In Wawancara

Pada tanggal 27 Juni 2016 lalu, telah terbit sebuah buku tentang sejarah filem berjudul Sinema pada Masa Soekarno. Karya ini merupakan hasil tesis Ph.D Tanete Pong Masak di bidang sejarah sosial dan sinema yang berjudul “Le cinema Indonesia (1926-1967): Etudes d’Histoire Sociale”, di EHESS (Ecole des Hautes Etudes es Sciences Sociales) Universitas Paris 7 dari tahun 1980-1989. Tesis Tanete Pong Masak sendiri berada di bawah bimbingan dari sejarawan dan Indonesianis ternama Prof. Dr. Denys Lombard.

Tanete Pong Masak dilahirkan di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, pada 6 Agustus 1953. Setelah menyelesaikan Sekolah Dasar (SD), ia masuk Seminari Menengah. Pada tahun 1973-1976, ia masuk ke Universitas Hasanudin, Fakultas Sastra jurusan Sastra Inggris. Dari studinya terhadap bahasa itu lah yang membawanya menerima beasiswa Pemerintah Prancis (1976-1980) untuk studi tentang linguistik terapan dan budaya Perancis, di Universite de Franche-Comte, Besancon, Prancis. Setelah itu, Masak mengambil doktor untuk bidang sejarah sosial dan sinema di EHESS Paris.

Beberapa saat yang lalu, pada Rabu 3 Agustus 2016, kami para redaktur Jurnal Footage (Afrian Purnama dan Akbar Yumni) berkesempatan berkunjung ke rumah Tanete Pong Masak, di Jl. Kebagusan Raya No. 15 Jakarta Selatan, untuk melakukan sedikit wawancara. Kesehatan Pak Tanete sudah semakin menurun, selain karena umur yang juga sudah semakin menua. Dia masih melayani dan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Kami pun hanya mengajukan sedikit pertanyaan karena kondisi fisik Pak Tanete itu. Wawancara ini  berbicara seputar tema buku beliau yang baru terbit. Berikut kami sajikan sedikit wawancara bersama Pak Tanete seputar tema buku nya yang berjudul Sinema pada Masa Soekarno

DSCF6244

Jurnal Footage (JF): Kami sudah membaca buku bapak, Sinema pada Masa Sukarno, kami pikir itu buku yang sangat penting karena sejauh ini belum ada penelitian yang cukup intens diterbitkan di Indonesia setelah buku pak Misbach Yusa Biran tentang Sinema Pada Masa Kolonial (Sejarah Film, 1900-1950: Bikin Filem di Jawa, 2009). Dari membaca buku bapak tersebut salah satu tema yang menarik buat kami adalah pengaruh Neorealisme Italia. Bapak sedikit mengupas tentang hal itu. Pertanyaannya mungkin, kira-kira apakah Neorealisme Italia cukup berpengaruh bagi sinema Indonesia kala itu?

Tanete Pong Masak (TPM) : Cukup berpengaruh, kalau kita lihat, Usmar Ismail, dan Bachtiar Siagian dan lain-lain.

JF: Apakah mereka menonton filem Neorealisme itu di Indonesia?

TPM: Mereka menonton, tahun 1950-an.

JF: Di Indonesia?

TPM: Betul di Indonesia.

JF: Filem apa saja yang mereka tonton itu?

TPM: Hmm, Karyanya (Vittorio) De Sica, (Roberto) Rossellini, dan lain-lain.

JF: Diputar di bioskop di Indonesia?

TPM: Ya.

JF: Sebenarnya salah satu yang menyebabkan sinema Indonesia tidak berkembang itu apa? Apakah karena praktik kolonialisme yang puritan?

TPM: Termasuk itu, pengaruh otoritas, dan bagaimana ya, pengaruh mau dikatakan itu pengaruh, atau sifat dari dalam. Masalah dari dalam kolonial, juga masalah dari orang Indonesia. Orang pribumi, memang, agak anti gambar.

JF: Itu apa karena budaya tertentu atau..?

TPM: Ya, karena budaya tertentu.

JF: Termasuk karena agama yang puritan itu?

TPM: Ya..

JF: Sejauh mana pengaruh sinema peranakan Tionghoa bagi perkembangan sinema di Indonesia?

TPM: Sebenarnya, sinema peranakan itu tidak bisa diharapkan terlalu banyak karena mereka juga tidak terlalu kultur sinematik betul-betul, hanya sekedar asal bikin filem, sinema kolonial juga terbatas sekali pembuatannya oleh orang-orang Belanda.

JF: Kembali ke soal Neorealisme, kalau pengaruh Neorealisme sendiri setelah Usmar, di zaman Sukarno apakah juga sampai ke masa akhir Sukarno?

Tanete: Neorealisme itu, kalau saya lihat, banyak sekali kelemahannya. Pertama karena Neorealisme itu hanya sekedar percobaan dari orang-orang yang terbatas uangnya, terpaksa membuat filem yang dikatakan dekat dengan rakyat. dan terbatas sekali pembuatannya. Jadi mereka membuat filem hanya untuk bisa membuat filem karena terbatas. Memang kalau dibandingkan dengan filem-filem pembuatan Indonesia dari segi estetik bagus sekali filem Italia itu, tetapi, dari segi dramatis tidak terlalu baik, oleh karena dramatis itu baru kita lihat pada filem-filem Jerman, Rusia dan utamanya filem-filem Amerika. Dengan pembuatan, pemainnya yang semakin meningkat yaitu Amerika itu karena pembuatannya dengan bermacam aliran baik itu pengaruh Russia, Jerman… Dari pengaruh Yunani, oleh Aristoteles… (Pak Tanete menyebut dua nama yang kurang jelas kami tangkap, red), kemudian berkembang pengaruh (Constantin) Stanislavski di Hollywood, dan pengaruh mereka terus menerus tidak ada yang bisa kalahkan mereka.

JF: Kalau pengaruh sinema di luar Italia seperti sinema Rusia, apa punya pengaruh di sutradara Indonesia?

TPM: Oh ada, siapa itu yang sekolah di Moskow, Sjumandjaja.

JF: Kalau di kelompok Lekra seperti Bachtiar Siagian?

TPM: Ada, tapi tidak ada peninggalannya filem mereka, mungkin karena latar ideologi (kiri, red) jadi sudah tidak ada.

DSCF6231

JF: Bapak pernah membaca skenario Bachtiar Siagian, bisa di bayangkan apa ada pengaruh Rusia di situ?

TPM: Ya lihat, bagus sekali itu, tapi tidak terlihat (pengaruh Rusia, red).

JF: Jadi dalam skenario karya Bachtiar memang tidak terpengaruh sinema Rusia?

TPM: Tetapi filem Rusia itu tergantung (melihatnya, red), mulai Stalin sudah tidak ada lagi (perkembangan sinema Rusia). Dulu waktu masih Lenin ya, itu betul-betul ada (pengaruh dan perkembangan sinema Rusia, red).

JF: Di buku bapak disebutkan ada tiga usulan tentang kelahiran filem nasional, 30 Maret (shooting pertama filem “Darah dan Doa” 1950 oleh Perfini), lalu ada yang mengusulkan kelahiran PFN (6 Oktober 1945, hari penyerahan Nippon Eiga Sha), dan lain sebagainya, kalau menurut Bapak sendiri kira-kira yang paling ideal yang mana?

TPM: Kalau bagi saya ya yang 30 maret itu..

JF: Bagaimana pengaruh filem Lekra pada industri filem Indonesia saat itu?

TPM: Saya kira kita tidak terlalu menonton banyak karena terbatas maka kita tidak tahu banyak, akan tetapi karya-karya mereka pada masa itu sebenarnya cukup bermakna, sulit kalau kita mengjudge, saya sebenarnya nonton waktu tahun 1960-an, filem Kotot Sukardi, dan filem itu sangat mengesankan, mengapa saya ambil spesialisasi filem karena saya sangat terharu melihat filem Kotot Sukardi.

JF: Si Pintjang (1951)?

TPM: Iya, itulah yang membawa saya sampai di Paris dan menulis desertasi tentang sinema Indonesia… karena filem itu, dan itu pertama kali saya melihat filem dan saya sangat terkesan.

JF: Apakah filem golongan kiri itu cukup populer di masanya di Indonesia?

TPM: Ya banyak, tapi banyak juga yang anti karena banyak bilang itu filem marxist, komunis, berbahaya juga ada.

JF: Kalau menurut bapak filem Si Pintjang menggambarkan ideologi marxist itu?

TPM: Ya ada sedikit, tapi bagaimana… masalah ideologi marxist, kapitalis.. bagi banyak penonton sama saja, yang penting menarik.

JF: Saya sempat membaca buku dari Georges Sadoul[i] (Dictionary of Filem Makers, hlm. 246) ada satu filem indonesia yang disebutkan dalam buku itu, yaitu tadi filemnya Kotot Sukardi, Si Pintjang

TPM: Dan Georges Sadoul itu pengetahuannya tentang filem Indonesia sangat terbatas, kalau kita bisa mengatakan banyak sekali yang salah tulis.

JF: Di bukunya yang tentang sejarah sinema itu?

TPM: Ya, saya baca itu dan pertama kali saya baca saya heran sekali

JF: Apa yang dia tulis saat itu?

TPM: Ya banyak salah-salah mengerti tentang sinema Indonesia, dan dia tidak tahu tentang hal itu dia menulis dan dia kira-kira saja. saya juga beritahukan ini dalam buku saya, banyak sekali yang salah, dan akhirnya saya tinggalkan bukunya.

JF: Salah satu apa yang salah tulis oleh Georges Sadoul itu apa pak?

TPM: Saya sudah lupa, tapi di Archipel (Jurnal tentang Asia Tenggara, red) itu ada banyak sekali, Sadoul itu banyak sekali salahnya tentang sinema dunia juga tentang segala hal, makanya ditinggalkan.

JF: Padahal itu cukup berpengaruh (pemikiran Sadoul) juga ya pak..

TPM: Ya, pada suatu kurun, tapi sudah ditinggalkan..

DSCF6235

JF: Pengaruh sinema Prancis sendiri di Indonesia bagaimana pak? Seperti Truffaut, Godard pada tahun 1960-an.

TPM: Ada, Garin Nugroho misalnya, dia tidak… bila kita melihat pada tahun 1990-an, dia membuat filem baru dan ada filem dari.. aduh saya lupa judulnya.. tapi di filem itu ada dua laki-laki dan seorang perempuan, dua laki-laki itu mencintai perempuan itu.

JF: Cinta dalam Sepotong Roti (1991)?

TPM: Yaaa, Cinta dalam Sepotong Roti. Menurut saya itu, kalau tidak sama mungkin yaa katakanlah..

JF: Ada pengaruh dari sinema Perancis…?

TPM: Yaaa

JF: Pak, kalau sekarang kan industri filem sekarang kan di kuasai oleh peranakan India, kalo di masa kolonial kan di kuasai oleh peranakan Tionghoa, nah perubahan itu kira-kira kapan terjadinya? Dan kenapa?

TPM: Sebenarnya, mungkin karena orang-orang Cina merasa mulai terancam, atau mereka merasa tidak nyaman.. Umpamanya kalau kita lihat di Singapura, semuanya pada lari, orang-orang politik industri filem Cina di sana karena sebuah peristiwa, kemudian lari ke Hongkong, dan membuat industri filem di Hongkong terkenal, dengan filem Kung-Fu nya, dan mereka menguasai, boleh dikata oleh filem Kung-Fu… Kalau kita katakan kemunduran, padahal Cina semakin jaya di bidang yang lain, mereka merasa ‘semangat anti Cina’ pada saat itu cukup menggangu, kemudian datanglah filem India. Dan memang filem-filem India itu memang lebih cocok dengan cita rasa Indonesia…

JF: Kira-kira kapan itu pak, kaum Cina merasa tidak nyaman di Indonesia?

TPM: Kira-kira tahun 1960 an…

JF: Kalau filem itu sendiri, sejak awal itu sebenarnya sudah memiliki posisi tidak di kaum intelektual Indonesia pada masa kolonial?

TPM: Sebenarnya, pandangan saya itu, filem berada bukan menjadi perhatian kaum intelektual waktu itu. Atau boleh dikatakan, filem hanya mendapatkan perhatian dari orang-orang ‘kecil’, karena sinema yang di tonton dalam konteks masyarakat masa itu hanya sebagai sebuah hal yang ‘kecil’ (hiburan semata, red)…

JF: Kalau pendekatan sejarah yang dipakai di dalam buku bapak (Sinema pada Masa Sukarno), kira-kira pendekatan apa itu?

TPM: Saya kira, kalau kajian sejarah yang berkembang di Perancis, boleh dikata…(pak Tanete terdiam lama dan berusaha mengingat untuk menyatakan sesuatu)…

JF: Kalau tidak salah, dalam pendekatan sejarah dalam tradisi Denys Lombard, ada tradisi Annales (sejarah total), apakah bapak menggunakan pendekatan yang sama?

TPM: Saya kira… Ecole (EHESS, red) disana… hanya Lombard (Denys Lombard, red) dari dosen-dosen di sana, yang sangat setuju dengan saya. Tapi, yang lain-lain, yang jurusan Indonesia, anti dengan saya. Karena saya menggunakan pendekatan ekonomi, ilmu politik, sosiologi, dan estetik, dan lain-lain, oleh segala macam… Kalau menurut mereka, sebaiknya yang betul-betul sinema hanya yang berorientasi estetik sinema. Sampai dikatakan, apa yang saya tulis itu tidak merupakan… bukan merupakan sejarah sinema di Indonesia, karena saya mengambil berbagai macam perspektif.

JF: Kami kira sudah cukup pak wawancaranya, kami kira cukup penting wawancaranya, semoga pak Tanete sehat selalu…

 


[i] Georges Sadoul (1904-1967), seorang jurnalis dan menulis tentang sinema, yang juga seorang komunis. Beberapa bukunya tentang sejarah dan sejarah estetika sinema dunia adalah bahan yang cukup penting dan berpengaruh di kalangan pemikir sinema Perancis.

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search