In Artikel

Pada awal 1951, filem Antara Bumi dan Langit beredar. Namun, filem yang skenarionya ditulis sastrawan Armijn Pane, dibintangi S.Bono dan Grace Andreas itu, memicu gelombang protes. Sebabnya, ada adegan ciuman di salah satu adegan.[1] Jadilah filem ini tercatat sebagai filem Indonesia yang menampilkan adegan ciuman pertama.

Media membicarakan filem ini. Salah satunya ditulis Sudiro Muntahar di majalah Djojobojo edisi 3 Maret 1951 berjudul “Film Tjium Made in Indonesia”.[2] Filem ini pun terkena gunting sensor. Setelah diperbaiki, filem tersebut beredar kembali dengan judul Frieda.

Freida (1951)

Film tersebut merupakan karya sutradara kelahiran Korea, yang belajar sinema di Jepang, dan memilih menjadi warga negara Indonesia pasca-kemerdekaan, Dr Huyung.

Beberapa bulan sebelumnya, filem Darah dan Doa sutradara Usmar Ismail dirilis. Serupa tapi tak sama, filem ini pun harus berhadapan dengan protes. Filem itu berkisah tentang guru sekolah yang bergabung dalam revolusi untuk membasmi pemberontakan Madiun Oktober 1948 dan gerakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII) oleh Divisi Siliwangi.

Filem tersebut dilarang beredar di sejumlah distrik oleh otoritas militer yang merasa peran mereka dikecilkan dalam perjuangan kemerdekaan, dibanding peran Divisi Siliwangi. Pihak Divisi Siliwangi pun merasa, tentara cenderung digambarkan terlalu lemah di filem itu. Krishna Sen menyebut, filem ini terkena gunting sensor habis-habisan.[3]

Namun, meski mendapatkan protes, pengambilan gambar pertama filem ini, 30 Maret 1950, lalu didapuk menjadi Hari Film Nasional. Usmar didaulat sebagai Bapak Film Nasional berkat prestasinya membuat filem itu.

Filem itu disebut-sebut sebagai filem pertama yang dibuat oleh orang “asli” Indonesia. Perusahaan filem yang dibentuknya, Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), juga disebut-sebut sebagai perusahaan filem Indonesia pertama, karena sekali lagi, dibuat oleh orang “asli” Indonesia. Benarkah?

Salah satu cuplikan diam Darah dan Doa (1950)

Membangun dari Yogyakarta

Para seniman yang pindah ke Yogyakarta setelah Jakarta jatuh ke tangan Belanda lewat agresi militer direkrut Zulkifli Lubis dari Bagian V, Intelejen dan Propaganda. Di Yogyakarta, Usmar menjadi Mayor TNI dan mendirikan koran Patriot. Pada 1947, Usmar terpilih menjadi Ketua PWI Pusat.

Di kediaman Usmar di Yogya, ada diskusi filem. Mereka mendatangkan R. M. Soetarto. Usmar sangat terkesan dengan fungsi filem yang diperkenalkan Jepang. Ia melihat filem bisa menjadi media baru yang akan menjadi media seni mereka kemudian.[4]

Pada 1947, Belanda mengaktifkan Multi Film. Sejak 1948, studio ini membuat filem cerita, di bawah studio lain, yakni South Pasific Film Corp (SPFC), dengan segala fasilitas dan kru Multi Film. Andjar Asmara muncul sebagai sutradara. Filem pertamanya Djaoeh Dimata.

Yang menarik, Usmar, pada produksi ketiga studio ini, Gadis Desa, muncul sebagai asisten Andjar. Banyak yang bertanya, mengapa Usmar ada di sana, sementara ia saat itu berstatus sebagai Mayor TNI dan Ketua PWI.

Menurut Misbach Yusa Biran, pada 1947 Usmar yang meliput Perjanjian Renville ditangkap Belanda. Ia lalu dijebloskan ke penjara Cipinang. Ia kemudian dibebaskan atas pertolongan Chairil Anwar melalui temannya Dolf Verspoor. Kenapa ia ada di studio Multi Filem?

Misbach menemukan jawabannya melalui sebuah surat balasan Usmar kepada Sitor Situmorang pada 1964. Menurut Usmar, ia berada tetap di Jakarta setelah keluar dari penjara lantaran desakan teman-teman seniman di Jakarta dan Yogyakarta demi kepentingan perjuangan. Ia juga diizinkan untuk menyutradarai dua buah filem milik studio Belanda itu.[5]

Juru kamera R. Husin dan Max Tera serta paling kanan Usmar Ismail

Di SPFC, Usmar menyutradarai Tjitra (1949) dan Harta Karun (1949). Setelah itu, ia lantas mengundurkan diri. Alasannya keluar, ia pernah tulis pada 1962: “Tak dapat saya mengatakan, bahwa kedua filem itu adalah filem saya. (Sebab) pada waktu penulisan dan pembuatannya saya banyak sekali harus menerima petunjuk-petunjuk (dari pihak produser) yang tak selalu saya setujui.” Ia tak pernah menganggap kedua filem itu adalah filemnya.[6]

Sementara itu, di Yogyakarta, sebelum membuat filem Antara Bumi dan Langit, Huyung berjuang membangun basis kesenian sandiwara dan filem.

Kisah Huyung membangun ruang berkesenian, terutama sandiwara dan filem, bisa kita baca di majalah Aneka, edisi 20 September 1952. Ketika agresi militer Belanda I (21 Juli – 5 Agustus 1947) dan II (19 Desember 1948), Huyung menetap di Ibukota sementara republik, Yogyakarta. Ia tak bersedia dipulangkan ke negeri asalnya, dan memilih ikut republik. Di sini, ia menemukan gairah berkesenian dan membangun ruang-ruang berkesenian, meski tengah di masa perang.

Huyung keluar dari Yogyakarta bagian barat, ketika Belanda memborbardir Yogyakarta pada 1948. Ia tak lari. Ia meriset, mencari sumber-sumber tentang sejarah perjuangan bangsa untuk sandiwara, menggunakan sepedanya.

Saat Yogyakarta diduduki Belanda, Huyung masuk ke kota itu. Ia lantas menjumpai gedung bioskop Soboharsono yang rusak dan kosong. Gedung itu ada di Jalan Pekapalan, Yogyakarta. Persis di sudut timur laur Alun-Alun Utara Yogyakarta.

Huyung

Huyung kemudian membangun sebuah bengkel sandiwara dan filem di sini. Dengan modal sendiri, ia merenovasi gedung itu. Sebuah wadah pendidikan sandiwara dan filem didirikan Huyung dengan nama Kino Drama Atelier. Ia dibantu sutradara D. Djajakusuma sebagai guru sandiwara untuk anak didiknya.

Kino Drama Atelier berada di bawah naungan Stichting[7] Hiburan Mataram. Di sini, kader-kader sekolah itu tak hanya ditempa soal akting, namun juga soal dekorasi panggung, penempatan lampu, mikropon, dan permainan watak.

Menurut Krishna Sen, pendanaan Stichting Hiburan Mataram dikabarkan datang dari Bank Indonesia. Jabatan direktur perusahaan diduduki Daryono, seorang pejabat Departemen Penerangan seksi dalam negeri.[8]

Kino Drama Atelier berhasil mengadakan pementasan sandiwara pertama, berjudul Drama Raportage Penduduk Jogjakarta, tulisan Huyung sendiri. Drama yang dimainkan di gedung bioskop Luxor itu ditulis Huyung berdasarkan pengalaman dan pengamatannya selama agresi militer Belanda.[9]

Latar Belakang Huyung

Dr. Huyung menamatkan studi dari Universitas Waseda Tokyo. Ia belajar filem di Jepang, Jerman, Amerika Serikat, dan Rusia. Titel doktornya diraih pada 1938, dalam bidang doktor kesusastraan. Tapi Misbach meragukan gelar doktornya. Menurutnya, gelar Huyung sebagai doktor tak ditemukan di universitas mana pun, baik di Jepang maupun Korea.[10]

Menurut Peter B. High, dalam bukunya The Imperial Screen, Japanese Film Culture in the Fifteen Years’ War, 1931-1945, nama Korea Huyung adalah Heo Yeong. Ia pergi ke Jepang untuk belajar filem di usia 17 tahun. Saat itu, Korea menjadi koloni Jepang.[11]

Ia kemudian direkrut Jepang untuk “menguasai” bagian sandiwara, demi propaganda perang, saat Jepang menduduki Indonesia.

Pria kelahiran Korea pada 1907 itu, ditugaskan untuk menjalankan roda organisasi Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (POSD)—sebuah organisasi yang dibentuk Seksi Propaganda Sendenbu pada 1 September 1944.[12]

Calling Australia adalah salah satu filem propaganda yang disutradarai oleh Huyung

Organisasi ini menghimpun dan “mengontrol” kelompok-kelompok sandiwara yang ada di Jawa. Saat itu, Dr. Huyung dianggap tokoh yang aktif membimbing para penulis untuk memproduksi naskah-naskah sandiwara propaganda, termasuk Usmar Ismail.

Eitaroo sendiri membuat buku antologi sandiwara berjudul Fadjar Masa yang diterbitkan POSD pada 26 April 1945. Ada tujuh naskah sandiwara buatannya, yakni Fadjar Telah Menjingsing, Samoedra Hindia, Moesim Boenga di Asia, Pradjoerit Nogiku, Djoedjoer Moedjoer, Benteng Ngawi, dan Boenga Rampai Djawa Baroe.[13]

Ia lantas berpindah kewarganegaraan setelah Indonesia merdeka, mengganti namanya menjadi Dr. Huyung. Namun, di balik sikapnya yang “cari aman” itu, tersimpan niatnya untuk memajukan kualitas kesenian, terutama sandiwara dan filem, Indonesia. Ia kemudian bekerja di Kementerian Penerangan RI.[14]

Film Stichting Hiburan Mataram

Setelah itu, meski situasi keamanan tak menentu dan keuangan sangat menyekik, Huyung tetap mengusahakan pementasan sandiwara berikutnya. Hingga November 1949, Huyung menggelar pementasan di beberapa tempat. Uang hasil pertunjukan terkadang disumbangkan untuk keperluan sosial di masa revolusi.

Setelah mementaskan Dr. Kambodja, Huyung bergerak ke pembuatan filem. Ia pergi ke Jakarta untuk membuat filem pertamanya.

Menurut Armijn Pane, dalam bukunya Produksi Film Tjerita di Indonesia, Stichting Hiburan Mataram berdiri pada 1948. Pada 1950, studio ini menyusun organisasi produksi filem di Jakarta. Mereka mendapat kesempatan menggunakan studio Produksi Film Negara (PFN), karena organisasi ini merupakan organisasi setengah resmi Kementerian Penerangan.[15]

Produksi filem pertamanya adalah Antara Bumi dan Langit. Menurut Armijn, filem ini dipilih atas saran pemimpin perusahaan film Kementerian Penerangan, Suska. Namun, filem ini menuai kontroversi. Sejarah mencatat, filem yang skenarionya ditulis Armijn Pane ini, setelah mengalami revisi, akhirnya berubah judul menjadi Frieda. Karena perubahan judul itu, Armijn tak mau ditulis namanya.

Salah satu cuplikan diam Freida (1951)

Antara Bumi dan Langit memang terlambat tayang dibandingkan Darah dan Doa. Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, pada 23 November 1950, baru mencatat persiapan pengambilan gambar Antara Bumi dan Langit di Yogyakarta.

Filem yang mendapatkan sentuhan musik dari musisi Belanda, Jozef Cleber (Jos Cleber), yang datang ke Indonesia pada 1949 dalam mengembangkan musik di Indonesia itu[16], baru diputar di Lapangan Glodok 1A pada 12 Januari 1951.[17]

Setelah itu, Stiching Hiburan Mataram merilis Bunga Rumah Makan, adaptasi Utuy Tatang Sontani, Gadis Olahraga, dan Kenangan Masa.[18]

Meski terlambat merilis filem pertama, faktanya perusahaan Stiching Hiburan Mataram lebih dahulu berdiri ketimbang Perfini. Huyung wafat pada 9 September 1952 karena kelelahan bekerja dan sakit. Usianya masih muda, 45 tahun. Ia dimakamkan di Petamburan, Jakarta Barat.[19] Setelah kematian Huyung, Stiching Hiburan Mataram raib dari riuhnya industri perfileman nasional.

Siapa yang Asli Indonesia?

Menurut Iskandar Zulkarnain, dalam disertasinya dari University of Rochester, New York (2015) berjudul Programming Archipelago; Digital Visual Cultures and Nationalism in Indonesia, penting melihat konstelasi politik saat itu, bersamaan dengan pembentukan Perfini dan filemnya yang melegenda, Darah dan Doa.

Iskandar mengatakan, setelah kemerdekaan, Soekarno bereksperimen sebagai pemimpin republik yang masih muda. Sejarawan Adrian Vickers dalam bukunya A History of Modern Indonesia, yang dikutip Iskandar, menambahkan bahwa dalam perannya sebagai presiden yang ingin membangun sentimen nasionalisme, Soekarno ingin menanamkan semangat revolusi dalam diri setiap orang Indonesia, yang akan menanggulangi segala macam halangan dalam usaha pembangunan negara.

Para Pemain Antara bumi dan Langit karya Armjn Pane yang dimainkan oleh Stichting Hiburan Mataram

Salah satu kampanye paling kritis dan yang kerap dimajukan Soekarno adalah doktrin nasionalisme, agama, komunisme (Nasakom). Nah, Usmar dan Darah dan Doa ternyata menggambarkan perjuangan politik Nasakom.

Lebih lanjut, Iskandar menulis, filem yang menyoroti peran Divisi Siliwangi untuk memberangus dua pemberontakan, komunis di Madiun dan DI/TII di Jawa Barat, merupakan representasi peristiwa sejarah untuk mengantisipasi eskalasi politik yang terjadi antara tiga faksi Nasakom.

Usmar bekerja sama dengan para intelektual kiri, ketika filem itu dibuat. Kisah asli Darah dan Doa ditulis Sitor Situmorang, seorang penulis yang kemudian menjadi salah satu lawan setia Usmar kemudian.

Hubungan Usmar dengan para aktivis kiri, kemungkinan didorong oleh ketertarikan mereka terhadap semangat anti-komersialisme. Setidaknya untuk mengimbangi masuknya filem-filem Amerika yang mulai kembali marak setelah Jepang kalah perang dan Indonesia menyatakan kemerdekaan.

Iskandar menulis, Usmar berangkat untuk mengklaim kelahiran sinema nasional dan merumuskan idealismenya terhadap konsepsi politik tentang bioskop nasional.[20]

Saya menduga, kepentingan politik Soekarno untuk menumbuhkan jiwa nasionalis dan doktrin politik Nasakom itu yang akhirnya memperkuat posisi Usmar yang mengklaim Perfini adalah pionir perusahaan filem Indonesia pertama. Apalagi, sejak masa pendudukan Jepang, Usmar sudah mendeklarasikan dirinya sebagai dramawan nasionalis.

Dari rangkaian uraian sebelumnya, bisa disimpulkan, perusahaan filem Indonesia pertama adalah Stiching Hiburan Mataram buatan Huyung. Meski Huyung bukanlah orang Indonesia asli (baca: kelahiran Indonesia), namun ia sudah mendapatkan kewarganegaraan sejak Indonesia merdeka.

Djamaluddin Malik di antara aktris Persari (Film Varia. Nov. 1953)

Bukankah status Huyung itu hampir sama dengan Usmar Ismail dan Jamaluddin Malik? Perusahaan filem yang berdiri pasca-kemerdekaan Indonesia tak ada yang benar-benar zonder orang asing.

Menurut Krishna Sen, di dalam Persatuan Artis Film Indonesia (Persari), perusahaan filem ketiga di Indonesia setelah kemerdekaan yang dibentuk Jamaluddin, terdapat sejumlah kelompok bisnis Tionghoa, Indonesia, dan pebisnis asing lainnya.

Usmar, yang mati-matian membuat Darah dan Doa dengan Perfini-nya pun demikian. Jika Usmar mengklaim perusahaan miliknya “asli” Indonesia, ia tak bisa membantah ada orang asing di balik kesuksesannya. Upayanya mustahil terkabul jika tak ada dukungan finansial dan pemasaran dari kelompok Tionghoa. Usmar dibantu pemilik bioskop bernama Tuan Tong.[21]

Hari Film Nasional, yang diambil dari pengambilan gambar pertama Darah dan Doa tanggal 30 Maret diakui sejak ditandatangani Undang-Undang Perfilman oleh Soeharto pada 30 Maret 1992. Meski, menurut SM Ardan, 30 tahun sebelumnya orang filem sudah mencanangkan, ketika rapat kerja organisasi perfileman dengan Dewan Film.[22] Heroisme Usmar dan legendarisnya Perfini pun terekam jelas dalam sejarah perfileman kita. Lantas, di mana posisi Huyung dan Stichting Hiburan Mataram-nya?


[1] Kristanto, JB. 2007. Katalog Film Indonesia 1926-2007. Jakarta: Nalar. Hlm. 13-14.

[2] Baca Muntahar, Sudiro. “Film Tjium Made in Indonesia” dalam Djojobojo edisi 3 Maret 1951.

[3] Sen, Krishna. 2009. Kuasa dalam Sinema; Negara, Masyarakat, dan Sinema Orde Baru. Yogyakarta: Ombak. Hlm. 36-37.

[4] Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950; Bikin Film di Jawa. Depok: Komunitas Bambu. Hlm. 354-356.

[5] Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950; Bikin Film di Jawa. Depok: Komunitas Bambu. Hlm. 359-363

[6] Kristanto, JB. 2007. Katalog Film Indonesia 1929-2007. Jakarta: Nalar. Hlm. 13.

[7] Stichting sendiri artinya yayasan.

[8] Sen, Krishna. 2009. Kuasa dalam Sinema; Negara, Masyarakat, dan Sinema Orde Baru. Yogyakarta: Ombak. Hlm. 34.

[9] Ratih, Kumala. “Dr Huyung, Sedikit Bicara, Banyak Kerja (I)” dalam Aneka, 20 September 1952.

[10] Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950; Bikin Film di Jawa. Depok: Komunitas Bambu. Hlm. 357.

[11] High, Peter B. 2003. The Imperial Screen; Japanese Film Culture in the Fifteen Years’ War, 1931-1945. London: The University of Wisconsin Press.

[12] Keboedajaan Timoer, No. II, 2604, hlm. 197. Peresmiannya berlangsung di Hotel Miyako, Jakarta.

[13] Hutari, Fandy. 2015. Sandiwara dan Perang; Propaganda di Panggung Sandiwara Modern Zaman Jepang (Cetakan kedua). Yogyakarta: Indie Book Corner. Hlm 117-118.

[14] Ratih, Kumala. “Dr Huyung, Sedikit Bicara, Banyak Kerja (I)” dalam Aneka, 20 September 1952.

[15] Pane, Armijn. 1953. Produksi Film Tjerita di Indonesia; Perkembangannja sebagai Alat Masjarakat. Jakarta: Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional. Hlm. 84

[16] Nieuwe courant, 6 Januari 1951. Rekaman musiknya disebut-sebut dibuat di berbagai tempat di Indonesia selama 6 bulan. Ilustrasi musik film ini dibawakan oleh 60 anggota Orchestra Cosmopolitain pimpinan Cleber.

[17] Iklan dalam Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12 Januari 1951.

[18] Ratih, Kumala. “Dr Huyung, Sedikit Bicara, Banyak Kerja (II)” dalam Aneka, 20 September 1952. Hlm 22.

[19] “Dr Huyung” dalam Aneka, 10 September 1952.

[20] Zulkarnain, Iskandar. 2015. Programming Archipelago: Digital Visual Cultures and Nationalism in Indonesia. New York: University of Rochester. Hlm. 45-47.

[21] Sen, Krishna. 2009. Kuasa dalam Sinema; Negara, Masyarakat, dan Sinema Orde Baru. Yogyakarta: Ombak. Hlm. 34-35.

[22] Ardan, SM. “Hadiah DFN dan Hari Film Nasional” dalam Media Indonesia. http://usmar.perfilman.pnri.go.id/uploaded_files/pdf/clipping/news_articles/normal/MI_HLM.16.PDF

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search