In Artikel

Terminologi ‘moving image’ sesungguhnya sudah tidak lagi membedakan sinema dokumenter dengan sinema fiksi. Perihal genre tersebut sebenarnya telah mengalami standarisasi ketika apa pun yang dihasilkan oleh sinema adalah produk ‘image’. Bahkan, penghapusan batas antara dokumenter dan fiksi tersebut, oleh filsuf Jacques Ranciere, justru bisa memungkinkan hal yang sebaliknya. Menurut Ranciere, filem dokumenter, filem yang mengabadikan yang ‘real’, dalam konteks ini mampu menciptakan temuan fiksional yang lebih dahsyat daripada filem fiksi, karena siap mengabadikan untuk streotipe tertentu dari tindakan dan karakter.[i] Yang riil harus difiksionalisasikan agar bisa dipikirkan. Namun, ini bukan berarti segala sesuatunya adalah fiksi. Pengertian fiksi di sini adalah model yang menghubungkan presentasi fakta dan bentuk keindrawian yang mengaburkan batas antara logika fakta dan logika fiksi.

Dokumenter tentang Pencarian Image yang Hilang

Filem The Missing Picture (2013) karya sutradara asal Kamboja, Rithy Panh, merupakan dokumenter yang berkisah tentang pengalaman pribadi masa kecil sang sutradara di masa kekuasaan Khmer Merah (Khmer Rouge). Pengalaman yang bagi Panh adalah masa lalu yang traumatik tersebut adalah ketika ia berumur 17 tahun—rezim Komunis Pol Pot mengambil alih ibu Phnom Penh (ibu kota Kamboja) pada 17 April 1975—ketika kekuasaan komunis membawa para warga ke sebuah kamp kerja paksa pertanian. Kekuasaan komunis Khmer Merah merupakan kekuasaan yang memobilisir para warga kamboja dalam disiplin ideologi, dan janji-janji kemakmuran dan kejayaan di masa yang akan datang. Para warga kamboja di-‘netral’-kan dalam satuan-satuan angka di bawah kekuasaan totaliter Khmer Merah; mereka harus dicabut dari akar kultural dan hubungan keluarga, serta identitas pribadi mereka, untuk menjadi tenaga penggerak kejayaan ideologi. Demikian pula halnya yang dialami masa muda Panh di masa itu, ketika ia pun harus kehilangan rumah dan terpisah dari keluarganya. Ia melihat banyak penderitaan dan penyiksaan yang dialami oleh warga Kamboja di bawah kekuasaan Khmer Merah.

The Missing Picture sendiri adalah persoalan hilangnya image tentang peristiwa-peristiwa yang mengerikan di masa mudanya ketika Khmer Merah berkuasa. Namun, bagi Rihty Panh sendiri, tujuan dari filemnya kuranglah penting, karena ia bukan mencari sebuah gambar yang menunjukkan Khmer Merah mengeksekusi seseorang, atau gambar tentang orang tuanya yang juga turut menjadi korban dari kekejaman kekuasan Khmere Merah kala itu. The Missing Picture adalah sebuah proses atau usaha dari penciptaan image yang hilang itu sendiri. Panh sadar bahwa pergantian zaman juga akan membuat imageimage silih berganti, dan image tentang kekejaman Khmer Merah pasti akan hilang seiring pergantian zaman; bahwa yang ia temukan hanya arsip-arsip footage dan foto tentang propaganda yang mengagungkan ideologi Khmer Merah. Filem ini pun diawali oleh tumpukan gulungan filem yang terbengkalai dan rusak, sebagai bukti bahwa telah berlalunya sebuah masa dan tersisanya sebuah image. Namun, bagi Panh, ada hal yang tidak tergantikan ketika imageimage kekejaman Khmer Merah itu hilang, yakni perjuangan, kehormatan, dan keberanian. Yang Panh persoalkan di dalam The Missing Picture adalah tentang image dari sebuah pencarian; bahwa pencarian tersebut adalah berdasarkan “sinema mungkinkan”.

Bagi Panh, revolusi adalah sinema. Tidak ada yang tersisa dari masa lalu kekejaman Khmer Merah, hanya imageimage propaganda Khmer Merah tentang panen besar, para ketekunan pekerja di kamp pertanian, para anak muda yang giat bekerja, massa, wajah-wajah yang diatur, dan lain sebagainya. Panh melihat janji-janji revolusi Khmer Merah dalam image propaganda, di mana janji tersebut tidak pernah terwujud karena hanya penderitaan dan penyiksaan yang mereka alami. Panh hanya melihat revolusi yang eksis di dalam sinema. Namun, Panh masih memiliki memori tentang masa itu, tentang gambaran rumahnya yang diubah menjadi tempat karaoke, dan rumah pelacuran di masa Khmer Merah. Ketika tidak ada image yang tersisa tentang gambaran rumah Panh di masa kekuasaan Khmer Merah, maka ia hanya berhadapan dengan imageimage tentang revolusi Khmer Merah, dan Panh sendiri harus merevolusi image propaganda Khmer Merah berdasarkan pengalaman penderitaan pribadinya di masa itu.

Menurut Jacques Ranciere, “The image is never a simple reality. Cinematic images are primarily operations, relations between the sayable and the visible, ways of playing with the before and the after, cause and effect.[ii] Dalam konteks The Missing of Picture, Panh pun menciptakan sinemanya sendiri untuk mensubversifkan image yang diproduksi oleh Khmer Merah, sebagai sebuah usaha untuk membuat masa lalu lebih terlihat dalam kontruksi pengalaman personalnya. Panh pun membuat semacam lompatan imaginasi untuk menyikapi arsip-arsip image propaganda Khmer Merah, ia membuat figur-figur patung kecil tanah liat (dibuat oleh Sarith Mang), sebagai gambaran tentang dirinya dan warga Kambojoa yang mengalami penderitaan atas kekejaman Khmer Merah, sebagai perlawanan terhadap image propaganda Khmer Merah. Panh membuat narasinya dan testimoninya berdasarkan figur-figur patung kecil tanah liat tersebut.

Penggunaan Fiksionalisasi dalam Sejarah

Masa kekuasaan otoriter Khmer Merah di Kamboja, secara tidak langsung, adalah penaklukan masyarakat ke arah massa ideologis. Mereka, para masyarakat Kamboja, mengalami sebuah ‘netralisasi’, atau ‘dititiknolkan’ melalui penghilangan identitas dan akar kultural keluarga, sedemikian hingga mereka adalah massa dalam angka-angka yang siap dimobilisasi sebagai tenaga produksi dalam melayani propaganda ideologi Khmer Merah. ‘Netralisasi’ terhadap identitas individu masyarakat ke dalam angka-angka tersebut menjadikan mereka sebagai pribadi yang kehilangan akar kultural, dan masa lalu dihapuskan untuk digantikan oleh masa depan dalam janji-janji revolusi Ideologi Khmer Merah.

Secara tidak langsung, The Missing Picture pada dasarnya adalah usaha untuk memulihkan masa lalu, atau mengembalikan dan melacak masa lalu melalui memori pribadi Panh di masa kekuasaan Khmer Merah. Ketika image yang tersisa adalah arsip propaganda Khmer Merah, filem ini mengomentari (lewat voice overimage tersebut sebagai usaha untuk meruntuhkan otoritas propagandanya. Komentar  tersebut adalah perwakilan dari suara Panh sendiri, sebagai testimoni, dan sebagai usaha untuk mengikis jarak sejarah dari arsip yang ada. Penggunaan figur-figur yang terbuat dari tanah liat, oleh Panh, adalah penggambaran tentang masa lalu personalnya, yang mana masa lalu tersebut adalah pengalaman yang traumatik. Penggunaan figur tanah liat tersebut sebenarnya juga menjadi sejarah personal yang dihadapkan dengan keberadaan image propaganda Khmer Merah, selain sebagai proses dari pencaharian image yang hilang tentang masa itu. Panh membuat dioramanya sendiri sebagai kontruksi sejarah yang ia bangun secara personal. Ia menggunakan figur-figur patung tanah liat dalam merespon image propaganda Khmer Merah. Ia menjadi semacam diorama dari memori Panh sendiri, sebagai antitesa terhadap arsip propaganda Khmer Merah dalam mengkonstruksi masa lalu.

Diorama Panh, meskipun statis, ia menjadi subjek-subjek yang berbicara, melalui voice over, baik sebagai testimoni maupun sebagai komentar atas image propaganda. Menurut Panh sendiri, “Patung-patung kecilku tak bergerak, kami bukan berada di dalam sebuah filem animasi 3D. Mereka statis. Kamilah yang bergerak, menciptakan atmosfir… Di sisi lain, tidak ada atmosfer dan tidak ada suara di dalam image-image propaganda. Orang-orang tidak berbicara satu sama lain. Patung-patung kecilku berbicara melalui penempatan mereka dalam ruang, dan berkat voice over mereka lebih hidup dan ekspresif ketimbang orang-orang yang kita lihat dalam image-image yang berhubungan dengan arsip. Orang-orang yang saya tunjukkan dalam image-image arsip itu adalah robot. Mereka adalah orang yang terbuat dari debu, dari butiran pasir. Dalam kasus ini, manusia tidak lagi berarti, identitas tidak lagi berlaku…”[iii]

The Missing Picture, adalah semacam kemenjadian dalam membaca masa lalu dalam situasi sejarah pula. Panh tidak memberikan semacam statement dalam menyikapi masa lalu, namun lebih pada proses pencaharian image yang terus-menerus, atau semacam perluasan horizon dari makna masa lalu yang selalu terus diperluas. Panh menolak naturalisme dokumenter sebagai sebuah gaya yang membutuhkan sikap penyingkapan rahasia yang lengkap dan produksi spektakel, yang mana resiko produksinya memuaskan penonton. Sejumlah penonton akan menikmati kepastian pengetahuan dan kepuasaan emosional, ketimbang pengalaman berjarak dan kesulitan yang ditanam dalam sebuah proyek yang direklamasi, yang lebih mengutamakan proses daripada pernyataan.[iv]

Menurut Jasques Ranciere, politik dan seni seperti bentuk pengetahuan, yang mengonstruksi ‘fiksi’, yang mana untuk menyatakan pengaransemenan kembali material dari tanda-tanda dan image-image, hubungan antara apa yang terlihat dan apa yang dinyatakan, antara apa yang dilakukan dan apa yang bisa dilakukan.[v] Pengertian fiksi di sini adalah lebih pada persoalan strategi dan bukan genre, dan juga bukan sesuatu yang bersifat imaginer dan beroposisi dengan yang riil. Fiksi dalam konteks ini adalah, justru melihat bagaimana sesuatu yang riil dilihat dalam pembingkaian kembali (re-framing), atau bagaimana kenyataan dibingkai dan dikonfigurasi.

Dalam The Missing Picture, Panh melakukan sejumlah strategi untuk mendapatkan sebuah keterbacaan baru terhadap masa lalu yang dipenuhi oleh image propaganda Khmer Merah. Ia justru tidak membuat image baru atau tandingan, namun lebih pada proses pencarian image, dan itulah yang ia kerjakan sebagai sebuah respon dan antitesa terhadap image propaganda Khmer Merah di masa lalu. Dan dalam proses pencarian tersebut, Panh membuat semacam fiksi, yang satu di antaranya adalah berupa diorama dari figur tanah liat sebagai strategi untuk meruntuhkan masa lalu yang didominasi oleh image propaganda Khmer Merah.

 

Catatan Kaki:

[i] Jacques Ranciere. The Politics of Aesthetics. London: Bloomsbury Academic, 2013, hlm. 34.

[ii] ______________. The Future of Image. London: Verso, 2007, hlm. 6

[iii] http://www.newwavefilms.co.uk/assets/905/the_missing_picture_pressbook_no_footer.pdf (tgl, 4 des, pukul 13.15)

[iv] Leshu Torchin. Mediation and Remeditiation: La Parole Filmee in Rithy Pan’s The Missing Picture. hlm. 37)

[v] Jacquese Ranciere. 2013, hlm. 35

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search