In Ulasan Buku

Dalam bukunya yang berjudul Philosophical Problems of Classical Film Theory, Noël Carroll secara luas membahas Rudolf Arnheim, André Bazin, dan V. F. Perkins. Ia menyebut pemikiran Arnheim sebagai silent-film paradigm (‘paradigma filem bisu’) sementara Bazin sebagai sound-film paradigm (‘paradigma filem bersuara’). Sedangkan Perkins, menurutnya sedikit berbeda, bukan karena buku Film as Film (Penguin Books, 1972) terbit lebih belakangan, melainkan karena ia menganggap Perkins telah keluar dari pakem teori filem pada masa itu dengan penemuan esensi filem atau metakritisisme.

Carroll menyerang teori filem klasik meskipun ia menyebut: “Classical film theory has developed as a very coherently structured, historical dialogue where the dialectical moves and counter-moves stand out in sharp relief.[1] Ia menyatakan bahwa gabungan dari teori “creationist” Arnheim, realisme ala Bazin, dan teori filem kontemporer adalah esensialisme. Menurut Carroll, esensialisme merupakan konsekuensi dari struktur pertanyaan yang dilakukan para teoretikus ketika mereka menyelidik sinema, sebutlah pertanyaan semacam “Apakah sifat determinan dari filem?” (lihat hal. 12). Jawaban dari pertanyaan semacam ini akan mengarahkan pada apa yang disebut esensi, yaitu prasyarat yang harus dimiliki sebuah objek, dengan begitu objek itu dapat disebut sebagai filem. Gagasan tentang ‘sinematik’, misalnya, menurut Carroll akan membuat kita menelusuri kembali “the essensial nature of cinema” (lihat hal. 13).

[quote align=”left” color=”#999999″]Carroll mengakhiri bukunya dengan sebuah harapan bahwa sebaiknya teori filem sudah tidak lagi berkutat pada kealamiahan medium (spesifisitas), tetapi lebih berupaya membangun teori tentang bagaimana mendayagunakan medium itu.[/quote]

Arnheim dan Bazin melontarkan model pertanyaan seperti tersebut di atas. Keduanya memperoleh jawaban tunggal, dengan demikian teori mereka cenderung mengarah pada esensialisme. Esensialisme dari posisi Bazin membutuhkan elaborasi karena Bazin sering kali ngotot pada gagasan tentang ontologi reproduksi fotografis atas sinema. Sedangkan dalam kasus Arnheim, esensialisme mengambil bentuk yang tidak lebih jelas dari Bazin, yang disebut Carroll sebagai “specificity thesis”.

Arnheim mengembangkan pandangan bahwa filem semestinya tidak mereproduksi realitas belaka. Menurutnya, semakin mirip dengan realitas maka semakin kurang nyeni. Pandangan ini merupakan konsekuensi dari keterbatasan teknis dari medium filem; representasi filemis menyisakan jarak antara persepsi normal dan realitas yang direkam. Jarak itu yang membuka ruang potensial tempat “hal-hal yang ekspresif” dari objek yang difilemkan dapat dimainkan. Carroll beranggapan bahwa argumen Arnheim, yang menempatkan seni dan realitas secara kontras, membuat teori “specificity” tidak menambah definisi positif atas medium filem. Ia melanjutkan bahwa pendiferensiasian ini tidak diperlukan; ia mencontohkan bahwa antara novel dan sinema, apakah karena keduanya sama-sama unggul dalam hal narasi lantas sinema harus mencari cara untuk membedakan diri dengan novel? (lihat hal. 83). Jawaban Carroll tentu saja tidak!

Jika kita telisik, argumen Carroll sebenarnya luput dari inti yang hendak disampaikan oleh Arnheim, sekaligus luput dalam mempertautkannya dengan estetika modern. Secara logis, “Specificity thesis” memang terdengar seperti argumen teknis. Namun, yang perlu diingat adalah, dalam periode tersebut, bidang seni (filem) sedang melakukan penegasan ulang perihal ‘jati diri’-nya. Dari sudut ini, kritik Carroll yang menganggap bahwa “specificity thesis” memenjarakan seni dari kemungkinan untuk berbuat lebih, dengan kata lain menutup jalan bagi “pencarian cara baru dalam mempergunakan medium”, telah kehilangan konteksnya.

André Bazin adalah seorang esensialis yang mengkhususkan “ontologi citra fotografis” sebagai jantung teori sinemanya. Ia menentang teori kekhususan ekspresionis dan menganggapnya musuh realis, dalam hal ini fotografi. Dalam buku ini, Carroll mengkritik Bazin dalam tiga perkara. Pertama, Carroll berargumen bahwa ‘teori realis’ yang dimaksudkan Bazin tidak dapat secara penuh dipergunakan untuk filem fiksi karena tidak memuat gagasan yang dapat ‘memediasi’ representasi. Jika citra semata-mata rekaman kenyataan, itu akan berarti bahwa “Films seem to become records of actors and places; their fictional referents dissolve.[2] Kedua, menyangkut realisme spasial, argumen Bazin bahwa komposisi ‘ruang-tajam’ (DoF)[3] vis-a-vis montase[4] tidak dapat dipergunakan untuk mendukung gagasan realisnya. Dalam filem-filemnya Orson Welles, Sergio Leone, André Tarkovski, ruang-tajam (DoF) justru memberi kesan simbolis, bukan realis. Ketiga, klaim Bazin bahwa citra ‘identik’ dengan modelnya merupakan sesuatu yang tidak koheren.

Meskipun Carroll beranggapan bahwa gaya film (film style) sebagaimana yang dimaksudkan oleh Bazin, dalam upayanya untuk memperlihatkan esensi sinema, tidak sekuat gagasan Arnheim tentang spesifisitas filem, Carroll cukup mengapresiasi upaya keduanya dalam memperkaya khasanah teori filem. Apresiasi terhadap gagasan Bazin dan Arnheim ini menjadi pintu masuk untuk membahas Perkins. Carroll beranggapan bahwa Perkins melakukan upaya yang lebih maju daripada dua pendahulunya. Perkins melakukan kritik atas Bazin dan Arnheim, ia berargumen bahwa upaya untuk menjabarkan apa itu esensi filem telah menghasilkan sesuatu yang represif karena tidak menyisakan tempat bagi kreatifitas. Dalam upayanya untuk mengatasi teori filem bisu dan realisme, Perkins melontarkan gagasan tentang “metakritisisme”, gagasan yang oleh Carroll disebut dengan “ekspresionis-realis”. Perkins menyangkal bahwa ia tengah menyusun sebuah teori untuk menjelaskan tentang apa itu filem. Upayanya adalah justru untuk membangun kerangka kriteria untuk mengevaluasi filem yang layak, kasus demi kasus. Untuk melakukan evaluasi tersebut, Perkins menetapkan dua kriteria dasar sebagai standar kategorial. Pertama, kredibilitas, yakni untuk mengevaluasi apakah sebuah filem telah membangun dunia yang secara konsisten meyakinkan sekalipun dunia yang dibangun tersebut tidak memiliki rujukan pada realitas nyata. Standar kategori kedua adalah koherensi, yakni jika semakin koheren jalinan peristiwa dalam sebuah filem, filem tersebut akan semakin baik. Jalinan peristiwa yang koheren ini pada akhirnya akan dipertemukan dengan standar kredibilitas.

Carroll menyatakan bahwa upaya Perkins melalui “metakritisisme” ini masih menyisakan jejak esensialisme. Perkins masih melakukan kompromi dengan teori filem esensialis. Menurut Carroll, sesungguhnya masih terbuka lahan bagi munculnya teori filem yang lainnya. Ia mempertanyakan, mengapa Perkins tidak menyusun teori tentang penonton saja? Atau menyusun teori “piecemeal” seperti yang ia kerjakan? “Instead of attempting to identify the essence of film and then analyzing each articulatory element of the medium in terms of its supposed essence, a film theorist might proceed by offering accounts of each articulatory dimension ad seriatim,” tulis Carroll.[5]

Setelah memperlihatkan Arnheim, Bazin, dan Perkins yang menurutnya masih sama-sama esensialis, Carroll mengakhiri bukunya dengan sebuah harapan bahwa sebaiknya teori filem sudah tidak lagi berkutat pada kealamiahan medium (spesifisitas), tetapi lebih berupaya membangun teori tentang bagaimana mendayagunakan medium itu. Selain “piecemeal theory”, Carroll juga menawarkan model “erotetic model”. Narasi erotetik yang dimaksud Carroll, intinya adalah model pertanyaan-jawaban, yakni pertanyaan dilontarkan pada skena tertentu yang kemudian dijawab dalam skena berikutnya. Pendekatan ini mirip dengan apa yang dilakukan Bordwell lewat “formasi hipotesa” dalam buku Narration in the Fiction Film (The University of Wisconsin Press, 1985). Semakin meyakinkan pergerakan naratif dalam sebuah filem, semakin baik filem itu. Carroll dan Bordwell adalah duo avatar penjaga rezim Hollywood klasik yang hingga hari ini sangat berpengaruh, baik dalam cara membuat maupun cara melihat sebuah filem.

Endnotes:

[1] Terjemahan dari penyunting: “Teori filem klasik telah berkembang sebagai dialog historis yang sangat koheren dan terstruktur, tempat gerakan dialektis dan gerakan baliknya terus bertahan dalam ‘relief’ yang tajam.” (Lihat Carroll, 1988, hal. 259).

[2] Terjemahan dari penyunting: “Filem tampaknya menjadi rekaman dari aktor-aktor dan tempat-tempat; rujukan fiksionalnya luluh.” (Lihat Carroll, 1988, hal. 149).

[3] Catatan dari penyunting: “Depth-of-Field” (DoF) adalah istilah teknis dalam sinematografi, yang secara teoretik atau konseptual diperluas pengertiannya oleh Bazin saat memaparkan pandangannya tentang gaya pengambilan gambar Deep Focus—kamera menjaga objek-dekat (yang terletak di latar depan) dan objek-jauh (yang terletak di latar belakang) tetap tajam pada saat yang bersamaan di dalam bingkai kamera—yang mulai muncul sebagai gaya baru pada beberapa filem produksi pasca-1938; DoF, bagi Bazin, merupakan “…sebuah tahapan dialektis yang mengarah ke depan dalam sejarah bahasa filem”. Lihat pembahasan ini di dalam karya tulisnya, berjudul “The Evolution of the Language of Cinema” dalam What Is Cinema, Volume I, Hugh Gray (Ed. & Trans.), (Barkeley: University of California Press, 1967).

[4] Konsep “montase” yang dikritik oleh Bazin, dalam hal ini, salah satunya ialah tradisi montase yang berkembang di Rusia pada masa Sergei Eisenstein dan kawan-kawannya.

[5] Terjemahan dari penyunting: “Daripada mencoba mengidentifikasi esensi filem dan kemudian menganalisis setiap unsur artikulatoris medium tersebut dalam hal esensi yang diharapkan medium itu, seorang teoretikus filem dapat beralih dengan menawarkan catatan atas setiap dimensi artikulatoris secara berturutan (ad seriatim).” (Lihat Carroll, 1988, hal. 203).

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search