In Artikel

[tab] [tab_item title=”ID”]

Filem; Sebagai Dokumen Sosial dan Dokumen Estetika

Filem adalah artefak budaya yang sangat perlu dilestarikan sama halnya dengan artefak budaya kita yang lainnya. Sebagai karya seni, filem mengandung artefak sejarah seperti halnya sebuah candi juga mengandung dokumen sosial dan sejarah. Realisme pada filem sesungguhnya adalah imajinasi sang pembuat yang berasal dari endapannya dalam memandang realitas pada situasi dan kondisi realitas sosial filem tersebut di buat. Bahkan menurut JB Kristanto, filem adalah artefak budaya yang ‘aktif’ karena kita menyaksikan masa lalu secara ‘hidup’[i]. Sedemikian hingga, merestorasi sebuah filem adalah usaha melestarikan artefak budaya yang penting untuk dilakukan, sebagai bagian menyelamatkan warisan sejarah bangsa. Maka menjadi penting dalam memaknai pengarsipan filem bagi sebuah dokumen sosial dan sejarah karena mengandung artefak budaya yang termuat didalamnya.

Buku Lewat Djam Malam Diselamatkan

Lewat Djam Malam Diselamatkan, kira-kira begitulah yang dicantumkan dalam judul buku yang berisikan proses restorasi filem Lewat Djam Malam. Sungguh suatu kebahagian tersendiri, sebuah arsip atau karya filem Indonesia di masa lampau—dalam hal ini karya Usmar Ismail, bisa kita saksikan dalam format yang telah di restorasi. Pentingnya sebuah karya filem yang direstorasi itu sendiri adalah bagaimana kita bisa menyaksikan sebuah karya filem-filem produksi terdahulu dalam bentuknya yang utuh. Hal ini tidak lain karena beberapa arsip filem Indonesia yang diproduksi di masa lampau tidak mengalami perawatan yang memadai. Sehingga beberapa filem klasik Indonesia tersebut, tidak bisa disaksikan dalam kondisi utuh seperti kondisi awal ketika diproduksi. Setidaknya pengertian utuh di sini adalah perihal filem dalam bentuk (form) asal nya sangat dipengaruhi oleh material filem yang mengalami kerusakan karena usia dan perawatan yang tidak memadai.

Pengalaman restorasi filem Usmar Ismail Lewat Djam Malam, tentu sesuatu yang baru di Indonesia. Selain kita sebagai bangsa Indonesia yang notabene masih gagap terhadap teknologi pelestarian filem, restorasi secara menyuluruh untuk sebuah filem adalah kali pertama dalam sejarah perfileman Indonesia. Seperti dinyatakan dalam buku Lewat Djam Malam Diselematkan yang ditulis oleh Andrian Johnathan—seorang penulis kritik filem muda berbakat, dan beberapa keterangan dalam buku pengantar tersebut. Sebagai kegagapan teknologi pelestarian filem di Indonesia, tentu kebahagian tersendiri terhadap keberhasilan peristiwa restorasi Lewat Djam Malam ini melibatkan jaringan internasional seperti L’Immagine Ritrovata, Bologna, Italia dan World Cinema Foundation—lembaga yang dibentuk oleh Martin Scorsese di Cannes 2007. Sampai kemudiaan filem ini pun mendapatkan tayangan internasional di Cannes 2011 pasca restorasi.

Brosur World-Cinema Foundation di Cannes Classics

Sebagai seni reproduksi, filem memang tidak bisa lepas dari ‘mengada’nya karena pengaruh teknologi. Namun menurut Andre Bazin, filem adalah fenomena gagasan yang sudah ada dalam benak manusia. Temuan-temuan teknologi hanya mempertegas kehadiran ide tentang sinema. Sebagai dokumen sosial filem hanya memuat artefak-artefak yang direkam dalam ‘citraan bergerak’, dan sebagai ‘gambar hidup’, filem adalah dokumen sosial yang memuat acuan-acuan arkeologis yang termuat dalam kisah gambar. Namun sebagai sebuah fenomena gagasan, filem adalah dokumen estetika yang memuat pergulatan soal ‘bentuk’ dan bahasa sinematografi sebagai pantulan dari persoalan-persoalan sosial yang terdapat didalamnya. Estetika filem itu sendiri bisa dimaknai sebagaiendapan-endapan dari pantulan realitas ketika suatu karya diproduksi. Atau estetika bisa dimaknai sebagai sebuah alat ukur keadaan suatu jaman. Dengan kata lain, secara naratif filem adalah dokumen sosial, dan secara sinematografis filem adalah dokumen estetika.

Sejauh membedakan filem sebagai dokumen sosial dan dokumen estetika, maka cukup penting memaknai sebuah restorasi filem tidak hanya sebagai kebutuhan dokumen sosial semata, namun lebih prinsipil lagi adalah bagaimana sebuah restorasi filem juga memandang penting menyelamatkan dokumen estetika sebagai sebuah keutuhan dari sebuah karya filem yang sedang diselamatkan. Dengan demikian perangkat-perangkat restorasi yang dibutuhkan untuk menyelamatkan atau memulihkan kondisi filem dalam keadaan semula, juga penting untuk menginsyafi akan keberadaan sebuah dokumen estetika yang terdapat pada karya filem.

Perihal-Perihal Restorasi; Antara Orisinalitas dan Otentisitas

Pasca restorasi Lewat Djam Malam, ada banyak karya filem Indonesia di masa lampau kini mendapatkan gairah yang lumayan besar di kalangan para aktivis filem di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari keberadaan arsip filem—yang sejauh ini ditangani oleh Sinematek Indonesia—yang masih mengalami nasib yang tidak memadai terhadap pemeliharaan materi filemnya. Keprihatinan terhadap perawatan materi filem yang kurang memadai di Indonesia selama ini, membuat restorasi menjadi semacam semangat baru untuk kembali mewacanakan filem klasik Indonesia melalui proyek pemulihan filem-filem klasik Indonesia. Banyak sejumlah sejumlah materi filem klasik Indonesia selama ini, tidak bisa kita saksikan secara utuh karena materi filem yang sudah rusak karena minimnya perawatan. Harapan terhadap adanya restorasi adalah menyaksikan filem klasik Indonesia secara utuh, tentu menjadikan peristiwa restorasi adalah hal yang besar bagi akses tonton yang memadai bagi kalangan para generasi penonton filem Indonesia saat ini.

Rak-rak penyimpanan filem di Sinematek

Salah seorang inisiator restorasi Lewat Djam Malam, Lisabona Rahman menyatakan bahwa “Bagi saya dan kawan-kawan segenerasi, pembuat film maupun bukan, kali pertama menyaksikan arya-karya klasik film Indonesia adalah saat-saat magis yang bukan saja menggetarkan, tapi hampir selalu juga menyakitkan. Film-film berharga dari masa lalu itu kami tonton dalam keadaan terputus-putus, penuh goresan dengan suara yang kadang cempreng kadang hilang sama sekali. Betapa irinya kami pada orang-orang yang menontonnya di masa lalu dengan gambar yang mulus dan suara yang merdu.”[ii]  Apa yang diungkapkan Lisabona tentu menjadi kemirisan tersendiri bagi kita saat ini. Menyaksikan karya filem klasik Indonesia dalam kondisi yang tidak utuh, tentu menjadikan tangkapan terhadap sebuah filem tidak seturut dengan pemaknaan estetika yang melekat pada karya filem tersebut.

Namun pengertian menonton itu sendiri setidaknya bukan sebagai peristiwa teknologi semata. Menyaksikan filem klasik Indonesia secara utuh, setidaknya bukan sekedar dimaknai sebagai sesuatu yang teknis semata. Bagi beberapa filem Indonesia klasik memang memiliki sejumlah gaya bahasa sinematografi yang khas, sehingga kejernihan gambar yang utuh tentu akan sangat mendukung untuk menyaksikan karya filem klasik Indonesia. Pengertian utuh terhadap filem itu sendiri bisa dimaknai sebagaii sesuatu yang otentik, karena mempertimbangkan tidak saja perihal-perihal dokumen sosial yang terdapat pada filem, namun lebih kepada pemulihan sebuah filem sebagai  sebuah dokumen estetika.

Peralatan yang digunakan untuk perawatan filem di Sinematek

Filem memang bukan seni yang ‘auratik’ dalam konsepsi Walter Benjamin, karena sifat materialnya yang bisa direproduksi, dan pesebaran reproduksi filem tidak mengandaikan ikatan yang sakral antara karya dan penontonnya. Dalam perihal restorasi, seni ‘auratik’ tentu membutuhkan orisinalitas karya, seperti yang kita bisa bayangkan ketika lukisan di restorasi adalah memurnikan tingkat orisinalitas karya. Namun dalam ranah estetika, sekiranya semua karya seni adalah sama, yakni memerlukan sebuah otentisitas‘bentuk’, karena karya seni sebagai ‘pengada’ adalah identik secara bentuk. Dalam kasus restorasi filem Lewat Djam Malam, adalah menarik dari sekian hingar bingar kebahagian dari sebuah karya filem di masa lampau yang bisa disaksikan secara utuh, untuk memaknai kembali tentang pengertian ‘keutuhan’ sebuah filem hasil dari sebuah usaha restorasi.

Memang telah menjadi persoalan yang tidak asing lagi, ketika menonton karya filem klasik Indonesia mengalami kesulitan karena materi filem yang diproduksi di masa lampau tersebut, mengalami  kerusakan material. Hal ini bukan hanya menjadi persoalan pengarsipan, namun juga menjadi persoalan tentang bagaimana sebuah filem di masa lampau bisa dihadirkan secara utuh. Apa yang diungkapkan oleh Lisabona diatas tentang menonton filem dalam keadaan terputus-putus, suara cempreng, dan lain sebagainya, adalah cukup menarik tentang bagimana memaknai keutuhan sebuah filem sebagai materialnya yang sangat berpengaruh. Dalam konteks restorasi, pemulihan material filem menjadi sangat penting untuk melihat keutuhan sebuah filem.

Lewat Djam Malam (1954) Saat di restorasi.

Jika restorasi dimaknai sebagai pemulihan sebuah benda, tentu tidak ada yang sempurna untuk mengejar kondisi orisinalitas. Mungkin akan berbeda, membandingkan sebuah karya seni rupa dan karya filem yang mengalami sebuah restorasi. Pada karya seni rupa, orisinalitas bisa jadi sebangun dengan otentisitasnya. Karena karya seni rupa adalah perihal materialnya yang menjadi esensi dari karya tersebut. Sebuah restorasi pada sebuah karya seni rupa tentu adalah usaha-usaha memperbaiki materialnya untuk mengejar orisinalitas dari karya asilnya. Namun filem adalah sebuah reproduksi mekanis yang sangat rentan terhadap keberadaan teknologi. Sebuah karya filem yang mengalami kerusakan pada materialnya, tentu akan sulit mengejar orisinalitas dari material filem. Apalagi dengan perkembangan teknologi yang ada saat ini, filem yang diproduksi pada masa lampau tentu sulit mencari padanan orisinalitasnya dengan keberadaan kondisi di masa kini. Orientasi –orientasi terhadap kepekaan orisinalitas dan otentisitas sekiranya menjadi cukup penting dalam memaknai sebuah restorasi filem, karena bisa jadi ketika pemulihan terhadap orisinalitas dari material filem akan bisa berdampak pada otentisitas dari karya filem tersebut. Yang paling mencolok dari pemulihan material dari restorasi filem Lewat Djam Malam adalah durasi filem yang mengalami pengurangan—tidak ada catatan perubahan durasi filem ini pasca restorasi pada buku pengantar, maupun pada rilis press release pemutaran perdana filem Lewat Djam Malam pada 4 Juli 2012 di Sinematek.

Filem adalah perihal tulisan, sedangkan sinematografi adalah perihal bahasa, demikian yang dikatakan oleh Chrtistian Metz. Pengertian ini tentu bisa memberikan arah tentang pemaknaan restorasi filem, yakni memaknai restorasi filem sebagai pemulihan sebuah tulisan apakah akan berdampak pada bahasanya. Pertanyaan ini mungkin agak berlebihan atau tidak menemukan kontekstualitasnya. Namun dalam peristiwa restorasi Lewat Djam Malam kita bisa saksikan bagaimana sebuah restorasi dari sebuah karya klasik Indonesia bisa kita saksikan dalam kondisinya yang lebih modern ketimbang kondisi aslinya. Setidaknya pengertian modern dalam hal ini adalah ketika proses restorasi dari material filem pita dialihkan kepada material filem secara digital. Proses restorasi filem sebagai praktek digitalisasi filemini banyak dijelaskan oleh Davide Pozzi[iii], pada buku pengantar.Secara tidak langsung, proses digitalisasi ini tentu akan berdampak pada realisme filem. Sejauh dampak restorasi pada realisme filem, maka sesungguhnya yang terjadi adalah ketika filem sebagai sebuah tulisan yang mengalami pemulihan akan berdampak pada sinematografi sebagai bahasa, atau dalam kerangka tema diatas, bagaimana sebuah pemulihan orisinalitas akan berdampak pada otentisitas sebuah karya filem. Diskusi tentang orisinalitas dan otentisitas sekiranya menjadi cukup penting dalam merenungkan dampak-dampak restorasi terhadap otentisitas sebuah karya filem. Dalam hal ini, kasus Lewat Djam Malam sekiranya bisa direnungkan ulang sebagai wawasan dan khasanah dari pentingnya sebuah restorasi filem yang disertai sebuah riset dan wawasan khas sinema Indonesia yang memadai.

Restorasi Filem; Pengalaman Teknologi Barat dan Realisme ‘Tropis’ Dunia Ketiga

Restorasi film itu sendiri menurut Wikipedia disebut juga dengan pelestarian film, yang adalah sebuah proyek berkelanjutan antara sejarawan film, arsipis, museum, sinematek, dan organisasi non-profit untuk menyelamatkan film stock[iv] yang membusuk dan melestarikan gambar  yang dikandungnya.  Dalam pengertian yang luas, restorasi bisa dimaknai sebagai usaha menjamin agar filem tetap terjaga dan ada, seperti bentuk aslinya yang dimungkinkan sampai 90 persen dari keseluruhan filem. Lebih lanjut dalam keterangan Wikipedia disebutkan bahwa istilah “pelestarian” sinonim dengan duplikat. Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia restorasi adalah pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula atau pemugaran—dicontohkon tentang gedung bersejarah.

Lewat Djam Malam (1954), sebelum dan sesudah restorasi.

Dalam keterangan lain disebutkan bahwa restorsi filem merupakan sebuah tindakan mere-produksi sebuah filem agar dapat bisa terlihat dan dapat dilihat. Dari keterangan-keterangan definitis tentang restorasi ini, tentu kurang memadai sebagai sandaran dalam memahami arti restorasi secara definitif. Walau pengertian definitis restorasi sesungguhnya adalah perihal yang sangat penting sebagai landasan dalam melakukan sebuah tindakan merestorasi sebuah karya filem.  Hal yang sama juga sangat disayangkan ketika membaca buku Lewat Djam Malam Diselamatkan tidak memuat pengertian restorasi secara definitif. Hanya pada tulisan Davide Pozzi, yang banyak menjelaskan prosesi restorasi secara teknis semata.

Sungguh sebuah pilihan yang menurut saya pribadi adalah sangat tepat, ketika sebuah karya besar macam Lewat Djam Malam ditunjuk sebagai satu di antara filem yang direstorasi. Karya Usmar Ismail ini pada tahun 1954, memang sebuah karya besar, selain diproduksi hasil kerja bersama antara dua tokoh besar dalam sejarah perfileman Indonesia Jamaludin Malik dan Usmar Ismail, filem ini memang sebuah karya yang ditujukan bagi festival. Sedemikian hingga, Lewat Djam Malam sesungguhnya adalah karya yang memang diniatkan sebagai filem yang memiliki prestise besar oleh pembuatnya.

Lewat Djam Malam (1954), sebelum dan sesudah restorasi

Lewat Djam Malam memang sebuah karya besar, bagaimana konsepsi waktu 24 jam menjadi wacana tersendiri sebagai struktur dramatik filem. Filem ini juga memperlihatkan praktek-praktek montase yang cukup menarik, selain bidikan-bidikan lapangan yang dilakukan langsung di beberapa pelosok kota Bandung. Bukan hanya narasi, secara sinematografis, filem ini memiliki kebanggaan tersendiri sebagai produksi anak bangsa Indonesia. Namun karena filem ini dibuat berdasarkan kepekaan estetika yang cukup tinggi justru menjadi subtilitas dari persoalan-persoalan yang dihadapi ketika melakukan restorasi.Otentisitas karya Lewat Djam Malam sungguh menjadi sangat penting karena karya tersebut digarap melalui kecerdasan-kecerdasan estetik yang berasal dari situasi yang sangat khas dalam konteks sosial produksi filem ketika Usmar membuatnya.

Lewat Djam Malam (1954), sebelum dan sesudah restorasi

Seperti pada adegan ketika Iskandar sedang merasa gelisah ingin membunuh Gunawan pada gambar filem sebelum direstorasi, ketika ia berjalan di jembatan di atas perlintasan kereta api, memperlihatkan nuansa cahaya yang agak kesiangan. Namun pada gambar filem yang sudah direstorasi memperlihatkan gambar yang secara domoninan adalah malam. Perbedaan nuansa cahaya ini pada umumnya memang tidak memiliki signifikasi yang cukup berarti dalam menyandingkan gambar filem Lewat Djam Malam antara yang sebelum direstorasi dan sesudah di restorasi. Namun sesungguhnya cukup penting memaknai ‘ruang dalam’ realisme pada filem sebagai bagian penting dari estetika filem. Apalagi jika merujuk perihal kecerdasan sutradara berdasarkan bahan baku estetika yang memang betul-betul memanfaatkan keterbatasan teknologi. Namun Usmar nampaknya pandai memanfaatkan ‘ruang dalam’ realisme yang sebenarnya dalam rangka pengembangan dan kecerdasan estetika sang sutradara dalam situasi yang sangat khas, atau bisa jadi keterbatasan sarana produksi ketika Usmar membuat Lewat Djam Malam. Bisa jadi Usmar memang tidak perlu membuat adegan di malam hari karena keterbatasan sarana produksi, ia lalu membuatnya mungkin di sore hari, karena bahasa sekuen dan ‘logika dalam’ pada kisah sudah bisa dimaknai sebagai peristiwa yang berlangsung di malam hari. Mungkin ini yang disebut dengan ‘waktu filmis’ yang khas, dan otentisitasnya tidak perlu mengubah menjadi cahaya malam ketika merestorasinya.

Namun sinema memang sungguh berbeda dengan bidang seni lainnya, seperti yang diutarakan oleh salah seorang pengusung ‘kepengarangan’ (authorship) dalam sinema,  Alexandre Astruc, yang menyatakan “The difference between the cinema and anything else – including thenovel – is, primarily, the impossibility of telling a lie, and secondly theabsolute certainty, shared by the spectator and the author alike, that onthe screen everything will be resolved with time”[v].  Dalam hal ini, ada kesepakatan-kesepakatan laten antara sutradara dan penonton yang dipertemukan melalui durasi, ataupun melalui logika kisah.

Lewat Djam Malam (1954) Restorasi gambar secara digital

Filem adalah adalah perihal metafisis, yang mampu memisahkan manusia dari tubuhnya, atau memisahkan realitas dari rujukan semantisnya. Dan menurut kritisi Andre Bazin, realisme dalam seni hanya dapat dibangun melalui rekaan. Bisa dibayangkan, tanpa harus mengandaikan pencahayaan yang terik matahari, filem-filem Yasujiro Ozu cukup menggambarkan iklim Jepang yang panas, ketika di banyak adegan dalam karya Ozu tersebut memperlihatkan beberapa adegan sang aktor mengkipas-kipas tubuhnya. Demikian pula dengan Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail, pembersihan gambar dari hasil restorasi tentu membawa dampak dari realisme Indonesia yang khas. Beberapa pencahayaan pada gambar Lewat Djam Malam hasil restorasi terlihat cukup jernih, seakan filem tersebut bukan berasal dari pantulan realisme Indonesia. Digitalisasi dalam proses restorasi tentu membawa dampak pada gambar yang dipengaruhi pencahayaan-pencahayaan yang ‘bersih’ dan cenderung harmonis. Seperti pencahayaan yang diperlihatkan pada hasil restorasi Lewat Djam Malam yang terkesan telah terdigitalkan, atau dengan kata lain telah mengalami ‘pembaratan’.

Realisme Indonesia tentu tidak bisa lepas dari fitrahnya yang tropis. Demikian pula halnya sejarah visual Indonesia, yang nyaris tidak melahirkan karya impresionis yang cukup menonjol dibanding karya realismenya. Hal ini tentu tidak lepas dari pantulan representasi panoramisnya yang mungkin tidak mengilhami karya-karya impresionis. Produksi filem klasik Indonesia seperti Lewat Djam Malam, kontras-kontras pencahayaan bisa jadi adalah sesuatu yang khas dalam realisme Indonesia. Tanpa mengurangi apresiasi yang besar terhadap keberhasilan restorasi filem ini,setidaknya persoalan estetika dan khususnya wacana realisme Indonesia bisa menjadi bahan pertimbangan. Sebelum karya filem klasik Indonesia mengalami digitalisasi dari usaha proyek-proyek restorasi yang akan dilakukan di kemudian hari.

Lewat Djam Malam (1954), restorasi suara secara digital

Usaha-usaha mengembalikan kondisi filem seperti keadaan semula memang pernah dilakukan di Indonesia. Seperti yang pernah dilakukan pada filem Nagar Bonar. Namun menurut keterangan Adrian Jonathan menyatakan bahwa Naga Bonar tidak termasuk dalam definisi restorasi karena melakukan proses dubbing (pengisian suara)[vi]. Hal ini dikarenakan proses dubbing adalah sebuah proses yang menambahkan sesuatu pada karya filem yang di restorasi, sehingga penambahan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang ‘haram’ dalam proses restorasi. Hal yang senada juga bisa ditujukan ketika sebuah karya filem mengalami digitalisasi dalam proses restorasi, mengalami dampak-dampak otentisitasnya. Seperti membayangkan filem yang direstorasi menjadi lebih bagus dalam pengertian lebih bagus dari aslinya.

Tanpa harus merasa berlebihan, pengertian restorasi secara definitif ini adalah perihal penting sebagai acuan untuk melakukan sebuah proses yang melibatkan atau menggubah ulang secara utuh sebuah karya besar filem yang pernah diproduksi di masa lampau.  Menurut salah seorang anggota Dewan Kesenian Jakarta, Alex Sihar yang terlibat aktif dalam proyek restorasi Lewat Djam Malam, mengakui bahwa bahwa restorasi itu sendiri adalah sebuah intepretasi[vii]. Sedemikian hingga, hal yang cukup bisa dijadikan rujukan sebagai bahan renungan dalam melakukan proses restorasi adalah, bagaimana menginterpretasi ulang khasanah estetika filem klasik Indonesia. Terkait dengan dampak-dampak kontruksi realisme filem karena pengaruh restorasi atau digitalisasi, restorasi Lewat Djam Malam menarik untuk didiskusikan terkait perihal dampak filem dalam khasanah realisme Indonesia.

Lewat Djam Malam (1954), proses pengkoreksian warna

Akhirul Kalam

Restorasi Lewat Djam Malam adalah sebuah usaha yang patut mendapatkan apresiasi. Selain sebagai semangat pengarsipan dari sebuah karya filem di masa lampau, restorasi itu sendiri adalah usaha-usaha dari sebuah keinsyafan terhadap filem sebagai seperangkat benda seni, bahkan artefak budaya bangsa, yang patut di jaga keutuhan dan kelestarian secara “bentuk”. Restorasi juga kepedulian akan estetika sinema yang utuh sebagai bagian pembacaan terhadap menangkapan endapan-endapan pemikiran sebuah zaman. Yang patut bisa diusulkan sebagai bahan renungan adalah ketika restorasi filem Indonesia yang memuat proses digitalisasi berdampak pada ‘pembaratan’ realisme filem Indonesia. Dalam hal ini, ekonomi politik dari hasil kerja sama lembaga filem internasional dalam proses restorasi filem Lewat Djam Malam, juga patut diinsyafi sebagai pekerjaan rumah pengarsipan filem Indonesia yang masih nir negara.  Tabik.


[i] JB Kristanto. Pengantar buku Lewat Djam Malam Diselamatkan. Sahabat Sinematek, Jakarta, tanpa tahun, hlm. viii

[ii] Lisabona Rahman. Apa Kami Hanya Pantas Menonton Film-film Rusak?, dalam Lewat Djam Malam Diselamatkan. hlm. 88

[iii] Lihat Davide Pozzi. Tentang Proses Restorasi. Ibid, hlm 9-14.

[iv] Film stock adalah filem fotografis atau rol film yang berisikan shot atau reproduksi gambar oleh pembuat filem dalam membuat gambar bergerak www.wikipedia.org.

[v] Alexandre Astruc. What Is mise en scene?. Cahiers du Cinema (The 1950: Neo-Realism, Hollywood, New Wave). Editor, Jim Hiller. Massachusetts: 1985, hlm 266.

[vi] Wawancara Jurnal Footage tanggal 8 Juli 2012.

[vii] Wawancara Jurnal Footage tanggal 19 Juli 2012.

[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]

Recommended Posts
Comments
  • ASFI MANAR
    Reply

    broo..kirim buku mu yooo….ke jl raya madiun solo 147 maospati magetan ato telp q 081230104106

    kon kabare piye…cukk

    asfi

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search