Jurnal Footage, atas seizin dari penulis, menerbitkan artikel Timothy P. A. Cooper yang dimuat di situs web Rhizome, diterjemahkan ke bahasa Indonesia dari bahasa Inggris oleh Afrian Purnama.
Arus Perputaran Sinema Bajakan
Peredaran Filem dan Penggandaan Visualnya
Penulis: Timothy P. A. Cooper
Untuk melakukan pemulihan filem supaya memiliki kualitas yang lebih baik, kontak langsung dengan kopiannya perlu dilakukan. Dengan membaca bulir-bulir dalam visual untuk menangkap pemetaan sejarah yang terus terjadi dan melampaui media pindah gambar bergerak, esai ini akan membicarakan materialitas dari reproduksi massal dan penyebaran serta ruang budaya, dinamika, dan jalur-jalur yang diturunkannya.
Saat ini, pembajakan merupakan jaringan distribusi filem terbesar di dunia, sebuah prasarana yang ditandai dengan pemecahan teknologi dan buruknya kualitas salinan-salinan filem. Memandang cara praktik-praktik tak resmi dalam memerosotkan mutu visual saat penggandaan yang terus-menerus ini mengungkap tingkat-tingkat mutu visual yang juga mencerminkan tingkatan sosial.
Praktik yang tak resmi bisa diartikan sebagai lawan dari “resmi” atau struktur yang sah seperti pemukiman, distribusi barang atau langgan berbayar. Istilah “tak resmi” awalnya digunakan dalam penulisan pada kajian mengenai permukiman yang tak resmi dan baru kemudian masuk ke wilayah abu-abu di pasar tanah, di bidang kajian yang memungkinkan ilmu politik, antropologi dan sosiologi menjadi berkaitan. Hal-hal tak resmi itu muncul di perkotaan sebagai cara hidup berlangsung melalui proses ketimbang produk, menghasilkan pendekatan transaksional untuk menilai kerusakan-kerusakan di ruang umum dan prasarana yang ada, termasuk distribusi media. Walaupun mereka—yang tak resmi itu—sepertinya tidak langsung tampak, terpisah, bahkan asing, prasarana-prasaran ini sangatlah manusiawi. Prasarana yang tidak resmi ini, pada dasarnya dialami secara jasmaniah, dirasakan melalui kesadaran atas formasi sosial yang terus berubah-ubah.
Dalam praktiknya, yang tidak resmi bisa menjadi pilihan murah untuk mendapatkan akses ke media populer seperti sinema Hollywood dan Bollywood. Ini juga, bisa menjadi satu-satunya pilihan. Dalam kajian yang menjadi pelopor masalah ini, Ramon Laboto berpendapat bahwa media-media tak resmi menjadi semacam ruang bagi para sub-sub budaya atau pemberontakan terhadap kekuasaan karena inilah ruang kultur untuk mediokritas atau “kultur yang tak populer”.[1]
Ketidakresmian media secara halus merasuki kerangka perkotaan yang sudah ada sebagai akibat dari masuknya audio dan kaset video, menyebabkan metode penggandaan rumahan, produksi dan distribusi menjadi bebas-liar. Di masa awal abad 21-an, kota-kota besar di seluruh dunia punya prasarana serupa berskala nasional (maupun internasional) bagi sirkulasi dan penyebaran budaya gambar-bergerak. Sebagai contoh, Pada tahun 2013, saat embargo sinema India masih berlangsung di Pakistan, video bajakan dari filem-filem Bollywood sudah ada di Karachi bahkan sebelum filem-filem itu rilis di India. Walaupun memiliki tradisi filem yang kaya dan menggeliat dari tahun 1960-an hingga awal 1980-an, Pakistan saat ini punya nuansa yang unik seperti disebut oleh Ali Nobil Ahmad sebagai fobia-sinema (takut filem) terbatas yang menjelaskan perputaran filem-filemnya. Di tengah-tengah permusuhan terhadap kelompok-kelompok keagamaan, kosongnya pemerintahan dan kurangnya dana, keadaan yang tidak menentu dari budaya filem di negara ini acap kali diperburuk oleh citra negatif masyarakat terhadap pengidolaan di dalam filem.
Satu contoh dari fobia-sinema terjadinya kehancuran bioskop-bioskop di seluruh negeri di tahun 2012 akibat filem-mini di Youtube berjudul The Innocence of Muslim. Digarap sendiri oleh seorang Kristen fanatik Amerika, filem itu memicu amarah lantaran penggambaran Nabi Muhammad. Hanya dalam sehari saja kerusuhan besar-besaran di Pakistan menyebabkan enam bioskop di Karachi hancur; Youtube seketika dilarang di server Pakistan, hingga saat ini.
Saat ini, para diaspora Pakistan yang memiliki beragam bahasa dan kelompok suku, mengungkapkan sisa-sisa budaya gambar-bergerak nasionalnya dengan cara mengunggah filem dari pasar gelap VCD (Video Compact Disk) ke Youtube. Dalam ketidakadaan arsip filem nasional, hak cipta dan asal-muasal dari hampir semua penyebar filem Pakistan merupakan ranah yang rumit. Orang-orang dari umur tertentu bahkan tidak bisa mengingat saat EMI Pakistan meluncurkan produk yang, bila disamakan dengan kondisi saat ini, bisa disebut sebagai “resmi”. Di tahun 2014, pasanganku membeli 500 buah piringan tujuh-inci dari Islamabad ke London; kesemuanya adalah soundrack yang diliris saat masa kejayaan produksi filem Pakistan tahun 1960-an dan 70-an. Karena tidak pernah mengalami zaman media audio dan video yang resmi, petugas bandara mencurigainya sebagai penyelundup VCD.
Jaringan tak resmi edar filem sudah tidak memakai bentuk yang telah usang atau bentuk berjenjang. Pilihan mereka justru menyediakan akses bagi pengguna secepat mungkin seturut apa yang Hito Steyerl sebut sebagai aji-aji “percepatan, intensitas, penyebaran.” Sepanjang penulisan kanon teranyar tentang jenjangan dari gambar-gambar dan konsep-konsep mengenai sinyal, bintik-bintikan, dengungan, interferensi dan gangguan visual muncullah ide bahwa “teks-teks tak resmi bergerak melewati ruang dan waktu dengan minim interferensi dari hukum hak cipta, pajak serta tarif dan lembaga sensor.”[2]— sehingga, sebaliknya, menambah bukti yang kasatmata dari alihsandi, alihgandaan yang terus merosot, dan kompresi data tingkat rendah.
Antropoligis media Brian Larkin menunjukkan interupsi atas transmisi oleh makelar teknologi media yang dialamatkan pada khalayaknya. Mengamati dinamika perputaran dari filem Nollywood saat ini, Larkin berujar bahwa saat zaman kolonial di Nigeria, prasyarat dari bagi proyek-proyek prasarana mulai dari rel kereta hingga radio adalah kemampuannya untuk mendecak kekaguman, yang dia sebut sebagai “keagungan kolonial”.[3] Keagungan dan teknologi adalah subjek yang berkaitan, sebagai akibat pendidikan dan latihan sanggup menguasai keterampilan untuk meniru teknologi agung itu, sampai-sampai dengan efektif menghancurkannya. Dalam pandangan saya soal distraksi visual di filem-filem pasar gelap, proses ini terus bergulir. Sementara Larkin berpendapat bahwa penguraian dan kegagalan untuk merebut kemampuan guna menjadi agung, ada alasan yang dibuat dari kesan agar kembali menjadi agung: pemecahan teknologi menjadi kebetulan yang menguntungkan saat visual yang asli menjadi keterbiasaan yang dangkal yang sehari-hari dialami.
Fobia-sinema juga adalah gejala akan pengasingan terhadap bioskop. Di Pakistan, eksodusi filem dari bioskop diawali oleh kehadiran teknologi VCR di tahun 1970-an, pun pemerintah saat itu berupaya melakukan migrasi media, memindahkan warisan sinematik bangsa dari 35mm menjadi VHS. Pada pemerintahan Zia-al-Huq, agenda kultural diatur guna memastikan ditekannya hiburan rakyat seminim mungkin. Perubahan semacam itu juga sifat dari masyarakat. VCR rumahan menjadi cara yang tepat untuk memastikan hiburan umum menjadi swasta. Dengan demikian, penyimpanan Arsip Nasional Pakistan sepertinya berisi VCD beresolusi rendah dari VHS generasi lampau.
Pasar media besar seperti Darbar Market Urdu Bazar di Lahore, Rainbow Center di Karachi dan Nistarabad di Peshawar, mengungkap kompleksnya perkotaan pasca-kolonial. Rumit, kompleks dan tidak resmi, prasarana organik ini adalah cerminan dari laku kegamangan yang dicirikan oleh organisasi yang memiliki struktur banyak cabang atau apa yang akademisi media Ravi Sundaram sebut sebagai “modernitas bajakan”. Baru-baru ini, taktik yang terjadi pada lanskap tak resmi ini sudah terjelaskan sebagai ekspresi Jugaad, sebuah kata dari bahasa Hindi yang artinya tindakan (Urdu: juggaar) untuk mengakali atau dengan inovatif melakukan daur ulang di mana benda-benda dijahit atau diperbaharui sesuai kebutuhan tertentu.
Di wilayah dengan populasi Asia Selatan yang besar di London, cerita ini agak berbeda. Di distrik Tooting, London Selatan dan Southhall, London Barat, juga di seluruh Inggris Raya, bioskop yang sudah mati pada dekade 1960-an dan 1970-an dihidupkan kembali dengan memutar filem Bollywood atau filem-filem Asia. Bioskop Granada Cinema yang megah di Tooting, dirancang oleh arsitek ternama Cecil Masey, dan dianggap sebagai tempat penayangan tercantik di wilayah itu, ditutup pada tahun 1983 lalu diubah menjadi arena judi. Sebuah perusahaan India yang menggunakannya untuk penayangan di hari minggu menyebabkan bioskop tersebut tetap hidup untuk sementara, sebelum populernya penyewaan video rumahan yang mengakibatkan penutupan bioskop tersebut. Di seberang Tooting, nama toko grosir seperti Chandni Pan Video dan Tooting Video Centre adalah bukti bahwa dulunya di tempat itu sempat marak penyewaan video. Saat ini sebuah toko serbaguna mengisi kekosongan toko penyewaan video itu, menjual kartu telepon, DVD dan CD Bollywood, juga VCD dari Pakistan. Di situlah, saya membeli filem Saat Lakh (“700.000”), tahun 1957 yang disutradarai Jafar Malik.
Seperti yang sudah-sudah, ada gangguan tandarekam seperti bintik-bintik dan garis-garis yang saling centang-perenang di Saat Lakh, bukti nyata dari keberadaan pasar gelap yang sudah turun temurun. Saat awal pertarungan global terhadap pencurian dan pembajakan filem, berbagai upaya digunakan untuk mengaburkan kode atau tanda yang bisa dipakai penyidik untuk melacak dari mana sumber bioskop tempat pertama filem itu direkam. Saat ini, tanda resmi dimasukkan dengan meningkatnya kecanggihan di bidang keamanan, hak cipta dan perancangan video game. Tampilan gambar di Saat Lakh tampak merosot, karena mengalami penurunan kualitas berulangkali dari medium asalnya ke medium digital, yang, bila dilihat dari gegaris horizontalnya, bisa dipastikan dari VHS. Yang tetap dan tidak bergeming sepanjang filem adalah nama merek perusahaan peredarannya, SADAF.
Di Karachi, sebuah megakota di Pakistan, perusahaan dagang SADAF mampu menaikkan produksi melalui pendongkrakan fasilitas produksi barang-barang selundupan, berupa filem bajakan dari India untuk dijual ke seluruh dunia.[4] Dalam rilisan salinan “aspal” itu, distributor filem bajakan seperti SADAF bisa berjalan melalui thekedar (pemegang kontrak), penyedia pelayan yang yang meluncurkan salinan “aspal” teranyar dari Mumbai atau New Delhi ke Lahore atau Karachi di mana lalu filem-filem itu akan diproduksi massal menjadi VHS dan kemudian, setelah pergantian abad, menjadi VCD.
Biasanya, banyak prasarana “aspal” bersekutu dengan sistem yang sudah ada lebih dahulu dan lebih mapan. Laporan dari lembaga thinktank Amerika Serikat, RAND menyatakan bahwa perusahaan Daewood Ibrahim, D-Company, yang punya basis kokoh di Mumbai, Karachi dan Dubai, menciptakan distribusi yang saling terhubung untuk mengamankan kendali atas SADAF. Ibrahim, pemimpin dari sindikat kriminal bawah tanah di India, D-Company, membangun namanya dari monopoli sistem pengiriman uang tidak resmi bernama Hawala, yang sudah ada sejak lama. Seperti Ibrahim, banyak yang menemukan pintu masuk menuju prasarana yang punya banyak celah itu melalui wilayah samar dari modernitas perkotaan.
Mungkinkah sumber asli dari salinan tidak resmi ini berasal saat sebelum SADAF diambil alih D-Company? Tanda nama SADAF terlihat di tampilan filem yang bahkan tidak cocok dengan topografi alihan video. Keberadaan nama perusahaan itu sepertinya hanyalah penggandaan ulang berkualitas rendah dari gambar yang sudah diberi tandarekam lebih dulu oleh Khalid Enterprise Presentation, yang ternyata semasa dengan transfer video generasi awal. SADAF Entertaiment, seperti yang diketahui saat ini, masih terdaftar di Karachis’s Rainbow Centre; sementara Khalid Enterprise tidak terdaftar di pasar media utama mana pun di Pakistan. Yang paling dekat adalah Arslan Khalid Enterprise, salah satu pelaku daur-ulang dan eksportir sampah plastik terbesar di Pakistan, berbasis di Lahore. Mengkhususkan diri pada sampah PC, CD dan DVD dan dengan kapasitas produksi 300 ton, Arslan Khalid Enterprise adalah raddiwalas dalam skala besar, yaitu semacam pengepul, biasanya pedagang lokal, yang mengumpulkan berbagai potongan bahan—koran tua dan sampah rumah tangga—dari rumah dan membayar per kilogram.
Sementara sampah adalah satu cara artifak media tidak resmi untuk keluar dari kanal komersial—yang lainnya adalah upacara penghancuran—budaya konsumen menyediakan ruang kultural bagi fetisasi pada sampah itu. Satu contoh adalah “Guddu’s Film Archive”, sebuah koleksi memorabilia berisi objek-objek produksi massal dari periode 1960-an dan 70-an,[5] tapi juga benda lain yang terhubung dengan industri dan infrastruktur yang melandasi konsumsi filem Pakistan. Sama seperti timbunan arsip peninggalan dan memorabilia, koleksi Guddu Khan adalah representasi dari lingkup waktu yang banyak orang Pakistan pilih untuk melupakan. Dalam konteks fobia-sinema yang mana Guddu berada di dalamnya, objek filem jarang sekali dianggap sebagai benda koleksi kecuali hanya sebagai sampah—seperti raddi (yang diartikan sebagai limbah); mereka mengumpulkan benda-benda itu dari gedung yang membusuk, membeli borongan dari toko sitaan, atau diselamatkan dari pewaris keluarga. Dengan koleksinya yang padat di dalam apartemen kecil di Karachi, Guddu memainkan peran kecil dari rumitnya alur jaringan distribusi ini, terkadang dia menyediakan gambar muka dari para penjual media yang menyalin dan mendistribusikan filem tersebut.
Di Pakistan, konsumsi bioskop melekat dengan konsep kerakyatan dan menciptakan lingkup kultural bagi minoritas di Pakistan, khususnya bagi kaum berbahasa Pashto, Balochi dan Sindhi, yang mana jejak-jejak sinematik mereka dalam kesejarahannya terkungkung oleh hegemoni filem berbahasa Urdu. Namun, dalam diaspora filem-filem itu menegaskan kekuatan di komunitas yang saling terkait dalam suku dan bahasa. Southall di London menjadi tuan rumah komunitas keturunan Afgan terbesar di Inggris Raya. Di Southall Broadway, mall kecil yang ramai dengan toko-toko yang terpisah diberi nama dari rekannya di Asia Selatan: Palika Bazaar dan Sher-E-Punjab Market. Selain itu, Himalaya Shopping Center dinamakan dari tempat pendukung komunitas Asia Selatan yang sudah ada lama sejak dulu: the Himalaya Palace Cinema adalah bentuk keganjilan arsitektural di Inggris Raya, sebuah gedung bioskop bergaya kuil Cina atau pagoda. Lebih mirip dengan Theater Cina Grauman di Los Angeles atau La Pagode di Paris ketimbang bioskop bergaya Art Deco yang terinspirasi dari Arsitek hebat Inggris Cecil Masey, Himalaya Palace mengikuti alur sejarah dari bioskop-bioskop pada umumnya saat seorang penyelenggara penayangan independen mengakusisi pada tahun 1971 dan digunakan untuk menayangkan filem-filem Bollywood. Dengan kedatangan dan populernya penyewaan video, gedung itu dialih fungsi menjadi pasar pada tahun 1982. Walaupun dipugar dan dibangkitkan sebagai bioskop filem-filem Asia Selatan, Himalaya Palace Cinema ditutup lagi di tahun 2010 dan kembali menjadi pasar serta tempat penjualan makanan ringan.
Di Himalaya Shopping Centre ada toko kecil yang mengkhususkan pada musik Afgan, benda keagamaan, pakaian dan filem. Di sana saya membeli dua filem berbahasa Pashto yang diproduksi dan didistribusikan di Pakistan: Jang aw Amn (1974, disutradarai oleh Farood Khan) dan Zama Badal (1972, disutradarai oleh Sana Ullah Khan Gandapur). Sementara Zama Baadal hampir dipenuhi berlapis-lapis penumpukan distraksi visual karena transfer data buruk yang tumpang-tindih. Filem itu terdapat distraksi visual tunggal yang lamanya sampai lebih dari sepuluh menit. Gambar yang tidak bergerak—dalam hal ini adegan rekonsiliasi antara dua musuh bubuyutan—terlihat seperti pertanda bawah-sadar, makna yang terkubur. Seperti “cineseizure” dari karya pembuat filem eksperimental macam Martin Arnold atau Peter Tscherkassky, yang karya found footage-nya memanjangkandetikkan filem Hollywood menjadi narasi yang lebih panjang, distraksi visual mengakibatkan pemikiran radikal terhadap konteks itu dengan tak dinyana.
Keunggulan dan penanda waktu yang membatasi periode dari siklus hidup objek-objek ini adalah pernyataan dari prasarana dan kondisi lokal yang melewati dari tahap terbaru di rantai distribusi, seperti kasus filem berbahasa Pashto yang dibeli di Southall dan filem Pakistan yang didapat dari Tooting. Ada banyak cara untuk melacak dinamika jejak dan jalur perputaran sinema. Metodologi tersebut harus mengajukan pertanyaan serupa tentang materi simpan dan perwujutannya dalam artifak gambar-bergerak bagai seorang antropologis ajukan tentang pengelompokan sosial. Ini bisa mencakup pertanyaan apa kemungkinan sosial yang dimiliki materi simpan gambar-bergerak dan pada tingkat apa itu bisa dilihat, dalam kasus-per-kasus, harus menyadari potensi-potensi itu.
Kapasitas media pembajakan untuk mencapai kultur populer bisa dilihat melalui pengkonsentrasiannya dalam migrasi media dan pengujian proses dari memindahan dan alihsandi ke materi penyimpanan yang lebih modern dan nasib dari materi penyimpanan yang lebih tua karena mereka sudah tersingkir oleh proses kreatif. Tindakan pemindahan dan penggandaan mengubah filem tersebut, menciptakan objek yang baru, yang mana penurunan kualitas, penambahan, pemotongan dan edit ulang termasuk di dalamnya. Mengkonsentrasikan pada tampilan dan estetik material menunjukan tanda terlihat dari pemindahan data, mengungkapkan dinamika perputaran dari migrasi media, bagaimana hal-hal ini bergerak, apa yang menciptakan itu dan bagaimana mereka berubah selama ini.
Catatan Kaki:
[1] Lihat Sukhdev Sandhu’s Colloquium for Unpopular Culture at New York University. http://unpopcolloquium.blogspot.co.uk/ [2] Ramon Lobato, Shadow economies of cinema: Mapping informal film distribution. (New York: Palgrave Macmillan, 2012), 43. [3] Brian Larkin, Signal and noise: media, infrastructure, and urban culture in Nigeria (Durham: Duke University Press, 2008), 1. [4] Gregory F Treverton, Film Piracy, Organized Crime, and Terrorism (Santa Monica, CA: Rand Corporation, 2009), 95.Timothy P. A. Cooper adalah seorang penulis esai dan periset lulusan Kings College, University of London. memiliki pengalaman sebagai seniman, kurator, jurnalis dan akademisi.
all other rights are reserved to the author and rhizome.org
Artikel asli, dengan judul “The Circulatory Dynamics of Pirate Cinema: The Distribution of Orphaned Film Repurposes Its Image” sudah diterbitkan di jurnal online Rhizome: www.rhizome.org/editorial/2016/mar/17/the-circulatory-dynamics-of-cinema/#_edn5, pada 17 Maret, 2016.