In Artikel

Pengantar Editor
Lebih dari satu tahun filem The Act of Killing (Jagal) telah ditayangkan di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Filem ini pun telah menuai berbagai macam tanggapan dari masyarakat internasional. Mulai dari pujian atas kualitas bahasa sinema yang baik dan juga isu kemanusiaan yang dibicarakannya, mendapatkan penghargaan di berbagai festival filem internasional, hingga berbagai tuduhan dan hujaman kritik pedas yang diberikan oleh berbagai pihak, salah satunya pemerintah Indonesia.

Pada tanggal 16 Januari 2014 lalu, filem ini menjadi nominasi The Best Documentary pada perhelatan 86th Academy Awards. Peristiwa ini tentu menjadi catatan tersendiri bagi perkembangan sejarah sinema Indonesia. Namun, beberapa saat kemudian, prestasi itu kembali mendapat kritik tajam dari pemerintah Indonesia.[1]

Jurnal Footage merasa perlu memuat kembali dan menyebarluaskan jawaban kawan-kawan anonimous terhadap kritik pemerintah Indonesia yang pernah dimuat di sosial media beberapa hari lalu. Wacana kekerasan yang selama ini ‘tersimpan’ dalam sejarah kebudayaan Indonesia terutama tragedi 1965-1966 yang diangkat oleh filem The Act of Killing (Jagal) menjadi sebuah perjuangan kemanusiaan dan membangun kesadaran untuk melihat kembali bagaimana sejarah bangsa ini dibangun. Selain itu, kami juga berpendapat bahwa filem ini memiliki bahasa sinema (estetika) yang sangat kuat dan layak untuk diberikan tempat sebesar-besarnya bagi pembelajaran apa itu sinema.

 

[1] Baca: http://www.thejakartaglobe.com/news/indonesia-reacts-to-act-of-killing-academy-nomination/


01

Membaca reaksi pemerintah Indonesia terhadap filem Jagal atau The Act of Killing kami merasa perlu memberikan tanggapan.

Filem yang kami buat berlokasi di Indonesia, berbahasa Indonesia, dengan tema yang berkait erat dengan babak gelap dalam sejarah Indonesia, namun demikian filem kami sesungguhnya bercerita tentang manusia; tentang sebuah pembantaian massal yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya. Filem kami bercerita mengenai dunia yang dibangun oleh imajinasi dan penyampaian cerita; tentang dunia yang dibangun dengan imajinasi penguasa dan penyampaian cerita berupa propaganda cuci otak. Tentang sebuah dunia yang dibangun untuk menjustifikasi kekerasan massal sebagai sebuah perjuangan heroik yang terus dipertahankan sampai hari ini. Tentang sebuah dunia yang menghasilkan kekosongan moral dan kematian budaya—semati hewan awetan walau diusahakan kelihatan dan berpose hidup. Tentang sebuah dunia yang dibangun diatas kuburan massal yang disembunyikan agar terlupakan. Filem kami adalah sebuah kisah mengenai apa yang terjadi di manapun jika manusia membangun normalitas sistem ekonomi dan politik berdasarkan kekerasan, kebohongan, dan ketakutan.

Menghindari membicarakan pokok persoalan yang diangkat di dalamnya, filem Jagal dituduh sebagai upaya asing untuk memperburuk citra Indonesia di dunia. Kami, pembuat filem Jagal, sama sekali tidak pernah berniat memperburuk citra Indonesia, karena bagi kami citra buruk bukanlah dari apa yang digali dan diungkap dari kejadian di masa lampau tetapi apa yang dikerjakan saat ini. Bagi kami citra bukanlah persoalan bagaimana dan seberapa baik kejahatan terhadap kemanusiaan disembunyikan dari pengetahuan rakyatnya. Citra buruk adalah melanggengkan ketidakadilan dan impunitas bagi mereka yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Citra buruk adalah tidak meminta maaf kepada penyintas dan keluarga korban kejahatan terhadap kemanusiaan. Citra buruk adalah tidak merehabilitasi dan memberikan mereka rekompensasi atas segala yang telah dirampas dari mereka selama ini. Citra buruk adalah terus-menerus menyembunyikan fakta yang penting, walaupun pahit, pada buku teks yang dibaca jutaan murid sekolah dan pada akhirnya mencetak berlapis generasi yang tak mengenal sejarahnya sendiri. Citra buruk adalah mengangkat arsitek pembunuhan massal sebagai pahlawan. Citra buruk adalah ketiadaan upaya untuk memulai sebuah proses rekonsiliasi yang sejati dan menampilkan rekonsiliasi pura-pura yang berinti proses pelupaan sebagai satu-satunya hal yang mungkin dilakukan.

Tidak satupun kerja memperburuk citra Indonesia kami lakukan lewat filem Jagal.

Menuduh filem Jagal sebagai suara ‘asing’ adalah upaya usang sekadar memancing sentimen sempit untuk mendirikan pagar pemisah tinggi-tinggi antara yang ‘kita’ dan yang ‘mereka’. Jika ada yang bisa diambil pelajarannya dari filem kami, maka pembedaan yang melupakan semua kesamaan itulah yang menjadi salah satu faktor mengapa sebuah kebencian dan kekerasan massal menjadi mungkin dibayangkan dan dilakukan oleh sekelompok manusia terhadap sekelompok manusia yang lainnya.

Berbicara mengenai intervensi asing, kami ingin mengajak semua untuk melihat berbagai investasi asing, proyek, dan utang yang menggelontor Indonesia sejak 1965 dan dibukakan gerbangnya selebar-lebarnya oleh pemerintah, masuk sebagai kelanjutan pembantaian massal yang disembunyikan itu dan pada akhirnya menggusur, mempermiskin rakyat, mengeruk segala kekayaan alam sambil meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang berkelanjutan dari Aceh sampai Papua. Pembunuhan massal 1965-1966—dan bukannya filem ini—yang justru adalah sebuah intervensi asing. Justru pemerintahan yang menuduh bahwa filem ini adalah sebuah intervensi asing yang sesungguhnya adalah produk dari puluhan tahun intervensi asing.

Filem Jagal bukan semata-mata ekspresi dari pendapat dan pandangan awak filem berkebangsaan selain Indonesia, tetapi juga adalah pandangan kami, awak filem berkebangsaan Indonesia. Filem ini mewakili pandangan kami semua sebagai manusia penghuni bumi melintasi batas-batas negara, kebangsaan, ras, etnis, dan bahasa. Filem Jagal dibuat oleh orang-orang dari berbagai bangsa, dengan awak filem paling banyak berasal dari Indonesia, dengan semangat kemanusiaan dan solidaritas kepada semua korban pelanggaran hak azasi manusia di dunia. Jika filem Jagal (The Act of Killing) secara resmi terdaftar sebagai produksi Denmark, Inggris, dan Norwegia—negara tempat perusahaan produksi filem Jagal berkedudukan—itu semata-mata karena keputusan kami untuk menjadi Anonim—awak filem tak bernama—karena dalam pendapat kami, negara kami belum bisa menyediakan perlindungan yang memadai. Kami tak bisa mendaftarkan filem kami sebagai filem Indonesia karena kami yang tak bernama tak mungkin mendirikan perusahaan dan tak ada jaminan bahwa perusahaan produksi yang mewakili filem kami akan aman dari tindakan kekerasan. Kami tidak ingin menciptakan risiko baru di dalam negara yang gagal melindungi pertemuan keluarga penyintas dan korban kekerasan massal 1965, yang tidak hadir ketika kekerasan terjadi pada saat orang menyampaikan pendapat dan berekspresi dengan damai, yang tidak mengusut tuntas dan menghukum orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan Munir, wartawan Udin, dan jutaan korban kekerasan politik serta pelanggaran HAM lainnya sejak 1965 di seluruh Indonesia dan Timor Leste. Hal-hal seperti inilah yang bisa—dan sepatutnya—dilakukan oleh negara jika negara sungguh-sungguh ingin memulai memperbaiki citranya, pertama kali, kepada rakyatnya sendiri.

Kami adalah generasi muda yang berusaha untuk menjadi sadar sejarah dan kami tahu bahwa banyak terjadi pelanggaran di luar Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah negara lain. Kami tidak membuat filem mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan negara lain, seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Israel, Afrika Selatan, Rwanda, Serbia, dan lainnya karena, tanpa mengurangi arti penting dari filem tentang pelanggaran HAM di manapun oleh siapapun, hal utama yang memotivasi pembuatan filem Jagal adalah solidaritas kami kepada sesama rakyat Indonesia yang menjadi korban penindasan negara selama ini, dan karena bagi kami yang terpenting adalah membuat negeri kami menjadi negeri yang terhormat di antara negara lain di dunia. Untuk bisa menjadi negara yang terhormat, kami yakin, negara harus menyadari bencana moral akibat pembantaian massal—dan bencana moral hari ini akibat impunitas, korupsi, dan ketakutan. Itu sebabnya kami membuat filem Jagal. Solidaritas terhadap penyintas dan keluarga korban ini juga yang kami bawa bersama awak filem dari bangsa lain dan ingin kami tularkan kepada penonton di seluruh Indonesia dan di luar Indonesia.

Kami sepenuhnya sadar bahwa sebanyak dan sebesar apapun pelanggaran HAM yang dilakukan negara lain tidak pernah memberi pembenaran bahwa kita bisa melakukan hal yang sama.

Seperti kami yang melalui filem ini menggugat negara kami, awak berkebangsaan lain pun menuntut hal yang sama lewat filem The Act of Killing kepada pemerintah negaranya. Awak filem berkebangsaan Amerika Serikat, sutradara filem Joshua Oppenheimer, lewat filem ini menuntut agar pemerintah Amerika Serikat mengakui perannya dalam genosida, dan berharap penonton Amerika mengenali The Act of Killing sebagai sebuah filem mengenai dampak kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang mengutamakan hak perusahaan-perusahaan Amerika untuk menjarah dengan perlindungan impunitas di atas hak hak azasi manusia di negara-negara tempat perusahaan tersebut beroperasi. Sebagaimana telah berkali-kali disampaikan oleh pembuatnya di berbagai kesempatan di banyak negara, filem ini menyampaikan sebuah pesan bahwa kita lebih mirip dengan para pelaku pelanggaran HAM daripada yang selama ini kita bayangkan. Pesan yang dimengerti dengan jelas oleh para penonton di banyak negara.

Kami bekerja dan memberikan sumbangsih untuk membuat filem yang sebaik-baiknya dengan kesadaran bahwa kamilah yang berbahasa Indonesia paling baik di antara semua awak filem Jagal (The Act of Killing), kamilah yang paling dekat dengan sejarah yang menjadi tema filem ini, kamilah yang merasakan tumbuh dan hidup di dalam sebuah dunia fantasi yang dipaksa menjadi rumah dan tanah air kami, serta kamilah yang akan menjalani segala konsekuensi dari perubahan atau ketiadaan perubahan di tanah air kami. Kami menempuh segala risiko yang tak tertebak sampai saat ini, dengan kesadaran tidak akan pernah dikenal dan menerima langsung penghargaan setelah bekerja dan bekerja sama selama delapan tahun untuk menghasilkan karya kami, dari Indonesia untuk Indonesia dan dunia.

Mari menengok kembali tanggung jawab kita bersama membuat dunia yang lebih manusiawi. Mari kita mulai dengan membuat Indonesia menjadi lebih manusiawi.

 

Anonim
Ko-Sutradara filem Jagal 

E: anonymous@final-cut.dk
www.final-cut.dk
www.jagalfilm.com
www.facebook.com/filmjagal
@Anonymous_TAoK

Sumber:  https://www.facebook.com/notes/jagal-the-act-of-killing/tanggapan-ko-sutradara-film-jagal-terhadap-pernyataan-pemerintah/461898967266600

 

Jagal (The Act of Killing)


Unduh filemnya di sini: www.actofkilling.com

Recommended Posts
Showing 6 comments
  • Anonim
    Reply

    Terima kasih Jurnal Footage untuk dukungannya.

    Perjuangan berlanjut, jalan masih panjang.

    Kita tempuh bersama-sama.

    -A-

  • Hafiz Rancajale
    Reply

    Sama-sama kawan Anonim,
    Bagi kami ijin Anda untuk memuat tulisan ini adalah sebuah kehormatan… karena dengan cara itulah Jurnal Footage dapat mendukung kawan-kawan membangun kesadaran pada pentingnya mengkritisi estetika kekekerasan yang telah dibangun Orde Baru.

    Salam
    Hafiz
    Chief Editor.

  • Syukri Blank
    Reply

    intervensi asing selalu menjadi bahan yang mudah untuk propoganda.
    kesadaran ini mungkin akan sama lamanya dengan propoganda yang dilakukan orde baru.
    namun…TAoK harus tetap berjuang untuk kemanusian!

  • aminudin
    Reply

    Saya termasuk orang yang kecewa menonton the act of killing
    kecewa karena begitu dangkal pemahaman pembuat film ini atas peristiwa yang terjadi pada tahun 1965.
    saya tidak tahu alasan mengapa kekejaman pelaku pembunuhan tersebut begitu dipaksa ditarik untuk mendekat ke ruang kekinian yang lebih luas : indonesia dan ormas pemuda pancasila
    ..
    Saya setuju bahwa kemanusiaan adalah hal yang harus kita junjung tinggi.
    Tapi anda sudah terlibat dalam sebuah film yang membedak-i ormas pemuda pancasila dan negara sekarang, untuk tampak begitu kejam.
    Begitu rajinnya anda membedaki PP dan negara di dalam film ini sehingga tampil begitu kuat opini yang ingin digiring, bahwa indonesia sekarang masih dikuasai oleh para jagal.

    padahal dalam konteks kekinian
    tidak semua pemimpin bangsa ini bekas jagal
    dan tidak semua anggota PP itu sekejam yang dilakukan seniornya tahun 1965
    tapi anda memaksa penonton untuk mengikuti logika film tanpa memberi ruang yang cukup bagi negara dan PP untuk membeladiri.
    ……….
    Anda mau bicara dokumenter tentang kemanusiaan dengan cara yang tidak manusiawi.
    ….
    Dari cara anda menjelaskan diatas, saya yakin. anynomous ini masih muda. logika yang anda pakai masih dangkal. tampak sekali anda tidak memahami secara mendalam, bagaimana sebuah peristiwa bisa terjadi,
    tampak sekali anda ingin menunjukkan sebuah peristiwa masa lalu dengan standart kekinian…..
    bahkan mungkin anda tidak bisa menjawab jika ada pertanyaan , bagaimana seandainya semua jagal jagal di indonesia ini dihukum mati sesuai kejahatan masa lalunya….hitung hitungan politik,efek sosial, psikologi masa, dan kericuhan yang mungkin akan terjadi mengulang tahun 65 dengan berbalik objek subjectnya…….
    Jadi saya perkirakan, saat anda menerima pekerjaan ini, anda masih mahasiswa. atau mungkin sekarang masih mahasiswa, tapi kalaupun tidak, percayalah, anda tidak lebih pintar dari saat anda menerima pekerjaan membuat film ini.

    anynomous,… pada perjalanan hidup anda kelak, anda akan mengerti, bahwa di negeri ini,tak pernah maju justru karena terlalu banyak warganya yang mengambil keuntungan dengan mengencingi bangsanya sendiri.

    kalau anda mau menampilkan problem kemanusiaan, tampilkan saja.itu penting untuk membuat kta tetap menjadi manusia tapi setidaknya ,buatlah berimbang dan berilah ruang untuk membela diri, dan kemudian membiarkan penonton menyimpulkan sendiri.

    film anda akan abadi, anynomous. teknologi memungkinkan film akan selalu ada dalam satuan waktu.
    dan selama itu pula bangsa ini akan di cap sebagai bangsa yang barbar.
    anda,..terlibat…dalam penciptaan kondisi itu.
    selamat.

  • Afra
    Reply

    Terima kasih jurnal footage sudah memuat pernyataan ini!
    Untuk teman anonymous, ada banyak anak muda lainnya yg mendukung Anda. Dan terima kasih sudah membantu mewujudkan film keren ini.

    Untuk mas aminudin, saya rasa TAoK menjadi film yg bisa menjawab kegalauan saya dan generasi muda lainnya atas pertanyaan “kenapa indonesia nggak pernah bisa maju?”.

    Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengakui kesalahannya dan bertanggung jawab. Lihat orang-orang Jepang yang bisa membangun negaranya dengan baik pasca perang dunia. Sedangkan Indonesia? Masih jauh dari Move on dengan masa lalunya.

    Soal framing Pemuda Pancasila dan tragedi 65, justru makin menjelaskan alasan negara Indonesia nggak maju-maju. Premanisme berjaya di mana-mana, di berbagai daerah bahkan preman-preman menduduki posisi eksekutif maupun legislatif. Ngapain ngomongin nasionalisme atau Indonesia saat ini tanpa melihat ke masa lalu? Dan menurut saya sih TAoK mewakili banyak keresahan ttg supremasi premanisme di berbagai daerah dan bahkan sering melibatkan anak muda dalam tindak kekerasan.

    Soal nanti bangsa Indonesia dicap barbar, ya itu tergantung Indonesia mau minta maaf dan bertanggung jawab apa nggak. Ada banyak film tentang Nazi dan Kekejaman Jepang pd saat perang dunia misalnya, tapi negara-negara tersebut sudah mengakui dan mengadili pelakunya.
    Indonesia aja nih pemerintahnya banyak pencitraan tapi membangun negara dari pembantaian, mending deh dibangun, yg dibangun juga ketimpangan sosial ekonomi.

    Cheers!

  • Kambing Hijau
    Reply

    Satu(-satunya) hal yang bisa disetujui dari Aminudin adalah, “negeri ini,tak pernah maju justru karena terlalu banyak warganya yang mengambil keuntungan dengan mengencingi bangsanya sendiri.”

    Ya, negeri ini tak maju-maju karena orang-orang seperti H. Anif, memanfaatkan jagal-jagal seperti Anwar, mengambil keuntungan dengan menyembelih dan mencekik mati bangsanya sendiri. Orang seperti H. Anif ada banyak, bukan cuma dia sendiri di Medan. Soeharto dan keluarganya adalah salah satu yang mengambil keuntungan dengan mengencingi bangsanya sendiri. Juga para penerusnya, yang terus-menerus mengeruk keuntungan ekonomi dan politik dengan terus memelihara rezim keruk penebar ketakutan dan teror, pemelihara preman (PP, FPI, FBR, FAKY, Mapenab, dll) di atas kuburan massal yang disembunyikan dari buku sejarah nasional. Yang tidak mau mengakui kesalahan, dan yang tak mau minta maaf, yang akan melakukan kesalahan yang sama lagi di masa depan. Sekali pembantaian dan penindasan pada rakyat tidak dinyatakan salah, seterusnya pembantaian rakyat akan terjadi dan dibiarkan.

    Aminudin kelihatannya sudah habis daya kritis dan kemampuan analisisnya disikat puluhan tahun cuci otak Orde Baru. Bisa-bisanya minta film yang berimbang. Berimbang apanya? Itu isinya PP dan para pelaku pelanggaran HAM beserta pendukungnya semua bercerita. Dengan bangga. Minta ruang selebar apa lagi buat mereka menyampaikan ceritanya?

    Berikan mereka ruang untuk membela diri? Mereka diberi ruang seluas-luasnya untuk menyampaikan apapun, termasuk pembelaan diri, jika merasa memerlukan untuk membela diri. Mereka tidak merasa perlu membela diri. Membela diri apa? Dari tuduhan apa?

    Mereka sibuk mendandani dan membedaki pembunuhan massal yang mereka lakukan agar tampak sebagai aksi heroik untuk (katanya) membela bangsa dari ancaman komunisme. Itulah bentuk pembelaan diri mereka.

    Orang-orang seperti Aminudin ini adalah jenis orang Indonesia yang tak sadar ke arah mana dia kencing. Jangan-jangan dia tidak sadar kalau sedang kencing dan mengompoli bangsanya sendiri tak berkesudahan.

Leave a Reply to Syukri Blank Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search