Kabarnya, filem terbaru Joko Anwar berjudul A Copy of My Mind (ACOMM) yang rilis pada tahun 2015 dan sempat diputar di Toronto Film Festival 2015 itu adalah ‘surat cinta’nya bagi Jakarta. Berbeda dengan filem Anwar lainnya—kecuali Janji Joni (2005)—yang seringkali berlatar dunia antah-berantah, kali ini ia berhasrat untuk membuat filem yang secara terang berbicara tentang Jakarta dengan segala hiruk-pikuk kehidupan di dalamnya. Pembicaraan tentang Jakarta kali ini ia persembahkan kepada mereka yang kecil atau marjinal. Keberpihakan ini, singkatnya, tampak pada usahanya menghadirkan “realitas” ruang urban Jakarta yang marjinal ke dalam gambar-gambar. Untuk melengkapinya, tak lupa, dua karakter utama memiliki profesi yang tak lazim dalam logika filem industri. Keduanya ialah Sari (Tara Basro) sebagai facial therapist dan Alex (Chicco Jericho) sebagai penerjemah subtitle DVD bajakan. Kedua tokoh tinggal di kawasan bergang-gang kumuh, sempit, sesak dan bau di bagian barat Jakarta. Dengan lokasi yang seperti itu, kehidupan kedua sosok tersebut tidak lah “indah”. Filem (bajakan) menjadi pelarian atas kejenuhan rutinitas Sari yang digambarkan sebagai “orang kecil” itu, sementara Alex terjebak pada rutinitas yang itu-itu saja—berjudi, menonton balap motor, mengerjakan subtitle—tanpa bayangan akan masa depan. Kemudian, “filem” lah yang mempertemukan Sari dan Alex di sebuah warung DVD bajakan. Selanjutnya, satu jam pertama dari ACOMM dihidupi oleh pertemuan mereka, kisah asmara, pekerjaan Alex, dan petualangan Sari bekerja di salon yang baru.
Tidak cukup di situ, dan mungkin tidak afdol bagi Anwar jika naratif keberpihakan disematkan kepada pihak yang tak mengalami sesuatu masalah, atau singkat kata, di situ harus ada korban. Tegasnya, agar keberpihakan kian tampak kasat-mata, Anwar merasa perlu membuat sampiran plot tentang politik yang besar dan menempatkan orang-orang alit ini sebagai korban. Sari yang gemar menonton filem, kena batunya. Ia mencuri satu DVD yang ia kira berisikan filem monster saat ditugaskan melayani pelanggan salon baru tempatnya bekerja, Bu Mirna (Maera Panigoro) yang merupakan tahanan kasus korupsi dari salah satu rumah tahanan. DVD yang dicurinya ternyata adalah bukti korupsi yang berisi rekaman pembicaraan beberapa tokoh politik penting yang sedang terlibat di Pemilihan Umum Presiden. Hidup Sari dan Alex seketika terancam dan dipenuhi rasa takut. Hidup mereka yang tadinya biasa-biasa saja sontak seakan berada di dalam cerita-cerita filem tentang mafia. Di situlah letak “realitas” kotor sistem politik dalam negeri yang dikisahkan Joko secara tiba-tiba melalui tragedi dramatis yang menimpa dua tokoh utamanya tepat di sepertiga akhir menjelang filem usai. Merepresentasikan sisi lain dari Jakarta yang kumuh dan bersinggungan kisah dengan politik yang kotor, filem ini seringkali didapuk begitu saja sebagai sebuah filem “realisme”.
Benarkah Realisme?
Sinema dalam bentuk moderen melekat dengan montage dan mise-en-scene, di mana ruang di depan lensa kamera menjadi realitas yang terpisah dari realitas di belakang kamera—realitas penonton. Memasuki era digital, sinema mengalami revolusi menjadi lebih demokratis dan berevolusi dengan menghasilkan estetika tertentu. Salah satu kemungkinannya adalah bahwa batas antara ruang di depan dan di belakang kamera melebur. Sinema Iran adalah salah satu wilayah yang mempraktikkan estetika digital, sebutlah filem Abbas Kiarostomi berjudul Ten (2000). Bermodalkan sebuah kamera yang diletakkan di dashboard mobil, Kiarostami merekam percakapan antara perempuan yang duduk di kursi supir dengan setiap penumpangnya. Percakapan-percakapan berdurasi satu setengah jam itu dengan berhasil mengungkap realitas sosial, politik, permasalahan gender, dari Iran kontemporer. Filem Kiarostami ini menjadi semacam kekuatan dokumenteris, selain melalui kemampuan kamera yang bisa secara ‘bebas’ diletakkan pada dashboard mobil sebagai kemungkinan (estetika) baru karena sanggup menangkap ‘keseharian’ realitas masyarakat, juga secara serentak memungkinkan narasi filem sanggup memperlihatkan fenomen-fenomen aktual Iran dari teks-teks dan ruang yang dihadirkannya ala dokumenteri itu.
Sayangnya, kata digital bagi sebagian besar pembuat filem di sini diterima hanya sebatas revolusi medium. Joko Anwar tentu paham akan konteks ini. Hampir seluruh gambar di dalam ACOMM diambil melalui teknik hand-held. Revolusi medium ini memungkinkan ia untuk keluar-masuk gang-gang kecil, merekam di ruang sempit, masuk ke kerumunan massa yang sedang kampanye pemilihan umum presiden di tahun 2014, menggerakkan kamera untuk mendekat kepada subyek (Sari dan Alex) secara tiba-tiba di salah satu adegan “kamar” yang intim dan tentunya mampu membuat filem berbiaya murah dengan menyingkirkan keterbatasan fisik yang disandang oleh logika filem seluloid. Mayoritas gambar hand-held seperti itu seringkali diasosiasikan dengan gaya dokumenter, namun pada konteks ACOMM lebih tampak sebagai bentuk untuk mengakali keterbatasan ruang, menikmati kemudahan-kemudahan medium digital. Alhasil, ACOMM penuh dengan gambar-gambar stereotipe yang umum, tanpa makna, tanpa menghasilkan kemungkinan estetik baru di era digital yang hand-held.
Di zaman ketika teknologi memungkinkan kita—setiap kita, tanpa terkecuali—untuk dengan mudahnya menduplikasi ruang-ruang material menjadi gambar-gambar di dalam genggaman dan mengunggahnya ke Instagram, Path, Blog, dengan tak lupa membubuhkan hastag agar mudah ditemukan, visual yang ditampilkan dalam ACOMM menjadi tidak berarti apa-apa di antara ribuan gambar di media-media sosial tersebut. Contohlah, ketika menduplikasi kenyataan ruang menjadi imaji statis semudah memencet tombol kamera di handphone, apa yang berbeda dengan gambar bergerak (moving-image)? Jika realitas yang banal (bagi sebagian orang itu) sesungguhnya dapat ditemukan dengan gampang di ribuan gambar statis yang tersebar di internet dan dapat dengan mudahnya diakses, lalu apa yang ditawarkan oleh sinema yang kinetis. Sinema memiliki ruang dan waktu, mengandaikan gerak antartokoh, intimitas, yang memungkinkan pengungkapan-pengungkapan atas realitas melalui relasi antarsubjeknya. Pada titik ini, ACOMM tidak mengungkapkan sesuatu apa pun.
Nyaris satu jam pertama ACOMM tidak terisi apa-apa. Tidak ada yang ingin dibicarakan Anwar kecuali hasratnya untuk mengumbar gambar-gambar sudut Jakarta yang miskin dengan keluar-masuk gang kumuh disertai adegan-adegan informatif nan klise yang mewakili kehidupan dan pekerjaan Sari dan Alex. Anwar lupa, sinema bukan semata-mata visual yang seolah mandiri; sinema melibatkan persepsi; dan jika ia ingin mengungkap realitas dari kawasan orang kecil yang ditanggap melalui medium filem, itu tak sesederhana latar tempat di mana mereka berada atau apa yang mereka kerjakan. Namun, apa yang mereka rasakan dan lihat yang tersampaikan melalui interaksi antartubuh yang mengungkap situasi interior dan senjang dari realitas yang masing-masing mereka tinggali, yang saling berkelindan di dalam sebuah cerita naratif. Sementara, relasi Sari dan Alex tampak hanya sebatas asmara. Ekspresi Sari nyaris itu-itu saja. Mungkin bukan karena dia berakting jelek, namun karena memang tidak ada satu polemik apa pun yang bisa ia sampaikan melalui wajahnya.
Menyederhanakan terma realisme sebagai sekadar representasi ruang atau imitasi atas realitas yang marjinal di perkotaan ke dalam gambar-gambar adalah perkara gegabah, mengingat visual tersebut sebetulnya tidak lagi “marjinal” bagi pengalaman pandang kita sehari-hari lewat apa yang tampak pada budaya layar. Begitu pun, representasi dari profesi (atau, saya ingin meminjam istilah wajah dari Levinas) yang dianggap marjinal—sebut saja unik—dalam logika industri filem menjadi karakter sebuah naratif yang meletakkan presuposisi sebab-akibat, tidak serta-merta menjadikannya suatu bentuk realisme. Pada kenyataanya, saat ini, realisme telah bergeser dari pengertian yang moderen, baik itu dari realisme ‘studio’ ala Hollywood, realisme sosialis Russia atau neo-realisme Italia. Apa yang kini dipandang dengan realisme, harus ditemukan dalam konteksnya yang paling kontemporer. Sebutlah itu teknologi dan budaya digital. Dan, di situlah realisme perlu ditemukan di dalam konteks ini: estetika media baru.
Otak lemot saya masih belum bisa memahami arti “….. penuh dengan gambar-gambar stereotipe yang umum, tanpa makna, tanpa menghasilkan kemungkinan estetik baru di era digital yang hand-held.”
Kalo ga merepotkan boleh dong kak dijelasin.
Terima kasih
Hallo Yohan,
Sekiranya, kamera digital tidak hanya digunakan sekedar untuk keluar masuk ruang yang sempit, ia seharusnya membentuk bahasa filem tertentu (khas digital, yang bukan seluloid). Singkatnya begitu.