In Artikel

Sebagaimana kisah, sejarah juga terdiri dari fiksi-fiksi yang selain dituliskan dapat pula diceritakan dari mulut ke mulut dan dari generasi ke generasi. Dalam sebuah kultur di mana tradisi oral lebih kuat ketimbang tradisi penulisannya, sangat wajar ketika pengalaman mendengarkan kisah dari para orang tua menjadi bagian dari kisah kala kanak. Hingga titik tertentu, pengalaman semacam itu dapat ditemukan pula ketika menonton kisah-kisah dalam filem Ziarah.

Bagian pembuka filem Ziarah yang menghadirkan adegan prosesi penguburan

Ziarah sempat ditayangkan pada Kompetisi Filem Panjang Asia di Salamindanaw Asian Film Festival 2016 dan berhasil memenangkan penghargaan Best Asian Feature Film dan penghargaan Skenario Terbaik versi Majalah TEMPO 2016. Selain itu, ia juga sempat masuk menjadi nominator Piala Dewantara Apresiasi Film Indonesia 2016 dan nominator Piala Citra Festival Film Indonesia 2016 untuk kategori Penulis Skenario Asli Terbaik.[1] Filem yang sempat ditayangkan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival di Yogyakarta pada Desember 2016 ini disutradarai oleh B.W. Purba Negara dari Indonesia dan sekaligus merupakan debut filem panjang pertamanya setelah bertahun-tahun menghasilkan sejumlah karya filem pendek.[2] Filem sepanjang 84 menit ini menarasikan kisah Mbah Sri (diperankan oleh Ponco Sutiyem), seorang wanita berusia 95 tahun yang tengah mencari kuburan asli suaminya yang juga adalah vetaran perang. Pencarian tersebut membawa Mbah Sri untuk menapaki pula jejak sejarah terkait Agresi Militer II Belanda di Yogyakarta. Bersamaan dengan pencarian tersebut, cucu Mbah Sri, Prapto (Rukman Rosadi), pun tengah mencari keberadaan Mbah Sri yang pergi dari rumah tanpa pamit. Dalam pencarian Mbah Sri, Prapto malah banyak menjumpai tak hanya jejak sejarah tapi juga jejak filosofi lokal tentang konsep hidup dan mati. Diekspresikan melalui dialog berbahasa Jawa, filem ini menghadirkan kultur Jawa tak hanya dalam bentuk kata-kata dialog, tetapi juga lewat mitos, filosofi hidup serta mistisme. Penggambaran akan penderitaan akibat kehilangan, tentang kisah cinta sejati, jejak sejarah Indonesia, serta ekspresi budaya tentang konsep kehidupan, muncul berkelindan sepanjang film.

Mbah Sri (diperankan oleh Ponco Sutiyem) tengah berziarah di makam suaminya yang mungkin ada di dasar waduk

Dalam Ziarah, karakter-karakter difilemkan melalui ambilan gambar jarak dekat selagi mereka berbicara dengan cara seperti menjawab pertanyaan-pertanyaan wawancara. Melalui cara pengadeganan ini, sutradara membiarkan detail-detail dari subjek kameranya, yang kebanyakan adalah manula, dapat terlihat secara jelas. Namun selain itu, pilihan semacam ini juga membuat penarasian filem mirip seperti bentuk dokumenter televisi yang berisi adegan testimonial untuk memberi informasi. Hal ini serupa dengan apa  yang dilakukan kepada dan/atau oleh  Mbah Sri maupun Prapto dalam Ziarah yang melacak kebenaran melalui proses tanya-jawab untuk menggali memori kolektif orang-orang. Baik tokoh utama maupun tokoh pendamping pun terletak setara (atau lurus) dengan level pandangan mata penonton dalam bingkai kamera. Dengan demikian, pengalaman mendengarkan kisah dapat terasa setara dan menembus layar hingga mencapai penonton, memberikan sensasi mengalami sejarah melalui proses menonton kisah.

Kesan tentang gaya dokumenter ini juga adalah sebuah efek lanjutan, yang mungkin muncul dari pilihan sutradara untuk menggunakan kisah-kisah dan saksi-saksi sejarah sebagai bagian dari filemnya. Rekam peristiwa pembuatan waduk yang memang seringkali meninggalkan trauma politik bagi orang-orang yang desanya ditenggelamkan pun hadir lewat cerita tentang orang-orang yang ziarah ke tengah waduk akibat kuburan yang dulu ikut ditenggelamkan. Kesan trauma akan militer hadir melalui tuturan orang-orang yang sempat ditemui oleh Mbah Sri dan Prapto. Lewat dialog dalam filem ini, militer diperlihatkan memiliki dua wajah; pahlawan yang berjasa dan preman di sisi lainnya. Ponco Sutiyem yang memerankan Mbah Sri pun adalah salah seorang saksi sejarah dari era pasca kemerdekaan Indonesia yang tentunya mengalami berbagai situasi sulit akibat perang.[3] Kejelian untuk memilah aktor dan kisah sejarah ini membantu sutradara membangun kisah fiksinya tentang sebuah penelusuran atas sejarah perang. Sang sutradara mempertegas kekuatan fiksi Ziarah sebagai kisah para tetua di masa lalu, salah satunya, melalui keputusan tersebut.

Prapto yang tengah menemui salah satu saksi sejarah untuk menelusuri jejak Mbah Sri

Mengambil latar waktu pasca reformasi politik Indonesia, filem ini masih turut pula menghantarkan kita pada jejak-jejak kisah di sekitar peristiwa pasca kemerdekaan di tahun 1948. Alur ini menjadi semacam cermin pula bagi judul filem yang bisa dimaknai sebagai peristiwa mengunjungi tak hanya kuburan, tetapi juga napak tilas pada perihal di masa lampau. Sebuah potensi untuk menjadi arsip dokumentasi kenangan dan kesan dari peristiwa sejarah bisa saja diemban oleh Ziarah pada aspek ini jika visual-visual yang hadir di keseluruhan filem mampu menunjang narasinya secara menyeluruh. Ia memiliki potensi untuk menjadi materi sejarah oral yang bisa sangat berguna terutama untuk masyarakat dengan tradisi lisan.

Akan tetapi, jika mengingat kembali awal filem Ziarah, saya harus mengakui bahwa ia cukup membuat saya terhenyak. Kenampakan dan perwujudan gagasan tentang kematian secara blak-blakan melalui penggunaan kamera dan audio dalam filem ini cukup mampu membangkitkan perasaan takut yang naluriah akan kematian. Ketegangan antisipasi penonton yang menunggu permulaan filem digunakan untuk membangkitkan efek kejutan melalui bagian pembukaan filem. Kamera pada bagian tersebut diposisikan sebagai perspektif orang mati yang menatap dunia untuk terakhir kalinya dari liang lahat. Ketegangan semakin bertambah dengan adanya lagu berbahasa Jawa yang mungkin bagi beberapa orang bisa memunculkan kesan mistis atau horor. Kesan mistis tersebut selanjutnya dihadirkan berulang kali lewat objek-objek gambar, musik serta alur yang memasukkan kisah mistis. Salah satunya, ialah kisah tentang sepasang keris Mbah sri yang terpisah. Hal ini juga mengarahkan penonton untuk berpikir bahwa kematian dan mistisme adalah isu utama filem. Meskipun sebetulnya ambilan gambar selanjutnya justru akan membawa penonton melihat selain kematian, atau malah melihat kehidupan.

Orang-orang yang tengah berziarah ke tengah waduk dengan menabur bunga

Selain kematian, berbagai isu sosial dan kultural  dimunculkan melalui dialog-dialog dan objek dalam filem. Ambilan gambar statis yang cukup mendominasi Ziarah memberikan keleluasaan bagi penonton untuk memikirkan kemungkinan isu dalam filem akibat durasi lama yang dilewati saat mengamati apa-apa yang terletak dalam bingkai filem. Di saat yang sama, konsep waktu menjadi kabur dan yang terlihat jelas adalah peristiwa dan lokasi beserta sejumlah besar kemungkinan narasi yang muncul lewat dialog.

Prapto yang tengah menemui salah satu saksi sejarah untuk menelusuri jejak Mbah Sr

Namun ketimbang difungsikan untuk membangun bentuk filem, gerakan kamera cenderung lebih banyak digunakan untuk menjaga keseimbangan dan harmoni subyek maupun obyek dalam bingkai saja. Subyek hampir selalu diupayakan berada dalam posisi setara atau lurus dengan level pandangan mata penonton. Sedangkan sejumlah besar obyek hadir sebagai materialisasi isu tentang ke-Jawa-an yang hampir sejak awal menjadi latar filem, jika bukan muncul lewat audionya. Penarasian filem memberikan porsi otoritas yang besar kepada penonton untuk memikirkan berbagai kemungkinan isu selagi menikmati detail pemandangan indah dan kesan ketenangan tertentu yang seolah tidak terikat waktu akibat durasi satu ambilan gambar yang rata-rata panjang. Akan tetapi, dengan gerakan kamera yang sejak awal kurang membangun bentuk filem secara konsisten, maka gambar yang serba harmonis dalam filem ini justru mengesankan kurangnya dinamika secara eksperimentasi visual. Narasi kisah dan alur yang sudah sangat dinamis malahan kurang ditunjang pula dengan gerak kamera dan bangunan visual yang dinamis. Sehingga terlepas dari upaya untuk menempatkan konteks sejarah dan filsafat dalam gaya yang mudah dipahami sekaligus memiliki dinamika lokal yang menarik, kesan datar masih sangat terasa pada Ziarah.

Akhirnya, Ziarah bergantung terlalu banyak pada dialog untuk membangun bentuknya, ketimbang pada eksperimentasi untuk menemukan bahasa visual yang tepat dalam mengekspresikan fiksinya. Upaya untuk menempatkan sejarah menjadi cerita fiksi melalui narasi gaya dokumenter yang memuat aspek kelokalan sangatlah menarik. Jika saja Ziarah lebih kuat dan konsisten secara bentuk, mungkin ia bisa menyadari potensi penuhnya sebagai sebuah cara untuk mengisahkan sejarah secara non-tertulis, sebagaimana para orang tua bercerita kepada kanak tentang masa lampau.


[1] Baca lebih lanjut di “Film “Ziarah” Tayang Perdana di Filipina”. Diakses dari situs Pamityang2an: https://pamityang2an.com/film-ziarah-tayang-perdana-di-filipina/ pada 27 Maret 2017 pukul 15:55.

[2] A. Kurniawan Ulung (Maret, 2017), “Film Music Food: A stage for independent movies”. Diakses dari situs The Jakarta Post: http://www.thejakartapost.com/life/2017/03/10/film-music-food-a-stage-for-independent-movies.html pada 27 Maret 2017 pukul 15:48.

[3] Percakapan singkat via Whatsapp dengan sutradara filem Ziarah pada 27 Maret 2017 pukul 18:40.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search