In Berita/Liputan, Festival

grand illusion

Semangat garda-pelopor (avant-garde) dalam seni eksperimental menurut Julia Kristeva adalah keberaniannya untuk “melanggar batas” (transgression) yang akhirnya justru membuat tatanan baru dalam ruang dan waktu sehingga akhirnya menciptakan bahasa baru. Keberanian yang diusung oleh Kristeva ini tentu bukan tanpa resiko karena pembedaannya dengan budaya ‘popular’ sehingga seakan terpisah dengan kesadaran mayoritas yang berlangsung dalam masyarakat, namun yang harus dipahami dari semangat “melanggar batas” dalam seni eksperimental ini adalah pembelaannya terhadap entitas-entitas marginal dan minoritas yang belum terbahasakan baik sebagai kemungkinan baru, maupun filsafat keindahan (estetika) yang secara sadar menghubungkan dirinya dengan situasi-situasi sosial politik yang melingkupinya.

“Arkipel” (Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival) sebagai sebuah festival yang menekankan eksperimentasi sinema, pada perhelatan yang ketiga kali ini adalah mengusung tema “Grand Ilussion” sebagai usaha untuk mengenang 50 tahun ‘Peristiwa 65’ (Peristiwa G 30 S PKI). Dalam konteks sejarah sinema, tema “Grand Ilussion” adalah sebuah judul filem karya Jean Renoir di masa paska Perang Dunia Ke-1, sebagai rentang ilusi realisme yang menghapus batas-batas vertikal di dalam Negara, ideology dan lain sebagainya dalam masyarakat. Ilusi dalam “Grand Ilussion” adalah sebuah makna positif, ketika ‘ambilan panjang’ (long take) dalam teknis sinema adalah menyingkap keragaman detail realitas tanpa pretense apapun kecuali membukan selubung horisontal hubungan antar manusia. Kerangka estetika dalam filem “Grand Ilussion” Renoir ini sesungguhnya bisa dimaknai sebagai bagaimana ‘realitas filemis’ bisa memberikan harapan dan kemungkinan baru dalam peristiwa sosial politik dimana manusia bisa disatukan dalam kerangka horisontal di dalam semangat kemanusiaan.

la_grande_illusion

Hal yang berbeda tentunya ketika kita, khususnya para generasi yang mengalami masa Orde Baru (Orba), dimana sejarah atau peristiwa di masa lalu tidak memiliki rujukan apapun kecuali melalui indoktrinasi visual oleh pihak penguasa. Kita para generasi yang memiliki pengalaman di masa Orde Baru tentu masih ingat bagaimana kita diwajibkan menonton filem “Penumpasan Pengkhianatan/Pengkhianatan G 30 S PKI[i] pada tiap tanggal 30 September, baik di bioskop maupun di televisi (Televisi Republik Indonesia, TVRI). Filem karya Arifin C.Noer tersebut sebenarnya adalah kemampuan ataupun kecangggihan estetika yang sanggup membentuk sebuah konstruksi di masa lalu  bagi para penontonnya, melalui montase-montase yang mengerucutkan secara vertikal mana pihak yang ‘salah’ dan pihak yang ‘benar’ dalam peristiwa G 30 September 1965 di masa lalu, selain memang tidak ada rujukan visual di luar filem tersebut sebagai perimbangan ideologi dalam memandang peristiwa 65. Intensitas dan rutinitas filem Pemberontakan G 30 S PKI yang dibentuk oleh penguasa Orba kepada masyarakat nyaris menjadi bukti dokumen visual dari peristiwa di masa lalu, sehingga persepsi dan pandangan masyarakat terhadap peristiwa berdarah tersebut menjadi semacam homologi dimana rujukan masyarakat terhadap realitas adalah seperti yang dikonstruksikan oleh sang penguasa. Homologi ini dimungkinkan, karena masa Orba sendiri adalah periode medium dimasa analog, dimana sinema secara sosiologis memang belum memungkinkan pesebarannya dikalangan masyarakat, selain sifat medium alanog yang tidak cair terhadap penggunaannya.

Sebagai bagian dalam memperingati 50 tahun peristiw 65, “Arkipel” dalam perhelatan kali ini, memuat sesi simposium seputar tema “Peristiwa 1965 dalam Kontruksi Media”. Ada pun simposium tersebut diisi oleh salah sejawaran Hilmar Farid, dan pengamat filem Budi Irawanto yang akan diadakan pada tanggal 27 Agustus 2014, di Auditorium Institute Kesenian Jakarta (IKJ). Kedua pembicara akan memperbincangkan bagaimana selama ini kontruksi media membentuk peristiwa 1965 di benak masyarakat Indonesia, khususnya terkait dengan kontruksi media yang berlangsung di masa Orba. Periode Orba yang dikenal sebagai era analog yang notabene adalah sentralitas representasi berdasarkan sentralitas medium, dalam konteks kekiniaan sentralitas medium tersebut tentu sudah tidak berlaku dimana era reformasi adalah era digital sebagai medium yang memiliki pesebaran di kalangan masyarakat luas. Dampak dari era digital ini tentu berdampak pada keragaman representasi, atau bias dikatakan sebagai era demokratisasi visual, dimana bentuk representasi memiliki keragaman di dalamnya. Tidak bisa dipungkiri, filem sebagai medium yang sanggup menjangkau khalayak masyarakat luas adalah, ‘realitas layar’ yang bersifat sentrifugal dengan realitas keseharian masyarakat, sehingga menjadi identifikasi yang efektif dalam mengenali realitas dan sejarah di masa lalu.

benarkah-film-g-30-spki-diangkat-dari-bap-7-psk

Penumpasan Pengkhianatan/Pengkhianatan G 30 S PKI

Festival “Arkipel” yang berlangsung tiap tahun sesungguhnya adalah kerja selama tahun tersebut, di dalam merumuskan, mendiskusikan, memetakan, mewacanakan dan lain sebagainya sebagai kerja yang tidak mengenal lelah untuk memberikan wadah yang terbaik bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat filem kita, dalam memberikan kemungkinan baru dan keragaman bahasa sinema sebagai bagian dari perkembangan dan pertumbuhaan kebudayaan dan kebangsaan ber-Indonesia itu sendiri. Hal ini karena festival adalah bukan sesuatu yang bersifat sektoral semata, sehingga “Arkipel” tiap tahunnya berusaha betul untuk menjadikan festival adalah sesuatu yang juga aktual dalam kerangka fenomena sosial politik di masyarakatnya. “Arkipel” kali ini adalah di tahun ketiganya, sebagai sebuah festival filem di Jakarta yang mungkin bisa dianggap sebagai masih tahun-tahun awal kelahirannya, namun meski tema dan karya yang diusung bukanlah budaya popular, tetap memiliki keberanian untuk menjembatani masyarakat untuk melihat bahasa dan kemungkinan baru dalam melihat dunia dan realitas. Sikap ini lahir dari pembelaan terhadap hal-hal yang marginal dan minoritas yang belum terbahasakan , khususnya tentang bagaimana cara kerja sejarah juga tidak luput dari cara ilusi-ilusi bahasa medium sebagai identifikasi terhadap realitas yang efektif. Dalam hal ini, “Arkipel” berusaha memberikan sumbangsih sosial politiknya dalam konteks estetika sinema, yang seiring dengan perkembangan kebangsaan dalam memaknai masa lalunya. Selamat berimajinasi dalam program-program yang disajikan “Arkipel”, selamat datang…


 

[i] Ada beberapa versi mengenai judul filem Arifin C. Noer ini.

Recommended Posts
Comments
  • aby matta
    Reply

    trima ksih atas tulisannya, luar biasa idenya dan ini bisa jadi bahan referensi buat saya,

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search