seluloid, dua hal ini dipisahkan dalam pita). Struktur video yang lebih terbuka ini memungkinkan reformulasi, perubahan, distorsi maupun perusakan struktur video baik secara visual maupun audio. Lihat Yvonne Spielmann, “Copy, Remake and Remix:The Open Structure of Video”, dalam catalog Videonale 11, Herausgegeben von Georg Elben, 2007.
Saya tertarik dengan tulisan anda. Saya juga mempunyai berbagai tulisan yang bisa anda kunjungi di Publikasi Sastra