Kelahiran filem berbicara membawa gaya filem kembali ke arah realisme, setelah kecenderungan seni murni pada gaya montase Rusia dan seni rupa citra dalam ekspresionisme Jerman yang berjaya pada kala filem tak bersuara (bisu). Hakikat pada realisme filem adalah menganggap bahwa kelahiran teknologi suara menjadi kelanjutan dari fitrah filem dan sesungguhnya bukan kelanjutan dari teknologi filem. Karena sesungguhnya, filem bisu pun adalah filem bicara. Pemaknaan suara bisa berlaku berbeda pada gaya filem montase Rusia dan Ekspresionisme Jerman, karena realitas yang ditambahkan melalui montase dan seni rupa. Suara menjadi sekunder atau pelengkap pada gaya montase Rusia dan Ekspresionisme Jerman.
‘Realisme Puitik Perancis’, adalah sebuah keadaan yang terjadi pada masa realisme, pasca kelahiran filem bicara. Kelahiran teknologi suara ini membawa perubahan dalam teknik pengisahan dalam sinema. ‘Realisme Puitik’ atau ‘Realisme Populis’, adalah sebuah gaya realisme yang menekankan pada karakter para aktornya, baik melalui Mise-en-scène, teknik pencahayaan gelap dalam tangkapan kamera. atau pun mungkin juga realisme yang mengedepankan kesuraman. Gaya ini mengkonstruksi persoalan kenyataan dari ‘dalam’, yang menjadikannya ‘puitik’.
Pada gaya Realisme Puitik ini banyak terjadi penekanan pada ambilan karakter tokoh (deep-focus) yang dijadikan sebagai muatan abstraksi kenyataan yang dibangun. Karena penekanan ini, ambilan gambar dengan durasi panjang sangat lumrah pada gaya ini. Gaya bahasa filem yang lahir di Prancis inilah yang kemudian mempengaruhi kelahiran gerakan Neorealisme Italia. Gaya Neorealisme Italia ini mengembangkan teknik pengisahan yang dilakukan oleh pendahulunya dengan menggunakan keadaan-keadaan ‘seadanya’ dan pada mulanya banyak menggunakan aktor ‘orang biasa’.
Hasrat Nafsu/Ossessione (1943): Peralihan Menuju Neorealisme Italia
Filem Hasrat Nafsu (Ossessione)—yang diterjemahkan oleh Forum Lenteng ke dalam subteks Bahasa Indonesia pada program DVD Untuk Semua—merupakan karya pertama Luchino Visconti (1906-1976), salah seorang tokoh Neorealisme Italia. Filem ini dianggap salah satu tonggak awal dari kelahiran periode sinema Italia. Istilah Neorealisme Italia justru dikenal dua tahun (pasca Perang Dunia ke 2) kemudian setelah filem Hasrat Nafsu beredar—sebagai frasa yang tidak luput dari pengertian; Realisme Pasca Perang Dunia II. Gerakan ini menjadikan konteks situasi sosial-politik sebagai bahan baku estetika filem, terutama perspektif kenyataan dalam filem dari situasi-situasi kebangkrutan moral masyarakat pada masa fasisme dan sesudahnya.
Filem Hasrat Nafsu diangkat berdasarkan novel The Postman Always Rings Twice, karya James M. Cain (Amerika), 1934. Sebelumnya pada tahun 1939, buku ini pernah di filemkan oleh sutradara Perancis, Pierre Chenal, berjudul Le Dernier Tournant (The Last Turning). Dalam program penerjemahan DVD Untuk Semua, migrasi makna yang dipakai dalam pemberian judul Bahasa Indonesia ‘Hasrat Nafsu’ pada Ossessione, merupakan usaha membaca konteks ‘kepenulisan’ (authorship) Visconti dalam memandang pretensi seksualitas ‘realisme dalam’. Hal ini dapat ditemukan dalam dialog-dialog tokoh Hasrat Nafsu, yang menghadirkan kode-kode penuh pretensi pada cara pandang seksualitas.
Adalah Jean Renoir (1894-1979), salah satu tokoh sinema Prancis, yang memberikan buku The Postman Always Rings Twice kepada Luchino Visconti. Pertemanan Renoir-Visconti dimulai saat Visconti menjadi asisten Renoir, ketika produksi filem Toni (1934) dan A Day in the Country (1936, dirilis pada tahun 1946)1. Pengalaman bersama Renoir inilah yang memberi pengaruh ‘realisme puitik’ ala Perancis yang sangat tergambar dalam teknik pengisahan filem-filemnya. Renoir juga pernah mengadaptasi novel Emile Zola, La Bête Humaine (1890) dengan judul yang sama La Bête Humaine (The Human Beast) pada tahun 1938, yang mengeksplorasi gaya realisme natural ala Zola, yang kemudian juga mempengaruhi Luchino Visconti.
Pertama kali penggunaan istilah Neorealisme, dinyatakan oleh kritikus dan esais Umberto Bararo (1902-1959) pada tahun 1943. Istilah tersebut digunakan Bararo dalam melihat karya para sutradara Prancis di tahun 1930-an, yang lebih dikenal sebagai filem bergaya ‘realisme puitik’. Pada tahun 1945, kritikus Guido Aristaco, memakai istilah sama untuk merujuk karya-karya sutradara Prancis seperti Jean Renoir, Marcel Carne, dan Julien Duvivier. Tidak heran, jika filem Hasrat Nafsu, dianggap tonggak awal dari karya Neorealisme Italia, karena alasan-alasan yang disebutkan di atas. Begitu juga terjadi pada Michelangelo Antonioni (1912-2007 )2 yang tak lepas dari pengaruh Marcel Carne.
Suasana penayangan dan menonton filem Hasrat Nafsu dalam Senin Sinema Dunia di Forum Lenteng.
Hasrat Nafsu (Ossessione) dan Cita-Cita Memanusiakan Sinema
Filem Hasrat Nafsu berkisah tentang Gino Coasta, seorang buruh yang bekerja dengan Giuseppe Bragana, majikannya. Secara diam-diam, ia jatuh cinta dengan istri majikannya, Giovanna, yang merasa tidak bahagia bersuamikan Bragana. Gino berusaha lari dari kenyataan perasaan cintanya dan pergi dari sang majikan untuk melupakan Giovana. Namun, nasib mempertemukan mereka kembali. Perasaan cinta menggebu kembali dalam hati mereka berdua. Gino pun bersekongkol dengan Giovana untuk membunuh sang suami. Sang majikan pun akhirnya tewas. Gino membawa Giovana ke kebebasan. Namun, perasaan bersalah selalu dihantui Gino. Hingga rasa takut dan bersalah itu membawa tragedi; Giovana tewas dalam kecelakaan mobil.
Bila melihat lebih jauh, konflik yang dibangun dalam filem ini yang didasari dorongan alamiah kisah Gino Coasta dan Giovana, merupakan ungkapan politik yang ‘tersirat’ dalam Hasrat Nafsu. Meskipun kematian majikannya, Bragana disebabkan kecelakaan mobil, namun pandangan masyarakat terhadap Gino sebagai pembunuh sang majikan begitu melekat. Hal ini tidak lepas dari latar belakang sosialnya sebagai ‘kelas pekerja’ dan Giuseppe dari ‘kelas majikan’. Justru bukan pihak yang berwenang yaitu kepolisian yang mempengaruhi rasa bersalah dan ketakutan Gino, namun masyarakat dan konstruksi moral sosial lah yang menghujani batinnya.
Pada filem Hasrat Nafsu, kisah cinta dan moral Gino Coasta ini dapat dilihat sebagai pengaruh ‘naturalisme’ Zola, seperti adegan pembunuhan sang majikan. Hasrat nafsu Gino dan Giovana, terjebak dalam belengggu lembaga. Pernikahan Giovana dengan Bragana, tidak lepas dari dorongan ekonomi yang secara kritis dapat dilihat sebagai dilegitimasi oleh lembaga pernikahan. Begitu pula dengan keadaan Gino, rasa bersalah membunuh majikan yang menghimpitnya, menggambarkan bahwa tidak selamanya moral bisa dihapus dengan dorongan-dorongan hasrat alamiah. Hal ini merupakan sebuah cara yang cukup baik dari Visconti dalam memberi gambaran tentang situasi fasisme Italia.
Mengemas kemanusiaan dalam Hasrat Nafsu adalah menciptakan manusia baru yang hidup dalam pergulatan hasrat dan persoalan sosial-politik di sekitarnya. Kisah tragedi Gino dan Giovana, yang berujung pada pelarian mereka dari kejaran pihak kepolisian, atas tuduhan membunuh sang majikan. Namun, Giovana bahagia menjelang akhir kehidupannya, karena ia kembali bersama Gino. Giovana pun sudah mengandung saat pelarian mereka. Gino dan Giovana pun merasa menjadi ‘manusia baru’ dengan cinta dan keluarga, meski menjadi pelarian hukum.
Pengaruh ‘realisme puitik’ dalam filem ini sangat jelas tergambar, seperti; penggunan ambilan gambar dengan durasi panjang, long shot, dan ambilan-ambilan dekat (close up) untuk mempertegas karakter tokoh. Pada adegan Giovana berada di sebuah kafe, memergoki Gino keluar dari sebuah flat (rumah susun), gerakan kamera mengikuti sang tokoh, dan kemudian panning membelakangi Giovana. Begitu juga pada ambilan gambar jauh (long shot) dan panorama, yang kemudian beralih pada penonjolan subyek tertentu. Ambilan gambar dilakukan tanpa pemotongan dalam memiliah latar adegan dan subyek adegan. Teknik ambilan seperti ini kemudian menjadi ‘jantung’ dari filem-filem Neorealisme Italia.
Filem Hasrat Nafsu memberikan sebuah pijakan baru dalam teknik pengisahan filem-filem Italia pada zamannya. Gaya realisme yang ‘diciptakan’, tentu sedikit banyak dipengaruhi oleh Jean Renoir, seperti; penonjolan karakter secara mise-en-scène ketimbang teknis teater atau drama. Kita dapat melihat adegan-adegan yang memanfaatkan latar ruang dapur, meja makan, ruang kafe dan berbagai elemen yang sangat ‘intim’, adalah jejak ‘realisme puitik’ seperti yang dijelaskan di atas.
Seperi disebutkan, cita-cita Visconti terhadap sinema adalah menciptakan ‘manusia baru’. Ia ingin membuat filem di luar studio agar bisa menemukan manusia dengan ‘kemanusiaan’ yang sejati. Visconti menyebut karya-karyanya sebagai ‘Antropomorphic Cinema’. Visconti menghapus dominasi elemen-elemen filem yang cenderung menambahkan sesuatu pada manusia pada filem, sehingga ia berangkat dari karakter-karakter manusia yang otentik. Hasrat Nafsu memang berangkat dari sebuah adaptasi novel, namun tokoh-tokoh Gino Costa, Giuseppe Bragana dan Giovana adalah manusia-manusia yang otentik, yang ada dalam sosial masyarakat di Italia.
Luchino Visconti adalah seorang aristokrat berpaham kiri. Latar belakang pendidikan dan pengaruh tradisi opera yang diwujudkan dalam mise-en-scène, dan meminimalisai drama/teater menjadi ciri realismenya. Jadi, dalam melihat filemnya bukanlah suatu yang banal, apalagi bergaya dokumenteris. Menurut André Bazin, Neorealisme Italia berangkat dari posisi ontologi (realitas) sebelum posisi estetis. Seperti yang diandaikan Visconti dalam ‘Antropomorphic Cinema’.
Tabik.
Hasrat Nafsu (Ossessione), Luchino Visconti, 1943
* Diambil dari judul tulisan Visconti berjudul ‘Antropomorphic Cinema’.
2 Melalui Gabrielle Bonheur ‘Coco’ Chanel, Jean Renoir diperkenalkan kepada Visconti. Renoir aktif di front popular dalam menghadapi situasi fasisme pada kala itu.
3 Di tahun 1942, Antonioni mengasisteni Carne dalam karya The Devil’s Envoy.
[/tab_item]
[tab_item title=”EN”]
(Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item]
[/tab]