Sebuah Tuba (alat musik tiup) bergerak dalam bingkai medium. Menaiki sebuah truk, Tuba melintas tepi sungai, kemudian bingkai berganti menggambarkan sekilas suasana kota seperti pasar, terminal, dan lalu kembali, melintas tepi sungai. Bingkaian Tuba terus berjalan, melewati bangunan dengan penanda bertulisan ‘Chin Joe Kie’, dan sedikit latar toko bertulisan ‘Fuji Film’. Perjalanan Tuba berlanjut, beberapa lintasan dalam bingkai melewati bangunan berpenanda ‘M.K. Brohim’, ‘Carol Confeccoes’, latar papan reklame bir ‘Heineken’ tampak sekilas. Rangkaian gambar perjalanan Tuba kemudian melewati bangunan berpenanda ‘Maharadja’, ‘Joen Siong’, yang di sekitarnya latar reklame bertulisan ‘Coke’ serta ‘Sprite’. Di sela-sela gambar bangunan kota, memuat lalu lalang kesibukan aktivitas para kulit berwarna. Mereka tampak seperti etnis Negro dan India yang sedang berorganisasi dalam ruang kota, menjadikan kumpulan gambar tersebut sebagai citra antropologi kota. Kini Tuba pun melintasi bangunan peribadatan macam masjid, gereja, serta bangunan beraksara Tionghoa. Beberapa bangunan permukiman yang sudah usang terjejak, lalu sedikit melintasi bekas lori kereta. Gambar tersebut seakan mengajak penonton untuk mundur ke belakang, membawa ke dalam relung kesadaran sejarah. Tuba lalu menjadi mata, berkolase dengan lanskap yang dilintasinya.
Suara-suara Tuba yang sedang berjalan tampak sebagai ‘subjek’ yang melihat, dengan latar lanskap yang menyejarah. Rangkaian Tuba ini telah menumpukkan bingkaian gambar tentang etnografi kota pascakolonial, namun kekuatan konstruksi van der Keuken yang membimbing para penonton ke dalam kesadaran akan waktu dibanding kesadaran akan ruang. Selubung-selubung represi yang mengental dalam kebudayaan kota pascakolonial, disibak oleh perjalanan sebuah mata yang berkolase. Perjalanan tentang sejarah kedatangan kaum pekerja perkebunan dari berbagai etnis, yang disatukan oleh kolonialisme. Dan mata tersebut adalah sebuah Tuba, yang telah menyingkap sejarah represi kolonial.
Inilah satu di antara wawasan etnografi gaya Johan van der Keuken dalam karya dokumenter Brass Unbound (Bewogen Koper, 1992-1993), dalam menarasikan sejarah kolonialisme beserta kondisi pascakolonial sebuah kota di Suriname. Dengan semangat penyuntingan yang menampilkan gambar demi gambar sebagai sebuah konstruksi, van der Keuken menggunakan alat musik tiup Tuba untuk menguak sejarah hegemoni bersama dampak akulturasinya di beberapa wilayah bekas jajahan. Masyarakat Suriname sendiri merupakan pertemuan beberapa kelompok yang diminorkan secara politik dan ekonomi di perkebunan masa kolonial. Sebagian dari mereka dipindahkan sebagai kebutuhan tenaga kerja perkebunan kolonial hasil perjanjian pemerintah Belanda dengan Inggris pada 1870. Kebudayaan Brass Band di Suriname memiliki elemen yang sesuai dengan karakter masyarakatnya.
Johan van der Keuken
Berkolaborasi bersama Rob Boonzajer Flaes, karya Brass Unbound Johan van der Keuken bercerita tentang keberadaan alat musik tiup yang dimainkan kelompok musik Brass Band di empat wilayah pascakolonial; Nepal, Suriname, Ghana dan Minahasa-Indonesia. Perjumpaan-perjumpaan dengan kolonialisme di beberapa wilayah jajahan tersebut merupakan sejarah hegemoni kekuasaan kolonial, yang menghasilkan respon-respon komunal khas. Respon-respon komunal tersebut menjadi sulit dipisahkan oleh sejarah penindasan yang sekian lama mengendap dalam benak masyarakat pascakolonial. Tantangan tersebut oleh van der Keuken diarahkan pada implikasi demokratis untuk mencari ungkapan-ungkapan paling otentik dari subjek yang telah lama berada dalam konstruksi penindasan. Metode wawancara van der Keuken dalam Brass Unbound menjadi tantangan etis tersendiri, di mana hal-hal artistik adalah pilihan dan temuan dari ideologi sang pembuat dokumenter. Bahkan istilah wawancara itu sendiri bisa dipertanyakan ulang secara harfiah, karena adanya persoalan-persoalan etis dalam proses komunikasi dengan subjek yang telah mengalami kondisi represif dan dominasi kolonial yang cukup intens. Karena bagi van der Keuken sendiri, suara-suara subjek pada masyarakat pascakolonial, merupakan produk dari kondisi represi dan dominasi kolonial yang sekian lama. Saking kronisnya, praktik represi dan dominasi tidak lagi tampil dalam wujud sistem yang menindas. Tapi sudah melebur dan bersiasat dalam kebudayaan masyarakat yang paling domestik sekalipun. Subjek sudah tidak lagi memiliki kemampuan mengidentifikasi realitasnya sendiri, karena ranah kuasa kolonial sudah melenyapkan batas penindas dan tertindas. Inilah periode yang dalam perspektif psiko-historis Foucauldian disebut sebagai homogenisasi, di mana kondisi mental dan material yang lahir dari identifikasi kolektif sang tertindas kepada pihak yang menindas. Di mana hasil dari konstruksi wacana kekuasaan kolonial yang sekian lama, berdampak pada tidak adanya batas angan politik pihak tertindas dengan pihak penindas.
Pada sekuel Nepal misalnya, pengungkapan subjek dalam proses wawancara dijembatani dengan menampilkan gambar-gambar pada ruang sosial ekonomi domestik si subjek yang diwawancara. Bahkan asumsi proses wawancara sudah dilakukan pada tindakan dokumenter visual van der Keuken, dengan menampilkan gambar-gambar yang sangat personal pada sekuel Nepal dan Ghana. Pada wawancara ini, van der Keuken menampilkan gambar yang sangat intens terhadap wajah yang diwawancara. Pada sekuel Ghana, seorang pemain perkusi yang mengiringi kelompok musik tiup ditampilkan dalam bingkai ambilan gambar dekat, sehingga ekspresi wajah pemain perkusi yang sangat dalam bisa mengungkapkan karakter psiko-historis sang subjek yang memiliki pengalaman-pengalaman represi kekuasaan kolonial. Bisa dikatakan ini adalah semacam wawancara visual, karena bagi van der Keuken gambar selalu menang atas ide, yang kemudian memungkinkan pengambilan siasat kemampuan fokus kamera untuk menjangkau kondisi mental dan psiko-historis subjek yang direpresi dan didominasi.
Strategi-strategi menyingkap kesadaran otentik pada subjek yang terselubung dalam kondisi represi warisan kolonial, membutuhkan siasat lebih egaliter. Karena tampilan layar sering kali berkuasa dalam sinema, maka van der Keuken membutuhkan siasat menjangkau latar belakang subjek dalam tampilan-tampilan gambar wawancara. Siasat ini mengajak penonton untuk melihat sang subjek dalam perspektif. Bagi van der Keuken, sudah tidak mungkin berharap narasi dan perbincangan yang sepenuhnya otentik dari subjek yang telah lama mengalami kondisi represi dan dominasi. Peran visual menjadi sangat strategis untuk menyingkap karakter subjek yang diwawancara. Selain itu, siasat konstruksi dalam penyuntingan dokumenter sangat bermanfaat untuk menjembatani penonton melihat situasi kontekstual subjek yang diwawancara.
Seperti yang terlihat pada wawancara seorang anggota kelompok Brass Band di Nepal, van der Keuken mengajak para penonton untuk melihat karakter wajah subjek dalam tampilan bingkai dekat. Sebelum wawancara, van der Keuken mengonstruksi latar sosial ekonomi sang subjek sebagai usaha etis untuk menjembatani kontradiksi wilayah hegemoni kolonial dengan otentisitas sang subjek dalam mengungkapkan kesadarannya. Alat musik Tuba di Nepal sendiri merupakan hasil kebudayaan kolonial Inggris yang dibawa oleh Jung Bahadur pada 1850. Impor kebudayaan alat musik Tuba Jung Bahadur merupakan bagian dari strategi kebudayaan untuk menambah kemilau kekuasaan. Selubung-selubung hegemoni inilah yang mungkin sangat disadari van der Keuken. Di Nepal, pada awal keberadaan Brass Band, para anggotanya masih diselubungi persoalan kasta. Iringan musik Brass Brand kemudian terbagi dalam beberapa momen, seperti yang dimainkan kelompok militer, serta masyarakat yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai tukang jahit. Van der Keuken mengungkapkannya dalam konstruksi ambilan gambar yang dibangun melalui adegan keseharian para penjahit yang juga memiliki profesi sebagai pemain musik Brass Band. Bahkan konstruksi gambar dalam sekuel Nepal ini bisa memasuki ruang domestik dari salah seorang pemain Brass Band. Konstruksi tersebut terejewantah dalam potongan-potongan gambar berupa; seorang ibu yang sedang merapikan tempat tidur, kemudian kesibukan dalam rumah yang ditampilkan dengan langkah kaki di lantai tanah. Semua konstruksi disusun berdasarkan kolase antara gambar subjek pemain Brass Brand serta latar domestik sang subjek.
Kebudayaan alat musik tiup Tuba di Nepal, Suriname, Ghana dan Minahasa, bisa dianggap sebagai satu di antara praktik hegemoni kolonial dalam menghaluskan pengaruh kekuasaannya. Keberadaan alat musik Tuba menjadikan hubungan antara kaum terjajah dan penjajah semakin intens karena penggunaan instrumen kebudayaan yang sama. Intensitas ini menghasilkan represi yang sudah tidak lagi menyentuh alam sadar, tapi merelung memasuki alam bawah sadar masyarakat. Siasat kebudayaan alat musik tiup oleh pihak kolonial di wilayah jajahannya telah mampu melebur dalam tradisi masyarakat setempat, bahkan sampai pada kesadaran kolektif yang religius sekalipun. Di Suriname misalnya, kebudayaan Brass Band sering kali digunakan pada upacara kematian. Di Minahasa, Brass Band selalu mengiringi tradisi pernikahan masyarakat setempat. Di Nepal, selain juga sering digunakan mengiringi acara pernikahan, Brass Band juga dipakai pada acara-acara kelahiran bayi.
Keempat sekuel dalam karya dokumenter Johan van der Keuken ini, memiliki perlakuan yang berbeda dalam menyingkap kesadaran pascakolonial di masing-masing wilayah. Tentu saja hal ini berkaitan dengan konteks penindasan yang berbeda pada masing-masing wilayah tersebut. Yang cukup janggal di sini adalah penggunaan judul Minahasa-Indonesia, karena judul pada masing-masing sekuel dalam karya Brass Unbound van der Keuken ini menggunakan istilah negara macam Nepal, Suriname dan Ghana. Minahasa sendiri merupakan satu daerah di Sulawesi Utara.
Perjumpaan dengan kolonialisme di masing-masing wilayah menjadi sangat khas, tentu pengaruh latar ekonomi politik menjadi determinan yang signifikan untuk melacak relasi kontekstual antara penindas dan tertindas. Minahasa merupakan satu di antara sekian banyak wilayah di Indonesia yang cukup bisa menyatu dengan kehadiran kolonial Belanda. Suatu relasi kolonial dan pribumi yang sangat khas tentunya, apalagi rentang dominasi kolonial tidak lagi dianggap sebagai praktik represif bagi penduduk Minahasa. Bisa jadi, modus ekonomi politik, satu di antara kultur hasil identifikasi sang tertindas dengan sang penindas adalah perayaan pernikahan masyarakat Minahasa. Selain identifikasi tertindas dalam penggunaan bahasa penindas (Belanda) yang masih banyak digunakan oleh kaum tua secara fasih. Kebudayaan Brass Band masih bertahan hingga kini di Minahasa. Proses wawancara pada subjek anggota Brass Band di Minahasa pun dilakukan dengan bahasa Belanda, di mana van der Keuken sendiri berkebangsaan Belanda.
Dalam sekuel Minahasa ini, konstruksi gambar yang dilakukan van der Keuken adalah menampilkan dokumentasi di mana Putri Juliana sedang menikah dengan Pangeran Bernhard pada 1937, dengan gaun kebesaran pengantin serta kereta kuda kerajaan. Identifikasi potongan dokumentasi ini untuk menunjukkan pararel pada gambar berikutnya, di mana ditampilkan sekilas tentang proses salah satu pernikahan di masyarakat Minahasa. Identifikasi cara berpakaian, alunan musik Brass Band yang mengiringi pernikahan, serta orientasi pernikahan dalam masyarakat Minahasa menjadi konstruksi van der Keuken untuk menunjukkan pararel antara pihak penjajah dengan yang terjajah. Secara tidak langsung, konstruksi van der Keuken dalam sekuel Minahasa ini, sedang menciptakan semacam ‘mimikri’, merujuk istilah Homi Bhabha (1994), yang masih kental keberadaannya di masyarakat Minahasa. Mimikri sendiri merupakan identifikasi kaum pribumi dengan perilaku kelas penjajahnya, sebagai praktik imitasi. Identifikasi dalam bentuk imitasi tersebut bisa jadi sebuah siasat menghadapi dominasi beserta suksesinya. Imitasi malah juga menjadi sebuah praktik pelanggengan dominasi di mana subjek yang dijajah akan terangkat gengsi sosialnya. Dalam narasi dokumenter Brass Unbound van der Keuken, keberadaan Brass Band di Minahasa diartikulasikan dalam upacara pernikahan, sebuah apresiasi kebahagiaan, praktik kawula yang mengidentifikasi gaun dan jas pengantinnya kepada sang ratu.
Ratu Juliana sendiri merupakan ratu Belanda pada tanggal 6 September 1948 dari penyerahan kepemimpinan ratu Wilhelmina. Kemudian pada tahun 1974, Ratu Juliana berkunjung ke Minahasa. Fakta sejarah tersebut menjadikan konstruksi van der Keuken terhadap keberadaan Minahasa sebagai lokalitas dalam perjumpaannya dengan kolonialisme secara khas berbeda dengan perjumpaan kolonialisme di lokalitas lainnya di Indonesia. Adanya sedikit kolase suasana pegunungan yang bertumpuk dengan kegiatan sehari-hari masyarakat Minahasa, pertanian, alam yang subur, serta suasana eksotis dalam masyarakat di lereng pegunungan, menunjukkan bahwa Minahasa secara sosial ekonomi cukup harmonis. Brass Band di Minahasa sendiri merupakan kelompok musik tiup yang cukup tertata. Pada gambar dalam sekuel Minahasa ini terlihat bagaimana para penduduk yang memainkan banyak jenis alat musik tiup tersebut sangat terpadu, dan dipimpin oleh seorang konduktor. Tentu sebuah gambaran Brass Band yang sangat berbeda dari pengaruh kolonial di tiga wilayah lainnya; Nepal, Ghana dan Suriname, dimainkan tanpa seorang konduktor. Gambar-gambar kolase wajah para pemain alat musik tiup di Minahasa ini, oleh van der Keuken ditampilkan dalam gambar berpindah (moving shot) sampai ke bentuknya yang jenaka.
Karya Brass Unbound ini sendiri bisa ditafsirkan sebagai usaha menarasikan kondisi-kondisi masyarakat pascakolonial, dengan segala tantangan etis terhadap subjek dalam posisi yang ‘menarasikan’ dan yang ‘dinarasikan’. Masyarakat pascakolonial merupakan endapan kesadaran yang menumpuk dalam sekian waktu, sehingga sulit memisahkan mana yang otentik dan mana yang hegemoni. Menarasikan masyarakat kolonial tentu akan menjadi tantangan tersendiri, khususnya dalam bahasa filem dokumenter. Masalah representasi akan menjadi persoalan sikap ideologis dalam proses narasi tersebut, yang di dalamnya tidak hanya memuat artikulasi-artikulasi dari sebuah konsep filem dokumenter. Persoalan teknis dalam filem dokumenter akan menjadi persoalan yang cukup rawan dan sering kali menjadi ketidaksadaran bagi para pelaku dokumenter, selain kesalahpahaman akan asumsi tentang hal-hal yang artistik terpisah dengan hal yang estetis.
Para pemain bersiap dalam satu barisan kelompok musik tiup. Mereka adalah para pemain Brass Band dari Nepal, Suriname, Ghana dan Minahasa. Mereka semua berbaris dengan latar ruang yang menjadi ciri lanskap yang sangat signifikan bagi sosial-budaya masyarakatnya masing-masing. Para anggota Brass Band dari Nepal bermain di sebuah latar kantor administratif sisa pemerintahan kolonial, sedangkan para pemain Brass Band Suriname pada bangunan umum di permukiman penduduk. Kemudian para pemain Brass Band Minahasa berbaris dengan latar sebuah pemandangan gunung yang menjadi satu ciri daerah, sedangkan para pemain Brass Band di Ghana bermain dengan latar sebuah jalanan di permukiman kumuh. Inilah adegan terakhir pada filem dokumenter Brass Unbound karya Johan van der Keuken. Yang menampilkan sebuah adegan, di mana masing-masing para kelompok musik tiup di empat wilayah memainkan sebuah aransemen musik yang sama. Musik dimulai, gambar berganti di antara para pemain Brass Band yang sedang bermain. Alunan musik pun berjalan, namun perpindahan gambar di masing-masing Brass Band memiliki gaya alunan yang berbeda dalam satu aransemen musik yang sama. Mungkin itulah yang sedang disimpulkan oleh van der Keuken dalam karya ini, di mana perjumpaan dengan kolonialisme adalah fenomena global, namun memiliki respon-respon yang khas di masing-masing wilayah. Mungkin itu yang tersisa, dari siasat kebudayaan kaum terjajah menghadapi dominasi kekuasaan kolonial. Gaya konstruksi van der Keuken telah mengungkapnya, bahwa di balik kebudayaan selalu ada pergulatan dengan kekuasaan. Dan sebuah alat musik Tuba merupakan metonimi, sebuah sebab-akibat kecil yang mewakili narasi besar abad kolonial. Seperti yang diungkapkan oleh van der Keuken;
Aspek simbolik karya saya tidak selalu diterima penonton. Saya melangkah melalui simbol-simbol untuk kembali kepada persepsi Kenyataan yang lebih intens, lebih deskriptif, bahkan mungkin lebih sulit. Ada tingkatan keberagaman, yang saya tidak bisa bayangkan secara murni materialistik. Aspek benda-benda material/materialistik itu seperti alat untuk memahami apa yang terjadi di dunia. Ada juga aspek spekulatif, yang tidak bisa sepenuhnya saya tolak, bahkan jika saya tidak harus kerja ‘terlalu banyak’ dengannya, dan selalu menjaganya hanya dalam perspektif saja. Di saat sama, saya begitu cemas akan, katakanlah, kesempurnaan, sebagai misal, saya ingin mampu menunjukkan sesuatu dengan sangat jelas. Namun, saya begitu sadar bahwa saya pembuat filem yang bekerja dengan perkiraan…Ya, Anda bisa bilang bahwa ada unsur permainan dalam karya saya, bahwa filem adalah “mainan konstruksi” bagi saya, tapi, di saat sama, ada banyak hal yang begitu nyata dan kuat yang mereka tidak bisa kuasai. Dengan begitu, kita memasuki wilayah perkiraan. Saya tidak bisa menerima “sudut gambar terbalik” sempurna sebagai “kebenaran” filem. Sesuatu dalam diri saya kehilangan harapan untuk mampu “mengatakan hal yang benar.”