In Wawancara
[tab] [tab_item title=”ID”]

Bioskop independen hadir sebagai bentuk perlawanan dari bioskop-bioskop kebanyakan. Tapi apa sebenarnya yang dilawan? Mungkin saja tidak ada yang dilawan, sebab membicarakan perlawanan dalam filem-filem yang sering disebut independen di Indonesia bisa jadi sangat rumit dan berujung ke sebuah antah berantah. Bisokop independen selayaknya bisa memberikan alternatif dari segi pemutaran, di mana filem-filem yang diputar berbeda, sulit diakses dan dianggap penting dalam sejarah sinema. Untuk menyediakan ruang menonton alternatif itu, Kineruku hadir. Publik Bandung yang datang ke tempat ini, tidak hanya sekadar menonton melainkan juga berdiskusi. Berikut adalah wawancara Jurnal Footage dengan Ariani Darmawan, pentolan Kineruku.

Kalau dibandingkan dengan bioskop yang sudah ada, konsep bioskop independen itu sebenarnya apa sih?
Sebetulnya kalau bicara soal bioskop dalam konsep umum adalah ruang yang mapan, ada AC, tempat duduknya enak dan bentuknya seperti podium. Itu bioskop yang kita anggap sebagai bioskop sebenarnya. Paling tidak saya menganggapnya seperti itu. Ada kriteria tertentu sebuah tempat bisa dinamakan bioskop, dalam arti penonton nyaman untuk menonton. Itu bagus untuk penonton dan bagus juga untuk filemnya. Jadi bayangan saya soal bioskop independen harusnya bioskop yang juga seperti itu, dalam arti secara tempat tidak jauh berbeda dengan bioskop-bioskop kebanyakan, namun berbeda dari segi pemutaran filem-filemnya.

Apa tempat-tempat seperti Kineruku, Kinoki dan sebagainya itu bisa disebut bioskop independen?
Saya lebih menyebutnya sebagai tempat pemutaran. Tempat-tempat seperti itu lebih bisa dikatakan sebagai ruang nonton alternatif. Tapi untuk disebut sebagai bioskop, yang bentuknya seperti teater, ya tempat-tempat seperti itu belum bisa dikatakan bioskop independen.

Apa yang diharapkan penonton dari sebuah bioskop?

Kenyamanan. Kalau saya berada di sebuah bioskop saya akan merasa nyaman. Di Kineruku, kita memutar filem-filem tapi saya sendiri merasa itu belum menjadi tempat yang ideal. Karena Kineruku bukanlah bioskop.

Ada tidak tempat di Indonesia yang bisa disebut bioskop independen?
Kita bisa menyebut Kineforum sebagai salah satunya. Pertama karena Kineforum memiliki kepengurusan sendiri yang ada di luar jaringan cineplex 21 (twenty-one). Kedua karena acara-acara pemutarannya rutin. Di Bandung ada gedung Balai Pustaka yang bentuknya podium dan ketika kita nonton di sana, kenyamanan itu terasa. Tapi tempat itu tidak bisa dikatakan sebagai bioskop karena tidak mengadakan acara-acara rutin.

Bagaimana dengan fenomena layar tancap tradisional diseberangkan dengan ruang menonton alternatif seperti Kineruku atau Kinoki?
Saya pikir beda sekali. Layar tancap adalah pemutaran di ruangan luar. Pada hakikatnya, layar tancap dilakukan di luar ruangan karena mereka ingin mengundang orang-orang yang ada di sekitarnya.

Tapi bukankah itu juga menjadi semacam ruang alternatif dalam menonton?

Ya. Layar tancap itu bisa menjadi ‘the future’ dari ruang alternatif. Karena menonton di situ lebih nyaman dan penontonnya pun tidak terbatas. Tidak seperti di Kineruku, misalnya, ruangannya sempit dan terbatas. Tapi kelemahannya kondisi cuaca: hujan dan lain-lain.

Bagaimana kalau ruang-ruang seperti Kineruku atau Kinoki memutar filem yang sama dengan bioskop-bioskop komersial, apa masih bisa disebut dengan ruang menonton alternatif?
Bagi saya tidak. Itu sama saja seperti kalau kita ke bar, terus di situ memutar filem seperti Spiderman. Bagi saya itu sama sekali bukan ruang menonton alternatif.

Jadi apa yang ingin dicapai dari ruang alternatif menonton kalau begitu?
Alternatif itu intinya pemutarannya. Jadi filem-filemnya harus berbeda, sulit diakses dan dianggap penting dalam sejarah sinema. Seperti filem-filem Rusia di masa awal atau karya-karya dari Forum Lenteng dan sebagainya yang membawa kesegaran dalam dunia tontonan.

Dampak yang diharapkan dari ruang alternatif menonton ini?

Kalau saya sih, ingin mendekatkan orang dan berbagi referensi. Karena percuma kita punya buku-buku bagus, atau filem-filem yang bagus tapi orang tidak tertarik atau tidak punya pengetahuan tentangnya. Jadi saya ingin membuat orang tertarik dan menonton lebih luas. Kalau di Kineruku, kita punya program misalnya menonton filem-filem penting dalam sejarah visual dunia. Dan yang paling penting dalam sebuah ruang tonton alternatif itu kita bisa berdiskusi, tidak hanya menonton filem yang diputar saja. Tempat di sini tidak lagi hanya sebagai tempat, tapi ia juga sudah menjadi ruang komunikasi.

Bisa tidak kita sebut bioskop komersial kecil yang biasa memutar filem esek-esek sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap bioskop komersial besar?
Saya pikir tidak. Karena mereka tidak melakukannya sebagai bentuk perlawanan. Mereka melakukannya lebih untuk bertahan hidup. Jadi itu bisa dikatakan sebagai sisi lain industri, bukan alternatif.

Apa yang ingin dilawan?

Mungkin saja yang dilawan itu tidak ada. Tapi kita bisa katakan kita melawan arus utama. Seperti filem-filem independen saja, saya sering mempertanyakan apa sebenarnya yang mereka lawan. Apakah benar tidak ada yang independen kalau kita bicara konteks perfileman di Indonesia. Kita tahu industri filem di Indonesia itu sendiri tidak saklek. Industri filemnya sendiri belumlah benar. Sehingga kalau kita bicara soal independen dan alternatif semuanya bisa sangat menjadi tricky.
[/tab_item] [tab_item title=”EN”]

Ariani Darmawan: Independent Bioscope as Struggle

The independent bioscope emerges as a form of struggle from majority of bioscopes. But what fight it is exactly? Probably none, because speaking about struggle in films which calls independent in Indonesia might be complicated and end up to nowhere. The independent bioscope should be giving alternatives in a way of projecting films, where films that projects are different, hard to access and consider as important in the history of cinema. To provide the alternative watching space, there goes Kineruku. Public in Bandung are open to come, not only to watch movies but also discuss. To discuss more on Kineruku, here is our interview with Ariani Darmawan, the director of Kineruku.

Compare to establish bioscopes, what can the independent bioscope offer to the public?
Essentially, when we talk about bioscope in general conception then it is an establish place, with air conditioner, cozy seats and podium-like stage. We can say this kind of place as true bioscope. At least I consider it that way. There are certain criteria where a place can be call as bioscope, in a way that the audience should feel comfortable inside it. So it’s good for audience and certainly good for the film too. Hence, if I have to speak about independent bioscope then I have to imagine it that way, which is no big difference with general bioscopes. But the different should be in the projection of films.

Are places like Kineruku, Kinoki and else can be call as independent bioscopes?
I rather call it as screening place. It’s an alternative watching space. But to call it as bioscope, a movie theater-like place, I don’t think so. Those places you’ve mentioned aren’t independent bioscopes.

What is exactly that audience expect from a bioscope?
Coziness. If I have to go to see the movie I need coziness. True that we projects fims at Kineruku, but I myself can’t think that our place as an ideal place to watch movies. Because Kineruku is not a bioscope.

Is there any place in Indonesia that may call as independent bioscope?
We can mention Kineforum, for example. Firstly, because Kineforum has their own organization, which is outside of the 21 cineplex network. Secondly, because they have regular projections. In Bandung there is Balai Pustaka building, with podium and when we go there to see the movie we always find ourselves in comfort. But the place itself can’t call as bioscope for it’s not regularly programming projections of films.

What the traditional tent cinema phenomenon vis-à-vis the alternative watching space such as Kineruku and Kinoki?
I think there is a big difference. Tent cinema is an outdoor projection. In essence, tent cinema is performed outdoor because it wanted to invites people in the neighborhood.

But it is an alternative space too?
It is. I can say that tent cinema could be ‘the future’ of alternative space. I think watching movies there is more comfortable and the audiences also unlimited. Unlike Kineruku, for instance, where we have a small and limited room. But it has certain weaknesses, especially on the weather: rain and all.

What if Kineruku or Kinoki projects the same films as commercial bioscopes did, would it still be call as alternative watching space?
Hardly. It is the same like we step in to the bar, and watching Spiderman film projected there. For me, place like that is not at all an alternative watching space.

So what the alternative watching space wants to achieve, then?
Alternative has its point at the projections. If the films are different, hard to access and consider as important in the history of world cinema, we may say that it is alternative space. In here we can watch early Russian films of the works of Forum Lenteng and else to brings the joyful and fresh mind in visual world.

What impact do you expect from this alternative watching space?
Well I want to bring people close and shares references. You know it’s no use if you have great books, or films but no one interest or never acquaint to it. So I want to make people interest and watch films in a broader perspective. In Kineruku we have program to watch important films in the history of visual world, just for example. But the most important thing is, in alternative watching space we can share opinions, not only watching the film. Place here by no means place only, but turn out to be a space to communicate.

Can we call small commercial bioscope, outside the 21 cineplex network, which is regularly projects sex contain movies as a form of fight to the big commercial bioscopes?
I don’t think so. Because what they do is not a form of fight. They act more as a way to survive. I think it’s another side of industry, that’s all. It’s not alternative.

But what are you fighting, anyway?
What has to fight could be none. But I can say that we fight against the mainstream. As we speak about independent films, I always have questions about their independency. What is it that they’re against of. Is it true to talk about independency for the context of Indonesia, for we know that the film industry in Indonesia itself is not firm. The film industry here is still not right. So it is very tricky to talk about independent and alternative, in that way.

[/tab_item] [/tab]
Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search