Berawal dari peristiwa gempa Yogyakarta yang mengenaskan di tahun 2006, komunitas Kampung Halaman datang dan menawarkan program pemberdayaan masyarakat melalui video. Bidikannya muda-mudi. Pendekatannya yang unik membuat Kampung Halaman berhasil membangun jaringan komunitas video di berbagai wilayah di Indonesia sampai sekarang. Berikut adalah petikan wawancara Jurnal Footage dengan Dian Herdiany, Direktur Kampung Halaman.
Sejak kapan Kampung Halaman bikin video komunitas?
Kita mulai Agustus 2006. Waktu itu kejadian gempa di Yogya. Tiga bulan setelah gempa kita mulai kerja dengan komunitas Karangploso Yogya, salah satu korban gempa. Tapi, sebetulnya kita memang tidak pernah mencari daerah gempa. Waktu kita riset kebetulan kita ketemu dengan teman-teman dari karang taruna, namanya Tarenareksa. Kerja pertama kita meneliti soal bantuan gempa yang sudah mulai berdatangan. Nah, teman-teman karang taruna ini merasa kalau mereka tidak pernah dilibatkan ‘orang tua’ untuk menyalurkan bantuan gempa. Karena khawatir bantuan gempa tidak akan sampai ke tangan yang berhak, maka mereka mulai bekerja dengan meneliti ke mana saja bantuan itu mengalir.
Apa saja yang dilakukan?
Jadi dua bulan setelah gempa anak-anak karang taruna inilah yang pertama kali mendapatkan akses bantuan seperti makanan dan sebagainya. Beberapa dari mereka ada yang masih mahasiswa dan bekerja. Lewat jaringan yang mereka punya, mereka berhasil mendapatkan bantuan. Tetapi setelah bantuan mulai berdatangan, mereka mulai ditinggalkan para ‘orang tua’. Kebetulan kita bertemu mereka dan kebetulan juga kita memang sedang mencari satu lokasi buat laboratorium kita untuk mengembangkan video berbasis komunitas yang isinya remaja. Dari situ kita ajak mereka dan masa percobaannya tiga bulan dari bulan Agustus-November 2006.
Perkembangan selanjutnya seperti apa?
Tadinya kita hanya memusatkan perhatian pada remaja, tapi perkembangannya kita juga melibatkan anak-anak. Ya, memang tujuan kita sendiri adalah untuk memperkenalkan diri di daerah Karangploso. Kebanyakan dari mereka anak-anak perempuan. Kakak-kakak mereka membantu sebagai mentor. Dari kegiatan itu jadi sekitar tiga filem, semua karyanya berhubungan dengan peristiwa gempa. Setelah itu kita buat pemutaran dan anak-anak ini melakukan semua hal serba sendiri. Di acara pemutaran itu, kita kemudian memperkenalkan diri dan meminta izin untuk bekerja selama setahun di Karangploso. Setelah diizinkan kita lalu buat program seperti riset visual dan sebagainya. Pada awalnya kita kasih tugas ke anak-anak ini untuk membuat video tentang tujuh hal terpenting dalam hidup mereka. Hasilnya, dari tujuh hal itu saya merasa kalau lima di antaranya bukan urusan mereka. Mungkin ini sudah sifat bawaan, kalau anak-anak Karangploso itu tidak hanya memikirkan soal diri mereka sendiri.
Setelah Karangploso di mana lagi?
Yang kedua di Tasikmalaya, Jawa Barat. Beda dengan Karangploso, di Tasikmalaya kita bikin pusat video di tengah kota. Yang datang berasal dari wakil-wakil komunitas. Tantangannya lebih berat karena mereka berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.
Apa kesulitan yang dihadapi ketika membangun suatu jaringan?
Pertama-tama, kita ingin memastikan bahwa apa yang dikerjakan merupakan agenda komunitas yang kita datangi. Kalau bicara agenda kita tentu mudah saja, kita tinggal jalan sendiri, tapi ini kan bicara soal agenda yang harus datang dari komunitas itu sendiri. Bayangkan kalau kita bekerja selama setahun di sana lalu melepas mereka untuk kemudian bisa mandiri ternyata bukan masalah mudah. Mereka aktif dan karya-karyanya bagus, tetapi mereka punya kesulitan masalah manajemen. Termasuk juga nantinya masalah pembiayaan yang harus mereka pikirkan setelah kita tidak lagi ada di sana.
Sudah puas tidak dengan apa yang Kampung Halaman kerjakan selama ini?
Ya, kalau kita bicara soal proyek yang jalan, kita sudah bisa katakan berhasil. Tapi masalahnya, perjalanan masih panjang. Masih banyak pula yang belum kita lakukan dan berharap ke depan bisa lebih baik lagi.
[/tab_item]
[tab_item title=”EN”]
Dian Herdiany: Video Community Should Attain Their Independency
It was started from the catastrophic Yogyakarta earthquake in 2006, Kampung Halaman came and offered society empowerment trough video. They aim at youngsters. The unique methods made Kampung Halaman managed to build video community in several areas in Indonesia till now. Here is our interview with Dian Herdiany, the Director of Kampung Halaman.
How Kampung Halaman came up with the idea of video community?
We’re started in August 2006. There was an earthquake in Yogya. Three months after the earthquake we’re on track to work with one community in Karangploso, Yogya, one of the earthquake sufferers. We were never meant ourselves to search for earthquake area. At that time, we were conducting a research with friends from the youth group, who call themselves Tanareksa and by chance met them. Our first work is investigating the matter of earthquake donations which at the moment has arrived. And, this youth group felt that they were never entails by the ‘elderly’ to distribute the donations. Worried about the earthquake donations, they began to investigate the flow of the aids.
What you’ve been doing all this moment?
Thus, two months after the earthquake, this youth group was among the first who can get aids access such as food and else. Some of them are students and employees. Through their network, they manage to find helps. But after donations arrived, the ‘elderly’ discharges them. Accidentally, we met them when we were trying to find location for laboratory to develop community-base video for youths. At that point, we invited them to cooperation with the probation period of three months starting from August to November 2006.
How about the development?
At first we only capture our eyes on teenagers, but in the next step we also involving children. Well, our basic goal is to introduce ourselves in Karangploso, so it doesn’t matter anyway. Most of them are girls. Their seniors help as mentors. From the activity three films has been resulted. The works are related to earthquake. After that, we made a screening and these children do all by themselves. In that occasion, we introduce ourselves and asking permission to work for a year in Karangploso. We are allow to do so, and immediately start a program like visual research and else. In the beginning we pass the children to make a video about seven most important things in their life. The result, from these seven things, I felt that five of them are not really their business. Probably it’s their character, thinks not only for their own sake.
After Karangploso, where else?
The second was in Tasikmalaya, West Java. Different from Karangploso, in here we built videocenter in the heart of the city. They were coming from different communities. The challenge was harder since they were from different background.
What difficulties to build a strong network?
First and foremost, we need to make sure that the work is a community agenda not ours. Easy if it is our own agenda, but the main thing is the initiative has to come from the community. Imagine if we work for a year and release them to stand on their own feet. It is not an easy thing to do. They are active and their works are good, but they have problem with management. It is include financial problem when we are not there anymore.
Do you feel happy with what you have done all this time?
If we were talking about the project that running, yes. I can say that we have succeeded. But the problem is, we still have to walk the long path. There are so many things that we haven’t done yet and we expect the best for the future.