Menurut Hans Gadamer, sejarah adalah hal yang selalu terbuka, oleh karenanya ia tidak bisa direproduksi. Pandangan Gadamer ini merupakan kritik terhadap pandangan sejarah objektif’ yang memandang bahwa manusia seakan bisa berada melampaui sejarah (meta historis). Pandangan Gadamer ini bisa diandaikan ketika seekor ikan di dalam akuarium di mana ikan itu sendiri tidak bisa berada melampaui akuarium untuk melihat diri dan lingkungannya. Sebagaimana analogi ini, bagi Gadamer, ketika seseorang membaca sejarah ia selalu dalam situasi sejarah pula, ia selalu dalam berkesituasian ketika membaca sejarah, sehingga sejarah adalah hal yang tidak bisa diobjektifikasikan dan direproduksi, baik berupa buku mapun karya-karya kultural lainnya.
Pandangan Gadamer terhadap sejarah itu adalah juga kritik terhadap pandangan historisme yang menganggap bahwa, sejarah hanyalah ungkapan zamannya yang dapat diakses sebagai fakta-fakta objektif. Leopold von Ranke, sebagai salah seorang dari mahzab historisme, menganggap sejarah sebagai ‘apa yang benar-benar terjadi’ (wie es eigentlich gewesen). Sementara itu, Wilhelm Dilthey, seorang pemikiran historisme lainnya, berpandangan bahwa manusia ditentukan oleh sejarah maka kita dapat mengetahui sejarah sebagai fakta. Pandangan Dilthey ini mengandaikan pengetahuan tentang sejarah yang berciri universal. Jika di lacak lebih jauh, pandangan Dilthey ini sebenarnya melampaui hal yang konkret, yang sebenarnya juga bertentangan dengan anggapannya sendiri dimana manusia bergerak di dalam sejarah dan bukan mengatasinya. Gadamer sendiri menganggap pandangan Dilthey tentang sejarah itu terperangkap di dalam filsafat kesadaran Descartes yang berusaha menjelaskan segalanya dalam terang subyek universal. Pengaruh Cartesian Dilthey ini bisa kita baca lebih jauh sebagai kesadaran akan sejarah dan bukan sebagai kesadaran dalam sejarah. Dalam konteks ini, historisme seakan-akan bisa “keluar” dari sejarah bagaikan mata burung yang melihat bumi sebagai suatu cara menemukan fakta objektif. Hal inilah yang kemudian bagi Gadamer bahwa pandangan historisme terhadap sejarah tersebut hanya sebagai pengetahuan, padahal pengetahuan itu sendiri menyejarah. Atau, ketika manusia mengetahui sejarah, itu juga dalam berkesituasian dan berada di dalam sejarah pula. Kesadaran sejarah itu sendiri, bagi Gadamer, ditentukan oleh sejarah pula yang disebutnya sebagai “kesadaran yang dibentuk sejarah pengaruh” (wirkungsgeschliches Bewußtsein)[i].
Tren Mengangkat Sejarah dan Hasrat Objektifitas
Membaca masa lalu adalah hasrat untuk mencari asal muasal yang juga sebagai bagian untuk membaca kekiniaan dan masa depan. Di era keterbukaan saat ini, hasrat mencari asal muasal semakin terbuka lebar sehingga sedikit-banyak belakangan ini banyak karya-karya seni di Indonesia, khususnya filem, yang mengangkat tema sejarah. Situasi sosial politik reformasi yang masih berlangsung di Indonesia, setidaknya memberikan peluang untuk membuka katub demi menafsirkan ulang sejarah, baik biografi para tokoh maupun peristiwa yang terjadi di masa lalu, yang telah terbekukan pada masa Orde Baru. Beberapa filem fiksi yang mengangkat tema sejarah juga mulai banyak bermunculan belakangan ini, selain juga karya dokumenter yang memang dekat dengan klaim kebenaran terhadap realitas yang diangkatnya.
Beberapa persoalan yang tersisa dari animo mengangkat tema sejarah ke dalam karya filem itu, yang marak belakangan ini, adalah terdapatnya kecendrungan-kecendrungan untuk kembali ke masa lalu secara presisi melalui detail dalam penggambaran atau merekonstruksi ulang realitasnya. Beberapa filem Indonesia bioskop yang mengangkat tema sejarah dan tokoh belakangan ini, seperti “Jendral Soedirman” (2015), “Soekarno: Indonesia Merdeka” (2013), “Sang Kyai” (2013), “Sang Pencerah” (2010), “Guru Bangsa: Tjokroaminoto” (2015), “Soegija” (2012), “Gie” (2005), dan lain sebagainya, bahkan sampai filem yang mengangkat tokoh dari kalangan masyarakat biasa, seperti “Merry Riana: Mimpi Sejuta Dollar” (2014), adalah usaha-usaha dari filem yang menggambarkan sejarah melalui suatu rekonstruksi ulang dari realitas yang berlangsung di masa lalu. Beberapa kalangan menyebut genre bagi fenomena filem yang mengangkat tentang sejarah ini sebagai bio pic (biografi picture) atau “filem sejarah”. Istilah genre ini mungkin juga tidak lepas dari gaya pendekatan filem Hollywood, dimana kecenderungan untuk membaca masa lalu lebih banyak menghadirkan kepekaan eksotisisme masa lalu melalui setting kostum, tempat dan lain sebagainya. Membangun peristiwa dan realitas di masa lalu secara presisi tersebut pada dasarnya adalah semangat objektifitas, dimana manusia seakan-akan bisa menggambarkan masa lalu seperti aslinya. Meski kemudian dalam ranah objektifitas itu sendiri, konstruksi realitas sejarah yang terwujud di dalam filem-filem sejarah tersebut bisa dipertanyakan, namun gambaran realitas masa lalu yang presisi dengan aslinya tersebut seakan membuat manusia bagaikan mata elang yang berada di atas dan melampaui sejarah ketika melihat peristiwa di masa lalu. Semangat objektifitas yang melampaui sejarah ini, sebenarnya sedikit banyak juga dipengaruhi padangan ‘representasionalisme’ (verisimilitude) terhadap cara pandang realitas yang objektif, dimana didalamnya juga mengandaikan bahwa objektifitas menjadikan sejarah bisa direproduksi dalam bentuk karya-karya kultural.
Dalam perkembangan sosial politik kekinian, tidak ketinggalan, tema sejarah juga diangkat oleh para pembuat filem dokumenter di Indonesia. Isu tentang ‘Peristiwa 1965’, merupakan tema yang cukup banyak diangkat bagi para pelaku dokumenter karena, selain sebagai sebuah sejarah objektif itu sendiri, peristiwa tersebut memang masih mengundang banyak versi ‘kebenaran’ (objektifitas) bagi pihak-pihak yang terkait dengan peristiwa tersebut. Hal ini memang tidak lepas dari bagaimana sejarah 1965, oleh kekuasaan Orde Baru, dijadikan alat legitimasi kekuasaannya, sehingga pengalaman rujukan sejarah di masa otoriter tersebut lebih didominasi oleh kontruksi pihak penguasa. Pada masa Orde Baru, praktik pemahaman sejarah tentang ‘Peristiwa 1965’ sendiri sedikit-banyak dipengaruhi oleh semacam doktrinasi melalui tayangan filem “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” (Arifin C. Noer, 1984). Baru pada era reformasi sebagai sebuah era keterbukaan, terdapat peluang bagi tafsir-tafsir baru tentang peristiwa kekerasan yang terjadi di masa lalu itu. Termasuk didalamnya adalah bagaimana sinema—khususnya filem dokumenter yang dianggap sebagai sebuah bentuk sinema yang memiliki kedekatan dengan realitas dan klaim kebenarannya –mencoba mengangkat isu tentang ‘peristiwa 1965’ sebagai usaha untuk mengkritisi sejarah sosial politik tersebut yang sebelumnya lebih didominasi oleh kontruksi sejarah milik Orde Baru.
Beberapa karya dokumenter tentang ‘Peristiwa 1965’ semenjak reformasi, seperti “Mass Grave” (Lexi Rambadeta, 2001), “Saya rasa itu Sulit untuk Dihilangkan,.. Sulit untuk Dihilangkan” (Danial Indrakusuma, 2003),“Tji Durian 19” (Lasja Susantyo dan M. Abduh Azis, 2010), “Jembatan Bacem” (Yayan Wiludiharto, 2013), “Tarung” (Steve Pillar Setiabudi”, 2015),“Tida Lupa” (Asrida Elisabeth, 2015), dan lain sebagainya, sedikit banyak merupakan filem-filem yang berusaha membuat kesaksian tentang apa yang sesungguhnya terjadi di masa lalu tersebut. Yang paling kentara dari moda dokumenter dalam usahanya menggambarkan masa lalu pada ‘Peristiwa 1965’ tersebut adalah untuk menjangkau kedisanaan masa lalu secara akurat dan presisi, serta seobjektif mungkin untuk mendapatkan kebenaran, seperti halnya kaidah-kaidah yang digunakan dalam ilmu sosial tentang sejarah. Hal ini, terlihat pada cara penggambaran masa lalu melalui kesaksian dari para tokoh yang dihadirkan, baik para saksi, korban maupun pengamat, untuk menyatakan ingatan-ingatan apa yang berlangsung tentang masa lalu melalui wawancara-wawancara dalam menggambarkan ‘Peristiwa 1965’ tersebut.
Secara umum, hampir semua “filem tentang sejarah” di Indonesia—atau bisa juga merujuk model-model filem Hollywood yang mengangkat tema sejarah, baik fiksi maupun dokumenter (sejauh yang tertangkap dalam pengamatan penulis), adalah membawa semangat membuat “objektifitas tentang masa lalu secara presisi”, baik filem fiksi melalui realisme yang mengkonstruksi ulang untuk membuat visual yang seakan-akan nyata dan sama dengan aslinya di masa lalu, maupun model-model dokumenter yang semangatnya juga tidak jauh berbeda dengan hasrat untuk kembali ke masa lalu secara presisi melalui arsip dan wawancara-wawancara para saksi maupun korban. Dalam konteks sinema dokumenter, klaim-klaim ‘kebenaran’ atau representasi tentang sejarah dan masa lalu yang mungkin menarik untuk dipertanyakan adalah, apakah sinema dokumenter bisa beperilaku layaknya ilmu sosial untuk mendapatkan klaim objektifitas seperti bayangan objektifitas-objektifitas dalam ilmu sejarah? Padahal, sinema dokumenter sendiri tidak bisa lepas dari kodrat medium yang didalamnya mengandaikan perihal subyektivitas, baik frame (bingkai), editing, visual dan lain sebagainya. Pertanyaan yang sama tentang objektifitas sebenarnya juga bisa dilekatkan ada ilmu-ilmu sosial. Kemudian dalam konteks memposisikan sinema sebagai barang seni, apakah sebenarnya mengangkat tema sejarah ke dalam karya seni semacam itu, menggunakan kepekaaan yang sama dengan kepekaan dalam ilmu sejarah dalam hasratnya mencari objektifitas? Tentu, ada banyak refleksi pertanyaan-pertanyaan yang bisa diperluas lagi dari apa yang ditawarkan dalam tulisan ini. Namun terkait hal ini, asumsi-asumsi presisi atau “berusaha untuk objektif dalam menghadirkan masa lalu dalam sejarah” dalam konteks seni sinema merupakan hal-hal yang penting untuk diperbincangkan, khususnya menyangkut pertanyaan apakah seni sesungguhnya bisa memperbincangkan sejarah seperti halnya ilmu sosial memperbincangkannya? Hal ini juga seiring dengan gugatan pengertian “representasi” dalam pandangan kontemporer dalam bidang seni. Tentu saja seni bisa ditempatkan sebagai sumber pengetahuan, namun dalam penulisan ini adalah berangkat dari pengertian sejarah sebagai sesuatu yang tidak bisa direproduksi, sebagaimana Gadamer mengkritik pandangan historisme yang memandang sejarah sebagai sesuatu yang objektif.
Refleksi-refleksi pertanyaan di atas sesunggunya lahir dari karya Joshua Oppenheimer “The Act of Killing” (2012) dan “The Look of Silence” (2014) sebagai sebuah karya dokumenter yang bagi penulis pribadi bisa dianggap cukup berhasil dalam memandang ‘Peristiwa 1965’. Filem karya sutradara lulusan Harvard University ini, adalah filem yang cukup tepat memberikan impresi kepada para penonton—khususnya penonton Indonesia—tentang peristiwa 1965, sehingga cukup memberikan pengaruh dari beberapa kalangan untuk memperbincangkan kembali atau memorikan kembali tentang sejarah sosial politik tersebut. Beberapa kalangan memperbincangkan filem yang sempat memenangkan penghargaan di beberapa festival internasional tersebut adalah sebagai filem sejarah, atau setidaknya mengandaikan bahwa filem tersebut memberikan gambaran tentang sejarah ‘Peristiwa 1965’. Namun, asumsi-asumsi sejarah, apalagi yang bersifat informatif tentang ‘Peristiwa 1965, sesungguhnya tidak terlalu ditekankan oleh Joshua Oppenheimer dalam filem tersebut. Jika kita merujuk dari buku sejarah tentang ‘Peristiwa 1965’ yang beredar di Indonesia, nyaris tidak ada informasi baru tentang ‘Peristiwa 1965’ yang diberikan dalam filem “The Act of Killing”, maupun “The Look of Silence”, kecuali menghadirkan para pelaku sebagai aspek yang selama ini memang belum digali oleh para pembuat filem dokumenter di Indonesia. Tampilnya para pelaku di dalam “The Act of Killing” (TAOK) tersebut bukan lagi sebagai hal yang bersifat informatif atau reportase sebagai kepekaan untuk menggali sebuah informasi kebenaran yang bersifat objektif tentang masa lalu, tetapi kehadiran para pelaku lebih berperan untuk sebagai sebuah ‘peristiwa’ (event) dan ‘kehadiran’ dalam menyatakan kesaksian mereka tentang tindakan kekerasan mereka di masa lalu. Pengertian ‘peristiwa’ dan ‘kehadiran’ dalam konteks ini adalah tidak lagi mengandaikan ungkapan para pelaku tentang kekerasan yang mereka lakukan di masa lalu bukan sebagai suatu kebenaran yang objektif, atau pun bentuk representasionalisme seperti halnya dalam pandangan ilmu sosial tentang sejarah.
Dalam perkembangannya, pengertian dokumenter sendiri mengalami gugatan dalam melakukan klaim ‘kebenaran’ dalam menganggambarkan realitas. Sebagai sebuah praktik sinema yang mengambil bahan baku dari realitas dan aktualitas yang ada, cara bertutur mediumnya juga tidak luput dari pengaruh-pengaruh fiksi dan ilusi. Michael Renov menyatakan bahwa “Adalah penting untuk diingat bahwa dokumenter adalah idiom sinematis yang paling aktif mempromosikan ilusi ’kedekatan’ sejauh dokumenter menanggalkan ‘realisme’-nya, dan menggantikanya dengan klaim ontologis atas ‘kenyataan’ tanpa tedeng aling-aling. Setiap dokumenter menyerukan ‘klaim kebenaran’ dokumenter, membentuk koneksi dengan sejarah yang melebihi status analogis dari rekan fiksionalnya.”[ii]
Klaim-klaim kebenaran di dalam dokumenter biasanya diperoleh melalui sebuah bahan baku yang berasal dari realitas secara langsung dan dekat, yang murni tanpa pretensi. Namun, seiring pandangan kontemporer yang mencoba menggugat ‘representasionalisme’, maka refleksi-refleksi tentang pengertian realitas dokumenter, dalam perkembangannya, juga mengalami gugatan bukan saja tentang ‘keabsahan’ atas realitas yang diambil tanpa rekayasa, tetapi sebagai sebuah praktik medium, dokumenter juga tidak luput dari pengertian ‘representasi’ dari realitas yang dihadirkannya, maupun ‘representasi’ sebagai praktik medium yang didalamnya memuat bingkai, editing dan lain sebagainya yang tidak lepas dari pengaruh-pengaruh budaya dan kekuasaan. Di sisi lain, menurut Chris Barker, “…bagi kajian budaya, representasi bukan hanya merefleksikan dalam bentuk simbolis “sesuatu” yang eksis di dunia objek yang independen, melainkan representasi itu sendiri bersifat konstitutif terhadap makna yang mau disampaikan atau diperjuangkan. Representasi, dengan demikian, tidak melibatkan korespondensi antara tanda dan objek melainkan menciptakan “dampak representasional dari realisme.”[iii] Refleksi ini juga membawa sebuah perkembangan dokumenter yang tidak lagi bermuara pada pengertian representasional dalam mengungkapkan realitas yang dihadirkannya, namun lebih pada peran subyek dokumenter sebagai “agen”, dimana konteks kebersituasian dan sifat “peristiwa” dan “kehadiran” menjadi sesuatu yang signifikan dalam menggambarkan realitas di dalam dokumenter.
Dokumenter Performatif (Performative Documentary)
Yang menarik dari pendekatan Joshua dalam TAOK bukan sekedar isi dari kesaksian para pelaku dalam melakukan kekerasan di masa lalu, tetapi juga sifat dari kesaksian tersebut. Kesaksian-kesaksian itu tidak lagi bermuara pada sebuah ingatan semata, tetapi juga juga impresi dari pelaku dalam melakukan tindakan kekerasan terhadap korban. Melalui moda dokumenter dimana para pelaku memperformanskan sebuah praktik kekerasan melalui stimuli proses pembuatan adegan filem yang sedang mereka garap bersama sang sutradara, menjadikan sifat dokumenter ini lebih ke arah performatif, atau semacam ingatan yang diperformanskan. Memperformanskan kesaksian para pelaku kekerasan di dalam ‘Peristiwa 1965’ di dalam filem TAOK, menjadikannya bukan sebuah statement atau kesaksian informatif untuk memberikan gambaran presisi atau semacam rekonstruksi ulang tentang kekerasan masa lalu, namun lebih pada kesaksian masa lalu dalam sebuah kebersituasian—dimana para pelaku kekerasan dalam ‘Peristiwa 1965’ bersama sang sutradara membuat adegan filem tentang pengalaman kekerasan yang para pelaku kekerasan lakukan di masa lalu. Dalam kebersituasian yang melingkupi sebuah kesaksian tersebut, dimana para pelaku ketika memberikan kesaksian tentang tindakan kekerasan yang mereka lakukan di masa lalu, juga dilingkupi oleh imajinasi, kode kultural, psikologis, dan lain sebagainya, sedemikian hingga kesaksian tersebut bukan lagi sebuah ‘ingatan’ yang berusaha untuk merekontruksi ulang masa lalu secara presisi pada kejadian aslinya. Tetapi yang bekerja dalam proses kesaksian tersebut adalah semacam ‘memori’, dimana asosiasi-asosiasi personal banyak mempengaruhi pembentukan ulang peristiwa di masa lalu dari sang pelaku. Dalam konteks ini, pengertian agensi menjadi esensial dalam membangun realitas di dalam dokumenter, dimana masa lalu tidak lagi dijangkau dengan moda representasi atau sebuah pernyataan yang bisa diverifikasi benar-salah kesaksian secara objektif. Pada filem TAOK ini, kesaksian tentang masa lalu dijangkau melalui sebuah performans dalam sebuah kebersituasian, atau bisa juga disebut sebagai sebuah pernyataan yang bersifat performatif.
Ada beberapa pengertian performatif di dalam dokumenter. Menurut Bill Nichols, moda performatif (performative mode) di dalam dokumenter adalah menekankan subyektifitas atau aspek ekspresi dari keterlibatan pembuat filem itu sendiri dengan subyek dan sebuah pereaksian para penonton pada pelibatan tersebut.[iv] Sementara Stella Bruzzi: bagaimana dokumenter performatif menekankan penggunaan performance di dalam konteks non-fiksi untuk menekankan ketidakmungkinan rerpesentasi dokumenter yang otentik.[v] Namun, dalam konteks tulisan ini, pengertian performatif di dalam dokumenter adalah lebih pada bagaimana sejarah sesunguhnya hanya bisa dibaca dalam konteks kekinian dan di dalam kebersituasian, sebagai usaha untuk menggugah pengertian-pengertian sejarah sebagai masa lalu yang seakan bisa dibawa secara presisi, dimana sinema dokumenter bagaikan mata elang di atas bumi (meta-histori) yang melihat sejarah lepas dari situasi yang melingkupinya.
Pengertian performatif sendiri berangkat dari teori bahasanya J.L Austin yang membedakan dua jenis ujaran, yakni ujaran performatif dan konstatif . Yang dimaksud dengan ujaran konstatif adalah pernyataan yang berkaitan pada pengetahuan faktual. Dalam konteks ini, para audiens dijamin tahapan faktisitasnya melalui sebuah pernyataan, dimana dalam hal ini derajat kebenaran dan kesalahan dari pernyataan tersebut tidak dirujuk melalui sebuah korespondensi tindakan di dalam ‘realitas’. Berbeda dengan tindakan konstatif yang terdiri dari matra konstansi, ‘tindakan performatif’ mengindikasikan ujaran melalui memperformanskan sebuah tindakan—ujaran yang tidak hanya diucapkan. Sebagai contoh dari tindakan ujaran performatif ini adalah ketika seseorang mengucapkan kesanggupan ijab kabul (I do) dalam sebuah proses pernikahan. Dalam konteks ini, ujaran performatif tersebut bukan sekedar untuk memberikan informasi bahwa ia bersedia menerima pasangannya sebagai ikatan rumah tangga, tetapi ujaran dengan “kata bersedia” (I do) itu juga juga secara serentak sebagai tindakan atau mengekspresikan sebuah tindakan akan kesediaannya menjadi suami atau istri dalam prosesi pernikahan tersebut.
Jika merujuk dalam teori bahasa J.L. Austin, maka apa yang dilakukan oleh Anwar dalam filem TAOK tersebut adalah performatif dalam jenis tindakan illokusioner, yakni istilah yang berasal dari Austin, bahwa bagian dari tindakan bicara yang mana seseorang menggunakan kata, gesture, dan beberapa ekspresi lain yang bermakna pada sebuah perform dari sejumlah tindakan, seperti halnya membuat sebuah penegasan, sebuah permintaan atau sebuah apologi.[vi] Dalam konteks ini, dokumenter menjadi sebuah penegasan dari sebuah realitas yang dihadirkan, atau semacam penegasan secara sinematis terhadap pernyataan yang akan diekspresikannya. Dalam konteks kesaksian tentang peristiwa kekerasan yang terjadi pada 1965 pada filem Joshua ini, para pelaku kekerasan sadar betul ia berada dihadapan sebuah kamera, dimana kamera seakan menstimuli para pelaku kekerasan melalui sebuah adegan filem fiksi yang sedang mereka buat bersama. Dalam konteks ini, filem TAOK Joshua yang mengambil latar tentang ‘Peristiwa 1965’ sesungguhnya bukan lagi filem tentang sejarah, namun lebih pada impresi para pelaku kekerasan di masa lalu melalui sebuah performans mereka di hadapan kamera. Joshua sendiri dalam memandang karyanya (TAOK) menyatakan bahwa ia sebenarnya lebih memilih berbicara tentang kekerasan, karena baginya, “…perbuatan kekerasan pasti selalu terjadi dalam sejarah. Kekerasan tidak pernah lepas dari sejarah. Kalau terpaksa harus memilih, saya harus pilih kekerasan daripada sejarah.”[vii]
Memperformanskan tindakan di masa lalu sesungguhnya bukan sesuatu yang bersifat presisi lagi seperti tindakan aslinya yang sudah terjadi. Performans selalu bersifat momentum, dan sebagai tindakan ia mungkin tidak bisa direproduksi. Seperti dalam satu di antara adegan-adegan film TAOK, misalnya, Anwar menyarankan untuk melakukan adegan kekerasan dalam rangka merekonstruksi ulang pengalaman kekerasanya, dengan menggunakan senjata pistol. Namun pada adegan tersebut Joshua sebagai sutradara menolak untuk melakukan saran Anwar, karena Joshua sadar betul bahwa Anwar sebenarnya tidak pernah melakukan pembunuhan dalam ‘Peristiwa 1965’ dengan menggunakan senjata pistol, namun pembunuhan yang dilakukan oleh Anwar di masa lalu tersebut adalah dengan menggunakan kawat. Dalam konteks ini, kesaksian-kesaksian Anwar tentang kekerasan yang ia lakukan di masa lalu, adalah sebuah kesaksian dalam situasi di hadapan kamera, atau kesaksian yang distimuli melalui sebuah proses pembuatan filem tentang kekerasan yang Anwar lakukan di masa lalu. Sehingga, dalam konteks kesaksian Anwar, kesaksian yang tampil adalah kesasksian yang bersifat kebersituasian, atau “kesaksian yang distimuli di hadapan kamera”. Konteks kebersituasian inilah yang dengan gamblang atau sengaja diperlihatkan di dalam filem TAOK, sehingga sifat kesaksian yang dilakukan oleh Anwar lebih pada kesaksian yang di-performans-kan, ketimbang sebuah kesaksian yang di-statement– kan atau bersifat informatif.
Dalam konteks ini, Jay Winter menyatakan bahwa “memperformanskan memori adalah sebuah seperangkat tindakan, beberapa terwujud dalam ucapan, yang lain dalam gerak dan gesture, yang lain dalam seni, yang lain masih dalam bentuk secara fisik. Tindakan performatif menyingkap dan mengisi kembali emosi yang memberikan memori awal atau melekatkan kiasan dalam kekuatan yang tertanam dalam memorinya.”[viii] Dalam dokumenter performatif, justru fiksi atau kiasan sebenarnya adalah bagian untuk membangkitkan informasi yang bersifat non-fiksional itu sendiri, di mana melalui performans sebagai sebuah pendekatan untuk dijadikan sumber informasi. Kesaksian Anwar tentang kekerasan yang ia lakukan di masa lalu adalah konteks ketika ia berhadapan dengan sebuah kamera, dan secara serentak ia sedang menghadirkan kembali masa lalu dalam sebuah adegan filem yang sedang ia buat bersama sang sutradara (Joshua). Dalam konteks ini, kesaksian-kesaksian Anwar tentang tindakan kekerasannya di masa lalu membutuhkan semacam fiksi untuk mendramatisir situasi untuk menghadirkan kembali tindakannya di masa lalu, sehingga asosiasi-asosiasi kesaksian juga banyak dipengaruhi oleh bumbu-bumbu kode kultural, seperti adegan-adegan filem “action” dalam filem Hollywood. Berbeda dalam kerangka doku-drama yang cenderung membuat klaim ontologis tentang rekonstruksi ulang, atau objektivitas terhadap masa lalu yang dihadirkan, dimana seakan-akan realitas yang telah berlalu bisa gambarkan kembali secara persis seperti aslinya, lepas dari kebersituasian kekinian yang melingkupinya. Sifat performatif dari kesaksian Anwar ini merupakan sebuah kesaksian yang tidak lepas dari kebersituasian demi menghadirkan semacam ‘pernyataan tentang kebenaran’ dan bukan ‘pernyataan yang benar’. Konteks dalam pengertian “pernyataan tentang kebenaran” adalah lebih mengarah pada pengertian ‘kehadiran’ dan ‘peristiwa’ untuk menyatakan tentang sesuatu (kebenaran), ketimbang ‘menyatakan sesuatu yang benar’ yang bisa diverifikasi. Sifat performatif dalam konteks ‘pernyataan tentang kebenaran’, lebih pada otentisitas sang pelaku ketika menyatakan kesaksian, ketimbang kebenaran isi kesaksiannya itu sendiri.
Sifat dari performance sendiri adalah sesuatu yang bersifat momentum. Kesaksian-kesaksian Anwar dalam filem TAOK sesungguhnya lebih bekerja dengan momentum, dimana kesaksian tersebut bisa jadi adalah ‘keberlangsungan yang bisa jadi tidak bisa diulang secara persis sama’ (direproduksi). Tesis Fiky Daulay, berkaitan dengan performatif di dalam filem TAOK, menyatakan bahwa “Performance menciptakan temporalitas. Secara khusus, temporalitas dipahami sebagai sebuah lingkaran waktu. Performance melibatkan sekuens dari hadirnya kedatangan masa lalu. Melalui dramatisasi, pengalaman dari masa lalu bukan hanya diperformanskan, namun juga memantul ke belakang pada kehadiran kondisi waktu. Bagaimana performance menunjukkan sejarah temporal yang diciptakan melalui adegan yang diseleksi dan hubungan mereka dari yang satu ke yang lain. Hal ini juga terkait bagaimana subyek dihistoriskan melalui performance.”[ix]
Filem TAOK pada dasarnya memang bukan filem sejarah, khususnya pemaknaan sejarah dalam pengertiannya yang bersifat informatif seperti halnya sejarah yang tertera di dalam buku-buku ilmu sosial. Tindakan performatif dalam filem ini lebih tentang ‘kekerasan’ yang terjadi di masa lalu. Melalui kekuatan performatif yang dibangun dalam dokumenter ini, sesungguhnya filem ini lebih ingin membentuk impresi, khususnya impresi tentang peristiwa 1965 di masa lalu. Dalam sebuah perjumpaan penulis dengan sang Sutradara TAOK, Joshua Oppenheimer sendiri menyatakan bahwa “Tentu sejarah memiliki dua makna. Sejarah bisa berarti masa lalu, namun sejarah juga bisa berarti cerita yang kita kisahkan tentang masa lalu. Dan tentu filem ini adalah seluruh pembuatan sejarah. Ketika saya mengatakan sejarah itu adalah sebuah penetapan kembali dari bagaimana seluruh rezim telah membangun self-image dan normalitas pada aksi teror dan kebohongan.” Lebih lanjut, filem TAOK bagi Joshua adalah juga tentang bagaimana sebuah sejarah telah dan sedang ditulis, dimana pengaruh-pengaruh penguasa terlibat didalamnya. Dalam hal ini, filem TAOK juga tidak bisa lepas dari konteks kebersituasian kekinian, dimana menurut Joshua filem ini adalah tentang kehadiran dan Indonesia hari ini, filem TAOK tidak terlalu banyak memperlihatkan peristiwa yang terjadi di tahun 1965, kecuali membuat kejelasan yang absolut dari apapun yang terjadi di 1965 yang melibatkan pembunuhan massal, kejahatan melawan kemanusiaan, penyisaan, dan dehumanisasi dari seluruh generasi.”[x]
Jika merujuk pada filem “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” sebagai rujukan ‘Peristiwa 1965’ yang dibangun oleh penguasa Orde Baru, maka filem tersebut pada dasarnya adalah sebuah pernyataan yang ingin mengembalikan masa lalu secara presisi tentang peristiwa sejarah 1965. Dramaturgi yang dibangun pada filem karya Arifin C. Noer tersebut cukup jelas menggambarkan usahanya untuk menggambarkan ‘Peristiwa 1965’ secara presisi melalui kronologis peristiwa yang terdapat di dalam filem. Demikian pula pada realisme filem yang dibangun oleh filem “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” yang di buat seakan-akan nyata dari peristiwa aslinya di masa lalu, mulai dari setting ruang, kostum dan lain sebagainya, sebagai usaha meng-‘objektif’ peristiwa yang menyudutkan pihak ‘PKI’ sebagai dalang dari terjadinya ‘Peristiwa 65’. Paska reformasi, produksi dokumenter tentang ‘peristiwa 65’ pada dasarnya ingin berlaku atau memiliki hasrat yang sama untuk mengimbangi, atau bahkan mengkritisi filem “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” sebagai rujukan sejarah tentang ‘Peristiwa 1965’. Moda pengkritisan para pembuat dokumenter terhadap filem produk Orde Baru tersebut, adalah dengan membuat hasrat objektifitas melalui pernyataan-pernyataan kesaksian untuk mencapai ‘kebenaran yang sesungguhnya’, baik melalui wawancara maupun melalui arsip. Tindakan dokumenter dalam mencapai objektifitas tentang peristiwa di masa lalu (Peristiwa 1965), adalah sebuah tindakan seperti halnya ilmu-ilmu sosial sejarah yang direproduksi melalui buku-buku bacaan. Hal ini terlihat selain dari usaha mendapatkan ‘keabsahan’ melalu kesaksian dari pihak yang mengalami ‘Peristiwa 1965’, juga dalam beberapa karya dokumenter yang mencoba menghadirkan para pakar ilmuwan sosial untuk menjangkau objektifias penggambaran masa lalu. Moda pendekatan para pembuat dokumenter tentang ‘Peristiwa 1965’ ini pada dasarnya sama dengan moda yang dilakukan pada filem “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” dalam konteks mencapai ‘objektifitas’ dalam mencari ‘kebenaran’ terhadap ‘Peristiwa 1965’. Seperti halnya juga Orde Baru, juga mereproduksi teks ilmiah sebagai bagian untuk mendapatkan klaim ‘kebenaran’. Dalam konteks ini, filem TAOK menjadi menarik karena ia bekerja tidak berusaha untuk mendapatkan klaim ‘kebenaran’ tentang masa lalu, apalagi memberikan sesuatu yang bersifat informatif, namun lebih pada memberikan sebuah ‘impresi’ tentang masa lalu berupa ‘kekerasan’.
Mungkin konteks seni, khususnya sinema dokumenter, lebih memiliki peran efektif ketika memberikan impresi dalam menggambarkan masa lalu ketimbang memberikan sebuah informasi atau pernyataan yang ‘kebenaran’ tentang masa lalu. ‘Peristiwa 1965’ adalah sesuatu yang traumatik, sehingga impresi di dalam seni mungkin menjadi sesuatu yang jauh lebih mengena di benak penonton ketika menggambarkan peristiwa sosial politik di masa lalu tersebut, ketimbang pemberian klaim-klaim baru terhadap kebenaran di masa lalu yang justru menambah banyak versi namun tidak memberikan impresi apapun terhadap peristiwa yang bisa dianggap dominasi institusi militer terhadap sipil. Filem TAOK cukup taktis sebagai kritik atas filem “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” sebagai kontruksi masa lalu Orde Baru, hal ini terkait pada karya Joshua tersebut yang tidak lagi bermain pada klaim ‘kebenaran’ atau informasi seperti modus yang juga digunakan dalam karya Arifin C. Noer tersebut, namun filem TAOK lebih menekankan impresi ‘kekerasan’ terhadap ‘Peristiwa 1965’ kepada penontonnya.
‘Ingatan’, Sejarah dan ‘Memori’
Konteks tulisan ini adalah sebenarnya mencoba merefleksikan kembali pengertian “ingatan” dan “memori” dalam penggunaannya terhadap peristiwa di masa lalu atau sejarah. Kedua istilah “ingatan” dan “memori” memang dimaksudkan dalam tulisan ini sebagai sesuatu yang dikotomis. “Ingatan” (recall) dalam konteks tulisan ini adalah semacam menghadirkan kembali masa lalu. Sementara memori (memory) lebih pada kemampuan mengingat sesuatu yang dipengaruhi situasi tertentu, konteks psikologis, kultur dan lingkup lingkungan lainnya. Dalam konteks ‘Peristiwa 1965’, dimana peristiwa kekerasan di masa lalu tersebut pada masa Orde Baru beroperasi melalui tekanan dan memiliki efek ‘traumatik’, sehingga konteks ‘memori’ menjadi lebih relevan dalam karena ingatan akan peristiwa tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh trauma dan kode sosial kultural yang mempengaruhinya. Kedua istilah ini seringkali bisa tumpang tindih dalam praktiknya, namun, jika merujuk pada cara kerja para pembuat dokumenter di Indonesia yang berusaha membaca ulang ‘Peristiwa 1965’, lebih dekat dengan praktek ‘ingatan’ ketimbang dengan ‘memori’. Hal ini terkait dari usaha dokumenter untuk membuat semacam reportase atau pelacakan sejarah, seperti halnya kesaksian-kesaksian yang merujuk pada tempat, peristiwa, pelaku dan lain sebagainya, sebagai usaha menggambarkan peristiwa masa lalu yang persis seperti kejadian aslinya.
Berdasarkan andaian teori bahasa Austin, ketika ‘Ingatan’ seakan berhasrat untuk mendekati masa lalu secara presisi, itu lebih pada ujaran konstatif atau berifat informatif semata. Hal ini bisa kita lihat secara cukup jelas, ketika para pembuat dokumenter berusaha membuat kesaksian-kesaksian melalui apa yang berlangsung di masa lalu dari para korban bahkan pelaku, melalui sebuah wawancara yang menghasilkan pernyataan-pernyataan informatif. Hal yang berbeda jika kita melihat bagaimana filem TAOK sesungguhnya tidak sedang berusaha untuk melacak masa lalu secara presisi, namun lebih pada memperformanskan tindakan di masa lalu untuk mendapatkan impresi kekerasan pada sejarah. Konteks yang digunakan pada filem TAOK lebih dekat untuk menggunakan ‘memori’ dari para pelaku ketimbang bukti sejarah, sebagai bagian untuk mendapatkan impresi tentang masa lalu.
Sejarah dalam pengertian sains sosial selalu berusaha untuk presisi dan akurat dalam membaca masa lalu sebagai bagian dari hasratnya untuk bersifat objektif, sementara memori adalah situasi personal dalam mengenang masa lalu dan bersifat individual. Sejarah pada dasarnya hadir melalui perantara tulisan, arsip, visual, oral, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, ada perbedaan antara sejarah dan memori, meski dalam konteks tertentu memori juga mempengaruhi sejarah. “Sejarah adalah disiplin. Kita belajar dan mengajar kaidah-kaidah dan batas-batasnya. Memori adalah sebuah fakultatif. Kita hidup dengannya, dan pada saat bersamaan mempertahankannya. Kisah tentang masa lalu yang kita ingat adalah kolase, kompleks, dan pergeseran narasi, beberapa diantaranya muncul dari penulisan sejarah dan sejarah sebagai visualisasi dalam berbagai kegamangan dari filem-filem, pertunjukkan-pertunjukkan, museum-museum, dan website-website.”[xi]
Sejarah, bisa seperti halnya pandangan historisme, ia bisa direproduksi karena hasil dari objektifikasi. Hal yang berbeda dengan memori karena ia hasil dari kebersituasian. Menurut Susan Sontag, “Seluruh memori adalah individual, tidak bisa direproduksi/duplikasi (unreproducible—kematiannya dengan masing-masing person.”.[xii] Dalam filem TAOK, apa yang dilakukan oleh Anwar adalah sebuah ‘memori personal’, dan bersifat sangat momentum. Memori bisa jadi selalui bersifat berbersituasian dan momentum, ia hadir seperti halnya yang diungkapkan oleh Gadamer, bahwa sejarah adalah sesuatu yang terbuka karena pembacaan atasnya selalu dalam kebersituasian, dan berada di dalam sejarah pula. Sejarah dalam ranah sains sosial mengandaikan objektifitas, sementara memori bersifat individual. Dalam konteks ini, tentu pengertian memori sebagai sesuatu yang individual berbeda dengan pengertian memori dalam pengertian kolektif. Menurut Susan Sontag “Seluruh memori adalah individual, tidak bisa direproduksi—kehilangan memori bersama masing-masing orang. Apa yang disebut dengan memori kolektif adalah bukan mengingat, namun sebuah penetapan…”[xiii] Bagi Susan Sontag memori kolektif lebih pada bagaimana kisah masa lalu dibenamkan pada pikiran secara kolektif, dimana ada ideologi-ideologi yang memperkuat image-image representasi, arsip, yang merangkum ide-ide penting bersama dan memicu pikiran dan perasaan yang bisa diprediksi.
Sementara itu, Aleida Assmann mencoba memperdalam pengertian sifat individual dari memori dari Susan Sontag. Ia menyatakan bahwa: ”Setelah diungkapkan dengan kata dengan kata, memori individual disatukan dengan sistem simbolik antarsubyek dari bahasa dan berbicara secara ketat, tidak lagi murni properti yang eksklusif dan tidak bisa dipisahkan. Melalui pengkodeannya dalam medium bersama dari bahasa, mereka menjadi bertukar, berbagi, bekerjasama, dikonfirmasi, dikoreksi, disengketakan—dan, terakhir namun bukan tak penting, ditulis, yang mana pemeliharaannya membuat mereka secara potensial bisa diakses bagi yang tidak hidup di dalam jangkauan spasial dan temporal. Ini membawa dimensi lain dari memori: eksternalisasinya. Memori individual tidak hanya disatukan secara tak terpisahkan dengan bahasa dan teks, tetapi juga dengan material image.[xiv]”
Dalam konteks ini, tentu ada batas dan pergulatan antara memori individual yang cenderung temporal dan spasial dan dokumen material tentang sejarah yang memiliki kecenderungan merepresentasikan masa lalu. Pergulatan ini justru menjadi menarik, karena memori individual justru menunjukkan bahwa sejarah tidak bisa diobjektifikasi, sementara sejarah objektif cenderung membekukan masa lalu. Dalam konteks sinema dokumenter sebagai barang seni, arah individual dan personal tentu menjadi kodrat yang cukup melekat, sehingga sebagai suatu pembacaan, sejarah seni sebenarnya tidak perlu bersaing dengan ilmu sosial sejarah atau historisme, karena seni lebih efektif bekerja dengan membangun sebuah persepsi (atau politik persepsi). Sedemikian hingga, proyek seni bisa dijadikan imbangan bahkan kritik terhadap pandangan historisme terhadap sejarah. Menurut Jay Winter, “performatif meningkatkan tumpang tindih antara sejarah dan memori karena ia meminjam keduanya. Performatif menawarkan kita pernyataan kebenaran (truth statement) ketimbang pernyataan yang benar (true statement), meski keduanya lebih banyak berhimpitan.”[xv] Dalam konteks ini, Filem TAOK sendiri adalah satu di antara penggunaan-penggunaan performatif sebagai cara melihat masa lalu, melalui performans tentang masa lalu (kebenaran), dan bukan sebuah kesaksian ‘yang benar’ tentang masa lalu, sedemikian hingga dalam konteks ini, sejarah tidak lagi diberlakukan sebagai sesuatu yang objektif dalam mengungkapkan kebenaran di masa lalu, namun sejarah lebih diungkapkan sebagai sebuah persepsi tentang kekerasan yang melingkupinya.
[divider scroll_text=””]
[i] Di sarikan dari “Memahami sebagai Kesepahaman: Gadamer dan Hermeneutik Filosofis” dalam F. Budi Hardiman Seni Memahami: Hermeneutika dari Schleiermacher sampai Derrida (Yogayakarta: Kanisius 2015) hlm. 165-166
[ii] Stella Bruzzi. “New Documentary”. New York: Routledge 2006, hlm. 5
[iii] Chris Barker. “Representation (Representasi)”, dalam Kamus Kajian Budaya, Yogyakarta: Kanisius 2014, hlm. 255
[iv] Bill Nichols. “Introduction to Documentary”. Bloomington: Indiana University Press 2001, hlm. 34
[v] Stella Bruzi. Hlm. 185
[vi] Carl Platinga. “Documentar”, dalam The Routledge Companion to Philosphy and Film edited by Paisley Livingston and Carl Platinga (New York: Routledge, 2008) hlm. 498.
[vii] Wawancara tidak dipublikasikan antara penulis dan Joshua Oppenheimer di Kopenhagen pada 10 November 2012 pada perhelatan CPH: DOX 2012. Materi wawancara berupa video ada di redaksi Jurnal Footage/Forum Lenteng
[viii] Jay Winter. “The Performance of the Past: Memory, History, Identity dalamPerforming the Past: Memory, History, and Identity in Modern Europe (Edited by Karin Timans, Frank van Vree and Jay Winter (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010), hlm. 12
[ix] Ibid. . “Rupture of History in The Act of Killing”. hlm. 12
[x] Wawancara tidak dipublikasikan antara penulis dan Joshua Oppenheimer di Kopenhagen pada 10 November 2012 pada perhelatan CPH: DOX 2012. Materi wawancara berupa video ada di redaksi Jurnal Footage/Forum Lenteng.
[xi] Jay Winter. Hlm. 12
[xii] Aleida Assmann. “Re-framing Memory. Between Individual dan Collective Forms of Constructing the Past” dalam Performing the Past: Memory, History, and Identity in Modern Europe (Edited by Karin Timans, Frank van Vree and Jay Winter (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010), hlm. 36
[xiii] Ibid. Hlm. 36
[xiv] Ibid.
[xv] Jay Winter. Hlm. 13
“Sulit untuk Dihilangkan,.. Sulit untuk Dihilangkan” (Danial Indrakusuma, 2005)”
Tahunnya salah, seharusnya Tahun 2003.
Terima kasih.
Terimakasih atas koreksiannya, kami mohon maaf atas kesalahan tersebut.