In Tokoh

Untuk menghormati wafatnya salahsatu tokoh penting sinema dunia Chris Marker, Jurnal Footage mengupdate lagi tulisan tentang sutradara besar ini yang pernah dimuat 12 Juni 2009. 

Chris Marker

1. Ingatan Kaku
Saya ingat membicarakan filem cerita mutakhir Chris Marker, Level Five (1996), dengan seorang teman saat pertama kali filem itu keluar. Pada umumnya ia terkesan, tapi gundah oleh istilahnya sendiri: “pandangan seorang tua atas internet”. Meski saya tidak merasa terganggu, saya bisa paham maksudnya. Bahkan di saat peluncurannya, sebelum pembalikan percepatan kuno, efek perangkat keras komputer dan hipermedia digital yang keduanya tampil di Level Five (sebagai tokoh), dan sudah digunakan untuk membangkitkannya, tampak sangat purba, ketinggalan zaman dan kaku. Saat pertama menontonnya, saya amati bungkus plastik menguning Apple II GS, beresolusi rendah dengan layar kedip. Kagum akan sekuen Galeri Topeng O.W.L melalui semangat lateral ‘Laura’ (Catherine Belkhodja) sebagai sebuah mise-en-abyme (penempatan puitik) proyeksi mundur dan ambigu, dan atas kesenangan nyata Marker dalam menggugah diri melalui perangkat lunak Hiperstudio, saya lalu memulai dari dalam kekakuan dan kekasaran dampaknya, ketidaknyamanan suasana video pop akhir ’70an yang dihentak oleh rekaman suara berdetak kencang.

Selain menjadi terbiasa dengan dialektika gampangan Chris Marker, kebiasaan luar biasanya berlaku anggun bersama kebalikan, kualitas arkaisme kaku ini secara radikal merusak penerimaan pemahaman saya pada jelmaan terbarunya sebagai seorang pendahulu media baru. Lebih dari dua dekade, Marker telah dibedakan oleh filem-filem esai dokumenter non konvensional, menghasilkan (di antara karya-karya lainnya) dua instalasi multimedia besar: Zapping Zone (1990) dan Silent Movie (1995); tamasya inovatif ke dalam televisi seperti The Owl’s Legacy (1989) dan The Last Bolshevik (1993); serta, paling mutakhir, CD-ROM Immemory (1997). Lebih umum lagi, pada satu titik dalam sejarah ketika medium filem seringkali dianggap terancam punah dengan kedatangan teknologi-teknologi digital, sebagai pembuat filem Marker memiliki tanda kegagalan untuk bersatu dengan nyanyian kehancuran, dan malahan menjadi pejuang revolusi media baru, abai pada kamera filem ukuran kecil dengan memilih Sony Handycam, menghilang dengan gampang ke Apple Mac miliknya dan begitu tenar berkomunikasi hanya melalui email.

Zapping Zone (1990)

Semakin dekat, melalui karya terbaru Marker, saya berhadapan lebih jauh dengan tegangan provokatif antara profil canggih dan guncangan barang tua. Zapping Zone menyampaikan contoh acak dan eksplorasi multilateral dari rangkaian berbeda, video timpang dan potongan gambar hipermedia digital; sementara secara fisik ia menempa mata pengunjung galeri dengan sebuah kehancuran di saat pertama, membuang sekumpulan televisi dan monitor-monitor komputer tua. Perintah pengguna pada Immemory mengantisipasi dan melawan godaan pengolahan citra berkecepatan tinggi dengan secara tegas menyatakan “Jangan tergesa; santai saja.” Perjalanan cair pecahan-pecahan sinematik dalam Silent Movie, dikendalikan oleh perangkat penghubung yang secara acak menentukan tata di mana rangkaian filem dan antarjudul muncul monitor televisi bertumpuk lima menjulang, ditarik secara berlawanan oleh hasrat nostalgik potongan gambar filem lama yang sudah diambil dan direka-ulang, sekaligus beratan menara baja kokoh yang dirancang untuk menyangga monitor, di mana Marker menggambarkannya sebagai penghargaan khusus kepada Konstruktivisme Rusia.

Terinspirasi hebat ‘Theses on the Philosophy of History’ dan ‘Arcades Project’ Benjamin, serta oleh esai Roland Barthes ‘Myth Today’; saya menganggap arahan dialektis media baru Marker dalam senjakala arkais sebagai lambaian kritis terhadap sebuah mitos ideologis menyeluruh: ‘pembekuan’ diskursif media baru ke dalam sebuah masa kini berorientasi mendatang yang seragam, di mana sejarahnya sudah dikeluarkan atau dibungkus secara terpilih. Hal itu tampak bagi saya sebagai dua arah yang (jika terhubung benar) sungguh berbeda di mana, dengan karakteristik samar jarak, proyek media baru Marker menantang dan melemahkan mitos ini. Pertama adalah kecemasan kekal pada ingatan, dan terutama gambaran ingatan dalam teknologi. Kedua adalah pengaitan berulang atas masa lalu, kini dan nanti sebagai sudut pandang terpisah dalam upaya mendukung kesejarahan, sebagai tentangan pada mitos, perspektif atas kekinian, dan yang menawarkan teknologi baru itu sendiri sebagai sebuah objek pengingat sejarah.

Silent Movie (1995) Bagian 1

Silent Movie (1995) Bagian 2

2. Teknologi Ingatan
Kalimat berikut berasal dari komentar Sans Soleil (1982) yang seringkali dikutip untuk merangkum pengenalan Chris Marker bahwa ingatan tidak bisa hadir di luar representasi, tapi ia selalu membentuk di dalam dirinya:

Saya ingat bulan Januari itu di Tokyo-atau mungkin saya ingat citra-citra yang saya filemkan pada bulan Januari itu di Tokyo. Mereka telah mengganti ingatan saya – merekalah ingatan saya. Saya heran bagaimana orang mengingat hal yang tidak filem, tidak foto, tidak rekaman? Bagaimana mungkin manusia berhasil mengingat? Saya tahu – Alkitab. Alkitab baru akan menjadi kaset magnetik abadi dari waktu yang harus membaca kembali dirinya secara terus menerus hanya untuk tahu kalau ia ada.

Kalimat ini mengungkapkan sebuah prinsip dasar karya akademis ternama mengenai ingatan puitik: bahwa ingatan selalu sebuah representasi retrospektif peristiwa-peristiwa terdahulu, tidak pernah menjadi perwujudan langsung dari masa lalu pada masa kini. Ingatan secara terpilih membentuk kembali masa lalu, dan bergantung pada eksistensi medium tertentu di mana ingatan diungkapkan. Dalam Sans Soleil kita menyaksikan ingatan itu diwujudkan sebagai citra-citra filem, dengan pemisahan antara ingatan subjektif dan keterhapusan citra visibel. Serupa itu, rekaman suara filem berisi bagian ingatan terucapkan, tapi kenyataan ini menempatkan kita pada dua perpindahan – mereka dikenali pada kameraman fiksional bernama Sandor Krasna, dan dihadirkan dalam bentuk surat yang dibaca dan dikomentari oleh seorang narator perempuan tak terlihat – mengingatkan kita pada kenyataan bahwa ungkapan verbal yang paling jelas dari ingatan personal sekalipun, tidak lebih representasional dan konvensional ketimbang citra-citra yang difilemkan.

Sans Soleil (1982)


Sans Soleil (1982)

Sans Soleil juga bergerak melampaui filem untuk menegaskan penyatuan antara teknologi media terbaru dan kerja ingatan manusia, dengan begitu mengirimkan kecemasan utama dari proyek-proyek multimedia, filem dan video Marker selanjutnya. Ia merayakan mutasi visual berlebihan yang terbentuk atas citra-citra filem mimetik (tiruan) melalui sintesiser citra digital bernama Zone, tepatnya karena mereka memberikan bentuk visual nyata dan anggun kepada kerja ingatan yang merusak dan berubah. Zone menghadang ilusi di mana citra-citra mimetik masa lalu diberikan pada kita, di mana kita punya akses langsung pada masa lalu itu. Manipulasi citra sintetiknya berfungsi baik secara material dan metaforik untuk menggarisbawahi ketidaktepatan masa lalu, sifat ingatan sebagai selektif, transformatif, dan tentunya representasi estetik, dan kenyataan (melalui kebijaksanaan adaptif teknologi baru) di mana ingatan selalu dibentuk di dalam dan untuk masa kini.

Disiapkan oleh semacam pemahaman kuat, Level Five menghubungkan ruang siber sebagai medium bagi penyelidikan historis mendalam. Ia membungkus penjelasan dokumenter dari Pertempuran Okinawa yang terlupakan (pertempuran konvensional terakhir Perang Dunia 2, dan salah satu yang paling kejam) di dalam kerangka kerja fiksional yang membayangkan kembali Pertempuran sebagai permainan komputer tak selesai di mana penciptanya sudah mati, meninggalkan pencintanya, seorang perempuan yang dikenal sebagai Laura, dengan tugas mengakhirinya. Penelitian historis Laura ke dalam Pertempuran secara keseluruhan bergantung pada sumber-sumber daya tak terhingga dari Optional World Link (O.W.L./Jaringan Dunia Lain), sebuah bawah sadar dari World Wide Web yang memiliki kapasitas tambahan mahluk menuju sumber informasi dari setiap pusat data mungkin di planet: lalu, kini dan nanti. Ketimbang semua agensi manusia langsung, program permainan itu sendiri yang mencegah Laura untuk memainkan Angel of History, dan memaksanya menghadapi tarikan pengakuan yang menghitung ulang ketakutan penuh akan Pertempuran dan kematian setelahnya.

Sans Soleil (1982)


Sans Soleil (1982)

Penyesuaian keras Marker pada teknologi-teknologi media baru sebagai medium ingatan manusia dan representasi historis, menawarkan tantangan signifikan pada gagasan bahwa media terbaru dalam beberapa pengertian bertentangan dengan proses-proses ingatan pribadi dan kelompok. Salah satu pernyataan terjelas dari pendapat ini bisa ditemukan dalam buku Andreas Huyssen, Twilight Memories: Marking Time in A Culture of Amnesia. Dalam mencoba menjelaskan obsesi ingatan kontemporer kita, dan ledakan terkini di banyak macam aktivitas memorial Huyssen menyarankan bahwa perhatian kita pada ingatan difungsikan sebagai apa yang disebutnya “reaksi formasi”, terhadap krisis kesementaraan disebabkan oleh percepatan langkah perubahan teknologi, dan oleh apa yang dikatakannya sebagai kecenderungan berbahaya dari media baru untuk membuat semua olahan informasi mereka seimbang secara fungsional. Ingatan bagi Huyssen

…menghadirkan upaya untuk memperlambat pengolahan informasi, demi menghadang pengakhiran waktu dalam sinkronisitas (peristiwa berkelanjutan) arsip, untuk memperbaiki mode kontemplasi di luar semesta simulasi dan informasi cepat jaringan kerja kabel, untuk menuntut beberapa ruang aman dalam dunia teka-teki dan sering mengancam keberagaman, non-sinkronisitas, dan kepenuhan informasi.1

Baik dicatat bahwa buku Huyssen secara tegas mengurung situs ingatan istimewa ke ruang-ruang kultural yang lebih tradisional seperti museum, dan praktik-praktik seperti lukisan, pahatan, sastra, dan dalam beberapa hal, filem. Merujuk pada yang terakhir, tidaklah tanpa ironi bahwa kekunoan kultural yang diterima dalam filem harus berhubungan dengan pengangkatannya sebagai medium memorial dan artefak paling jelas dalam rangkai video momumental Jean-Luc Godard, Histoire(s) du Cinéma; rancangan barunya sebagai rekaman arkeologis lengkap abad sebelumnya menanti pengangkatan penuh. Teknologi-teknologi baru, bagaimanapun, dikeluarkan dari halaman ingatan: Huyssen menolak tenggang rasa pada kemungkinan bahwa museum virtual atau CD-ROM bisa disejajarkan dengan situs memorial mapan, bertanggungjawab dan efektif.

Andreas Huyssen

Proyek multimedia Marker mengalahkan garis pemikiran seperti ini, menghindarkan kesengajaan amnesia keseluruhan media baru kini dan nanti Huyssen, dalam kecenderungannya pada orientasi arkais teknologi-teknologi baru terhadap masa lalu. Marker menolak untuk menarik garis arbitrer antara media tua yang melayani ingatan, dan media baru yang melemahkan ingatan, secara sunyi mengangkat catatan observasi Benjamin dalam ‘The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction’, bahwa teknologi-teknologi berbeda tidak memiliki kualitas moral inheren, hanya penggunaan positif dan negatif di mana mereka ditempatkan oleh mahluk hidup. Lebih jauh, Marker mengajukan bahwa inovasi teknologis terbaru mengizinkan, dalam beberapa pandangan signifikan, perkiraan ingatan lebih dekat dan tepat ketimbang media lama. Mengajukan masalah dengan Zone dalam Sans Soleil, Marker membuat kebijaksanaan memorial dari kenyataan bahwa manipulasi citra digital mengaburkan kualitas-kualitas representasional dan indeksikal citra-citra terfilemkan dan terfotografikan dari masa lalu. Level Five mengembangkan dan memperbesar pandangan mendalam ini, keteguhan pengumpanan kepingan arsip gambar melalui medium jaringan kerja komputer dan sejumlah besar manipulasi grafik kompleks. Dalam teks pengantar untuk Immemory, Marker berpendapat bahwa arsitektur-arsitektur virtual ruang siber, yang mengizinkan navigasi non-linear, multi-arah kepada pilihan kecepatan pribadi pengguna, jauh lebih dekat pada kesempatan, aliran aktual non-linear ingatan manusia ketimbang kemampuan media lama. Format CD-ROM telah mengizinkan Marker untuk mewujudkan peta geografi ingatannya sendiri secara lebih efektif ketimbang filem seperti Sans Soleil, yang bisa dilihat sebagai prototipe proyek kecintaan ingatan berkepanjangan ini, tapi sesuatu yang masih dibatasi oleh ukuran tetap kesejajaran dan kesementaraan filem.

 

3. Ingatan Teknologi
Karya Marker disejajarkan dengan sejenis sejarah materialis yang diramalkan Walter Benjamin dalam ‘Theses on the Philosophy of History’: sebuah penjelasan yang mengenali retakan kekerasan ‘barbarisme’, rekoleksi selektif, dan penghancuran sengaja aspek-aspek sejarah yang tidak sepadan dengan sudut pandang para penakluk yang menulisnya. Sejarah ‘resmi’, sebagaimana diingatkan oleh komentar atas Sans Soleil kepada kita, melempar botol-botol kosongnya keluar dari jendela, dan dikembangkan dengan menutup ingatannya sebagaimana Anda mungkin menutup telinga Anda.

Dimensi kunci dari diskursus mitos teknologi baru adalah bahwa mereka secara teguh berorientasi pada masa depan. Hal ini paling jelas dalam dorongan kemajuan begitu cepat utopian menuju perkembangan lebih besar dan peningkatan yang lebih gegas, tapi sama dengan sebuah unsur karakteristik kecemasan dystopian tentang teknologi baru yang secara terus menerus melihat perkembangan terbaru atau potensial ke dalam derajat ‘nth’* masa depan di mana mereka telah diwujudkan secara sempurna. Diskusi-diskusi inovasi popular seperti realitas virtual (RV) secara langsung mengundang kita untuk menatap tahun-tahun X masa depan dan membayangkan sebuah dunia di mana, sebagai contoh, setiap orang melakukan seks-siber dan tak seorang pun melakukan lagi hubungan intim fisik. Pandangan utopian akan melihat keadaan ini sebagai mimpi sedangkan dystopian sebagai mimpi buruk; tapi secara mendasar mereka mencerminkan satu sama lain dalam kemutlakan bungkusan dan ‘penglainan’ mereka atas kekinian historis yang mereka anggap keilahian masa depan ini, dan yang tidak kurang dari sarana mempertahankan karakter kekinian mitos beku dan tak berubah. Proyeksi popular seperti itu jarang sekali dihadapkan pada prospek bahwa, di masa depan, masa kini akan kuno, dan dengan begitu barangkali bingkai rujukan moral yang disepakati dapat ditengahi pada anggapan bahwa seks-siber itu surgawi sekaligus nerakawi.

Dalam esainya ‘Archaeologies of electronic vision and the gendered spectator’2, William Boddy membongkar beberapa dimensi dan masalah-masalah mitos ini yang bermanfaat bagi pengembangan diskursus RV popular. Ia mengutip pengamatan Tom Gunning bahwa “teknologi bisa mengungkap dunia mimpi masyarakat sebanyak realisasi pragmatisnya” – mengingatkan kita bahwa perkembangan teknologis aktual tidak pernah benar-benar netral, progresif dan praktis, tapi secara aktif dibentuk – bukan hanya melalui daya-daya dan asumsi-asumsi ekonomi, sosial, politik dan kultural – tapi oleh faset hasrat dan harapan tak sadar- kebutuhan instrumental yang dibentuk. Boddy kemudian mengembangkan dan memperhalus maksud Gunning untuk menyepadankan wilayah diskursus teknologi sebanyak masalah teknologi itu sendiri. Ia menekankan maksud yang saya angkat sebelumnya: bahwa kita diangkat atau diundang untuk hidup begitu banyak dalam dunia fantasi yang kita anggap bisa, harus atau mungkin dihadirkan teknologi; bahwa kita melupakan ketimpangan antara kemungkinan fantasi dan realisasi pragmatis. Atau, dalam lain kata, kita sering tidak memahami bahwa teknologi yang sekarang kita miliki, kemampuannya belum cocok dengan proyeksi mitos kita. Dalam menganalisa sejumlah diskursus popular tentang kemunculan RV, Boddy menggambarkan pertentangan antara tuntutan biasa, afirmasi yang dibuat berdasar RV –  di mana ia akan mengizinkan pengguna untuk mengatasi keterbatasan sosio-fisik tubuh-tubuh nyata mereka – dengan suara-suara peringatan analisa yang harus bekerja untuk mengingatkan kita bahwa tubuh nyata tidak bisa secara mutlak ditransendensi oleh RV, hanya ditekan atau dilupakan sementara.

Dimensi signifikan lain dari analisa Boddy dalam pengantarnya untuk perspektif historis atas diskursus-diskursus realitas virtual, sebuah gerakan yang mengiris kecenderungan mitologisasi untuk meramalkan kebekuan, dehistorisasi masa kini. Ia melakukan analisa paralel diskursus RV dan media baru popular kontemporer, dan diskursus yang menghadirkan perkembangan radio di Amerika Serikat pada awal 1920an. Boddy menemukan bahwa oposisi historis antara perayaan para pionir kreatif pengguna radio – peminat aktif (laki-laki) yang bertapa di kamarnya membuat rangkai kristalnya sendiri dari rongsokan – dan menyerang pendengar domestik pasif (perempuan) di ruang keluarganya; dicerminkan dalam polarisasi jelas diskursus media baru antara pengguna komputer aktif, kreatif dan kritis secara sosial yang masih bertapa di dalam kamar – dan konsumen televisi pasif – masih di ruang keluarganya – yang dikritik sebagai si tolol nahas tak berbudaya. Penggunaan kalimat spesifik gender ini tentu saja inti dari pendapat Boddy: pendapatnya adalah, ketimbang menawarkan sesuatu yang secara radikal baru, diskursus tentang media baru mengeluarkan lebih banyak pembagian yang sama berulang dari aktivitas sosial bersejajar dengan garis gender, dan penyerangan abadi pada separuh biner tersebut yang diasosiasikan dengan perempuan dan femininitas.

William Boddy

Analisa kesarjanaan Boddy tampak menunjukkan bahwa mereka yang melupakan masa lalu akan dikutuk untuk mengulanginya, karya Marker membangkitkan ingatan pada masa depan dalam rangka memapankan sebuah perspektif historis atas masa kini. Narasi perjalanan waktu La Jetée (1962), menyarankan dirinya sendiri sebagai contoh paling jelas dari ini, tapi barangkali ini juga yang paling kompleks. Masa lalu filem itu berhubungan dengan masa kini saat dibuat; fiksinya menghadirkan masa depan, sebuah rujukan pada ingatan masa lalu Perang Dunia 2, dan penempatan aspek tabu metaforis masa kini (pengunaan luas siksaan oleh pihak berwenang Perancis selama Perang Aljazair) sekaligus, sementara masa depannya adalah proyeksi fiksi ilmiah kemampuan manusia yang tersempurnakan, yang secara signifikan ditawarkan kepada tokoh filem, tapi ditolak olehnya atas dasar pembantaian di masa lalu. 2084, filem pendek yang dibuat tahun 1984 untuk merayakan dirgahayu gerakan serikat dagang Perancis, menampakkan pendekatan Marker pada satu rentang sejarah 100 tahun dari sudut pandang 100 tahun lagi di masa datang. Sans Soleil menggambarkan sebuah filem yang tidak pernah dibuat Sandor Krasna, tapi yang ia putuskan untuk menyebut Sans Soleil, dan yang akan menjadi seorang pejalan waktu dari 4001 – sebuah zaman di mana ingatan manusia telah disempurnakan dan tidak ada yang dilupakan – yang kembali ke masa lalu planetnya, ditarik oleh sebuah ingatan terpecah oleh siklus lagu Mussorgsky (yang setidaknya memberikan judul bagi Krasna), untuk ditarik ke dalam kekaguman penuh kasih dengan ‘waktu orang dunia ketiga’, yang dihancurkan sampai harus dilupakan, tapi mampu merasakan bahwa tidak lagi mengalami sebuah ingatan sempurna dalam eposnya sendiri. Level Five menunjukkan visi pada kemampuan internet ke dalam fiksi ilmiah masa depan yang dibayangkan oleh penulis siberpunk William Gibson (dalam novel pengguna ‘jack in’ Neuromancer: menghubungkan sistem syaraf pusat mereka langsung ke dalam jaringan kerja komputer); sebuah alat yang menggoyahkan manifes ‘masa kini’ di mana filemnya berlaku kebalikan dengan membagi penonton kontemporer. Pada satu titik Laura memikirkan bagaimana ia akan menjelaskan sebuah perilaku ritual aneh akhir abad ke-20, melibatkan objek-objek persembahan menarik yang disebut komputer ini, di mana manusia dipercaya sebagai penjaga seluruh ingatan mereka, kepada etnografer masa depan.

Kebanggaan fiksi ilmiah ini menyenangkan, dan beberapa bisa dilihat jelas dalam pertukaran cerdas harapan mereka. Sementara itu, secara terus menerus mereka menawarkan sifat pengingat kritis historis masa kini, dengan membangkitkan sebuah perspektif di mana masa kini kita telah jadi sejarah dengan sendirinya: secara ikonik membeku ke dalam nostalgia manufaktur, atau sekadar terbuang ke dalam ketiadaan – sebuah botol kosong lain yang dilempar keluar jendela. Untuk meminjam kebiasaan fiksi ilmiah, masa depan yang dipandang Marker boleh jadi juga bisa dibaca sebagai terkait dalam gayanya sendiri dengan pemahaman Boddy bahwa diskusi keseharian paling pragmatis kita soal perkembangan teknologis dan keilmuan sekalipun diisi oleh sebuah ukuran besar proyeksi hasrat dan fantasi.

4. Sejarah Afektif
Kembali pada titik mula saya, menonton Level Five, saya sadar akan kenyataan bahwa saya menanggapi dampak teknologi gaya lama secara afektif, dengan campuran kejutan, nostalgia malu-malu dan penghinaan akut, dan tanggapan ini begitu berbeda dari pemahaman intelektual saya tentang bagaimana sejarah materialis bekerja. Saya bisa ‘tahu’ bagaimana Benjamin dan Marker sama-sama tertarik pada keterlupaan prasejarah masa kini, dan dalam proses memadankan fragmen-fragmen masa lalu ke dalam konstelasi masa kini untuk menciptakan citra-citra dialektis. Tapi saya juga percaya bahwa pengalaman aktual citra dialektis, sebagaimana saya pikir Benjamin dan Marker memahaminya, harus melibatkan tanggapan afektif ini, yang menempatkan subjek pandangan dalam sebuah sejarah materialis. Saya hanya tak nyaman dan membuat nostalgia sebab saya dihadapkan dengan saat ketika grafik-grafik yang tampak aneh itu baru dan menggairahkan; dipaksa untuk mengingat momen historis yang selama ini saya tinggali, namun ingatannya telah saya tulis kembali, terlupakan atau ditekan untuk menerima kekinian. Saya terkejut, sebab Apple Mac Marker (mewujud sebagai fosil masa kini) dimiliki oleh Limbo (masa tak menentu) historis teknologi yang cukup tua untuk menjadi ketinggalan zaman, tapi tidak terlalu tua untuk menjadi barang daur-ulang seperti nostalgia. Saat saya menyaksikannya saya berpikir: tiada yang tampak terlalu ketinggalan zaman ketika hanya terlihat jauh dari gaya kekinian. Dalam proses analisa dan mencoba memahami tanggapan-tanggapan ini, secara tentatif saya mampu memahami diri sendiri sebagai partisipan kultural dalam proses di mana mitologisasi masa kini sedang dibangun, tapi juga merengkuh perspektif alternatif atas sejarah yang memiliki beberapa potensi untuk mengganggu dorongan mitologis itu.

Chris Marker

Catatan:
* nth degree: derajat tak terhingga.

Pustaka:
1. Andreas Huyssen, Twilight Memories: Marking Time in a Culture of Amnesia (London and New York: Routledge, 1995), h. 7.
2. William Boddy, ‘Archaeologies of electronic vision and the gendered spectator’, Screen 35:2, Musim Panas 1994, h. 105-122.

Dr. Catherine Lupton
Dosen Senior Studi Filem dan Televisi
Roehampton University of Surrey
Kontak: c.lupton@roehampton.ac.uk

Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mirza Jaka Suryana atas kebaikan hati dari editor www.chrismarker.org
Translated into Indonesian language by Mirza Jaka Suryana from the courtesy of the editor of www.chrismarker.org

Chris Marker: In Memory of New Technology

Chris Marker

1. An Awkward Memory
I remember discussing Chris Marker’s most recent feature film, Level Five (1996), with a friend of mine when it first came out. She was generally impressed with the film, but irritated by what she described as “an old man’s view of the Internet”. Although I did not share her annoyance, I could see what she meant. Even at the moment of its release, before the turnover of accelerated obsolescence, the computer hardware and the digital hypermedia effects that both appeared in Level Five (as characters), and had been used to generate it, looked distinctly quaint, old-fashioned and clumsy. Watching for the first time, I had noticed the yellowing plastic casing of the Apple II GS, the low resolution of its blinking screen. Admiring the O.W.L. Gallery of Masks sequence for its lateral evocation of ‘Laura’ (Catherine Belkhodja) as a mise-en-abyme of receding and ambiguous projections, and for Marker’s evident relish in amusing himself with the Hyperstudio software, I had nonetheless winced inwardly at the awkwardness and tackiness of the effects, their uncomfortable evocation of a late ’70s pop video heralded by a brashly pounding soundtrack.

Despite being accustomed to Chris Marker’s effortless dialectics, his ingrained habit of proceeding elegantly by contraries, this quality of awkward archaism radically disrupted my received sense of his current incarnation as a new media pioneer. Over the last two decades, Marker has diversified from making more-or-less unconventional documentary essay-films, to produce (among other works) two major multimedia installations: Zapping Zone (1990) and Silent Movie (1995), innovative excursions into television such as The Owl’s Legacy (1989) and The Last Bolshevik (1993); and, most recently, the CD-ROM Immemory (1997). More generally, at a point in history when the medium of film is frequently perceived to be threatened with extinction by the advent of digital technologies, Marker as filmmaker has signally failed to join in with the chorus of doom, and has instead become an enthusiastic advocate of the new media revolution, abandoning the small-gauge film camera in favour of the Sony Handycam, effortlessly disappearing into his Apple Mac and famously going so far as to communicate only by email.

Zapping Zone (1990)

Upon closer, renewed or recollected acquaintance with many of Marker’s more recent works, I encountered further provocative tensions between the cutting-edge profile and the shock of the old. Zapping Zone invites random sampling and multilateral exploration of a series of different, discontinuous video and digital hypermedia clips; yet physically it first strikes the gallerygoer’s eye as a ramshackle, junkyard assemblage of elderly televisions and computer monitors. The user instructions to Immemory anticipate and counteract the temptation of high-speed image processing by firmly pronouncing “Don’t zap; take your time.” The fluid passage of cinematic fragments in Silent Movie, controlled by a digital interface which randomly determines the order in which film sequences and intertitles appear on five vertically-stacked television monitors, pulls against both the nostalgic lure of the old movie clips that have been sampled and re-enacted, and the solid weight of the steel tower designed to hold the monitors, which Marker describes as his homage to Russian Constructivism.

Broadly inspired by Benjamin’s ‘Theses on the Philosophy of History’ and his ‘Arcades Project’, and by Roland Barthes’ essay ‘Myth Today’; I regard Marker’s dialectical casting of new media in an archaic twilight as a critical gesture against a pervasive ideological myth: the discursive ‘freezing’ of new media into a homogenous future-oriented present, whose history has been either evacuated or selectively manufactured. There seem to me to be two distinct (if inevitably intertwined) ways in which, with characteristic elusive reserve, Marker’s new media projects challenge and undermine this myth. The first is their abiding preoccupation with memory, and especially with the embodiment of memory in technology. The second is their frequent juxtaposition of past, present and future as distinct viewpoints in a manner which supports a historical, as opposed to a mythical, perspective upon the present, and which offers new technology itself as a historical object of recollection.

Silent Movie (1995) Bagian 1

Silent Movie (1995) Bagian 2

2. The Technology of Memory
The following passage from the commentary of Sans Soleil (1982) is frequently quoted to sum up Chris Marker’s recognition that memory cannot exist outside of representation, but is always embodied within it:

I remember that month of January in Tokyo – or rather I remember the images I filmed in that month of January in Tokyo. They have substituted themselves for my memory – they are my memory. I wonder how people remember things who don’t film, don’t photograph, don’t tape? How has mankind managed to remember? I know – the Bible. The new bible will be the eternal magnetic tape of a time that will have to re-read itself constantly just to know it existed.

These lines express poetically a familiar founding principle of academic work on memory: that memory is always a retrospective representation of past events, never the direct manifestation of the past in the present. Memory selectively reshapes the past, and is dependent for its existence upon the particular medium in which memories are articulated. In Sans Soleil we see memories manifested as film images, with the distinction between subjective memory and visible image erased. Similarly, the soundtrack of the film consists in part of spoken recollections, but the fact that these reach us by at least two removes – they are attributed to a fictional cameraman named Sandor Krasna, and they are presented in the form of letters read and commented upon by an unseen female narrator – alerts us to the fact that even the most apparently spontaneous verbal expressions of personal memory are no less representational and conventional than filmed images.

Sans Soleil (1982)


Sans Soleil (1982)

Sans Soleil also moves beyond film to suggest convergences between newer media technologies and the operation of human memory, thereby heralding a principal preoccupation of Marker’s later multimedia, film and video projects. It celebrates the exaggerated visual mutations wrought upon mimetic film images by the digital image synthesizer called the Zone, precisely because they give concrete and graceful visual form to the distorting, transforming operations of recollection. The Zone blocks the illusion that mimetic images of the past give us, which is that we have immediate access to that past. Its synthetic image manipulations function both materially and metaphorically to underline the irretrievability of the past, the nature of memory as selective, transformative, and indeed aesthetic representation, and the fact (by virtue of the novel technology adopted) that memories are always formed in and for the present.

Primed by such insights, Level Five engages cyberspace as the medium for a more concerted historical investigation. It enfolds a documentary account of the forgotten Battle of Okinawa (the last conventional battle of World War 2, and one of the most savage) within a fictional armature that re-imagines the Battle as an unfinished computer game whose creator has died, leaving his lover, a woman known as Laura, with the task of completing it. Laura’s historical research into the Battle is entirely reliant on the infinite resources of Optional World Link (O.W.L.), an alter-ego of the World Wide Web which has the additional capacity of being able to source information from every existing and possible database on the planet: past, present and future. Rather than any direct human agency, it is the programme of the game itself which prevents Laura from playing the Angel of History, and forces her to confront wrenching testimonies that recount the full horror of the Battle and its deadly aftermath.

Sans Soleil (1982)


Sans Soleil (1982)

Marker’s insistent adoption of newer media technologies as conduits of human memory and historical representation, offers a significant challenge to the notion that newer media are in some sense inimical to the processes of both private and collective remembrance. One of the clearest statements of this argument can be found in Andreas Huyssen’s 1995 book Twilight Memories: Marking Time in A Culture of Amnesia. In attempting to account for our contemporary obsession with memory, and with the recent explosion in memorial activities of many kinds, Huyssen suggests that our concern with memory is functioning as what he calls a “reaction formation”, against a crisis of temporality caused by the ever-accelerating pace of technological change, and by what he argues is the insidious tendency of the new media to make all the information that they process functionally equivalent. Memory for Huyssen

…represents the attempt to slow down information processing, to resist the dissolution of time in the synchronicity of the archive, to recover a mode of contemplation outside the universe of simulation and fast-speed information cable networks, to claim some anchoring space in a world of puzzling and often threatening heterogeneity, non-synchronicity, and information overload.1

It is notable that Huyssen’s book resolutely confines the privileged sites of memory to more traditional cultural spaces like the museum, and practices like painting, sculpture, literature and to some extent film. In respect of the latter, it is not without irony that the perceived cultural obsolescence of film should coincide with its elevation as a memorial medium and artifact (most obviously in Jean-Luc Godard’s monumental 1998 video series Histoire(s) du Cinéma); its novel designation as a complete archaeological record of the previous century awaiting exhaustive excavation. New technologies, however, are ruled out of the memorial court: Huyssen refuses to countenance the possibility that a virtual museum or a CD-ROM might be equally appropriate, responsible and effective as memorial sites.

Andreas Huyssen

Marker’s multimedia projects confound this line of thinking, eschewing the willfully amnesiac present and future of Huyssen’s new mediascape, in favour of an archaic orientation of new technologies towards the past. Marker refuses to draw an arbitrary line between older media which serve memory, and new media which undermine memory, silently invoking Benjamin’s noted observation in ‘The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction’, that different technologies have no inherent moral qualities, only the positive or negative uses to which they are put by human beings. Furthermore, Marker proposes that the most recent technological innovations permit, in certain significant respects, much closer and truer approximations of memory than do older media. Stating the case with the Zone in Sans Soleil, Marker makes a memorial virtue out of the fact that digital image manipulation distorts the representational and indexical qualities of filmed and photographed images from the past. Level Five develops and intensifies these insights, by insistently feeding archive footage through the medium of the computer network and a multitude of complex graphic manipulations. In the introductory text to Immemory, Marker contends that the virtual architectures of cyberspace, which permit non-linear, multi-directional navigation at the user’s own chosen speed, are far closer to the aleatory, non-linear drift of actual human memory than the capabilities of older media. The CD-ROM format has allowed Marker to realize a mapping of the geography of his own memory more effectively than a film like Sans Soleil, which can be seen as a prototype of this long-cherished project, but one that remained limited by the linearity and fixed temporal rate of film.

3. The Memory of Technology
Marker’s works are concerned with the kind of materialist history envisioned by Walter Benjamin in his ‘Theses on the Philosophy of History’: an accounting of the past that acknowledges the ‘barbarism’ of violent ruptures, selective recollection, and the willful obliteration of those aspects of history which do not conform to the viewpoint of the victors who write it. ‘Official’ history, as the commentary of Sans Soleil reminds us, throws its empty bottles out of the window, and advances by blocking its memory as you might block your ears.

A key dimension of mythical discourses about new technology is that they are insistently oriented towards the future. This is most apparent in the ever-accelerating utopian drive of progress towards greater improvement and faster upgrading, but is equally a characteristic element of dystopian anxieties about new technology that constantly project recent or potential developments into a ‘nth’ degree future where they have been completely realized. Popular discussions of innovations like virtual reality (VR) immediately invite us to project X years into the future and imagine a world where, for example, everybody has cyber-sex and nobody has physical intercourse any more. The utopian line may regard this state of affairs as a dream and the dystopian one as a nightmare; but they fundamentally mirror each other in their absolute bracketing and ‘othering’ of the historical present from which they presume to divine this future, and which is nothing less than a means of preserving the frozen and unchanging character of the mythical present. Such popular projections rarely confront the prospect that, in the future, the present will be obsolete, and with it perhaps the implied moral frame of reference that can adjudicate on whether cyber-sex is regarded as heavenly or hellish.

In his essay ‘Archaeologies of electronic vision and the gendered spectator’2, William Boddy usefully unpacks some of these mythical dimensions and problems in the development of popular discourses about VR. He quotes Tom Gunning’s observation that “technology can reveal the dream world of society as much as its pragmatic realization” – reminding us that actual technological developments are never simply neutral, progressive and practical, but are actively shaped – not only by economic, social, political and cultural forces and assumptions – but by unconscious facets of desire and wish-fulfilment as much as consciously-formulated instrumental needs. Boddy then moves on to develop and refine Gunning’s point to incorporate the realm of discourses about technology as much as the matter of technology itself. He emphasizes the point I raised earlier: that we are inclined or invited to live so much in the fantasy world of what we think technology can, should or might be; that we elide the gap between fantasy potential and pragmatic realization. Or, put another way, we often don’t acknowledge that the technology we actually have, doesn’t yet match up to our mythical projection of its capabilities. In analyzing a range of popular discourses about the advent of VR, Boddy draws out the contrast between the blithe, affirmative claims made on behalf of VR – that it will allow users to overcome the socio-physical limitations of their corporeal bodies – with the cautionary voices of analysis which have to work to remind us that the physical body cannot be absolutely transcended by VR, only temporarily repressed or forgotten.

The other significant dimension of Boddy’s analysis is his introduction of a historical perspective upon virtual reality discourses, a move which undercuts their mythologizing tendency to project a frozen, dehistoricized present. He conducts a parallel analysis of contemporary popular discourses about VR and new media, and of the discourses which attended the development of radio in the United States in the early 1920s. Boddy finds that a historical opposition between celebration of the creative pioneers of radio-use – the active hobbyist holed up in his bedroom constructing his own crystal set from scratch – and denigration of the passive domestic listener in her living room; is mirrored in the polarization apparent in new media discourses between the active, creative and socially-critical computer user – still holed up in his bedroom – and the passive television consumer – still in her living room – who is castigated as a hapless cultural dupe. The use of gender-specific pronouns here is of course the crux of Boddy’s argument: his contention that, instead of offering something radically new, discourses about new media are instead peddling more of the same recurring division of social activities along gendered lines, and the same perpetual denigration of that half of the binary which is associated with women and femininity.

William Boddy

If Boddy’s scholarly analysis seems to demonstrate that those who forget the past are indeed condemned to repeat it, Marker’s works invoke the memory of the future in order to establish a historical perspective upon the present. The time-travel narrative of La Jetée (1962), suggests itself as the most obvious example of this, but it is also perhaps the most complex. The past of the film corresponds to the present in which it was made; its fictional present is both the future, an evocation of past memories of World War 2, and a metaphorical displacement of tabooed aspects of the present (the extensive use of torture by the French authorities during the Algerian War), while its future is a science-fictional projection of perfected human capability, which is significantly offered to the hero of the film, but rejected by him in favour of annihilation in the past. 2084, a short film made in 1984 to celebrate the centenary of the French trade union movement, sees Marker approaching one 100 year span of history from a viewpoint another 100 years into the future. Sans Soleil describes a film which Sandor Krasna never made, but which he decided to call Sans Soleil, and which would have been about a time traveler from 4001 – an era in which human memory has been perfected and nothing is forgotten – who returns to the past of his planet, lured by a fragmented memory of a Mussorgsky song cycle (which at least gave Krasna his title), to be drawn into compassionate fascination with the ‘third-worlders of time’, who are doomed to the suffering of forgetting, but who are capable of feelings that are no longer experienced in his own epoch of total recall. Level Five projects its vision of the capacities of the internet into the science fictional future imagined by the cyberpunk writer William Gibson (in his novel Neuromancer users ‘jack in’: connecting their central nervous systems directly into the computer network); a device that destabilizes the manifest ‘present’ which the film otherwise appears to share with the contemporary viewer. Laura at one point muses how she would explain to a future ethnographer the bizarre ritual behaviour of the late 20th century, involving these curious votive objects called computers, which the people believed were the guardians of all their memories.

These science-fictional conceits are playful, and some may seem rather obvious in their neat reversal of expectation. Yet they do constantly offer a critical reminder of the historical nature of the present, by invoking a perspective from which our present has itself become history: iconically frozen into manufactured nostalgia, or simply cast into oblivion – another empty bottle tossed out of the window. In borrowing the habit of science fiction, Marker’s projected futures may also be read as engaged in their own fashion with Boddy’s understanding that even our most pragmatic everyday discussions of technological and scientific development are infused with a good measure of desire and fantasy projection.

4. Affective History
Returning to my starting point, watching Level Five, I am aware of the fact that I respond affectively to its old-fashioned technology and effects, with a blend of shock, furtive nostalgia and acute embarrassment, and that this response is very different from my intellectual understanding of how a materialist history operates. I can ‘know’ how both Benjamin and Marker are interested in the forgotten pre-history of the present, and in the process of incorporating fragments of that past into present constellations to create dialectical images. But I also believe that the actual experience of the dialectical image, as I think Benjamin and Marker understand it, must involve this affective response which locates the viewing subject within a materialist history. I am only embarrassed and made nostalgic because I am being confronted with the moment when the quaint looking graphics were new and exciting; forced to recall a historical moment I lived through, but whose memory I have rewritten, forgotten or repressed in order to subscribe to the present. I am only shocked, because Marker’s Apple Mac (manifesting itself as the fossil form of the present) belongs to that historical Limbo of technology that is old enough to be obsolete, but not old enough to have been recycled as nostalgia. When I see it I think: nothing looks quite so old-fashioned as what’s only just gone out of fashion. In the process of analyzing and trying to understand these responses, I am tentatively able to understand myself as a cultural participant in the processes by which a mythologized present is constructed, but also to grasp an alternative perspective on history which has some potential to disrupt that mythological impulse.

Chris Marker

Notes:
1. Andreas Huyssen, Twilight Memories: Marking Time in a Culture of Amnesia (London and New York: Routledge, 1995), h. 7.
2. William Boddy, ‘Archaeologies of electronic vision and the gendered spectator’, Screen 35:2, Musim Panas 1994, h. 105-122.

Dr. Catherine Lupton
Senior Lecturer in Film and Television Studies
Roehampton University of Surrey
c.lupton@roehampton.ac.uk

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search