Dharma, A. 2023. “Dari Neraka ke Labirin Kota: Refleksi Kesadaran Zaman Eropa Melalui Imajinasi Lanskap Sinema”. Dalam A. Osman, O. Widasari, & Y. Aditya (peny.), S… Untuk Sinema. Jakarta: Forum Lenteng, hlm. 32-37.*
SALAH SATU TRANSFORMASI signifikan dalam paradigma ilmu pengetahuan dari zaman klasik ke modern adalah pergeseran dari yang imaterial (metafisika) ke yang material (sains). Perubahan paradigma ini memicu Revolusi Industri yang mengubah tatanan dunia dari berbagai segi, termasuk kesenian.
Film hadir sebagai salah satu produk budaya dari zaman modern yang paling signifikan. Berbeda dengan seni-seni yang mendahuluinya, film adalah sebuah medium yang bisa dikatakan menjadi salah satu simbol dari Revolusi Industri itu sendiri. Film tidak hanya mampu menangkap representasi spasial dari dunia, tetapi juga mampu menangkap representasi temporal. Dengan kata lain, melalui teknologi kamera, film mampu mereplikasi realitas nyaris dengan sempurna.
Walau film hadir sebagai produk modernitas yang memprioritaskan materialisme dan berkutat pada sains, film juga memiliki sisi spiritual yang membuatnya menyerupai karya-karya seni devosi klasik yang memiliki makna transendental. Film memproyeksikan gambaran yang merefleksikan kesadaran manusia yang imaterial dan subjektif. Kedua sisi inilah yang membuat film menjadi sesuatu yang sublim; film tidak hanya mampu menciptakan dunianya melalui proses mekanis, tetapi juga mampu mengomunikasikan kepada penonton suatu zeitgeist atau kesadaran zaman ketika film tersebut dibuat.
***
Dalam perkembangannya, film dimulai dengan lanskap yang dekat dengan kenyataan material: kamera ditempatkan di pabrik, di pinggir sungai, atau di stasiun untuk menangkap visual kehidupan sehari-hari tanpa bumbu fantasi atau unsur sastrawi sama sekali. Imajinasi dalam penggambaran lanskap dimulai ketika para seniman menyadari potensi dari medium yang diciptakan oleh kaum industrialis. Pengimajinasian lanskap membuka gerbang-gerbang potensi baru bagi film untuk keluar dari labelnya sebagai atraksi pasar malam yang unik menjadi medium bercerita zaman modern, dengan mengubah konsep lanskap dari realitas objektif yang ditangkap dengan kamera menjadi realitas subjektif yang dibangun menggunakan kamera.
Negasi terhadap lanskap objektif ini menjadi poin utama dalam pembacaan kita atas film L’Inferno (1911) karya Giuseppe de Liguoro, Francesco Bertolini, dan Adolfo Padovan, dan The Cabinet of Dr. Caligari (1920) karya Robert Wiene. Kedua film tersebut menarik lanskap dari alam realitas empiris dan membawanya ke dalam alam imajiner. Dalam kedua film, lanskap tidak lagi hanya menjadi representasi dunia yang ditangkap oleh kamera, melainkan refleksi dari intensi politis dan pergolakan batin yang didasari oleh pergeseran kesadaran zaman Eropa pada periode ketika film tersebut dibuat.
Dibuat sebelum Perang Dunia I, lanskap dalam film L’Inferno adalah lanskap yang dibangun atas dasar keinginan untuk membentuk identitas nasional. Italia, yang dulu terpecah selama berabad-abad, akhirnya berhasil disatukan menjadi sebuah negara. Seperti semua negara yang baru terbentuk, Italia membutuhkan figur dan mitos yang dapat menjadi simbol persatuan bangsa yang masih muda. Figur Dante Alighieri dan trilogi puisi epiknya, The Divine Comedy, dipilih sebagai simbol dan mitos untuk menggambarkan kebanggaan serta persatuan bangsa Italia. Empat puluh tahun setelah unifikasi Italia, medium film tercipta, dan kemudian karya yang menjadi simbol persatuan tersebut dapat divisualisasikan, tidak hanya secara spasial, tetapi juga temporal. Medium film menjadi alat penting untuk membuat karya Alighieri—film ini mengangkat seri pertama dari trilogi tersebut (yaitu yang berjudul Inferno)—tidak lagi dibatasi oleh bahasa sastrawi, sehingga lebih mudah diakses oleh semua kalangan.
Akses dalam pembacaan visualisasi lanskap L’Inferno menjadi kata kunci penting. L’Inferno sendiri, dalam sumber aslinya, adalah sebuah karya yang sangat bergantung pada visualisasi lanskap. Sebab, dalam L’Inferno, baik versi film maupun bukunya, lanskap adalah karakter utama. Ia adalah karakter yang selalu ada di depan dan pertama kali menarik penonton ke dalam cerita. Pentingnya lanskap dalam karya Alighieri membuat konstruksi lanskap dalam film ini harus menarik perhatian penonton dengan teknik-teknik filmis, tetapi tetap mempertahankan imajinasi sastrawi dari sumber aslinya, agar para penonton mampu masuk ke dalam cerita dan memahami signifikansi karya Alighieri tanpa terhambat oleh bahasa puisi epik yang tinggi. Dalam film ini, kita dapat melihat bagaimana lanskap secara perlahan diubah dari hubungan manusia dengan alam material—seperti adegan Dante di hutan atau di alam limbo—menuju lanskap hubungan manusia dengan alam akhirat, seperti puting beliung manusia di neraka para pendosa hawa nafsu. Film ini menjadi kelanjutan dari karya-karya atraksi Méliès, dengan menggunakan teknik-teknik visual yang diciptakan sebagai alat untuk memvisualisasikan lanskap yang sastrawi dan liturgis, namun tetap mudah diakses oleh masyarakat umum.
***
Lain zaman, lain juga nerakanya. Setelah Perang Dunia I, Eropa dihadapkan pada realitas peperangan yang lebih mengerikan dan brutal daripada neraka Alighieri. Neraka, yang merupakan konsep alam akhirat, seakan turun ke alam material dalam setiap letusan senjata dan teriakan sekarat para anak muda yang meregang nyawa di dalam parit-parit di tengah lapangan tak bernama. Pasca-Perang Dunia I, trauma dan skeptisisme terhadap nilai-nilai mapan Eropa, terutama di negara-negara yang kalah, mendorong para seniman, termasuk sineas, untuk mencari cara baru dalam mengekspresikan kesadaran zaman yang mereka alami. Reorientasi paradigma ke alam kejiwaan ini menyebabkan naiknya ilmu psikoanalisis yang berorientasi pada alam bawah sadar, yang kemudian memengaruhi perubahan imajinasi lanskap sinema pasca-Perang Dunia I.
Berbeda dari lanskap L’Inferno yang, meskipun menegasikan lanskap realitas objektif, masih tetap membangun lanskap imajinernya dengan acuan pada doktrin institusi yang mapan seperti gereja dan pemerintah untuk membentuk konsensus tentang identitas bangsa Italia, imajinasi lanskap dalam film The Cabinet of Dr. Caligari adalah pemberontakan terhadap semua yang mapan dan merupakan eksibisi dari penyakit kesadaran jiwa yang laten dalam masyarakat Jerman pasca-Perang Dunia I.
Jika L’Inferno membawa kita ke dalam lanskap imajiner secara perlahan, The Cabinet of Dr. Caligari langsung menyajikan lanskap imajiner di hadapan kita. Dari awal film, kita sudah disajikan dengan sebuah lanskap yang sangat asing dalam long shot kota Holstenwall, di mana bangunan-bangunannya mengerucut membentuk kota segitiga. Jika teknik filmis memainkan peran penting dalam membentuk lanskap imajiner L’Inferno, The Cabinet of Dr. Caligari menekankan pembentukan lanskap melalui permainan bidang miring dan sudut lancip yang dilukis demi realitas filmisnya. Visualisasi lanskap artifisial ini membuat The Cabinet of Dr. Caligari lebih jauh menegasikan realitas objektif lanskap kamera, tapi bukan dengan memanipulasi realitas kamera (seperti L’Inferno), melainkan dengan langsung membentuk realitas filmisnya sendiri dengan kesadaran dan tangan manusia.
Lanskap The Cabinet of Dr. Caligari yang membingungkan dan menyerupai labirin membuat kota Holstenwall menjadi figur otoriter yang menekan para penghuninya dengan visual yang membingungkan. Selain dari visual lanskap, disorientasi labirin kota Holstenwall juga terlihat dari bagaimana para karakter dalam The Cabinet of Dr. Caligari bergerak di layar. Dalam film ini, pakem pergerakan aktor yang dipengaruhi oleh teater hilang; tidak lagi kita melihat para karakter dalam film bergerak masuk dari kiri lalu keluar ke kanan. Karakter bisa masuk dan keluar dari mana saja: kiri-kanan, atas-bawah, atau bahkan diagonal. Pergerakan dinamis karakter di dalam lanskap membuat kita sebagai penonton juga merasakan disorientasi dari lanskap kota Holstenwall, karena kita tidak pernah tahu dari mana karakter akan muncul di layar.
Disorientasi lanskap labirin kota Holstenwall seakan dibentuk sebagai metafora dari disorientasi masyarakat Jerman yang kalah dan putus asa, di mana lanskap arsitektur kota tidak lagi menunjukkan estetika kebanggaan bangsa, melainkan menjadi simbol masa yang telah lewat bagi sebuah kawasan yang berjalan menuju senjakala peradaban. Imajinasi lanskap dalam The Cabinet of Dr. Caligari adalah lanskap yang dipenuhi penyakit kejiwaan yang dikubur dalam-dalam oleh para penghuninya melalui penyangkalan. Imajinasi lanskap labirin kota dalam film The Cabinet of Dr. Caligari adalah eksibisi kondisi kesadaran masyarakat Jerman pasca-Perang Dunia I, yang memungkinkan munculnya sosok seperti Hitler yang akan membawa Jerman dari disorientasi labirin kota ke dalam lanskap neraka.
L’Inferno dan The Cabinet of Dr. Caligari merupakan dua film yang bisa menjadi contoh paling awal tentang bagaimana cara bercerita sinema melalui imajinasi lanskap berkembang. Kedua film ini menegasikan realitas lanskap material yang ditangkap kamera, yang sebelumnya menjadi fokus utama sinema, dan memilih untuk membangun realitas subjektif dengan cara memanipulasi lanskap material atau langsung menciptakan lanskap artifisial dengan tangan manusia. Penggunaan mekanisme saintifik kamera yang ajek dalam kedua film ini menciptakan refleksi visual kesadaran spiritual yang berusaha mencari jati diri, baik karena persatuan maupun kekalahan. Imajinasi lanskap dalam kedua film ini adalah refleksi dari perubahan pandangan manusia terhadap lingkungannya dan bagaimana sinema mampu menangkap serta menunjukkan perubahan tersebut melalui kamera dan layar. []
* Redaksi Jurnal Footage melakukan penyuntingan pada beberapa bagian (untuk menyesuaikan ketentuan redaksional jurnal ini). Pemuatan tulisan ini di Jurnal Footage adalah dalam rangka distribusi pengetahuan secara terbuka.