In Kronik

Awal Uzhara, salah seorang yang sekilas sempat mewarnai sejarah sinema di Indonesia. Namanya memang tidak terlalu dikenal karena hampir sepanjang hidupnya menjadi exile di Uni Soviet (sekarang Rusia). Meski selama di Uni Soviet ia sempat memproduksi beberapa karya film, namun arsip materi film tersebut sudah sulit terlacak, dan kami berkesempatan mendapatkan beberapa kumpulan tulisan Pak Awal yang ia tulis ketika studi di Rusia. Redaksi Jurnal Footage mendapatkan tulisan Pak Awal melalui sang istri, Ibu Susi, ketika kami berkesempatan berkunjung ke rumah Pak Awal pada bulan Juli 2017 lalu.

Untuk kebutuhan penyuntingan, kami menampilkan beberapa bagian tulisan berdasarkan judul atau tema. Beberapa kalimat tulisan Pak Awal terpaksa kami sunting sebagai usaha ke bahasa sasaran pembaca, dan beberapa penyuntingan yang kami lakukan juga harus menambahkan catatan kaki dari beberapa nama tokoh yang Pak Awal kutip, demi kebutuhan membaca spasialitas peristiwa dan tematisnya.

Berikut kami hadirkan tulisan Pak Awal ke sidang pembaca, sebagai bagian dari cara menambah narasi kecil dari perayaan keragaman membaca ulang sejarah sinema Indonesia, di mana sejarah itu sendiri selalu terbuka, seiring dengan inisiatif pencarian arsip dan juga tafsir spasial dari sebuah periode atau momentum.

Selamat membaca!

Nasib karya film berpangkal dari skrip/skenario. Sedangkan taraf ide yang tinggi dari film merupakan syarat penting, tetapi bukan satu-satunya syarat pendidikan yang efektif dari film itu. Realisasi segala ide yang terkandung dalam film itu tak mungkin terwujud tanpa penyesuaian sealur dengan kesediaan dan kemampuan apresiasi (penilaian) penonton terhadap seni film itu sendiri. Dengan kata lain, ada-tidaknya pada penonton persepsi terhadap film tersebut.

Persepsi sosio-estetika dalam bidang perfilman, yang mengandung tuntutan, harapan, kebutuhan tertentu, begitu pula “asas-asas yang khas dari apresiasi”, berwatak golongan sosial. Dalam mempelajari persepsi pribadi penonton terhadap suatu film, yang sangat banyak dipengaruhi selera dan kecenderungannya, perlu pula diperhatikan multi-fungsional seni film itu sendiri, yang dimaksud dengan ini, kemungkinan pengaruh film yang berbeda-beda terhadap penonton.

Betapa juga tingginya isi film itu, ide yang terkandung di dalamnya, ia tak kan berarti jika ide itu tidak terwujud dalam realita kehidupan. Akhirnya, ide itu akan tetap tersimpan dalam gulungan pita film, dalam reel film.

Jadi, agar ide itu terwujud dalam kehidupan sehari-hari, diperlukan tenaga untuk menyampaikannya, hingga penonton boleh memahaminya. Nah, tentunya sudah disadari siapa yang dimaksud. Marilah kita sebut ia: “Karyawan kreatif”, yang dapat kita bagi atas tiga bagian.

Pertama: karyawan seni yang sanggup langsung menyumbangkan atau menyampaikan hasil karyanya kepada orang yang membutuhkan atau konsumen—misalnya pelukis. Pelukis tidak memerlukan siapa-siapa yang akan menjadi perantara, supaya lukisannya dapat dilihat orang. Asal saja lukisannya dapat dipahami. Contoh lain lagi, pengarang dan penyair/pujangga. Hanya percetakan saja yang ada di antara pengarang dan pembaca. Sebenarnya, tanpa percetakan pun, pengarang dapat berhubungan langsung dengan pembaca. Pengarang dapat menyerahkan karangan yang ditulisnya dengan tangan, atau sudah ditaip [diketik—red.], kepada pembaca.

Kedua: karyawan seni yang hasil karyanya dapat sampai kepada konsumen hanya dengan melalui perantara, yakni komposer. Simphoni Ceikovski1 tak ‘kan dipahami oleh orang yang tidak memiliki ilmu musikal atau keahlian musik. Mereka tak ‘kan sanggup membaca tanda-tanda not itu, tak ‘kan dapat mendengar alunan musik itu, selagi musik itu belum dimainkan oleh orkestra, konsumen musik tak ‘kan sanggup menggapai simphoni itu, karena tak dapat membacanya. Jadi, komposer membutuhkan pemusik/musisi—orkestra yang terdiri dari pemain piano, biola, selo, bas, dll.

Begitu pula halnya dengan playwright (dramaturg) sandiwara atau film. Memang, skrip sandiwara atau film itu dapat dibaca, tapi ini belum merupakan hasil akhir, karena ia baru hanya merupakan bacaan visual masing-masing, jadi, berbeda-beda. Skrip sandiwara atau film dapat ditonton dalam bentuk yang selesai hanya di pentas atau di layar putih. Untuk itu, diperlukan perantara aktor.

Ketiga: Jadi, kelompok karyawan seni yang ketiga adalah karyawan seni perantara yang melanjutkan hasil kreasi semula daripada komposer itu kepada konsumen kesenian, dan begitu pula halnya dengan hasil kreasi playwright (dramaturg) sandiwara atau karya penulis skrip film.

Jadi: sutradara, aktor, kamerawan, art director (pelukis dekor), komposer, dan lain-lain, adalah sekelompok karyawan seni yang bertindak sebagai pengantar, alias apa yang disebut “orang kedua” dari karyawan kreatif. Seakan-akan direndahkan nilai martabat kelompok karyawan seni ini. Sebutan “orang kedua” ini saja, seakan-akan meletakkan kelompok ini di lapisan yang bermutu kedua.

Tapi, sebenarnya, dipandang dari segi ide, dari segi artistik pun, tugas apa yang disebut “kelompok kedua” ini sejajar dengan tugas pencipta karya awal. Sering kreasi apa yang disebut “tukang kaba”, yang dimaksud kreasi sutradara dan aktor yang menyampaikan ide penulis skrip kepada penonton, ternyata merupakan malah kata penentu bagi penonton. Bukankah penonton berhadapan langsung dengan mereka.

Jadi, karya semula diciptakan oleh penulis skrip dengan tanggapan, penilaian, pemahaman, dan idenya tentang kehidupan.

Sutradara membaca dan mempunyai apresiasi dan persepsi sendiri tentang skrip itu. Kemudian disampaikannya kepada aktor, tentu sudah ditambah dengan pemahaman dan ide pribadinya.

Selanjutnya, aktor menyambung estafet, juga dengan apresiasi dan persepsi sendiri yang di-shoot oleh kamerawan.

Baik sutradara maupun aktor berusaha sedemikian rupa tidak menyimpang dari ide semula, tapi dengan cara sendiri menyampaikan kepada penonton, hingga penonton memahami ide semula itu, ditambah lagi dengan sumbangan kamerawan.

Ini adalah cara menyampaikan isi atau ide dengan menetapkan suatu bentuk. Bentuk dan isi ini saling berkaitan. Bentuk itu lahir dari isi. Kalau kita sutradara, aktor, kamerawan, komposer, pelukis berhasil menciptakan suatu bentuk yang manjur, yang menarik bagi penonton, maka isi itu lebih mudah dipahami oleh penonton, lebih cepat sampainya kepada penonton. Jadi, bentuk ini dapat mempercepat sampainya isi itu kepada penonton. Dan ada kalanya sebaliknya, kalau bentuk itu buruk, sutradara, aktor dll. gagal menciptakan bentuk yang menarik, maka isi itu tak ‘kan sampai kepada penonton, bagaimanapun tingginya ide dalam film itu.

Kalau kita kaji pengalaman karyawan-karyawan seni tempo dulu, akan lebih jelaslah bagi kita kebenaran ketentuan ini.

Shakespeare menciptakan tragedi agungnya ratusan tahun lalu. Sampai sekarang, masih dipentaskan karyanya itu di panggung-panggung seluruh dunia, dan selalu dengan penafsiran yang berbeda-beda. Setiap kali, siapa juga yang memanggungkannya, sekian kali tercermin bukan hanya ide Shakespeare itu sendiri dan zamannya saja, tetapi juga pemahaman tema drama itu oleh yang memanggungkannya. Sehingga drama itu juga membincangkan tentang abad ke-20 dan abad ke-21 dan tentang kehidupan negeri sutradara yang mementaskannya. (lihat M.I. Romm, “Kuliah Tentang Penyutradaraan”, VGIK, M1973, hal. 6).

Jadi, nilai dan makna kelompok “tukang kaba” ini, yang menjadi penyambung lidah pencipta skrip atau drama itu, sangatlah besar. Nah, pencipta skrip telah mengarang karyanya; aktor dengan tubuhnya, dengan wajahnya, dengan suaranya, dengan pemahamannya, membuat skrip itu boleh terlihat dan terdengar; pelukis atau art director membangun dekorasi; kamerawan memasang tata lampu dan men-shoot-nya pada pita film; komposer menciptakan iringan musik yang dimainkan oleh orkestra; editor menyambung-nyambung potongan-potongan pita film menjadi satu dan utuh.

Nah, di tengah-tengah karyawan seni yang telah disebut tadi, ternyata, tidak ada tempat hanya bagi seorang—yakni bagi sutradara, yang seakan-akan tidak berbuat apa-apa. Bukankah, agar adegan itu boleh ditonton, ‘kan cukuplah dekor, lampu sorot, aktor musik, kamera, dan editing. Kata “sutradara” itu dalam bahasa Malaysia: “pengarah”. Saya kira, ini sebutan yang paling tepat, menurut maknanya. Jadi, pemimpin kecil-kecilan kelompok pembuat film yang mengarahkan isi skrip. Sutradara berada di antara pencipta skrip dengan “tukang kaba”, karena komposer yang mengubah iringan musik, pelukis atau art director yang membangun dekor, kamerawan yang men-shoot adegan, dan aktor yang memainkan peranan—boleh dikatakan penyambung lidah sutradara—interpretatornya. Tentu saja, seperti telah saya katakan, mereka pun tidak sedikit menyumbangkan andilnya; mereka—pencipta peran, pencipta visual, pencipta musik, tetapi berada di bawah atap playwright (dramaturg), atau pencipta skrip—terlihat dengan idenya. Mereka hanya mengungkapkan pemikiran pencipta skrip, memang dengan bahasanya sendiri, dan semuanya ini diarahkan oleh sutradara.

Apa tugas sutradara teater zaman dulu? Apa yang dikatakannya kepada aktor masa melatih salah satu adegan? “Kau masuk dari kiri, keluar ke kanan, sedangkan kau masuk dari kanan, bertemu dengannya di tengah-tengah, lalu keluar ke kiri”, tidak dibicarakan watak tokoh masing-masing, umpamanya. Begitu juga sutradara film, diserahkan saja kepada aktor memainkan peranannya.

Namun begitu, perkembangan dan perubahan bentuk seni film bulat-bulat berkaitan erat, pertama-tama, dengan sutradara. Sutardara adalah “tukang kaba” ide pencipta skrip yang paling utama. Kerumitan kerjanya, karena dia tidak dapat langsung mewujudkan ide itu sendiri. Dia membentuk pemikirannya dengan bantuan kreativitas orang lain yang langsung menghasilkan resultat; mewujudkan pemikirannya dengan perantaraan aktor, membentuknya dengan perantaraan kamerawan, dll.

Film bisu Soviet Union yang berjudul Kapal Penjelajah “Potyomkin”—sutradara Eisenstein, sebuah contoh yang tepat menyoloknya kreativitas sutradara. (Dikutip dari buku Georges Sadoul, Histoire Generale Du Cinema, Tome 4/1, Danoel, Paris, edisi Rusia, Moskwa, “Kesenian”, 1982, hal.348-388, dan buku Sergei Eisenstein. Kumpulan Karya, jl 6, hal. 57).

Battleship Potemkin, 1925, karya Sergei Eisenstein.

Kapal Penjelajah “Potyomkin” (Battleship Potemkin).

Sutradara Sergei Eisenstein (12.1.1898 – 11.2.1948).

Pertunjukan perdana film bisu Kapal Penjelajah “Potyomkin” pada tanggal 24 Desember 1925 di Teater Bolsyoi Moskow telah menjadi peristiwa yang mengandung makna internasional. Sebelumnya, film-film Soviet Union tak pernah ditayangkan di negeri luar dan keberhasilannya sangat terbatas.

Pada tahun 1949 dan 1958 dalam hasil jajak pendapat internasional yang diselenggarakan di Belgia, film Kapal Penjelajah “Potyomkin” dinyatakan sebagai “film terbaik segala masa”.

Dunia perfilman digemparkan oleh titik tolak penemuan baru pengungkapan dan dalamnya isi cerita film ini. Dan lagi, untuk pertama kali dalam sejarah film, peranan utama dimainkan oleh tokoh massa kolektif.

Begitu kuatnya pengaruh film Kapal Penjelajah “Potyomkin” ini hingga pejabat badan sensor penapis (filter) dari kerajaan tak berdaya menahan dobrakan film tersebut untuk diperagakan di manca negara. Walaupun penayangannya diharamkan, namun film ini berjaya menyentuh hati penonton.

Eisenstein yang masa itu baru berusia 27 tahun dan Nune Agadzhanova-Shutko2 mengolah lakon cerita tentang peristiwa pemberontakan “Tahun 1905” di Rusia. Rencananya, film “Tahun 1905” ini harus diambil pembuatannya di lokasi seluruh wilayah Soviet Union, tempat pernah terjadinya peristiwa tersebut. Di antaranya: adegan perang Rusia-Jepang yang akan diambil di tapal batas Manshuri, pembantaian orang Armenia, peristiwa di Baku di tepi Laut Kaspia, Pemberontakan bulan Januari 1905 di St. Petersburg dan di Moskwa, bulan Desember tahun itu juga. Geografisnya sangat luas dan terpencar-pencar tempat lokasinya.

Pengambilan yang telah dimulai pada akhir Juli 1925 di St. Petersburg terpaksa dihentikan karena cuaca sudah memburuk sejak awal bulan Ogos (Agustus—red.) di sana.

Akhirnya, rombongan film memutuskan berangkat ke Odessa untuk mengambil adegan pemberontakan di kapal penjelajah “Potyomkin”, yang panjang adegan ini dalam skrip film “Tahun 1905” tesebut memakan hanya satu halaman saja.

Karena masa sudah mendesak, sedangkan sebelum 31 Desember 1925, yakni hari yubelium peristiwa 1905 tersebut, sudah harus diselenggarakan peragaan perdana film ini. Eisenstein terpaksa menolak rencana besar “Tahun 1905”, dan membatasi diri hanya dengan membuat adegan keempat dalam rancangan semula film tersebut, yaitu pemberontakan di kapal penjelajah “Potyomkin”, peristiwa yang paling dramatis yang terjadi dalam bulan Juni 1905, dengan anak judul semula “Pemberontakan massal dan penumpasannya”. Adegan keempat ini akhirnya menjadi film seutuhnya. Skrip film “Tahun 1905” dirombak. Sehubungan dengan ini, Eisenstein berkata:

“… Kapal Penjelajah “Potyomkin” semula merupakan episode kecil dalam film “Tahun 1905” yang direncanakan, tidak lebih dari empat puluh atau lima puluh shot/pengambilan dalam skrip sutradara. Dari bahan yang tidak besar ini terciptalah film yang sangat besar. Kita harus mencurahkan rasa cinta kita terhadap apa yang kita buat, untuk menemukan komponen bagi hobby agung seperti ini…” (“Kapal Penjelajah “Potyomkin”, M. “Kesenian”, 1969, hal. 24-25).

Beberapa ratus meter dari hotel di mana “crew film” ini menginap, terbentang pemandangan laut melalui tangga yang menghubungkan bagian atas bandar Odessa dengan pelabuhan. Tangga ini dibangun pada tahun 1839-1841 menurut rancangan pakar jurubina Itali – Boffo. Eisenstein sangat tertarik dengan tangga itu.

Kecuali kapal penjelajah itu sendiri, di mana berkecamuk pemberontakan 1905, tangga inilah yang dijadikan tempat utama peristiwa dramatis tersebut, salah satu dari lima episode film Kapal Penjelajah “Potyomkin”, episode mana membekali kejayaan pada film ini.

Banyak pengambilan adegan diimprovisasikan sudah di lapangan lokasi. Semuanya ini tidak ada dalam rancangan skenario semula. Tentang ini Eisenstein berkata seperti berikut:

“Tanpa berganjak dari rasa kebenaran, kiranya kita dapat melayang dalam sembarang perbuatan yang aneh dari ide, sambil menghisap sembarang gejala yang berpapasan, sembarang adegan yang tak masuk ke dalam “libretto” mana pun, sembarang rinci yang tidak direncanakan oleh siapa pun sebelumnya.” (S. Eisenstein, “Kumpulan Karya”, jilid I, hal.123).

Yang dimaksud oleh Eisenstein dengan “… sembarang adegan yang tak masuk ke dalam “libretto” mana pun”, adalah adegan dramatis pada anak tangga, di mana penduduk dengan gembira menyambut kedatangan kapal penjelajah “Potyomkin” mendarat, dan di sana jugalah mereka ditembaki oleh laskar Tsar kemudian. Sedangkan “… sembarang rinci yang tidak direncanakan sebelumnya”, adalah kabut yang tiba-tiba muncul waktu mengambil adegan perkabungan kelasi kapal, ketika mengebumikan korban.

Potongan adegan "Odessa Steps" dalam film Battleship Potemkin, 1925, karya Sergei Eisenstein.

Walaupun Eisenstein menulis bahwa episode “Tangga Odessa” dibuat sepenuhnya secara improvisasi, sebenarnya ini kurang tepat. Sebelum pengambilan adegan ini, lebih dulu sudah disiapkan rencana “skrip shooting” episode ini dalam tiga lembar folio… Sungguh pun begitu rencana skrip di atas kertas dengan pengambilan episode yang sudah jadi sangat berbeda. Ini dapat dibandingkan antara dua “editing paper”, antara “editing paper” rencana yang tertulis di atas kertas dengan “editing paper” episode yang sudah jadi pada pita film. (lihat lampiran).

Sebenarnya tangga itu tidak begitu tinggi, seperti yang tergambar dalam film tersebut. Karena kebolehan Eisenstein mengatur titik pengambilan kamera, menyambung-nyambung potongan-potongan pengambilan, hingga adegan tangga itu merupakan salah satu adegan klimaks, maka tangga yang tidak begitu tinggi itu terasa sangat tinggi sekali di dalam film. Semuanya ini adalah hasil keterampilan sutradara. []

Rencana skrip/skenario untuk pengambilan adegan di tangga (film k.p. “Potyomkin”)

LS feed-in

Tangga, ramai orang melihat.

MS

Ramai orang melihat.

MCU

Ramai orang melihat. Dari belakang.

Dua orang buruh melihat.

Wanita.

Penderita cacat.

Orang menunjukkan kepada budak-budak.

Seorang datuk mengesat. Nenek.

Para siswa melambaikan tangan.

Dua orang wanita.

Budak-budak diangkut masuk gambar/syot.

Datok melihat.

CU

Budak kecil berteriak.

Penderita cacat melaju dengan gerobaknya diantara kaki-kaki.

Lingkaran orang ramai berbondong-bondong maju.

Penderita cacat BCU.

Kaki-kaki melutut

Orang ramai lari

Kaki-kaki berdiri dengan lutut.

Orang ramai lari ke pagar sekatan.

Orang jatuh ke tengah gambar.

Kaki-kaki askar.

Tembakan dari atas dan dari belakang.

Dari belakang, orang ramai lari menuruni tangga.

    1. Tangga penuh ramai orang yang panik.
    2. Bunga. Tangga penuh ramai orang yang panik. (latar depan keranjang bunga).

Rombongan askar merapat ke dinding.

Orang ramai lari. (latar depan bunga).

Langkah-langkah.

Orang melutut.

Bunga jatuh (keranjang).

Tembakan.

Orang jatuh ke bunga (keranjang jatuh).

Pegangan kayu patah. Payung (dipotong-potong).

Tembakan pada daun pokok buah anggur.

Juga

Orang jatuh ke bunga.

Langkah-langkah.

Tembakan.

CU

Daun pokok buah anggur gugur.

Juga MCU.

Kaki-kaki lari serentak

Mak dengan dua orang anak.

Kamera mengikuti Mak dengan dua orang budak turun.

Tembakan.

Budak laki-laki jatuh.

CU

Budak laki-laki memekik.

Mak menoleh, memekik.

Kaki lari melangkahi budak yang terlentang.

Mak (CU – lebih BCU dari pada 43.)

Merapat ke dinding. Budak-budak terjatuh diantara kaki-kaki.

Kepala-kepala datuk-datuk yang panik.

CU

Kapal barang.

“Kapal Penjelajah”. [Maksudnya yang mengingatkan orang pada ketua gereja Yahudi.]

CU

Orang Yahudi yang sudah tua.

Langkah-langkah.

Tembakan.

Serombngan orang jatuh dekat dinding.

Emak berdiri masuk gambar.

Orang meluncur melaju.

Seorang Emak naik tangga. Di latar belakang askar menembak.

MS

Emak menarik anaknya yang terpijak-pijak. (ke kamera)

Mak memanggil dengan mata gelap.

Poltavtseva bangkit dari onggokan orang-orang yang kena tembak.

CU

Poltavtseva.

Emak mendekati kamera.

Rombongan Poltavtseva bergerak.

Langkah-langkah.

Tembakan.

Emak jatuh.

(jatuhnya emak).

Rombongan di sekeliling Poltavtseva jatuh.

Ramai orang berlarian. Kelihatan seorang emak muda dengan kereta.

Emak melindungi kereta bayi, di sekeliling orang berlarian.

Bayi di dalam kereta bayi, latar depan punggung emak.

Budak-budak lari ke tempat alat pengukur kekuatan.

Budak-budak bersembunyi di balik tempat alat pengukur kekuatan yang tinggi.

Kaki-kaki dan budak-budak.

Tembakan.

Poltavtseva berteriak.

Emak menghembuskan nafas.

Tangan memegang perut.

Badan orang jatuh perlahan-lahan masuk gambar.

Roda depan kereta bayi di tepi anak tangga.

Bagian belakang badan Emak dan rida kereta bayi, akhir gerak emak terduduk, roda terdorong.

Roda depan kereta bayi terguling dari tepi anak tangga.

Emak jatuh tergeletak, roda kereta bayi terguling keluar gambar.

CU

Kereta bayi mulai meluncur.

Dari bagian bawah tangga, kereta bayi mulai meluncur.

Orang gemuk menoleh ke permukaan jam, berteriak sambil melihat ke atas.

Emak di tanah membalik.

CU

Wajah Emak.

Dari atas, kereta bayi meluncur.

Orang tinggi.

Orang tinggi hendak bergerak, luka, terjatuh ke sekumpulan budak-budak di dekat tempat alat pengukur kekuatan.

Tembakan.

Budak-budak berteriak di tempat duduk.

Kereta bayi meluncur perlahan-lahan.

Emak yang luka kepalanya bangkit.

Emak berusaha bangkit dari tanah.

Budak-budak berteriak (dicoret).

Tangan memegang tangan (alat pengukur kekuatan).

Berusaha bergerak dengan badan.

Penembak.

Kereta bayi melaju (following).

Bayi menangis dalam kereta bayi (following).

Tembakan.

Kaca pecah.

Pecahan kaca jatuh pada se gemuk yang hendak berdiri.

Si tinggi bangkit (dicoret) alat pengukur kakuatan. (Dari belakang, dengan pantulan sinar dari kaca pecah).

Endnotes[+]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search