Apa yang dibayangkan oleh kita tentang keindonesiaan saat kita membaca sejarah? Banyak cara untuk melihat itu. Abduh Aziz adalah salah satu “orang filem” yang selama ini berpikir kritis dalam menginterpretasi sejarah melalui filem. Pria Betawi yang lahir tahun 1967 ini, menghabiskan masa kecilnya di Pasar Minggu. Pada 1986, ia menempuh pendidikan Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia. Dari sini ia nyemplung ke dunia filem, dan hal ini tidak datang dengan sendirinya. Menurut Abduh, saat kuliah, Ong Hok Ham (almarhum) mempertontonkan Max Havelaar untuk melihat model kolonialisme di Jawa. Dari sini ia katakan bahwa, ini lebih mudah memahami sejarah dari pada hanya membaca buku-buku sejarah. Menurutnya, dari filem bisa jadi acuan untuk membaca konteks sosial dalam sejarah kita. Untuk itulah, ia memulai melakukan riset tentang sejarah filem di Sinematek untuk keperluan penulisan skripsi pada tahun 1990an tentang sejarah di Indonesia. Dari temuan-temuannya saat melakukan penelitian itu, memunculkan pertanyaan: “Kenapa kita tidak bisa bikin filem bagus?”. Dan dalam perjalanannya, ia bertemu dengan Hanny Saputra, Harmantono, dan para pembuat filem dari Institut Kesenian Jakarta. “Ternyata masih ada filem baik di Indonesia,” ungkapnya saat itu.
Abduh Azis saat ini duduk sebagai anggota Komite Filem Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk periode kedua (sejak 2006). Selain aktif di Masyarakat Film Indonesia (MFI) dalam memperjuangkan kebijakan tentang perfileman, Abduh juga aktif di berbagai lembaga swadaya masyarakat dalam kerja-kerja di komunitas. Dalam filem dokumenter terbarunya di tahun 2010, ia berkolaborasi dengan Lasja Fauzia membuat Tjidurian 19 yang bercerita tentang “ruang” masa lalu Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). Selain itu, pria yang terampil saat bicara di depan forum ini, sering menjadi fasilitator dalam workshop-workshop yang diadakan oleh lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat. Ia adalah salah satu inisiator Jakarta International Film Festival (Jiffest). Pada tahun 1998 bersama Shanty Harmayn, Yudi Datau, dan Wisnu Adi, ia mendirikan Salto Production yang sempat memproduksi filem-filem layar lebar dan dokumenter.
Jurnal Footage mendapat kesempatan untuk berbicara dengan tokoh ini pada 5 Maret 2010 di ruang kerjanya, kantor Dewan Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Hadir pada waktu itu, Hafiz (Pemimpin Redaksi), Akbar Yumni (Editor) dan Syaiful Anwar yang merekam diskusi ini dengan kamera video. Dengan senang hati, Jurnal Footage menghadirikan wawancara dengan Abduh Aziz untuk melihat bagaimana pikiran kritisnya dalam melihat dunia perfileman kita.
Hafiz: Ada gak sih filem-filem Indonesia yang baik?
Abduh: Ya, pastinya kan terkait dengan disiplin ilmu gue waktu itu. Kalau bicara sejarah filem Indonesia mulai dari 1926, gue pikir itu ambisius. Karena kita gak melihat jejak. Kecuali yang main orang Indonesia, pakaiannya pake pakaian Indonesia, dan segala macam. Tapi bahwa filem Indonesia telah lahir (1926—red)? Gue rasa masih jadi pertanyaan besar lah. Tapi gue gak ngelihat itunya. Tetapi ketika setelah jaman Jepang, itu baru ada usaha yang dimulai dari Usmar Ismail dan kawan-kawan. Buat gue sebenarnya ada filem-filem Indonesia yang baik pada saat lahir. Ada satu makalah gue soal filem Darah dan Doa (dari Usmar Ismail—red). Gue ingat betul, ketika kita bicara revolusi Indonesia, kalau kita belajar disiplin sejarah, kita gak pernah paham kenapa terjadi peristiwa Madiun (1949) dan implikasinya pada tingkatan yang paling bawah. Nah, baru bisa melihat itu dengan baik, mempunyai imajinasi, setelah gue menonton film Usmar. Ada salah satu adegan yang menarik, yang buat gue luar biasa sekali. Dalam situasi revolusi—situasi yang serba tidak menentu, dimana semua orang punyai nilai, punya kebenarannya sendiri—bentrokan, dan akhirnya terjadi konflik horizontal itu sangat mungkin. Ada satu adegan menarik ketika salah satu tokohnya diminta untuk mengeksekusi. Gue lupa tokohnya siapa. Malam dia termenung, merokok, kemudian dia ditanya: “Wah, itu kehormatan besar kalau diminta untuk mengeksekusi”. Jawabannya sederhana: “Ya, tapi yang akan dieksekusi adalah bapak saya sendiri”. Itu luar biasa sekali untuk membayangkan Madiun, bagaimana bisa terjadi semacam itu. Dan studi sejarah tidak bisa masuk pada tingkatan itu. Pada tingkat psikologi, konflik yang internal sifatnya, itu gak bisa. Tapi Usmar bisa ngegambarin itu. Dari situ gue tertarik menonton karya Usmar yang lain; Tamu Agung, Krisis. Belakangan, ketemu filem-filemnya Sjuman (Sjumandjaja—red). Sjuman ini juga menarik. Contoh soal misalnya, sulit sekali ketika kita ngerumusin keindonesiaan dalam filem Indonesia seperti apa sih? Artinya, kalau gue sih rumusannya sederhana, kalau dia bisa menggambarkan realitas sampai darah sampai bau dan sampai kenyataan sesungguhnya. Film Si Doel Anak Modern menarik luar biasa. Seperti ketika Benyamin S. dibikinkan kartu nama oleh Farouk Afero, Benyamin marah ketika kartu namanya tertera “Drs. Benyamin”. Dia maunya Habib. Di situ gue bilang, gila! Pendalaman-pendalaman Sjuman terhadap sosiologi etnis Betawi itu luar biasa. Buat orang Betawi, gak penting gelar itu. Habib, Haji jauh lebih penting. Nah, ini yang gue bilang pencarian ini kan masih terus jalan. Walaupun secara proses pendekatan beberapa filem masih sangat Eropa (Eropa Timur). Tapi ada upaya-upaya pencarian itu jalan terus. Nah, dengan bekal nonton filem-filem bagus seperti itu, tahun 1990an gue bikin skripsi. Gue bingung sendiri, kok gak ada filem-filem semacam itu? Dari membaca tanda-tanda sejarah, juga memang jejaknya luar biasa gue pikir. Ini juga yang sering luput dari studi sejarah ketika ngomongin era Indonesia modern. Bioskop gak pernah di bicarakan, sebagai institusi yang juga ikut memberikan warna. Orang tertumpu pada pers dan surat kabar, sastra picisan, serta kereta api. Tapi bioskop sebagai institusi tidak pernah disentuh. Sehingga terbayang sekali ketika ada perdebatan filem ordonansi 1926, hal itu kan gak pernah dibicarakan. Jelas, kalau kita membaca ordonansi filem itu kan ada kekhawatiran pemerintah kolonial bahwa filem membawa efek buruk pada negara jajahan. Dengan memperlihatkan moral bangsa kulit putih yang tidak beres. Itu gak pernah jadi studi yang didalami lebih jauh, bahwa jangan-jangan itu juga punya pengaruh pada lahirnya bibit-bibit nasionalisme.
Hafiz: Dari contoh yang lu sebut tadi itu kan sejarah yang interpretatif. Lu percaya pada itu?
Abduh: Ya. Karena pada akhirnya sejarah memang interpretatif. Ada idiom yang bilang, “setiap generasi menulis sejarahnya sendiri”. Berbekal fakta-fakta dia menginterpretasikan sendiri. Jadi sifatnya selalu dinamis. Jadi gue kira kekayaan dari filem ini adalah tidak membuka pada pertambahan nilai. Adanya fakta-fakta baru, kenyataan-kenyataan baru, juga cara memandang satu soal. Sama dengan sastra, puisi, filem. Fungsinya di situ dengan kekuatan audio visualnya jauh lebih kuat, gue kira. Jadi serunya di sini. Sehingga menarik dalam proses keindonesiaan, dapat dibayangkan sekian banyak interpretasi yang akan dilahirkan, diskusi, juga pemahaman baru kita pada hal-hal yang sifatnya tidak pernah dijadikan penekanan pada buku teks.
Hafiz: Ketika tahun 1990an, lu melihat filem kita dekaden? Ketika bertemu dengan kawan dari IKJ, lu berpikir masih ada. Apa sih yang membuat energi filem itu menjadi pilihan?
Abduh: Pertama, ini mungkin medium baru. Medium baru buat anak muda kayak gue waktu itu. Yaitu medium yang memberikan keleluasaan yang itu mungkin dilakukan. Dan juga jauh lebih mudah mempengaruhi orang melalui medium itu. Kedua, memang ada kemiskinan gagasan. Teman-teman yang baru gue temuin memiliki kemampuan teknis visual yang luar biasa yang selama ini gak gue bayangkan. Ini menarik kalau menjadi pekerjaan yang multi disiplin. itu yang gue pikir kenapa tertarik. Ah… gue bisa kok mengisi di sini. Gue gak punya kemampuan teknis. Tapi gue punya kemampuan lain yang gue isi. Jadi, kita tidak hanya melihat filem itu hanya dunia perasaan saja, atau dunia imajinasi. Itu kan kelemahan-kelemahannya. Dari filem-filem pendek yang gue saksikan itu, karya mereka sangat bicara dunia internalnya sendiri. Sepertinya, gak ada masalah di luar. Seperti tema orang tua yang gak setuju dengan pilihan hidup anaknya dan lain sebagainya. Sementara studi gue di sejarah. Melihat bahwa ada dinamika dalam sejarah itu yang sebenarnya tidak tunggal faktornya. Misalnya, tidak hanya karena tiba-tiba Soekarno lahir karena dia idealis dan kemudiaan menjadi pemimpin bangsa. Ini yang kemudian menarik melihat bagaimana kehidupan itu bergerak, penuh misteri, dan tiba-tiba menjadi sesuatu yang tidak terduga sebelumnya. Ini yang kemudian gue pikir mungkin eksplorasinya harus diterusin. Ya, gue mulai dari riset waktu itu. Gue inget banget jadi membantu teman-teman untuk riset. Bantu riset di mana-mana tanpa punya pengalaman teknis filem, tapi melihat bahwa “ini medium masa depan yang bisa punya kemungkinan didengar atau dilihat banyak orang”.
Hafiz: Tadi lu bilang multi disiplin. Ada ruang-ruang yang tidak terisi. Hanya satu ruang yang kita isi. Pengandaian yang bagaimana sebenarnya filem yang ideal? Karena gue melihat filem-filem Usmar, Sjuman atau para founding fathers itu, ada persoalan sejarah, sosiologis, antropologis, persoalan yang kait-mengkait, walaupun ada bungkus romantisme. Sebenarnya problem apa yang terjadi di kita ketika tahun 1990an itu, lu lihat gak ada filem-filem atau gak ada pembuat filem yang baik?
Abduh: Ya secara historis memang terkesan instan masuknya, dalam pengertian diadopsinya medium ini. Dia tidak lahir dari ekstensi kesenian lokal. Itu yang pertama gue lihat. Dia memang diadopsi begitu saja. Fotografi itu berjarak banget sama kita. Itu kan menariknya. Misalnya kalau kata Shiraishi (Takeshi Shiraishi—red) ngomong misalnya, sama ketika kereta api kan. Begitu kereta masuk, orang melihat di balik jendela kaca. Tiba-tiba orang-orang berjarak dengan sekitarnya. Individu berjarak, yang sebenarnya dalam kosmologi Jawa itu kan gak ada. Ia menyatu. Nah, filem kan sebenarnya sama analoginya. Ada kegagapan soal itu.
Hafiz: Kenapa?
Abduh: Sesuatu yang baru pasti membawa kegagapan. Nah, yang gue gak ngerti, ini berkelanjutan. Harusnya kan secara historis ini kan berkembang. Ini repetisi terus. Gagapnya gak hilang-hilang. Atau gagal terapisnya. Belakangan memang gue lihat lebih banyak bagaimana memahami filem itu sendiri. Jadi, kalau dari sejarah sinema sendiri, begitu filem masuk ada teknologi, yang kemudian dicoba dijinakkan, lalu melanjutkan tradisi teater, tradisi sastra, ini gak terjadi disini. Di sini hanya melihat filem sebagai produk yang menarik begitu saja. Katakanlah hiburan begitu. Tapi tidak melihat bagaimana luar biasanya potensi filem ini. Gue melihatnya temen-temen lebih banyak ngomongin, “menarik ya menjadi pembuat filem, keren, dan ada teknologi baru yang dikuasai”. Kemudian, dia bisa tampil di publik. Tetapi tidak berangkat dari “sesuatu” yang memang ingin gue katakan, gue sampaikan dan yang selalu gue persoalkan. Dan gue meminjam medium filem untuk itu. Lacked-nya di situ.
Hafiz: Kita melihat karya-karya Pak Djaja (Djadoeg Djajakusuma–red), tentu ada problem gagap teknologi tadi. Tapi, mereka mampu mengatasi pada karya-karyanya. Kenapa ada gap besar di tahun1990an? Apa mereka tidak bisa membaca sejarah? Bahwa filem punya fungsi historis, membaca manusia dan bangsa ini. Gue melihat karya Usmar dan Djaja sangat jeli membaca sejarah itu. Secara antropologis sangat detail. Atau pada karya-karya Teguh Karya, kita bisa membaca artefak-artefak Jakarta atau artefak paska kolonial.
Abduh: Terbalik. Karena generasi itu adalah generasi yang mendalami dulu persoalan-persoalan sosial budayanya, lalu berkenalan dengan medium. Kalau tahun 1990an sudah ada industri, tahun 1980an kan booming. Ada pop star dan segala macam. Ada tarik-menarik soal itu. Gue pikir, sistem pendidikan di sekolah filem waktu itu tidak menyediakan ruang eksplorasi untuk memperkenalkan lebih dahulu pada basis pengetahuan atau wilayah kultural tadi, tapi langsung pada mediumnya. Nah, itu jadi soal ketika dia berkenalan dengan kamera, yang dilakukan adalah menduplikasi pada apa yang dilakukan filem-filem yang lain. Lu lihat Pak Djaja. Kalau kita lihat (filem) Pak Djaja itu kan raw (mentah) banget. Mentah gitu loh. Tapi di situ ada otentisitas yang luar biasa. Karena dia memahami apa yang mau disampein. Itu yang gue pikir sampai sekarang pun jadi soal. Tambah parah lagi ketika teknologi semakin memudahkan semuanya. Dan kesempatan-kesempatan “tampil” makin banyak.
Akbar: Filem dokumenter Indonesia pertama yang lu tonton apa?
Abduh: Gue gak pernah tertarik pada filem dokumenter sampai tahun 1998. Selalu di kepala gue filem fiksi. Itu kenapa gue lebih banyak terlibat dengan filem-filem fiksi seperti dengan Garin (Garin Nugroho), Hani (Hani Saputra), Ravi (Ravi Bharwani), Armantono dan segala macam. Malah ada semacam image yang tertanam kuat banget itu; filem tentang penyuluhan. Karena filem dokumenter yang gue saksikan di TVRI. Pada 1998, Shanty Harmayn pulang dari Stanford University, baru ambil S2 dalam dokumenter. Suatu ketika kita ngobrol di Salto—waktu itu kita bikin Salto bersama Yudi Datau dan Wisnu Adi—Shanty memutarkan Taxicab Confession (Produksi HBO 1995—red). Filem itu pernah mendapatkan Oscar (yang benar Emmy Award untuk Outstanding Information Special 1995—red) tahun berapa gue lupa. Gue kaget sendiri. Gila, ya! Bisa menarik. Itu cerita tentang taksi yang… gimana sih, kisah orang yang naik taksi di New York? Ada orang yang membunuh. Ada orang yang merasa dirinya Yesus. Ada yang flirting. Ada macam-macam. Tiba-tiba gue melihat New York yang berbeda di situ. Gue tanya, “Shan, ini dokumenter?”, pertanyaan gue begitu. “Iya, ini dokumenter!” Baru di situ kepikir dokumenter bisa menarik, ya? Itu filem yang membekas sekali sama gue, Taxicab Confession. Artinya, bahwa ada ruang-ruang yang selama ini tidak bisa dijelaskan. Bisa dijelaskan, walaupun secara teknis memang rumit filem itu. Nah, dari situ baru menonton lebih banyak lagi filem. Shanty kebetulan membawa banyak VHS (kaset Video Home Sytem–red). Kita menonton dan banyak sekali diskusi. Pertanyaannya waktu itu, kalau dokumenter Indonesia kayak apa selain TVRI? Baru kemudian cari-cari filem Garin dan filem-filem yang menang FFI (Festival Film Indonesia) waktu dulu. Ada filem Tanah Harapan (nya) Garin. Garin juga mencoba dengan cara itu (dokumenter—red), Tapi menurut gue waktu itu, karena perbandingannya dengan filem luar, Garin masih sangat fiksi menurut gue. Itu kenapa Garin sendiri tidak berani menyebutnya dokumenter, tapi dokudrama dia bilang. Nah, belajar otodidak sendiri, akhirnya terpikir apa gak mungkin kita bikin yang kayak gini? Sementara, waktu itu industri filem sedang hancur banget dari sebelum 1998. Tahun 1998 itu kan waktu krisis. Kita punya waktu mewah untuk menonton, berdiskusi, ngobrol dan gak ngapa-ngapain.
Akbar: Terus, persoalan bahwa para sutradara tidak menguasai wilayah kultural tadi, perkembangan filem dokumenter di Indonesia itu bagaimana?
Abduh: Karena perkembangan filem genre sudah sungguh sangat luar bisa, menurut gue malah pada genre dokumenter ini kebutuhannya jauh lebih besar lagi untuk memahami wilayah kultural. Itu lebih parah lagi. Karena problemnya kan begini, filem dokumentar mengenai Vietnam itu ratusan. Tetapi bisa menghasilkan filem tentang Vietnam yang relevan dengan konteks kekinian Itu butuh kemampuan membaca yang jauh lebih dalam lagi mengenai; satu, mengenai materinya sendiri; dua, masalah kekiniannya. Kenapa filem ini harus gue buat dan penting untuk disaksikan oleh orang lain? Ini problem sekarang ketika filem dokumenter di Indonesia sudah mulai marak. Kelihatan sekali gagapnya di situ. Jadi, bukan sekedar menghadirkan fakta-fakta, balik lagi pada penjelasan pertanyaan Hafiz soal interpretatif tadi. Bukan menghadirkan fakta-fakta baru, atau hal-hal yang selama ini gak diperhatikan. Tapi interpretasi terhadap realitas itu jauh lebih penting sekarang. Balik-balik kalau dokumenter kita sekarang, ya…udah, “sindrom korban!” tentang pelanggaran HAM di sini. Melarat-larat segala macem. Ini luar biasa. Tetapi ketika di suatu kesempatan di filem festival internasional, gue kenal term “personal documentary”, gue kaget lagi. Filemnya sederhana yaitu tentang perempuan yang baru keguguran. Dia cuma bikin pakai kamera kecil. Ruang-ruang kamarnya aja. Dan dia cerita apa arti keguguran buat dia, ini kehilangan atau kelegaan?. Hanya main detail ruang kamar itu. Tiba-tiba kita masuk ke ruang kemanusiaan yang selama ini tidak bisa kita masukin. Tentang psikologis perempuan yang baru keguguran. Dan gue rasa kalau memang tema besar dokumenter sebenarnya menyumbang pada kesadaran kolektif atau pengalaman kolektif pada publiknya, model-model seperti ini kan memperkaya. Ketimbang main pada arus utama, topik-topik besar, tapi tidak menyumbang apa-apa. Hanya sekedar mengulangi apa yang sudah dikatakan oleh banyak orang. Itu gue kaget sendiri waktu itu. Jadi, penguasaan pada wilayah kultural, sosiologis, psikologis, ini yang jauh lebih problem di dokumenter. Karena pada akhirnya dia harus bisa menyumbang pada sesuatu pada pengalaman kolektif masyarakat. Tantangan kedepannya seperti itu menurut gue..
Hafiz: Apa seperti itu juga yang lu lihat di Eagle Award?
Abduh: Gue akui, pernah pada suatu masa gue juga pada tahap itu. Belakangan memang baik Eagle Award dan lainnya, itu yang sangat senjang sekali. Kita tidak bisa berharap ada suatu perkembangan style atau approach walau melihat persoalan baru. Selama tidak selesai penguasaan wilayah kultural, yang ada adalah pengulangan. Apa lagi diperburuk oleh sistem arsip kita. Bagaimana menggambarkan masa 1965? Menggambarkan masa 1945? Tapi pemahaman dan punya basic antropologi, sosiologi, dia banyak kemungkinan untuk mendekati isu-isu itu dengan cara yang kontemporer, menurut gue begitu. Dan susah jadinya, ketika ya… gue terlibat di Eagle Award ketika pada session development script. Itu sulit sekali ngajak naik ke arah situ. OK, ada (contoh) misalnya; ada (tema) kelompok fitness di gang buntu. Tapi apa yang bisa kita lihat di sini? “Wah mereka kreatif mas!”, ingin menjadi kelas menengah. Ada fitness gym. Mereka gak mampu, tapi bikin di gang buntu. OK, interesting, tapi apa di balik itu? Ada soal apa mereka ingin punya badan bagus? Pengen punya otot yang besar seperti yang ada di gambar-gambar? Sulit untuk bisa ngajak mereka memasuki ruang itu (kultural—red). Ada soal media, soal pencitraan, dan ada soal dunia patriarki yang juga bermain di situ. Sulit untuk bisa mereka melihat soal itu. “Emang kenapa sih kalau badannya gede?” Gak muncul pertanyaan di dalam filem itu. Sehingga, selalu saja akhirnya yang terjadi adalah dokumenter deskripsi. Deskripsi mengenai ruang, deskripsi mengenai person, persoalan. Tapi point of view apa yang baru disitu, kita gak bisa lihat. Berbahaya jatuhnya ke eksotisme kan? Begitu eksotisme, lagi-lagi kita sebenarnya mengkhianati fitrah kenapa filem dokumenter itu tetap relevan sampai saat ini?
Akbar: Berkaitan dengan Eagle Award tadi, apa yang membedakan antara dokumenter dan jurnalisme TV? Karena sekilas yang gue lihat gak jauh beda.
Abduh: Itu benar. Ketika kita ngomong perkembangan filem dokumenter yang sekarang, memang tidak jauh dengan jurnalisme. Karena depth-nya itu sama, kan? Kalau ngomong soal dokumenter, soal deep dan distance. Semakin lu bisa kikis distance, semakin baik. Itu kenapa lahir direct cinema. Itu kenapa lahir cinema vérité. Depth-nya cuma pada kulit itu. Tapi gimana dia itu bisa punya pisau analisa untuk bisa mengiris sampai ke dalam, kalau dia sendiri gak siap dengan itu? Apa yang bisa kita pelajari dari serombongan kuli-kuli di Semarang, di gang buntu yang pengen jadi Mister Indonesia yang gagah? Gak punya itu. Akhirnya balik ke lucu aja. Di permukaan saja. Artifisial banget. Nah, terakhir gue kolaborasi sama Lasja (Lasja Fauzia–red) bikin filem Tjidurian 19. Persoalannya juga begitu, arsip gak ada. Ini bercerita mengenai Sanggar Lekra. Orang kalau ngomongin Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat), stigma. Orang kalau bicara namanya PKI (Partai Komunis Indonesia), semua orang ngerti komunisme. Semuanya pernah baca Das Kapital dan segala macam. Dari riset gue lihat, ini ada yang… gue gak mau ngomongin PKI. Gue gak mau ngomongin Lekra. Gue mau ngomongin pengalaman orang-orang terhadap sebuah ruang tertentu—dalam hal ini alamat Lekra adalah Tjidurian 19. Memang sangat verbal, testimoni. Tetapi, kemungkinan bahwa kita tidak mau ngomongin topik, apakah Lekra itu PKI apa tidak. Atau ada desain mengenai G30S, gak penting bagi gue waktu itu. Karena menarik buat gue mengetahui pengalaman. Pengalaman dari person-person ini pada suatu masa dan pada suatu tempat. Dan ini gue pikir mudah-mudahan bisa membantu orang memahami masa itu dengan lebih jernih.
Hafiz: Terus bagaimana cara orang-orang untuk bisa menginterpretasi ruang itu? Cara lu bagaimana? Gue balik ke dokumenter tadi. Gue punya pengalaman dengan seseorang dalam dokumenter. Cukup terkaget-kaget caranya. Dia pengen membayangkan sesuatu. Mengandaikan sesuatu. Si sutradara ini meng-create sebuah imaji. Tiba-tiba dia dateng ke rumah-rumah orang-orang. Kemudian dia bilang, “Saya mau mencari sebuah rumah warna kuning”. Di daerah itu gak ada rumah warna kuning. Orang-orang mulai menginterpretasi. “Rumah kuning yang mana?” Padahal itu cuma pembangunan image dari sang sutradara buat pisau yang lu maksud tadi. Buat lu sendiri bagaimana?
Abduh: Ya, karena ini isu berat soal masa itu, gue gak akan bicara pada tataran pengetahuan mereka mengenai masa itu. Tapi lebih pada pengalaman kecil-kecil. Bagaimana sih hubungan mereka dengan ini? Bagaimana hubungan lu dengan ini? Dan agak eksperimental ketika wawancara gue lakukan secara bergantian di dalam satu ruang. Dan mereka berteman sejak lama.
Hafiz: Kenapa harus bergantian wawancara?
Abduh: Gue pengen nyiptain atmosfir ruangan yang sama lagi. Mereka pernah pada satu ruangan yang sama, berteman, dan praktis aja. Gue berharap ada yang ngomong yang salah dan dibantah sama yang lain. Jadi, dynamic-nya muncul gitu. Sampai di situ. Tapi yang lu ceritain itu lebih gila, lebih sinting. Tidak ada barangnya dia bawa ke situ, kemudian menstimulasi pengalaman yang selama ini mungkin sembunyi naik ke atas. Memang ada soal kesabaran kalau dengan metode-metode semacam itu. Gue rasa itu juga soal perkembangan dokumenter di kita. Jadi tidak sabar. Dan teknik interviewnya itu, bener… (merujuk pertanyaan Akbar–red), teknik jurnalis. Jadi gak ada satu ruang… yang biasanya si pembuat filem itu ngasih subyeknya bounding dulu—masuk dari omongan yang remeh-temeh dan segala macam. Jadinya ya,… akhirnya orang semua menjawab yang sebenarnya… udah tahu jawabannya.
Hafiz: Estetika film apa yang lu percaya?
Abduh: Hah…, belakangan berubah. Pemahaman gue mengenai estetika, apalagi setelah nyemplung ke dokumenter ini. Sebenarnya estetika hadir dengan sendirinya, Fiz.
Hafiz: Di wilayah ide atau form (bentuk)?
Abduh: Sampai pada tingkat praktis. Banyak di antara para pembuat filem sebelum membuat filem sudah membayangkan style filem gue akan kayak begini. Form-nya kayak gini. Dan komposisinya kaya gini. Tetapi, belakangan begitu pengalaman gue di dokumenter, ah.., udah lah… tiba-tiba dia disediakan saja oleh kejadian dan oleh proses. Memang butuh kesabaran. Butuh waktu. Tapi ini kan memang ada banyak aspek. Kadang juga waktu itu kan artinya cost. Beberapa pembuat filem terengah-engah bukannya karena mereka gak sabar. Soal non teknis lah, seperti itu.
Hafiz: Kalau kata Herzog (Werner Herzog), kan membuat dokumenter itu, dari muncul ide sampai dia menjadi, adalah kejutan. Sebenarnya kejutan apa sih itu? Pada level apa kejutan-kejutan itu terjadi? Maksud gue, ketika muncul ide, di lapangan, ekstase-nya apa?
Abduh: Kalau gue pribadi sih, ketika berhadapan dengan… Ini sama sebenarnya sama pengalamannya. Begitu kita pengolah, terus turun ke lapangan, shooting, kita punya ekspektasi. Kita punya bayangan. Tapi begitu dibalikkan itu semua, di situ orgasme-nya sebenarnya. Sebuah, dan kita sampai pada tingkat: “Ternyata gue sangat… ini… pretensius”. Makanya kejujuran menjadi penting dalam dokumenter. Kejujuran menjadi penting, ketika kita ditabok oleh kenyataan itu sendiri, di situ luar biasanya. Hal yang tidak terduga. Kemarin gue habis shooting di Aceh. Tema nya “Perempuan dan Syariah”. Nah, ini serem. Iseng aja sebenarnya. Karena gue ingin tahu. Kita punya frame, “Ah nanti bayangan kita, polisi syariah akan ngomong begini dan begini”. Tengah malam gue membikin surprise. Jam 11 malam gue masuk markas WH (Wilayatul Hisbah, polisi syariah di Aceh–red). Ngomong sama komandannya dan segala macam. Dan gue kaget sendiri dan ternyata sama aja. Sama juga bingungnya mereka, “kenapa tiba-tiba ada syariah di Aceh?”. Jadi kaget sendiri. Wah, ternyata… media saja yang membuat bahwa… ”wah fundamentalisme dan segala macem sangat mengkhawatirkan”. Begitu sampai pada satu titik, nggak! Ternyata kita harus bertanya lagi, apa sih yang menggerakkan ini semua? Orang-orang yang di bawah aja bingung dan ulamanya juga bingung. Nah, kejutan-kejutan kayak gitu yang bikin, ih…, ternyata masih banyak hal yang belum berhasil kita cari jawabannya.
Akbar: Gue pengen tahu juga sebenarnya definisi video komunitas itu apa?
Abduh: Ya… ini gila ini. Jawabannya panjang. Video komunitas sebenarnya ketika video digunakan dalam proses-proses pengembangan di dalam masyarakat. Pengertiannya, video ini sebagai tools. Selama ini kan, gue sih menyimpulkan sendiri ya. Dalam proses-proses pendampingan komunitas atau masyarakat, sulit sekali untuk mengajak masyarakat untuk melakukan refleksi terhadap hidupnya. Ini ada teknologi baru namanya video. Lebih memudahkan orang untuk melihat. Orang sekali lagi, diajak berjarak. Berjarak dengan hidupnya itu kan luxurious (mewah). Apalagi untuk orang-orang bawah, dia gak punya waktu untuk itu. Dia tidak punya kemampuan untuk melakukan itu. Karena hari-harinya udah berat dengan kerja, kerja, kerja untuk survive saja sebenarnya. Nah, dalam proses pendampingan itu, kelihatan sekali, walaupun ide-ide ini muncul di Amerika Latin, Amerika Serikat, India, sebenarnya dasarnya itu. Video dijadikan alat refleksi untuk melihat, untuk menilai hidupnya. Dari situ, syukur-syukur muncul diskusi di antara mereka untuk memecahkan masalah mereka sendiri. Nah, belakangan kan jadi lain. Eksotisme baru lagi muncul. Ketika, “ih… keren ya… ketika petani bisa bikin filem, buruh bisa bikin filem”, itu satu. Kedua, “ih…ini gambar yang tidak pernah kita dapat selama ini”. Dan gagasan dasarnya malah hilang. Orientasinya belakangan malah pada produknya sebenarnya. Bukan pada prosesnya. Itu yang gue lihat. Orang sering lupa, apa sih kegunaan video dalam komunitas? Dia alat refleksi! Orang melihat lagi, “… oh iya…ternyata begini ya…hidup saya”.
Hafiz: Lu kan bekerja di komunitas juga. Sebenarnya apa sih yang lu temukan dalam konteks refleksi tadi?
Abduh: Kasus di Wakatobi. Gue lupa tahun berapa. Ada satu ibu yang hanya mendokumentasikan anak-anaknya yang jajan. Jadi kan… kalau anak kecil jajan… snack dan segala macam, dia cuma nongkrong aja di warung. Di satu warung. Siapa saja yang jajan di situ, tetangga-tetangganya sendiri, berapa kali anak itu balik. Dan kemudian dia mikir sendiri, kalau 1 Chiki (merek makanan ringan–red) saja dua ratus perak, sehari beberapa kali?. Dikali berapa anak dalam 1 bulan. Mereka kaget sendiri. Berapa duit dihabiskan untuk itu? Nah, dalam proses diskusinya memang harus ada kemampuan dari si fasilitator untuk men-drives itu. Artinya apa? Kemudian ditanyakan kemana sih panganan kecil yang selama ini kita punya? Misalnya, kalau di Jawa dijawab dengan singkong goreng, dan makanan kecil yang dibuat sendiri. Angkanya fantastis. Untuk sebulan, di sebuah desa kecil di Wakatobi itu hampir 12 juta rupiah (per) anak kecil menghabiskan uang di situ. Dan itu kan sulit sekali kalau tidak diperlihatkan. Memang panjang, siapa saja seharian bolak-balik, bosan melihatnya. Tapi itu berhasil. Yang kedua, misalnya di desa nelayan di daerah Sulawesi juga. Itu hanya ngeliatin, ngikutin, bagaimana sih jadi ibu rumah tangga di sebuah desa nelayan? Seharian aja. Dari situ kelihatan bapak-bapaknya yang nonton, “gila ya… gue cuma ke laut, istri gue ke ini, ini, ini,…” Dari situ diskusi pembagian peran, gender dan segala macam. Jadi, ini jauh lebih efektif. Makanya terkait sekali kalau video komunitas kemudian harus punya kejelasan mengenai perubahan sosial apa yang diinginkan. Karena memang lupa itu. Ya, di beberapa teman, ya oke, ini buat remaja. Pada tingkat komunitasnya perubahan sosial apa yang terjadi setelah video masuk? Itu selalu gagal dijawab. Di beberapa tempat jadi video manten akhirnya, kan? Ya… bagus juga sih jadi lapangan pekerjaan baru. Tapi video sebagai alat refleksi gak pernah bisa berkembang. Mungkin terlalu jauh kalau ngomongin soal, ini sebagai alat untuk melakukan advokasi kebijakan. Gue pikir nonsense sekali! Yang dibikin oleh profesional aja gak ditonton. Apalagi yang dibikin oleh komunitas. Tapi mungkin pada tingkat grass roots sendiri mereka punya ruang. Bagaimana mereka bisa melihat hidupnya. Mereka bisa mengevaluasi hidupnya. Mereka bisa mencari jalan keluar terhadap masalahnya. Itu!
Akbar: Terus, respon kamera sebagai alat refleksi terhadap masyarakat sendiri bagaimana?
Abduh: Yang menarik di Bali. Itu anak muda. Pernah diputar di acaranya Ruru (ruangrupa–red). Anak muda mabok-mabokan di Bali. Isinya orang-orang minum aja. Mabok, trek-trekan dan segala macem. Diputar di kampung itu. “Wah bukan, ini bukan di kampung kita.” katanya begitu. Begitu anaknya muncul sendiri, dia kaget dan ribut. Ribut sekali. Marah, caci maki, dan segala macem. Memang butuh waktu untuk meredakan itu. Tapi itu sebagai alat provokasi yang luar biasa. Kemudian, orang tua itu juga disadarkan. Ini bukan fenomena di luar kampung lu. Ini kampung lu kok. Itu anak lu di situ. Dari situ pertanyaannya kemudian dinaikan levelnya, “kenapa”? Belakangan, si anak yang membuat video ini tadinya dimusuhin oleh kepala desanya. Tapi sekarang mulai baik lagi. Dan kemudian mereka memimpin Karang Taruna-nya. Itu lucu. Artinya kemampuan vivid ini penting gitu loh. Di situ ada evidence. Ada bukti. Direct. Yang penting kan sebenarnya, alat refleksi yang paling manjur kan, orang dihadirkan dengan bukti-bukti. Kalau bukti disampaikan secara lisan kan orang bisa bohong. Tapi begitu visual, ya selesai. Itu cuma 8 menit isinya cuma orang mabuk aja tuh. Nyanyi-nyanyi, dan mabuk. Dia tahan kamera lama, kemudia dia tarik pelan-pelan (zoom out), ada plang nama desanya.
Hafiz: Bagi lu, penggunaan dokumenter dan video di dalam gerakan sosial sebenarnya punya peran besar gak sih? Sepengalaman lu misalnya pada tahun 1998 dan dengan perubahan sosial sekarang?
Abduh: Pasti ada ya. Dulu kita sulit sekali bicara pelanggaran HAM. Kasus-kasus soal perusakan hutan di suatu daerah. Sekarang jauh bisa lebih ngangkat isu. Tapi kan gerakan sosial tidak berhenti pada isunya marak dibicarakan. Tapi ada impact balik pada pendidikan publik sendiri. Itu yang jadi kegelisahan gue sekarang. Bagaimana kita bisa sampai pada tahap itu. Dokumenter bisa ngomong pada… katakanlah sekarang ketika politik kayak gini. Ketika kepastian hidup juga gak ada. Bisa gak sebuah filem membuat sesuatu yang lebih menginspirasi, melihat kenyataan-kenyataan di tengah banyak isu yang gak jelas ini. Kalo gak, beban dokumenter menambah isu yang sudah ada di ruang publik. Nambah ruwet, gitu loh.
Hafiz: Nambah pamflet ya?
Abduh: Nambah pamflet! Pusing kita dibuatnya. Tapi bagaimana dia bisa langsung ngomongin sesuatu yang publik bisa belajar, belajar dalam pengertian bukan didaktik.
Hafiz: Reflektif gitu bukan?
Abduh: Iya, reflektif. Itu yang gue rasain sekarang.
Hafiz: Gue membayangkan kalau membuat dokumenter sebenarnya seperti membuat fiksi. Seperti yang dikatakan Herzog tadi, setiap langkah dalam dokumenter seperti ide saja adalah kejutan. Tapi bagi gue, kejutan itu adalah fiksi. Karena ada ekstase yang di luar realitas. Ketika muncul ide itu di luar realitas sebenarnya. Karena dia ada di dalam diri gue. Terus ketika gue menuliskannya menjadi skrip atau gue langsung jalan di lapangan itu, kepala gue di luar realitas. Tetapi kepala gue di dalam realitas itu. Maka itu ekstase itu bisa muncul. Gue percaya lu biasa mengalami itu. Apakah orang-orang yang lu temukan misalnya, kawan-kawan kita, dalam membuat dokumenter atau membuat fiksi mengalami ekstase-ekstase yang seperti itu? Misalnya kalau gue ke daerah-daerah, ada ekstase-ektase yang disebutkan Herzog tadi. Ya, modernis banget lah.
Abduh: Ya, ini problem besar. Sekali lagi di dalam dokumenter. Fiksi sih belakangan. Gue gak terlalu ngikutin. Tapi belakangan ini gue masuk lagi dalam produksi fiksi. Dalam dokumenter memang drive pertamanya adalah eksotisme melihat realitas. Ini kentara sekali ketika proses filem Pertaruhan. Jadi ketika membayangkan pelacuran, stereotype yang muncul. Ketika membayangkan pekerja imigran, juga streotype. Tapi kan kita juga gak boleh gak adil kan? Bahwa tahapnya memang baru sampai situ. Memang perlu ada semacam stimulasi terus, drive terus. Kalau gue metodenya sederhana. Kayak dia punya eksotisme, oke. Sekarang datang aja ke tempat pelacuran. Lu gak usah bawa kamera. Lu gak usah bawa apa. Lu duduk seharian. Gak usah nyatet. Dan ternyata ini efektif. Untuk yang lu bilang tadi. Tiba-tiba mereka muncul ide. Ektase dari apa yang mereka bayangkan sebelumnya. Nah, sayangnya ini tidak rata. Ada yang berhasil, ada juga yang keukeuh (kuat pendirian–red). Kalau yang tidak berhasil, menurut gue memang hegemoni mindset-nya memang sudah luar biasa. Itu gak bisa dirubah. Jadi memang itu aja yang dijalankan. Di sini mungkin kita bicara soal daya kritis. Dia produk sistem pendidikan yang seperti apa dan itu gak bisa dipersalahkan pada individu yang kayak itu. Dan ini juga memang sudah salah kaprah. Tapi, beberapa jadi luar biasa. Ketika mereka “ketemu”, ternyata yang namanya pelacur itu tidak mesti cantik, seksi, tiba-tiba ada emak-emak gembrot. Itu sudah ekstase sendiri buat mereka. Di fiksi pun sudah mulai ada percobaan macam itu, mungkin ada kejenuhan belakangan ini mulai muncul kejutan-kejutan macam itu. Mungkin karena kejenuhan belakangan ini, mulai memunculkan kejutan-kejutan kayak gitu. Tapi biasanya ini kan sangat bisa dihitung sama jari lah. Itulah concern gue. Ketika tidak ada ekstase, tidak ada kejutan, tidak ada apa-apa, balik lagi, karyanya menjadi klise. Klise aja. Di dalam industri sendiri sudah mulai ada. Katakanlah kita masih ketemu dengan orang macam Arya Kusumadewa. Masih terus jalan. Menjalani lagi proyeknya sekarang dengan beberapa pembuat filem. Muncul lagi Edwin dan Ifa (Ifa Ifansyah—red). Tapi dari dulu sejarahnya kan munculnya bukan sebuah generasi dari sekelompok orang kayak French New Wave, tapi individu-individu yang kemudian membentuk kelompok. Tidak rata. Mungkin harus dilihat lagi “modalnya”. Modal pemahaman terhadap persoalan sosial budaya secara umum.
Hafiz: Dari dulu gue mengandaikan seorang sutradara itu seorang cultural person. Misalnya dulu sempat ngobrol dengan pak Teguh Karya, wah… repot banget menjadi seorang sutradara. Dia bicara seni rupa, teater, sastra, kan kelotokan. Ternyata menjadi seorang sutradara itu figur kultural. Masih punya gak sih yang seperti itu?
Abduh: Rata-rata memang sekarang jatuhnya menjadi sutradara teknis. Artinya kebutuhannya adalah; dia bisa memvisualkan apa yang tertera, kemudian membayangkan shot-shot cukup lengkap dan di edit bisa nyambung. Itu juga yang sama gue bayangkan sama kaya lu dulu. Kalo gue bukan sama Teguh, tapi waktu gue wawancara Asrul (Asrul Sani—red). Itu gila! Masuk akal bahwa memang sebagai sutradara harus melengkapi diri sedemikian rupa. Karena pada dasarnya membuat filem, apalagi fiksi, dia membangun sebuah dunia yang katakanlah “masuk akal”. Pertama, masuk akal buat dirinya sendiri. Kedua, masuk akal buat penontonnya. Nah, masuk akal ini kan dalam pengertian banyak. Bukan sekedar soal teknis. Tapi juga soal gagasan, metode, dan segala macem. Dan terlihat sekali, Asrul ketika men-direct filem, dia tidak sedang men-direct filem an sich. Tapi dia sedang men-direct sebuah lingkungan, sebuah proses. Kelengkapan ini yang sedikit banyak sangat kurang. Tadinya itu ada di Garin, belakangan itu agak memudar kali. Balik lagi, generasi Asrul, Usmar dan lain-lain menjadikan filem sebagai medium. Pertama-tama mereka adalah budayawan, dia memang concern pada problem-problem real yang dihadapi oleh masyarakatnya. Kebetulan aja mereka ketemu filem mediumnya. Kalau sekarang kan, orang memang stimulasinya pada profesi. “Gue pengen jadi sutradara. Gue pengen jadi kamerawan. Gue pengen jadi penata artistik dan menjadi segala macem”. Itu yang melemahkan.
Hafiz: Gue melihat filem itu sebagai cultural statement. Walaupun filemnya ecek-ecek, kan cultural statement juga. Ya, semacam itulah statement kita. Kenapa sampai sekarang gak ada muncul pada level yang baik statement kita? Thailand ada Apichatpong yang masuk dalam pertarungan budaya dunia.
Abduh: Kalau gue melihat kaitannya dengan perkembangan tradisi intelektual kita di sini. Gue sih sederhana aja, tahun 1980an masa gue kuliah masih muncul kelompok-kelompok diskusi yang di mana ada ruang kita membicarakan hal di luar problem kita sendiri. Ada ruang semacam itu. Makin ke sini kan, ruangnya menjadi ruang politik kan semata-mata. Tampil, jadi tokoh, masuk politik dan selesai. Ini yang gak ada. Tradisi membacanya makin lemah. Tradisi berdiskusi makin lemah. Tradisi mengapresiasi karya-karyanya juga makin lemah. Bayangankanlah TIM (Taman Ismail Marzuki) waktu itu, di mana seluruh unsur dan tidak ada sekat. Sekarang kan makin tersekat. Nah, problem-nya lagi diperburuk oleh misalnya kurikulum sekolah filem, yang memang konsentrasinya semata-mata pada teknis. Itu yang jadi repot. Orang tidak dipersiapkan dulu untuk mengeksplorasi dirinya, lingkungannya sebagai amunisi dia ketika mau menjadikan medium filemnya sebagai statement-nya. Itu yang gak terjadi. Jadi diskusinya pada teknologi, bentuk, yang lebih parah lagi adalah menghadirkan dunia yang masuk akal seperti yang gue bilang tadi, diterjemahkan hanya pada pakaian, gaya dialog, sampai baru pada tingkatan itu saja. Karena kedalaman dia memahami problem-nya sendiri sebuah persoalan sendiri. Dia tidak mengenal dirinya, bagaimana dia mau ngomong sesuatu pada orang lain? Filem kan pada akhirnya menghadirkan dirinya melalui medium filem. Ini gak, nggak bisa. Dia juga gak tahu. Kenapa pilihannya harus pakai misalnya, ngomong dicampur-campur pakai bahasa Inggris. Padahal itu bisa jadi menarik. Kalau Nya Abbas Akup yang menggarap, menjadi pergumulan pada problem jati diri yang juga pada problem-problem respon dia terhadap lingkungan. Kan statement hadir pada bagaimana respon diri terhadap apa yang ada di luar. Jadi orang sibuknya pada tataran, bikin filem, bikin filem, bikin filem, produksi, kuantitas. Nah, tradisi intelektualitas juga mati di mana pun, bukan cuma di cabang filem yang berhenti kan. Pada sastra, seni rupa, juga mati. Intinya memang balik lagi ke belakang, kita ini gak punya desain. Mau ngomong apa? Menghadirkan Indonesia di tengah pergaulan dunia sebagai apa? Itu juga bingung. Se-chaos-chaos-nya Thailand dengan problem Takshin, mereka masih jelas pijakannya.
Hafiz: Sekarang bagaimana lu melihat industri film? Penonton sampai 4 juta.
Abduh: Ya, bahwa orang mulai balik lagi ke bioskop itu harus disyukuri. Pertanyannya adalah sampai berapa lama? Menarik pernyataan dari Asrul Sani, dia bilang, “Bioskop, relevansi bioskop dengan kekinian adalah ketika dia menjadi civil center,” ruang pertemuan. Gue punya pengalaman menarik pada masa kecil gue di Pasar Minggu. Di Pasar Minggu dulu itu ada bioskop kecil. Setiap menonton filem kita saling kenal. Siapa yang nonton saat itu, seperti tetangga. Gue dibawa bapak gue, pulang, di warung diajak ngomong. Ngomongin filem. Nah, ruang civil center yang dimaksud oleh Asrul Sani ini tidak terjadi. Yang terjadi adalah ruang presentasi dan komersial pula. Ini kan punya titik jenuh. Ketika masyarakat makin punya kelengkapan fasilitas di luar bioskop, balik lagi. Ini aja diuntungkan oleh filem Hollywood yang buruk sekarang. Sehingga kebutuhanya diisi oleh filem lokal.
Hafiz: Jadi lu gak percaya bahwa ini sebenarnya karena filem Indonesia?
Abduh: Keunggulannya cuma satu, Fiz. Bahasa Indonesia! Karena filem Indonesia menggunakan Bahasa Indonesia. Dan ini gak dimanfaatkan secara opimal. Itu yang terjadi. Ya, satu dua ada filem-filem yang bagus. Tapi secara umum kan kita bisa lihat. Setahun kan paling kita bisa saksikan filem Indonesia yang katakanlah “sesuatu”, hanya satu atau dua filem. Bahwa filem punya tugas kultural, itu yang belum terjadi. Belum nyampe di situ. Kita lihat aja, 3 sampai 5 tahun kedepan. Masih tetap seperti ini atau kemudian balik lagi? Karena tahun 1980an, begitu booming, brek, hancur!. Yang kasihan kan teman-teman yang memulai. Memulai mengembalikan dengan idealisme penonton, tetap konsisten. Sekarang dikepung lagi oleh para pemodal. Begitu filem hancur, mereka balik lagi ke sinetron. Filem naik, balik lagi ke filem. Jadi kasihan juga teman-teman, kayak Mira (Mira Lesmana), Riri (Riri Riza), Nia (Nia Dinata), Shanty… ya, selalu kayak begitu.
Akbar: Sebenarnya apa sih yang terjadi berkaitan dengan sutradara teknik? Adanya fenomena festival filem pendek, festival filem dokumenter, apa itu turunan dari sutradara teknik, atau apa? Apa gak ada bahasa visual yang baru dari adanya festival ini?
Abduh: Lifestyle jawabannya, Bar. Lifestyle! Jadi ikut festival itu karena gak bisa diputar di bioskop. Festival bukan dilihat sebagai sebuah ruang di mana ada pertemuan, ada pembicaraan, ada dialog, ada apresiasi bahasa-bahasa baru dari eksplorasi sinematik dan segala macam. Tapi memang lebih pada ajang untuk: “gue bikin filem nih”, lifestyle banget. Ini soalnya. Kenapa begitu banyak festival filem pendek, festival filem dokumenter, sampai sekarang tidak ada lompatan apapun? Karena jatuhnya hanya sampai di situ. Sepuluh tahun loh Konfiden (Festival Filem Komunitas Film Independen)! Apa yang kita bisa kita catat dari festival itu. Sekali lagi kita bisa menghitung dengan jari untuk filem-filem yang bisa jadi catatan. Dan biasanya orangnya itu-itu aja. Jadi memang… Ini susah juga ya. Ini agak menjebak, beberapa tahun lalu ada istilah: “Membuat filem itu mudah”. Kita terjebak juga sebenarnya. Di satu sisi sebagai kampanye, mematahkan eksklusivitas, sebagai demokratisasi media, dan itu berhasil. Tetapi di sisi lain itu sebenarnya ‘penggampangan‘.
Hafiz: Gue pernah diskusi soal ini. Paradigma seorang pembuat filem apa sih sebenarnya? Karena dari lima sampai sepuluh tahun yang lalu, gue bergaul dengan komunitas filem, problem-nya pasti sama. Paradigma mereka tentang filem menurut gue karena membayangkan ingin jadi seorang Ifa, Riri, atau sutradara besar. Bayangan mereka ke arah sana terus. Sedangkan perangkatnya gak punya, perangkat pengetahuan, perangkat kultural, yang tadi kita diskusikan. Ada problem finansial dan lain sebagainya. Tapi yang utama, mereka tidak memiliki perangkat pengetahuan.
Abduh: Ya, beda kan, Fiz… Kalau kerangkanya coba-coba atau hobi. Ini memang yang seharusnya diomongkan terus menerus di lembaga-lembaga pendidikan dan workshop-workshop filem. Bahwa kita memilih medium filem, karena ada sesuatu yang ingin dikatakan dan itu hanya cocok dengan medium filem. Sama dengan video komunitas sebenarnya. Ardi Yunanto (redaktur karbonjournal.org) pernah bertanya, “kenapa harus video, dan bagaimana cara kita memilih bahwa suatu daerah perlu video atau tidak?”. Jawabannya sederhana, di mana suatu daerah tingkat intensifnya pengaruh televisi luar biasa, di suatu daerah! Tapi kalo gak, ngapain lu pakai video? Pakai aja ketoprak, dongeng atau apapun! Jadi kesadaran itu yang gak ada. Kerangkanya kalau sekarang masih hobi, masih coba-coba. Syukur-syukur kalau bisa jadi batu loncatan untuk masuk ke industri. Tapi gak ada kesadaran bahwa, “gue memilih filem karena merasa bahwa medium ini bisa atau cocok dengan apa yang ingin gue katakan”. Ditambah lagi itu tadi, kampanye-kampanye yang secara salah dipahami. Independen artinya: ngawur, amatiran. Kemudian non-mainstream artinya, ya… bikin apa aja bisa lah. “Menolak tiga babakan”, ya…gak karu-karuan. Basic ini yang… waduh… repot kita untuk ngomongnya. Sehingga wajar aja kalau paradigmanya gak bergerak dari situ. Gimana mau dapat support, kalau mereka sendiri gak bisa ngerumusin kenapa sih mereka penting hadir?. Produk-produk seperti apa sih yang memang menjadi needs di lingkungannya? Hingga dia layak kalau dibantu. Kalau cuma filemnya ngelamun-ngelamun, terus ngeluh tentang hidup yang gak adil, buat apa juga? Pokoknya kalau cuma shot-nya ngelamun, monolog, pokoknya hidup gak adil, dan itu dianggap “alternatif”. Ya… mungkin gue yang salah kali, ya…? Hehehe… Itu repot banget. Jadi, paradigmanya coba-coba. Paradigmanya masih hobi. Nah, di sini tugas beratnya adalah bagaimana sebenarnya meningkatkan level dari festival filem yang ada. Level kuratorial. Level dari workshop-workshop yang banyak. Ini juga udah kaya… ya… setiap minggu ada workshop lah. Ada tuh yang dari satu workshop orangnya sama. Kita menyebutnya, “banci workshop”. Tetapi filemnya juga gak berubah-ubah. Level yang dinaikkan. Dalam artian, problem-nya bukan soal filemnya sendiri, tapi problem-nya diri sendirilah yang harus dieksplor dan digali. Intensitas dia terhadap apa yang mau dikatakan, itu jauh lebih penting. Ketimbang penguasaan mengenai filemnya. Baru belakangan ke filem. Biasanya kalau emang orangnya “kuat”, dia akan belajar sendiri, cari sendiri, referensi juga gak sesulit dulu. Dulu kita kan cuma nunggu di pusat kebudayaan (pusat kebudayaan asing–red) kalau nonton filem. Sekarang setiap saat kan ada.
English:
Abduh Azis: On History, Film, Documentary, Community Video and the Acme of Film Industry
How do we picture an idea of “Indonesia” upon reading history? There are many ways to describe. Abduh Azis is one of the film industry figures known to be ever so critical in interpreting history through films. Being a native Jakartan born in 1967, he spent his childhood in Pasar Minggu area. In 1986, he ventured to study History at the University of Indonesia. It was here that he encountered and decided to further study films; a decision deliberately made. As Abduh recalled it, in one of those university days, the late Ong Hok Ham played Max Havelaar to show his students a model of colonialism in Java. He later thought, this method makes it a lot easier to understand history than reading history books. To him, film may well be a reference to comprehend the social context of our history. For that reason, during the ‘90s, he started a research on film history at Sinematek in order to compose his thesis on Indonesian history. His findings gave rise to a question: “Why can’t we ever make a decent film?” During this course he met Hanny Saputra, Harmantono and other filmmakers from the Jakarta Art Institute. “Apparently, we do have decent films in Indonesia,” was his statement then.
Abduh Azis is currently a member of Film Committee in the Jakarta Art Council for the second term (since 2006). Besides actively participating in the Indonesian Film Society to strive for film industry policies, Abduh is also active in a number of nongovernmental organizations with regard to works in communities. In his recent documentary made in 2010, he collaborated with Lasja Fauzia to produce Tjidurian 19 to recount a “space” in the past history of People’s Art League (Lembaga Kesenian Rakyat, abbreviated as Lekra). This fluent man, who often speaks in various forums, often facilitates workshops organized by nongovernmental institutions. He is one of the initiators of Jakarta International Film Festival (Jiffest). In 1998, together with Shanty Harmayn, Yudi Datau and Wisnu Adi, he established Salto Production that produced films and documentaries.
Jurnal Footage had the chance to chat with this prominent figure on March 5, 2010, in his room in the office of the Jakarta Art Council, Taman Ismail Marzuki. Present during the interview were Hafiz (Editor-in-Chief), Akbar Yumni (Editor) and Syaiful Anwar who recorded the discussion through a video. We are pleased to present you an interview with Abduh Azis to see how his criticism in observing our film industry.
Hafiz: Do you think we have decent Indonesian films?
Abduh: Well, it’s connected to what I was studying back then. If we consider that Indonesian film history started in 1926, I rather think it’s a very ambitious thing to say. Because we don’t see any traces other than it being acted out by Indonesians, wearing Indonesian clothes, etc. But to say that Indonesian film was born (in 1926—ed.)? I highly doubt it. But I don’t really want to make a fuss about it. It was after the Japanese occupation that we see an attempt from Usmar Ismail and friends. According to me, we do have decent films by the time the industry was born. I did a paper of Usmar Ismail’s film Darah dan Doa (Blood and Prayers / The Longmarch (of Siliwangi)). I remember clearly, when we talk about Indonesian revolution, if we study history, we never really understand why Madiun incident (1949) happened and its implications to the lower level of society. I myself was only able to see clearly, to have images of the incident, after I watched Usmar’s film. There is one particular scene that I personally think is remarkable. In the event of a revolution—a whirling vortex of situation where everyone has their own value and truth—clashes, and eventually horizontal conflicts, are bound to happen. There’s this interesting scene where one of the characters in the film was given a task to execute someone. I can’t remember who this character is. At night he ponders, lights a cigarette, when someone told him: “Wow, it must be such an honor to be asked to deliver an execution.” His reply was simple: “Yes, but the person about to be executed is my own father.” It’s remarkable to imagine Madiun, to picture how such thing can happen. And the study of history does not reach that deep. For such psychological, internal conflicts, history does not fill the blanks. Yet Usmar was able to brilliantly depict that. From then on I was drawn to Usmar’s other works: Tamu Agung (The Honorary Guest), Krisis (Crisis). Later I bumped into Sjuman’s (Sjumandjaja—ed.) works. Sjuman was also interesting. Take for example, how are we to formulate this idea of “Indonesia” in Indonesian films? To me, the formula should be quite simple: until a director is able to describe reality, to picture blood so real that we can sense its acrid smell, to present the actual truth. The film Si Doel Anak Modern (Doel The Modern Boy) is incredibly interesting. When Farouk Afero made business card for Benyamin S., he was pissed upon seeing his name indicated as “Drs. Benyamin”. He wanted it to bear the title of “Habib”[1]. That is what I call crazy! Sjuman’s in-depth observation to the sociology of Betawi ethnic is incredible. To Betawi ethnic, academic title doesn’t matter at all. Habib and Haji[2] are far more significant to them. This is what I mean by the ongoing search of identity. Although some films still felt very European (Eastern European) in their approach, but we can still see there were ongoing attempts of search. It was with a mind full of such decent movies that I started to write my thesis in the ‘90s. I was puzzled, why don’t we have such films nowadays? Upon observing the signs in history, I think there are incredible traces. It’s also one of the things often missed in the study of history when we talk about Indonesian modern era. Cinemas, as institutions that contributed, are never talked about. People relied on the press and news, pulp fiction, and railroads. But cinemas as institution are left out. That’s why we can understand at the time when there was a debate on 1926’s film ordinance, it was never talked about. Clearly, if we look at film ordinance, there was concern from colonial government that film will contaminate the people of an occupied country by ways of depicting the malicious morals of white people. There never has been a further study on that, how it might even have a contribution to the birth of Indonesian nationalism.
Hafiz: The example you mentioned is, of course, an interpretative history. Do you believe in that?
Abduh: Yes, I do, because in the end history is interpretative. There is a saying that goes, “Each generation writes its own history”. Based on the facts, they interpret for themselves. So it’s always dynamic. So I think the richness in films is not in its contribution to the addition of values; instead it lies in its ability to present new facts, new realities, also the ways to look at a certain issue, just as literature, poetry, film. That’s more of its function, I guess, taking into account the advantages of its audio-visual power. It’s awesome. Hence, it’s interesting to see, in the extraction of an idea of “Indonesia” we can imagine a whole lot of interpretations to be spoken of, discussed, and also our novel understanding toward the things that were never emphasized in history textbooks.
Hafiz: During the ‘90s, did you perceive our film industry as decadent? When you met your friends from the Jakarta Art Institute, you still thought there are decent Indonesian films. But what is it that makes people drawn to film energy?
Abduh: Firstly, it’s probably seen as a new medium. New medium for youths like me, then. A medium that allows you great freedom. And it’s also easy to influence people through that medium. Secondly, there is of course impoverished ideas. New friends that I met have amazing visual technical abilities that I can never imagine. It’s interesting to see it grows into a multi-disciplinary type of work. That’s what made me interested, that I can actually fill in there. I don’t have technical skills, but I have other abilities that I can contribute with. So we don’t just see film as a world of emotions, or of imaginations. Those are its weaknesses. Most short films that I watched fall into that category; they got too busy talking about their internal world as if there were no problems outside themselves. For example, a theme on parental disapproval to a child’s certain lifestyle, etc. I studied history. I can see that there are dynamics in history, rooting in multiple factors. For instance, President Soekarno wasn’t chosen to become the country’s leader just because he was born an idealist. This is exactly why it’s interesting, to see how life moves, mysteriously, and suddenly turns course into something unpredictable. Such exploration is what I think needs to continue. Yes, I did start from a research. I remember clearly helping out friends conducting researches. I helped in research for various film projects without any technical experience, but I see that this is the medium of the future, which will be heard and seen by lots of people.
Hafiz: You previously said multi-disciplinary. There are vacant spaces. Hypothetically speaking, how do you imagine an ideal film would be like? Because I saw Usmar’s films, Sjuman’s and other founding fathers, they put forward issues in history, sociology, anthropology, intertwining problems, even if wrapped in romanticism. Exactly what were the problems of our film industry back in the ‘90s? Did you see any decent films or filmmakers?
Abduh: Well, historically, film was rather instant during its reception process, in the way people adopt this medium. It wasn’t born from the existence of our local arts. That is what I see, firstly. It was adopted right there and then, all together. Photography, it’s distant. That’s why it’s interesting. As Shiraishi (Takeshi Shiraishi—ed.) metaphorically describe it as a train. Once one enters a train, he sees from behind the window. He suddenly becomes distant with his surroundings. He moves, which is pretty much on the contrary with Javanese cosmology. One merges. Film has a similar analogy. People take it stutteringly.
Hafiz: Why is that?
Abduh: Anything novel will make one stammer. This is where I don’t get it, the stammer endures. Historically, it’s supposed to be progressing. Yet here, it’s continuously repetitive. The stutter never heals. Or maybe the therapist fails. Lately I’ve seen indications to comprehend only film itself. When you look at it from the history of cinema, as soon as we have film, we see a technology we then try to tame. But indications to continue the legacy of theatre tradition, literary tradition, that didn’t happen here. Here, we only see film as one interesting product. An entertainment, in short. But we don’t see how remarkable its potentiality is. I see most of our friends talk of film, “How interesting, a filmmaker, cool, to be able to master a new technology.” Also, one can appear in public through making film. Yet nobody ventures to have a say on “something”, to express this thing one always worries about. I use film medium precisely to do that. This is where we lack.
Hafiz: When we see Pak Djaja’s (Djadoeg Djajakusuma—ed.) works, of course there is also a stutter problem as you previously mentioned. Yet they overcame that in their works. Why is there such a gap during the ‘90s? Did they fail to read history? Of how film has its historical function, to observe human and this nation. I see Usmar’s and Sjuman’s works meticulously capture that. Rich with anthropological details. Or in Teguh Karya’s works, where we can observe Jakarta’s artifacts or post-colonial artifacts.
Abduh: The other way around. Their generation was a generation who dwelled on socio-cultural problems and only afterwards that they found the medium. In the ‘90s, we already have the industry, its boom was during the ‘80s. We had pop stars and stuff. There was a tug-of-war. I think, educational system in film schools back then didn’t really provide a room of exploration for its students to get to know the basic knowledge or cultural domain. Instead, it introduced them directly to the medium. It becomes a problem when they encounter the camera, the only thing they can do is to duplicate what previous films have done. You see Pak Djaja. From his films, we know they’re raw. Extremely raw. But there is an incredible authenticity because he knew what message he wanted to deliver. That is what I think is still a problem nowadays. It’s getting worse since current development in technology makes things easier than ever. Opportunities to “appear in public” are greater.
Akbar: What was the first documentary that you watched?
Abduh: I was never really interested in documentaries until 1998. In my head, it was always fiction. That was why I was always involved more in fiction films such as with Garin (Garin Nugroho), Hani (Hani Saputra), Ravi (Ravi Bharwani), Armantono, et al. I even had this strong image regarding documentaries: films on governmental elucidation programs. It’s because all documentaries that I watched were broadcasted by TVRI (government-owned television channel—ed.). In 1998, Shanty Harmayn returned from Stanford University where she took her Master’s degree in Documentary. At one time we were having a conversation at Salto—that time we co-founded Salto with Yudi Datau and Wisnu Adi—Shanty put on Taxicab Confession (HBO Production, 1995—ed.). The film won Oscar (errata: Emmy Award for Outstanding Information Special 1995—ed.), I forgot what year. I was surprised. It’s crazy. Documentary can be interesting. It’s a story of how a taxi… the stories of people riding taxicabs in New York. There’s someone who kills. There’s this person who thinks he’s Jesus. Another flirts. All kinds of people. I suddenly saw a different New York. I asked, “Shan, is it really a documentary?” That was my question. “Yes, it is!” There I thought how documentaries can be interesting. That film left a distinct mark in me, Taxicab Confession. It shows that spaces, previously inexplicable, are apparently explicable, although the film is technically complicated. Since then, I watched more films. Shanty happened to bring home lots of VHS tapes. We watched and often discussed them. The question back then was: what were Indonesian documentaries like, other than the ones broadcasted in TVRI? It was afterwards that I ventured to look for Garin’s films and winners of FFI (Indonesian Film Festival). There was Garin’s Tanah Harapan (The Land of Hope). Garin also tried to do with such style (documentary—ed.). But to me, since the comparison was foreign films, Garin still felt very fiction. That’s why Garin himself didn’t dare mention it as documentary. Instead, he stated that it was docudrama. Through self-learning, I wondered if it was possible for us to make such work. During that time, film industry was declining terribly since before 1998. It was a year of crisis. We had the luxury to watch, discuss, converse and do plain nothing.
Akbar: Then, with regard to directors oblivious to cultural issues, how do you see the growth of Indonesian documentaries?
Abduh: Since the growth of genre films is huge, I should think there is even greater need, in documentary genre, to dwell on cultural issues. The problem is this; we know there are hundreds of documentaries on Vietnam War. But to be able to present a film on Vietnam with contemporary context takes an ability to reach deeper into: firstly, the material itself; secondly, its contemporary context. Why do I need to make this film and thus important for people to see it? This is the problem, now that documentary is beginning to grow in Indonesia. The stammer clearly shows. So, it’s not just about presenting facts, but it goes back to what Hafiz previously mentioned regarding interpretation. Not about presenting new facts, or things previously unnoticed. Interpretation on reality is what matters more now. Again and again, our documentaries are more of “the victim syndrome”; they talk majorly on violations to human rights in our country. All those weeping melancholy. It’s remarkable. But one time I had the chance, in an international film festival, to encounter this other term, “personal documentary”, I was fascinated yet again. It’s a simple film about a woman recently undergone an abortion. It was shot with just a small camera. The settings are just plain rooms. She tells her story, what the abortion means to her: a loss or a relief? It just played around the details of the room. But suddenly we enter a room of humanity previously untouched. About a woman who had just miscarried. And I think, if the grand theme of documentary is to contribute to collective awareness or collective experience to its public, such models do richen the field, rather than other films that remain in mainstream, grand themes, but still don’t contribute to the field. Merely replicating what was previously said through other films. I was really shocked, then. So, this comprehension on cultural, sociological, psychological domains, these are more of a problem in documentary. In the end it has to contribute something to the society’s collective experience. To me, that’s the challenge ahead.
Hafiz: Is that what you also encounter in Eagle Award?
Abduh: I have to admit, there is one time when I was on that particular phase. Lately, either Eagle Award or others, they’re gapping. We can’t expect there would be betterment in style or approach even when they zoom in on a new issue. So long as there’s no mastery in cultural domain, all we have is repetition. It’s worsened by our poor archive system. How to depict the year of 1965? To describe year 1945? An understanding and basic knowledge in anthropology, sociology, will allow them to approach the issues in contemporary ways. It’s kind of difficult when I was involved in Eagle Award during script development session. It’s hard to bring them to that level. Okay, let’s see an example, there’s a theme on a fitness club located at a dead-end alleyway. What can we see here? “They’re creative!”, they said. They aspire to be the middle class. They have a fitness club. They’re poor but they managed to establish a fitness club at a dead-end alleyway. Okay, interesting, but what underlies that drive? Do they wish to have a hefty body? Do they want to have muscular posture as depicted in posters? It’s difficult to facilitate them to reach that (cultural—ed.) domain. It involves issues on media, image formation and also patriarchal values there. It’s hard for them to see these issues. “So, what is it about hefty bodies?” This question wasn’t raised in the film. Hence, it always ends up as a descriptive documentary. Description on spaces, persons, problems. But we don’t see a new point of view of looking at the theme. It’s prone to fall into mere exoticism, isn’t it? Once it does fall into exoticism, again, we betray the essence of documentary, of why documentary still matters now.
Akbar: With regard to Eagle Award, what differentiates documentary from TV journalism? At a glance, I don’t see much difference.
Abduh: True. When we talk about the growth of current documentary, it doesn’t differ very much from journalism. Because the depth is about the same, right? When we talk about documentary, there are depth and distance. The more you can reduce the distance, the better. That’s why we have direct cinema. That’s why we have cinema vérité. The depth is superficial. But how can one slice deep into the matter with a sharp analytical knife, when one is not yet ready? What can we infer from a group of construction workers at an alleyway in Semarang who long to be the manly Mr. Indonesia? They don’t see into that yet. In the end, it’s seems funny. It’s only skin-deep. Very artificial. The last time, I was collaborating with Lasja (Lasja Fauzia—ed.) to make this film Tjidurian 19. It’s the same problem, no archives. The film tells a story of People’s Art League (Lekra) studio. When it comes to Lekra, what people have is stigma. When people talk about the Communist Party of Indonesia, everybody understands communism. Everybody reads Das Kapital and everything. From our research I see, there’s something… well, I don’t want to talk about the Communist Party. I don’t want to talk about Lekra per se. I want to talk about people’s experiences regarding this particular space in time—in this case, Lekra’s address in Tjidurian 19. It’s very verbal, indeed; testimonials. But the possibility of us not talking about whether Lekra is communist or not, or whether there was or was not a design on the 1965 September coupe, that didn’t matter to me then. What interested me was to know experiences. Experiences of these persons from a certain time, of a certain place. And I hope this will help people understand the era more clearly.
Hafiz: Then, how did those people interpret that particular space? How did you do it? I’m going to return to what we previously talked about documentary. I had an experience with someone doing a documentary. His way was quite erratic to me. He wanted to imagine something. To assume something. He created an image. He visited people’s homes and then he asked, “I’m looking for a yellow house.” In that area, actually there’s no yellow house. Then people started to interpret for themselves, “Which yellow house?” It was actually nothing but the director’s image creation, with regard to the analytical knife you mentioned before. How about you?
Abduh: Yes, because it’s a rather weighty issue regarding the era, I wouldn’t talk on their level of knowledge regarding the era. But more to smaller, more intimate experiences. How did they relate to this? How did you relate to this? It was a bit experimental because I interviewed them one by one in a room. And they are friends since a very long time.
Hafiz: Why one by one?
Abduh: I wanted to create an atmosphere of the same room. They were once there in that same room together, befriending one another, and it’s just practical. I was kind of hoping one of them would say something wrong and denied by another. So, there was dynamics. It was about that far. But what you just told is even crazier. He brought about something that was factually nonexistent, and then he stimulated experiences that were probably latent the whole time to rise. It takes patience with such method. I think it’s also what happens with our documentary. We’re not patient enough. And the interview technique, you’re right… (pointing to Akbar—ed.), it’s rather journalistic. So there’s no place… usually filmmaker would give the subject a sort of bonding first—they start with small conversations and all that. So yeah… in the end, everybody answers the truth… they already know the answers.
Hafiz: Which film aesthetics do you believe in?
Abduh: Mmmhh… lately it shifted—my understanding on aesthetics—especially after I make documentaries. The truth is, aesthetics will present itself automatically, Fiz.
Hafiz: In idea or form?
Abduh: Up to the practical level. Most filmmakers, before they start filming, already have an idea of how the film’s style would be, or the form and composition. But lately, based on my experience in making documentary… ah, let it be, it’s suddenly revealed to you by its own occurrences and process. It takes patience. Takes time. But it has multiple aspects, doesn’t it? Sometimes time also means cost. Some filmmakers are gasping for air not because of impatience. It’s mostly nontechnical matters, something like that.
Hafiz: According to Herzog (Werner Herzog), making a documentary—from the birth of the idea until its becoming—is a surprise. What exactly is this surprise that he talks about? In which level does the surprise take place? I mean, is it during the idea formation, or is it when filming; what is the ecstasy?
Abduh: To me, personally, when faced with… It’s actually the same experience. Once we conduct, go out filming, shooting, we have expectations. We have an idea. But when it’s turned upside down, there goes the real orgasm. Something is revealed, and we will reach to this level where we can say to ourselves: “I was apparently pretentious all along.” That’s why honesty is vital in making a documentary. It’s so vital that when we’re hit by the ultimate reality, it’s remarkable. Something unsuspected. Some time ago I was shooting in Aceh. The theme was “Women and Shari’a”. This is creepy. It was out of the blue, actually, because I simply wanted to know. We had this frame, to our thinking, the shari’a police would say this and that. Late at midnight I surprised them. At 11 PM I entered WH (Wilayatul Hisbah, Acehnese shari’a police—ed.) headquarter. I chatted with their commander and everything. I myself was surprised because it turned out that we’re both the same. We’re as much confused as they are: “Why do we have shari’a law in Aceh, all of the sudden?” I was pretty shocked. Wow, apparently… it was the media that made fundamentalism and all that seem worrying. At that one point, it’s not! Turned out we need to ask again, what drives all this? Even the people at the lowest level are confused, and the ulamas are also confused. These kind of surprises that make us, wow, apparently there are lots of things remain unanswered.
Akbar: I also want to know, what’s the definition of community video?
Abduh: Yeah.. this, this is insane. The answer would be lengthy. Community video is in fact, when a video is utilized in the developmental process in a society. By definition, this video functions as a tool. So far, I conclude this for myself. In advocation process for a community or society, it’s difficult to get people to reflect on their lives. There is this new technology called video. It makes it easier for people to observe. People are, once again, asked to take a distance. To distant themselves with their own lives is actually luxurious. Especially to people in grass root level, they don’t have time to do so. They don’t have the ability to. Their days are filled with hard work, work, work, merely to survive. During such advocation, it shows, although the idea was firstly emerged in Southern America, the US, India, but the basic foundations are the same. Video is used as a tool for reflection, to observe, to judge their lives. From there, hopefully it would raise discussion amongst them to solve their problems. Lately it turns into something else. Another exoticism risen up when, “Wow, cool, farmers can now make films, labors can make films.” That’s one. Second, “Wow, we never get to see this image before.” The basic idea is gradually missing. The orientation, lately, is in the actual product, not in the process. That’s how I see it. People often forget, what is the function of video in community? It’s a tool of reflection! So people can review, “Oh, turns out my life is like this…”
Hafiz: You work in a community yourself. What do you find, actually, with regard to the reflection you mentioned?
Abduh: There’s a case in Wakatobi. I forgot what year. There was a mother who recorded but her children’s buying behavior. So… if a child buys something, be it snacks or other, he just lingers there at a warung[3]. At one particular warung. She recorded every child who goes there, her own neighbors, how many times they come back. She then thought to herself, if one pack of Chiki (a brand of snack—ed.) costs 200 rupiah, how much does her child spend a day? Multiply that with the number of buying children for a month. It awed them. How much money spent only for that? During discussion, the facilitator has to be able to drive such reflection. What does it mean? We can then ask, where do all our traditional snacks go? For instance, in Java probably they have deep-fried cassava, or other homemade snacks. The number is quite fantastic. For a month, at a small village in Wakatobi, they can spend as much as 12 million rupiah per child, spent only in one place. It’s hard to notice this fact if you don’t observe it thoroughly. It did take painstakingly long hours to record, certain child goes back and forth to the warung, it’s rather boring to watch. But it worked. Second example, at a coastal village also in Celebes. The project was nothing but observing, following the life of housewives in this fishermen village. Just one day. It shows from the way the fishermen upon watching the video, “How crazy, all the while I spent the whole day out to the sea, my wife was doing this and that…” There we can see issues of gender roles, etc. So, it’s way more effective. That’s why it’s highly related if we say community video has to have a certain clarity regarding what kind of social change it aims. It’s often forgotten. Yes, among some friends, well ok, this is for teenagers. In the community itself, what social change has taken place after video comes in? It always fails to be answered. In some places, it only goes as far as wedding videography, right? Well, it’s not bad since it creates new field of works. But the function as a tool of reflection never develops. It may be too early to talk about this, to utilize this tool as policy advocation. I think it’s nonsense! Nobody even watches the ones made by professionals, let alone video community. But then again, maybe in the grass root level itself, they have a place. How to review their lives. They can evaluate their lives. They can try to find way out of problems.
Akbar: Then, how’s the response regarding video function as reflective tool for community?
Abduh: There’s an interesting case in Bali. The project was for youth. It was once screened in one of Ruru’s (ruangrupa—ed.) exhibitions. It shows Balinese youth getting drunk. The content was nothing but people drinking. Getting drunk, going motorcycle racing down the public street, all that stuff. It was then screened at the village. “Oh, this can’t be our village,” someone commented. As soon as the commentator saw his own son captured by the video, he was shocked and went mad. He went ballistic. He yelled, cursed, and stuff. It took some time to calm the situation. But it proved as one remarkable provocation. Then, the elderly was also made aware. This is not from another village. This is your own village. You can even see your own son there. The question was then raised, “Why?” Due to this video screening, the young man who made the video was secluded by the authority of his village. But lately they’re getting along well. Now, they even lead the village’s youth movement. That’s funny, which means this vivid ability is indeed crucial. There’s evidence. There’s proof. Direct. What actually matters—the most potent reflective tool—is when people are shown real proofs. Verbal testimonials may be lies. But visual images, all said and done. Throughout its 8-minute duration, it was all capturing people getting drunk. Singing, inebriated. He held the camera for quite a while until then he zoomed out and there it’s shown the village’s signboard.
Hafiz: To you, does the usage of documentary and video in social movements have significant role? As far as your experience in 1998, for instance, and the current social change?
Abduh: For sure, it does. Back then, it’s kind of difficult for us to bring up issues on human right violations. Or deforestation cases in several regions. Now, it’s easier to bring up similar issues. But social change does not stop there, when issues are raised. It has to have an impact in public education. That’s my restlessness, lately. How to reach that level. Documentary can speak up to… let’s say, now, during such political situation. When life certainty only seem hazy. Can we make a film that brings something more inspiring, to see realities amongst these uncertain issues? If not, then documentary will only add the burden in public space. It only makes it more complicated.
Hafiz: Just to add more pamphlet?
Abduh: Just to add pamphlet! Gives us headache. Supposedly, it can directly speak of something from which the public can infer certain learning, not only in its didactic sense.
Hafiz: Reflective—is that what you’re saying?
Abduh: Yes, reflective. That’s how I feel now.
Hafiz: I imagine that making a documentary is actually similar to making a fiction. Just as Herzog said, each step in making a documentary is a surprise. But to me, that surprise is fiction because there’s an ecstasy outside reality. When emerges, the idea is actually outside reality. Cos it’s inside me. When I translate that into script or when I go out filming, my mind is outside reality. But my mind is inside the reality. Then ecstasy emerges. I believe you’re quite accustomed to that feeling. Do the people you meet, for instance our friends—in making a documentary or fiction—undergo such ecstasy? For example if I go to regions outside the city, I feel ecstasy as Herzog termed it. Well, very modernist, actually.
Abduh: Yes, it’s a huge problem. Once again in documentary. We can talk about fiction later. I don’t really follow fiction, although recently I’m involved in a fiction production. In documentary, the first drive is indeed exoticism in seeing the reality. It’s clearly seen in the making of Pertaruhan (At Stake). So when one imagines prostitution practice, what emerges is stereotype. When imagining immigrant workers, also stereotype. But we can’t be unfair, can we? So far, we can only reach that level. It needs, of course, a continuous stimulation, a continuous drive. To me, the method is pretty simple. If they have exoticism, fine. Now, try visit a red district. Don’t bring your camera. Don’t bring anything. Just sit there, linger, all day. Don’t take notes. It might be effective. For what you just said. Idea may take form. An ecstasy from what they previously imagined. Unfortunately, this experience doesn’t happen to everyone. Some succeed, some stick to their mindset. If it doesn’t succeed, I should think the mindset is overruling. Unshakable. That’s all it takes, really. Here, we actually talk about critical thinking. One is a product of a certain educational system, and it doesn’t do to blame such individual. It’s just plain wrong, all and all. But, some find out incredible facts. During the encounter, they may find that whores aren’t all pretty and sexy. They may encounter obese ladies. That alone is an ecstasy. Even in fiction, there are attempts to that method. Maybe because the industry is getting saturated therefore they need to find such surprises. But the occurrences appear only once in a blue moon. That’s my concern. When there is no ecstasy, no surprises, no nothing, everything will regress into mere cliché. Plain cliché. In the industry itself we have indications. Let’s say we can still find people like Arya Kusumadewa. Someone who keeps going with his projects with other filmmakers. Then we also have Edwin and Ifa (Ifa Ifansyah—ed.). But history itself emerges not from a generation of a group of people like the French New Wave, but from individuals that in the end form groups. It’s uneven. Maybe we should also assess their initial capacity. The capacity to grasp socio-cultural problems in general.
Hafiz: I’ve always imagined a director as a cultural person. For instance, when I had the chance to chat with Teguh Karya, wow… it’s complicated to be a director. He talked about visual art, theatre, literature, very textual. Apparently, being a director is about being a cultural figure. Do we still have that figure?
Abduh: Generally, nowadays, being a director is more in its technical sense. Which means, what’s needed from him is to visualize what applies, then to picture complete shots that will tell of a certain sequence when edited. What I imagined is pretty much what you also had in mind. But my experience was not with Teguh, but I interviewed Asrul (Asrul Sani—ed.). That’s insane! It does make sense for a director to fill himself up to the brim. Since, basically, to make film, especially fiction, he has to build a “logical” world. First, it has to be logical for him. Second, logical for its audience. This logical sense has several definitions. Not just technical, but also its idea, method, etc. And it shows, when Asrul directs a film, he doesn’t direct the film per se, yet he directs a whole environment, a process. Such fullness is rather decreasing now. We used to have Garin, but lately he’s fading. Again, Asrul’s, Usmar’s generation, and also others’ treat film as a medium. First off, they’re cultural figures, they do have concerns over real problems in society. Just so happens they find film as their medium. What happens now is that people stimulate it more as a profession. “I want to be a director. I want to be a cameraman. I want to be an art director, yada, yada, yada.” That is what weakens.
Hafiz: I see film as cultural statement. Eventhough the film is cheap, it still is a cultural statement. Well, at least that’s our kind of cultural statement. But why can’t we reach a decent level of statement? Thailand has Apichatpong who, in time, dwells into world’s cultural battle.
Abduh: I see this has something to do with our intellectual tradition. To me, it’s simple: back in the ‘80s when I was in the university, we have discussion groups where we talk about things other than our own problems. There was such room. Nowadays, what remains from such room is merely political. People appear, dwell into politics, then done. This is what we don’t have. The tradition to read is weakening. The tradition to discuss is weakening. The tradition to appreciate works is also weakening. Imagine Taman Ismail Marzuki back then, where all elements merge, no segregation. Nowadays, things are getting more and more segregated. The problem is worsened by, for instance, film school curriculum which concentrates to mere technical things. It makes things difficult. People are not equipped to explore themselves, their environment, to prepare an arsenal before deciding to treat film as their statement. That doesn’t happen. So the discussion revolves around the technology, form, and even worse, how to present a logical world—as I mentioned before—is translated only in costumes, dialogues, just up to that level. The depth of the director’s comprehension to the problem is an issue in itself. He doesn’t even know himself, how is he supposed to speak of something to public? Film is, in the end, about presenting oneself through film medium. While here, it doesn’t happen. He doesn’t even know, for instance, if it’s necessary to have dialogues mixed with English. Whereas it can actually be interesting. When Nya Abbas Akup directs, we can see a struggle of identity which is also his response to the environment. Statement emerges from one’s response to the outside world. Most people are busy in the level of making film, making film, making film, production, quantity. See, intellectual tradition is dying everywhere else, not only in film industry. In literature, visual art, it’s also dying. It traces back, we don’t have any design. What can we say? How do we present Indonesia to the world? It’s confusing. No matter how chaotic Thailand is, at least they have a solid ground.
Hafiz: How do you see our film industry, now? We have 4 million audiences.
Abduh: Yes, we have to be grateful for the fact that people are revisiting the cinemas. The question is for how long? Asrul Sani once uttered an interesting comment, he said, “The relevance of cinema to contemporariness is when it becomes a civil center.” A meeting hall. I have an interesting experience when I was a kid back home at Pasar Minggu. We used to have a small cinema in Pasar Minggu. Everytime I go watch a movie, we all know each other, everyone who goes to see the movie, such as neighbors. Then my father would take me home, we stopped by at a warung where we chat with others. We talked about movies. Such civil center that Asrul Sani talked about, it doesn’t happen here. What happens is presentation room, and commercial in nature. This will saturate, eventually. When people have complete facilities outside cinema, the situation will return. We’re lucky Hollywood has gone lame recently, so the demand is answered by local films.
Hafiz: So, you don’t fully believe that it’s because of our own films?
Abduh: It has only one advantage, Fiz. It’s in Indonesian! Because Indonesian films use Indonesian language. And this advantage is not even optimized. That’s what happens. Well ok, we have one or two decent films. But of course we can see generally. In a year, Indonesian films that are decent enough to be regarded as “something” is probably only one or two. That film has cultural duties, is not yet understood. We’re not yet there. We’ll see in another three or five years. Will it remain stagnant or even regressing? Because in the ‘80s, there was a boom, but then it dropped dead. I pity our friends who built this from scratch. They started by reigniting idealism in their audience, staying consistent. Now they’re back surrounded by capital owners. When film industry died, they returned to sinetron (TV soap opera). When it resurrected, they’re back to produce films. It’s regrettable to see friends like Mira (Mira Lesmana), Riri (Riri Riza), Nia (Nia Dinata), Shanty… it always ends up like that.
Akbar: What happens, precisely, with regard to the emergence of technical directors? The phenomena of short film festival, documentary festival, is it a derivation of technical directors, or what? Do we have new visual language found in these festivals?
Abduh: Lifestyle is the answer, Bar. Lifestyle! They submit to festivals because they’re not screened in cinemas. Festival is regarded not as a place to meet, to have discussion, to have dialogues, to appreciate new language derived from cinematic exploration, etc. It’s more to a showcase, “Heyho, I made film”, very lifestyle-oriented. This is where the problem lies. Why do have so many short film festivals, documentary festivals, but after ten years, we still don’t feel any significant jolt? It’s as far as it goes. It’s a whole 10 years for Konfiden (Independent Film Community) Film Festival! What can we infer from the festival? Again, there are only very few notable films. And it usually made by the ever-occurring personalities. So, yeah, it’s… it’s kind of difficult. It’s rather tricky. Few years back we launched a campaign, “Filmmaking is easy”. Now, see how we’re trapped. At one hand, as a campaign, it broke exclusivity, as media democratization it worked. But on the other hand, it implied simplification.
Hafiz: I once had a discussion on this. What actually serves as the paradigm for a filmmaker? Since five or ten years ago, I mingle with film community, the problem remains the same. Their paradigm for film, to my observation, is to imagine oneself being an Ifa, a Riri, or any other big names. Their mind is always about that while they don’t have the apparatus. The apparatus for knowledge, cultural issues, the things we talked about. There are financial problems and stuff. But mostly, they don’t have the knowledge.
Abduh: Well, yes, it’s different, Fiz… if their mainframe is tryout or hobby. This is what’s supposedly repeated in educational institutions and film workshops. That if we choose film as our medium, firstly because we have something to say and it happens to fit right in with the medium. The same thing goes for community video, actually. Ardi Yunanto (editor of www.karbonjournal.org) once asked, “Why video, and how do we determine if a certain region needs video or not?” The answer is simple: we choose video for regions where television influence has become very incredibly intense! If not, why use video? Use, instead, ketoprak[4], fable, or anything! So, we don’t have this awareness. The mainframe now tends to be hobby, a tryout, with silent hope to jump into the industry. But there’s no awareness such as, “I pick film because this medium can or fits with what I’m trying to deliver.” Adding to it, wrongly interpreted campaigns. Independent means: random, amateur. While non-mainstream means, well… whatever does. “Rejecting the three-set rule”, well, yeah, no wonder it scatters. This basic understanding… my… it’s even difficult to talk about. It’s only consequential that the paradigm didn’t take into shape. How can we get support if they can’t even formulate why they need to be there in the first place? What kind of products does the environment need? So that we can see that they truly deserve a helping hand. If the film just daydreams, then complains about this unjust life, what for? Bottom line, if the shots taken are daydreams, monologue, life is so unfair, it would be regarded as “alternative”. Well… I may be wrong, but am I? Hehehe… It’s really difficult. So, the paradigm is just a tryout. The paradigm is hobby. See, this is where the true, hard task lies: how to give leverage to our festivals. Its curatorial level. Starting from the many workshops. Now we have… well, it’s like, every week we have workshops organized. There are even these certain people who attend all kinds of workshops. We call them “workshop junkie”. But their films never change. No upgrade. This only means, the problem does not lie in the film itself, but the problem of the self that needs exploring and digging. One’s intensity for the thing one wants to say, it matters more than one’s mastery on the medium. We can only move forward to the film afterwards. Usually, if one is “strong”, one can learn for oneself, seek for oneself, references aren’t as hardly accessible as in the old days. Back then we can only go to foreign cultural centers to watch films. Now we have screenings everytime.
[1] A respectful term of address, usually for ethnic Arabs, who can trace their ancestry to the prophet Muhammad.
[2] A title for someone who has gone on hajj pilgrimage to Mecca.
[3] A typical shop or stall often found in residential areas, smaller than a mini-mart, selling basic household necessities and various snacks and beverages.
[4] A traditional Javanese performance art of theatrical genre, featuring actors who may also sing to the accompaniment of the gamelan, a Javanese musical ensemble.