In Wawancara

Jurnal Footage kembali menampilkan seri wawancara antara Eric Rohmer dan Barbert Schoeder mengenai Isu Filem dan Kisah-kisah Moral. Ini adalah bagian kedua dari seri wawancara Eric Rohmer dan Barbert Schoeder.


mynightatmauds2

Filem berikut kita ialah My Night at Maud. Tapi Kepala Program Televisi tidak tertarik dan menyebutnya “teater yang difilemkan”, bukan sinema.
Benar, karena filem itu “cerewet”. Ini jadi hambatan terus bagi filem-filem saya kemudian. Memang kesalahan saya. Alih-alih menghampar lataran (settings) dan action tiap ke saat, skenario saya murni dialog. Tentu saja ini menghempaskan pembaca. Maka saya tak punya dana untuk membuat My Night at Maud, sementara TV menolak memproduksinya. Mujur, saya lantas menemui Truffaut. Saya tersisih dengannya sebab dia telah menghasut saya keluar dari Cahiers du Cinema. Tapi sama-sekali saya tak dendam sebab dia telah menyarankan saya hal yang luarbiasa. Saya telah menghabiskan waktu di majalah itu, terkurung kejenuhan tugas-tugas pembukuan. Untuk hidup, sejak tak lagi di Cahiers, saya lalu belajar pertelevisian. Ketika mulai jadi profesor, saya bukan lagi sutradara, melainkan “produser TV”, berarti juga “penulis skenario”. Saya banyak menuliskan pandangan. Salah satu acara televisi itu mengenai sinema, dan pernah tentang sutradara filem Jean Vigo. Ternyata Truffaut pengagum Vigo, maka saya hadirkan juga dia di acara itu. Begitulah saya berhubungan dengan Truffaut lagi akhirnya. Katanya, “Aku baca skenario kau. Kurasa bagus sekali.” Saya beritahu dia, saya telah ditolak didanai. Kata Truffaut, “Tidak masalah. Aku punya cara untuk membuatnya.” Dia sudah baca skenario yang dikirim ke aktor Trintignant, yang aktingnya di filem sangat mengesankan saya. Agen Trintignant yang juga telah memunculkan Truffaut, Lebovici, punya skenario itu di kantor; Truffaut melihat dan membacanya, lalu betul-betul mengambilnya.
Truffaut mengirim ke saya dan berkata, “Kita harus buat filem ini. Sekalian kita dapatkan orang-orangnya”. Dialah pendorong sekaligus penarik sepuluh produser yang masing-masing lalu berpatungan. Sebenarnya tak terlalu menguras biaya karena ada uang dari dana bantuan publik untuk sinema. Undang-undang yang masih berlaku, memberi produser filem Prancis persentase dari pajak filem yang laris di peredaran. Para produser Amerika berang karena hal itu tidak berlaku bagi filem asing. Sejumlah produser penting masa itu telah mendanai filem dari situ. Maka kita pun sanggup membuatnya…..

Saya rasa alasan Truffaut membaca skenario My Night at Maud, selain karenaAnda yang menulisnya, juga karena dia tak terkesan pada La collectionneuse.
Agaknya, kita membuat filem itu karena memang telah merencanakan.

collectionneuse5

collectionneuse2

Dalam tata susunan kronologis “Kisah-Kisah Moral”, My Night at Maud, yang lalu juga disebut La fille a bicyclette, muncul sebelum La collectionneuse.
Tata susunan itu tak begitu penting, hanya saya ingin membuat tiga filem awal saya dalam hitam-putih, baru kemudian dalam tata warna. Itu saja. Tak soal bila kita mulai dari filem berwarna lalu ke filem hitam-putih. Sebagian produser biasa memaksa pembuatan filem yang menolak pengambilan gambar dengan pita filem hitam-putih. Piere Braunberger, perintis produksi filem-filem Jean Renoir tahun 1920an dan penyokong para pembuat filem muda, meminta saya supaya membuat filem itu dalam tata-warna. Saya tolak. Mengapa? Saya suka Clermont-Ferrand –kota tempat tinggal Blaise Pascal, filsuf yang penting sekali di filem itu– karena rumah-rumah di sana dibangun dari karang bukit sehingga sekujur kota itu berwarna hitam. Sebuah kota tanpa warna. Saya pikir ini sesuai atmosfer filem itu. Kita tidak membuatnya dengan filem berwarna. Busana pun saya pilih tidak berwarna. Semua tokoh memakai abu-abu atau hitam sesuai atmosfir filemnya. Jika difilemkan berwarna, hanya akan menjadi bayang hitam. Itu alasan lain. Kita harus lakukan itu, tapi hitam-putih sungguh lebih indah. Ada alasan lain: Filem itu banyak diambil di malam hari, dan stocks filem hitam-putih lebih cepat tersedia daripada filem berwarna. Itu alasannya, selain pada filem-filem saya, sering kali pilihan praktis dan biaya betul-betul menyertai pilihan artistik.

mynightatmauds1

Anda membuat [filem pendek] On Pascal, “Tentang Pascal”, sebagai persiapan filem My Night at Maud, atau rencana filem itu memang menggagas Anda membuat filem tentang Pascal?
Entahlah, saya tak bisa katakan. Saya sadari itu saat tengah mempersiapkan atau setidaknya memikirkan filem. Tapi saya tak ingat. Ia ada dalam saat yang sama, tapi saya tak tahu mana yang hadir lebih dulu.
Seringkali kerja Anda di program televisi pendidikan menyediakan cara pengamatan bagi filem-filem yang tengah Anda persiapkan.
Ya, meneguhkan saya untuk mendiskusikan filem. Saya telah memfilemkan suatu diskusi, yang sederhana maupun yang mengesankan. Filem pertama saya, Le signe du Lion, sama sekali tak berisi diskusi, sementara La collectionneuse memuat serangkaian diskusi, namun kedua filem itu secara mendalam–bagaimana mengatakannya, ya? Tokoh-tokohnya tak terseret arus. Plot mereka lebih singkat. Tetapi dalam My Night at Maud, bisa dikatakan para tokohnya mendiskusikan suatu isi.

“Suara asli” (original sound) merupakan pengalaman terpenting pertama Anda dengan suara-langsung (direct sound).
Sebagian filem Le signe du Lion memakai rekaman suara langsung meski tak penuh, sebab waktu itu perangkat rekaman suara sangat berat dan makan tempat. Belum ada perekam NAGRA. Kami punya mobil suara buat para teknisi langsung memasukkan suara ke dalam bidikan filem. Belum ada pita-rekam magnetik. Tapi seluruh suara pada My Night at Maud direkam di tempat, dan sejak itu semua filem saya kemudian memakai rekaman suara langsung. Saya tak pernah pakai perekaman suara belakangan (post-synchronizationed). Banyak sutradara memakainya untuk pengambilan gambar luar ruang. Tapi saat shooting di jalanan riuh, saya tetap memakai perekaman suara langsung.

mynightatmauds3

collectionneuse1
Anda kerap mencoba hanya satu kali ambilan-gambar. Perekaman suara langsung tentu merumitkan itu. Apa gagasan Anda soal ambilan gambar satu kali? Mengapa mencoba hanya satu kali ambilan-gambar?
Saya harus menyebut La collectionneuse karena filem awal saya. Bukan dalam arti tata urutannya, tapi lebih merupakan filem yang dibuat mula-mula. Kami tak punya uang untuk membuat La collectionneuse, jadi kami harus berpatungan. Fotografer kawan Anda, menawarkan sejumlah uang –ia beroleh keuntungan manis dari sukses filem itu. Tapi kami harus sangat berhemat, maka saya tetapkan membuat filem dengan hanya satu kali ambilan-gambar dan segera menyimpannya. Seruan “Camera!”, baru kemudian “Action!” biasa dilakukan. Kita bersikap sebaliknya. Saya berkata pada pemain saya, “Ayo, mulai. Action!”, baru lalu “Camera!” untuk menghemat pita filem. Tentu saja, dalam My Night at Maud, kita melakukan banyak ambilan-gambar (take) karena –dengan segudang alasan– kau perlu perekaman suara langsung, seperti kalau seorang aktor beberapa kali gagal dalam plot-nya. Hal ini tak terjadi karena para pemain sangat andal, misalnya Trintignant sebagai Francoise Fabian. Tapi suara riuh di luar bisa membuyarkan satu ambilan gambar pertama, meski dalam hal ini segalanya berjalan lancar. Juru-suara saya, Jean Rouch, adalah pembuat revolusi perekaman suara, meski di filem ini dia memakai teknik yang tradisional. Kelak, dia –yang rupanya sudah biasa di pertelevisian– adalah salah seorang perintis seni filem dengan pemakaian mikrofon-lapel [mikrofon-sayap] satu transmiter. Mikropon-lapel [mikrofon-sayap] nirkabel. Ia pakai itu untuk Claire’s Knee, tapi tidak pada My Night at Maud.

clairesknee04

Kembali ke gagasan satu kali ambilan-gambar (take), apakah Anda dapatkan satu kali ambilan-gambar pertama itu punya kualitas khusus tertentu?
Segenap teori saya soal satu ambilan-gambar pertama masih tetap berlaku. Sepengamatan saya saat melakukan sebagian ambilan gambar, para pemain suka memaksa. Sulit sekali mengendalikan pemain dari keinginan ambilan-gambar lagi, dan biasanya, ambilan-gambar kedua tidak cukup bagus. Sewaktu shooting filem saya, The Marquise of O [dari novela Heinrich von Kleist] di Jerman, para pemain adalah perfeksionis yang memaksa take [ambilan-gambar] berulang kali. Kata mereka, “Ambilan-gambar ini-ini tidak bagus. Kami bisa lebih baik.” Saya beritahu, “Biar saja kalau memang tidak bagus. Tiap take tak harus sempurna. Ada yang mesti meninggi, ada yang rendah. Juga statis.” Saya pertahankan pendirian ini. Saya bisa memperbaikinya di ruang editing. Filem-filem akhir berdana besar saya, ambilan-gambar (take) keduanya tak terlalu makan biaya. Saya lakukan sejumlah ambilan-gambar, tapi seamatan saya, ambilan-gambar pertama, mungkin memang tak begitu sempurna –tak banyak cacat, tapi punya kualitas yang terbaik. Bagi saya yang terpenting adalah kualitas.

Bagaimanapun, Anda tak khawatir untuk membuat latihan sebelumnya sehingga semua pemeran tahu persis bagaimana satu bidikan (shot) mesti dilakukan. Anda tak khawatir kehilangan kualitas khusus kewajaran Anda dengan para pemain Anda banyak melakukan latihan?

Saya tak khawatir kehilangan itu karena selalu melakukan latihan, melainkan karena selalu mengerjakan bukan filem yang sama. Demi ambilan-gambar pertama, pemain harus telah mempersiapkan diri. Faktor risiko semacam ini akan sampai juga pada ujungnya. Pemain mungkin bisa amat baik sudah melakukan latihan sebelumnya. Dia harus latihan sebab saya amat menuntut soal tempatan (location) dan bingkaian (framing). Saya juga– berpikir begini: jika si pemain banyak latihan, inilah saat ia menjadi wajar. Sebab ketika terlambat memberi pemain alur cerita untuknya, maka dia akan baru mempelajari plot utuhnya belakangan. Inilah saat kewajaran hilang, tapi lalu ditutup-tutupi. Karenanya di filem saya, pemain harus sudah memegang skenario beberapa bulan sebelumnya sehingga mereka punya banyak waktu menyerap ceritanya, dan akan membuatnya wajar. Waktu saya minta pemain mengucapkan alur peran mereka sendiri, itu mirip take pertama. Kita telah mendengar dialog itu, tapi kadang bahkan tak bisa kita ungkapkan lewat kerjasama dengan para pemain yang mengucapkan dialog itu sampai akhir. Saya telah membuat kedua jenis filem semacam itu. Yang satu, dialognya telah saya tulis dengan baik jauh sebelum waktunya, dan satu lagi sepenuhnya dengan improvisasi. Lucunya, dialog improvisasi tak berbeda bentuk dengan dialog “sastrawi” yang ditulis sebelumnya. Salah satu contohnya, The Green Ray. Beberapa filem saya yang dibuat dalam 16 mm, seperti The Green Ray, Four Adventures of Reinette and Mirabelle, The Three, The Mayor and The Mediatheque, Rendezvous in Paris– semua memanfaatkan improvisasi. Juga pada sebagian Claire’s Knee. Kedua unsur tersebut disatupadukan. Saya pikir begitu. Entahlah. Saya tak selalu merasa bisa mengatakan mana yang telah diimprovisasi dan mana yang tidak. Saya rasa ini amat sesuai dengan bagian yang telah dituliskan. Misalnya –dengan sejumlah kecuali– pemain profesional bercampur bersama yang non-profesional, dengan yang terakhir makin sering perlu banyak upaya yang menjadi bagian saya.

clairesknee01

clairesknee02

Saya rasa, dari semua latihan improvisasi Anda sebelumnya dengan para pemeran, itu bukan menolak improvisasi perasaan. Saya amati dalam banyak filem sekarang itu berakibat sekadar keisengan. Saat memakai improvisasi, Anda telah lebih dulu mendiskusikan dan banyak mengolahnya sehingga itu tak tampak seperti improvisasi.
Benar. Saya tak suka sebutan “improvisasi perasaan” Anda itu. Ada pemikiran saya mengenai ini. Saya kira, jika kita minta seseorang berkata apa-apa soal hidup kesehariannya –gadis pelayan toko kue itu, misalnya, di The Bakery Girl of Monceau dan juga di Le signe du Lion– Jika saya minta pada gadis pelayan toko kue itu memberikan roti pada orang lain dan mengatakan harganya, dia akan terlihat sangat wajar, tapi segala di luar itu akan tampak memaksa. Di pedesaan, jika saya minta seorang petani berkata mengenai kesehariannya, hal itu akan tepat. Maka kita mesti tahu apa yang mau ditanyakan padanya. Kita tak bisa begitu saja memberinya garis perkataan buat diucapkan. Mesti dengan kata-katanya sendiri.

Saat kita membicarakan proses pembuatan filem, sering kali “filem itu” sudah diselesaikan di kepala Anda. Sebelum itu, Anda telah memilahnya dalam “shot-shot”, ya, kan?

Benar. Saya tak mengatakan editing itu tidak penting. Kenyataannya, saya selalu turut mengerjakan editing. Saya tahu ini mengherankan sebagian sutradara. Saya ikut mengerjakan editing nyaris frame per frame (bingkaian demi bingkaian). Tapi bukan berarti saya tak mengerjakan dekupase [decoupage = pemotongan], memecah filem dalam bagian shot-shot terpisah dan sekuen guna mementingkan pembuatan filemannya. Filem-filem saya –meminjam kata-kata Bazin– dipertajam dalam dekupase, bukan editing. Bagi saya, sungguh tak terpikir menyerahkan filem saya –seperti banyak dilakukan sutradara– ke tangan editor agar mengeditnya, lalu berkata, “Yang ini bagus”, atau lalu mengoreksinya tanpa inisiatif. Tidak, saya sudah tahu persis bagaimana filem itu harus diedit. Bisa dikatakan, itulah bagian dari mise-en-scene. Memecah adegan per adegan dan shot per shot adalah bagian dari mise-en-scene. Bagi saya, dekupase sungguh yang terpenting. Dalam sejarah sinema, ada satu sutradara yang punya dua cantuman nama di semua filemnya dengan “Directed by” dan “Shooting Script by”, yaitu Marcel Carne.

Ha-ha-ha, saya tak tahu itu…..

Dalam filem-filem pendek saya, cantuman nama saya ialah “Shooting Script, Eric Rohmer”.
Sutradara yang mencapai taraf tertinggi ini ialah John Ford. Dia hanya memfilemkan apa yang mutlak perlu, shot-shot-nya merupakan potongan yang final.

collectionneuse3

La collectionneuse erat dengan itu. Misalnya shot-shot mundur di adegan-adegan percakapan tidak difilemkan seperti biasa, tetapi tiap angle (sudut-tampakan) diambil secara sinambung. Kita hanya membuat shot pemeran yang sedang bicara. Shot berbeda dari pemeran lain yang sedang mendengarkan, dipisah. Tapi ini soal lain. Kita lakukan itu guna berhemat.

Ya, potongan terakhir dari La collectionneuse, 8.200 atau 8.800 kaki panjangnya, dan shot seluruhnya hanya sedikit lebih dari 16.000 kaki.
Anda katakan bahwa laboratorium filem itu kiranya ialah filem pendek.
Lagipula editingnya hanya perlu waktu satu minggu yang berarti, sebab Anda telah merancang tiap shot sebelumnya. Itu sungguh rumit sekali. Saya kerjakan dengan cara saya sendiri. Berat sekali karena dalam shot itu tanpa suara [no-sound]. Saya hanya punya satu garis panduan. Maka garis plot pemeran saya ucapkan. Saya banyak belajar mengeditnya. Saya taruh sekaligus potongan kasar itu. Pada dasarnya saya yang mengedit filem itu, sampai kemudian Jacquie Raynal [editor sebenarnya Rohmer] kembali dan melakukan koreksi.
Begitulah kiranya kita dapat biaya. Kita tayangkan filem 90 menit hitam-putih kita tanpa suara. Kita bahkan tak punya uang untuk menggandakannya secara berwarna. Jadi kita telah menayangkan 90 menit filem bisu dengan banyak kejadian luarbiasa yang sungguh tak kita sadari. Kemudian Beauregard si produser, sedia menalangi dana guna menuntaskan filem itu.

Saya ingat awal-mula Nestor Almendros. Kita sedang bikin filem pendek dekat bangunan Arc de Triomphe dengan kameraman sudah pergi menghilang. Si kameraman menyerah dengan cara kerja kita karena tanpa bayaran hingga dia tinggalkan kamera di trotoar. Nestor sedang di sana dan selalu menempel saya agar membiarkannya di lokasi pengambilan gambar atau membantu-bantu. Kita tidak tahu dia kameraman sewaktu dia bilang, “Aku tahu menggunakan ini. Aku bisa menggunakannya.” Kita tidak tahu dia sudah pernah membuat shot sejumlah filem di Kuba. Dia ambil kamera di trotoar itu, dan mulailah dia lakukan caranya sampai bekerjasama dengan Anda di filem besar Anda berikutnya, La collectionneuse.
Ya, saya ingat itu. [ ] Nestor berkata, “Saya tahu cara bikin filem,” maka mulailah kita shooting. Saat itu saya pun tengah tertarik dengan sinematografi, yang kiranya tak pernah profesional saya kerjakan. Kita pakai sisa latihan dari filem berwarna, jadi tata-cahayanya bisa sempurna. Anda tak bisa mengoreksi warna saat tak ada lagi negatifnya. Saya sadar kita sudah melakukan shooting sampai titik itu dengan diafragma (bukaan-lensa/aperture) 2.8. Nestor langsung pegang kamera, lalu saya tanya, “Berapa ukuran diafragma yang kau pakai ?” Dia jawab, “Saya akan pakai 3.2.” Ia periksa dengan pengukur-cahaya. Cahaya bisa berubah. Saya bilang, “Cahaya harus sama seperti sebelumnya,” maka dia pakai 2.8. Kata dia, “OK. Saya bisa pakai 2.8.” Saya sudah panik, memang. Pikir saya, “Kalau dia tidak tahu harus pakai berapa….” Tapi akhirnya dia benar. Baguslah.
Dia sangat bermain intuisi. Bukan sekadar teknisi. Dia memberi impresi-
Tapi impresi yang keliru. Dia tidak sembarangan. Pada La collectionneuse, satu kesalahan bisa berakibat fatal dan sukar sekali diperbaiki.
Intuisinya memberi dia nafas artistik, dan dia selalu memberi yang terbaik.
Dia juga punya mata sempurna terhadap bingkaian [frame; framing], seolah dia benar-benar bisa mendekatkan penglihatan. Dia pakai lensa kontak. Baguslah. Entah di mana kameraman saya yang tidak berpenglihatan-dekat….. semoga mereka makin indah melihat. Saya ingat, saat kita membuat filem di jalanan, banyak kameraman yang kita minta agar memfilemkan sebuah rambu jalan, akan bilang, “Itu sudah jelas sekali terlihat. Saya tidak perlu membesarkan gambarnya.” Ini salah. Karena bagaimanapun, masih terlalu kecil buat terbaca, apalagi di TV.

collectionneuse6

Sumber wawancara Barbert Schoeder dan Eric Rohmer, “Moral Tales, Filmic Issues”, dalam kumpulan DVD filem Eric Rohmer, Six Moral Tales. Rekaman video digital wawancara ini terjadi pada April 2006, khusus untuk Criterion Collection. Transkripsi, penerjemahan dan penyuntingan oleh Ugeng T. Moetidjo.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search