In Artikel

Tulisan ini terpicu dari ketidaksetujuan saya atas pendapat Panji Wibowo yang mengatakan bahwa Siti (2014), karya Eddie Cahyono, adalah “sebuah parodi getir dari kebanyakan fil[e]m-fil[e]m Indonesia yang masih terjebak dalam konsepsi moral baik-buruk.”[1] Justru, Siti-lah satu di antara kebanyakan filem-filem itu. Siti mencubit paha orang, tetapi lupa mencubit pahanya sendiri.

Siti memenangkan beberapa penghargaan nasional dan internasional.[2] Prestasi itu memicu gerakan tagar #SitiMasukBioskop[3] demi kampanye keadilan bagi statusnya sebagai “filem nonbioskop”,[4] serta menyeret cukup banyak opini dari kalangan perfileman sendiri yang menilai positif kualitas filem tersebut. Tulisan ini hadir sebagai kritik penyeimbang dalam rangka membuka perdebatan sehat tentang Siti.

Siti (2014) Eddie Cahyono.

Hal pertama yang perlu kita perhatikan ialah Siti bukan “narasi tentang kekuatan” sebagaimana pendapat Hikmat Darmawan. Tiada mengedepankan keberpihakan terhadap perempuan, Siti melanggengkan kedangkalan berbahasa yang telah puluhan tahun menjangkiti industri perfileman kita. Siti memang “tak hendak menyajikan perempuan sebagai korban,”[5] tapi ia mengorbankan perempuan itu sendiri. Dalam hal ini, Eddie gagal meloloskan diri dari dua perangkap: (1) gaya dalam merepresentasikan masalah gender (yang sering kali keliru dalam filem-filem arus utama kita); dan (2) kepekaan terhadap permainan tanda (secara visual).

Hubungan (subordinat) istri terhadap suami—lantas menyimpang karena dipicu laki-laki ketiga—merupakan salah satu aspek yang digarisbawahi secara khusus oleh beberapa pengamat untuk membenarkan sikap filem ini terhadap isu perempuan dan gender. Penggambaran protagonis yang bekerja di dua ranah (yang dianggap saling bertolak belakang nilai moralnya) dilihat sebagai kunci untuk berbicara mengenai kebebasan atas hal-hal domestik. Simplifikasi semacam ini menjadi keliru karena logika sesat ala “pilot perempuan” yang justru bekerja di dalamnya. Ketakjuban atas karakter Siti yang menjadi berbeda 180° pada malam hari seakan membuat kita lupa akan kompleksitas masalah perempuan dan gender. Di dalam Siti, terjadi klasifikasi dikotomis, yakni “dapur, sumur, dan kasur” vis a vis “kepala keluarga, nafkah, dan hiburan malam”, yang kemudian digabung untuk mengkonstruk karakter perempuan berkemampuan: si Siti. Efeknya, Siti mengamini praktik subordinasi sekunder terhadap perempuan karena menyiratkan bahwa perempuan barulah dianggap istimewa jika mampu berperilaku di luar ranah gendernya atau statusnya sebagai perempuan baik-baik (bertindak di luar garis norma mayoritas masyarakat).

324842643[13-16-18]

Siti (2014) Eddie Cahyono.

Siti (2014) Eddie Cahyono.

Cara Eddie membangun emosi perlawanan si Siti pun pada dasarnya mengingkari kemampuan sinema sebagai bahasa yang memungkinkan diksi-diksi puitik untuk merepresentasikan pemikiran-pemikiran kritis. Kita disuguhi ide perlawanan terhadap dominasi laki-laki melalui beberapa adegan yang justru menegaskan diskriminasi perempuan: adegan Siti menginjak-injak pakaian saat mencuci, umpatan kasar “Asu!” di atas ranjang, atau visual berkandung kekerasan simbolik di depan cermin. Terutama sampel adegan yang ketiga ini, permainan visual Eddie mempertemukan kita dengan cara pandang yang melulu menempatkan perempuan semata-mata sebagai objek bahasan yang tak juga bisa lepas dari masalah seksual(itas)—meskipun, dalam beberapa konteks, seksualitas bisa menjadi bahasa sinema. Yang sangat disayangkan, adegan tersebut tiada menghadirkan keperpaduan Siti dengan konteks sosialnya. Gerak kamera, ke atas dan ke bawah, gagal merepresentasikan ide kesetaraan, kecuali merangsang persepsi kita tentang stigma perempuan malam.

324842643[13-29-37]

Siti (2014) Eddie Cahyono.

Siti (2014) Eddie Cahyono.

Selain itu, terlalu sederhana jikalau kita serta-merta menyimpulkan bahwa Siti berhasil menggambarkan ketertekanan yang dialami Siti hanya karena adegan-adegan tentang aktivitasnya membantu Bagus, si suami yang lumpuh, untuk bersih-bersih badan, ganti baju, dan makan, sementara Bagus terlihat bersikap pasif dan tak senang kepada Siti atas pilihannya bekerja sebagai pemandu karaoke. Juga kesimpulan seperti yang diungkapkan Adya Nisita, tentang rasio gambar 4:3. Menurutnya, ukuran frame itu menunjukkan bahwa “…protagonis kita tak punya waktu untuk duduk leha-leha, seakan protagonis kita juga tak punya jalan keluar.”[6] Begitu gegabahnya kesimpulan itu, sama halnya dengan alasan dari si pembuat filem sendiri yang dicatat oleh Hikmat Darmawan: “Mereka bilang, pilihan itu agar kisah SITI, gambaran hidup Siti si tokoh utama jangan terlalu indah atau agar terasa terbatas.”[7] Itu makna yang dikarang-karang, namanya!

Penggunaan rasio 4:3 secara sadar adalah sah sebagai pilihan estetik, dan sebenarnya bukanlah hal baru. Contohnya, Eric Rohmer mempertahankan rasio 4:3 meskipun akan diproyeksikan pada layar CinemaScope yang mulai marak saat itu (di tahun ‘50-an) karena menurutnya wide screen menghentikan komposisi bidikan yang berdaya cipta—layar lebar yang tampil sebagai image pada kamera, memotong bagian atas dan bawah frame, sedangkan bagi Rohmer, bagian itu penting untuk ditampilkan.[8] Alasan tersebut bisa kita lihat dengan relevan, misalnya, pada L’ère industrielle: Métamorphoses du paysage (1964), karya Rohmer tentang perubahan lanskap kota Paris di awal ‘60-an. Rasio 4:3 memiliki misi untuk mengeksplorasi objek-objek, seperti bangunan pabrik yang menjulang, demi visi terungkapnya pengalaman kota modern secara estetik. Atau pada La Boulangère de Monceau (1963), Rohmer memetakan jalan-jalan di lokasi tempat tinggal protagonis, yang dapat ditarik ke konteks strukturalisme Lévi-Strauss.

image backery girl (03)

La Boulangère de Monceau (1963) Eric Rohmer.

Logika atas dasar kebutuhan sinematik semacam itu, tidak ada pada Siti. Eddie tampaknya abai bahwa filem, bagaimanapun, ialah perihal estetika visual yang pasti terukur. Bagaimana keterbatasan hidup si Siti berkorespondensi dengan frame berrasio 4:3, tidak terjelaskan sama sekali di dalam konstruksi filemnya.

Siti (2014) Eddie Cahyono.

Kita juga patut bersikap kritis terkait penampakan sebuah lukisan pemandangan gunung dalam adegan Siti melintasi ruang tengah rumahnya untuk bersiap-siap berangkat ke tempat karaoke. Dengan adanya lukisan itu, mau tidak mau adegan tersebut menjadi “politis” dan tak bisa diabaikan begitu saja. Kita tahu, lukisan gaya mooi-indie memiliki konteks penting dalam sejarah seni rupa Indonesia: pernah ditolak Sudjojono di tahun 1939 dalam rangka merumuskan corak seni rupa yang berjiwa realita masyarakat pada masanya.[9] Bisa dikatakan, ini adalah salah satu akar dari ide realisme ala Sudjojono yang mengangkat isu-isu kemasyarakatan ke dalam seni lukis.[10] Apakah keputusan Eddie menghadirkan lukisan bergaya mooi-indie itu layak dilihat sebagai pernyataan kultural-historik tertentu? Saya rasa tidak. Sebab, lukisan yang dimaksud tidak memunculkan konsekuensi naratif apa pun dalam Siti. Eddie tidak mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang mengarah ke situ, dalam adegan-adegan sebelum atau sesudahnya, meskipun sebenarnya Siti sendiri sedang berbicara tentang realita masyarakat kita. Ketidakjelian Eddie mengungkai kompleksitas isu melalui visual dan, sebaliknya, mengukur kebutuhan visual dalam konteks isu yang dipilih, adalah cermin ketidakmatangannya sebagai sutradara.

Siti (04)

Siti (2014) Eddie Cahyono.

Yang terakhir, kita juga perlu mencatat aspek dialog dalam konstruksi filem Siti. Percakapan-percakapan di dalam Siti hadir tak lebih dari sekadar syarat adegan saja. Kita tidak akan menemukan relevansi dari percakapan tentang “hantu”, “cita-cita menjadi pilot”, “seragam baru”, “layang-layang”, “10 pohon kelapa dan 15 pohon jeruk”, “jumlah peyek jingking yang laku”, “pantai Parangtritis yang sepi”, atau “SMS yang tak pernah dibalas”, terhadap gagasan besar yang menjadi fokus filem ini, baik secara kronologi cerita maupun secara visual. Hanya pada adegan ketika si Siti dan Bagas, anaknya, menerbangkan layang-layanglah—padahal, adegan ini dapat berpotensi metaforik—kita menyaksikan si sutradara menuntaskan begitu saja cerita tentang hantu dan seragam sekolah. Selain itu, ada dialog yang mengulang peristiwa meskipun visualnya telah diadegankan (contohnya, pada percakapan saat Siti membersihkan badan suaminya). Ini terasa mubazir. Mungkin fungsinya untuk menegaskan sikap diam Bagus, tapi toh sikap diam itu pada kenyataannya akan disebut juga dalam percakapan antara Siti dan tokoh lain di adegan berikutnya. Eddie seakan kehilangan kepercayaan diri terhadap kekuatan visual guna meyakinkan penonton tentang karakter Bagus.

Screenshot dari filem Siti (2014) karya Eddie Cahyono.

Siti (2014) Eddie Cahyono.

Meskipun agak terlalu jauh membandingkan, saya pikir perlu bagi kita meninjau salah satu adegan dalam Pather Panchali (1955) untuk mengetahui contoh montase yang baik, yakni saat tokoh Durga meninggal. Tanpa perlu mengulang-ulang adegan ke dalam dialog, dengan permainan tanda melalui bidikan terhadap objek-objek tertentu, Satyajit Ray dapat mengadegankan pukulan duka yang dirasakan kedua orang tua Apu, adik Durga. Ray sangat cermat memilih-pilah tangkapan visual dari objek-objek yang menjadi elemen penting untuk menyusun konsekuensi-konsekuensi naratif dalam Pather Panchali.

Contoh-contoh filem yang saya jadikan pembanding dalam tulisan ini dapat menjadi teladan bahwa sinema memiliki visi pengetahuan. Kesimpulannya, kesadaran ini yang belum ada pada Siti. Meresahkan, memang, bahwa wacana dominan perfileman kita belum semuanya beranjak dari sindrom semata hiburan ke cita-cita sinema sebagai pengetahuan. Kenyaataannya, keputusan atas kemenangan Siti memang bersanding dengan ketidakadilan FFI. Tapi bukan terkait soal nasib filem “bioskop” dan “nonbioskop”, melainkan ketidakadilan FFI terhadap persebaran pengetahuan yang berkualitas bagi: pembuat, penulis, dan publik filem kita.


Endnotes

[1] Panji Wibowo (10 Maret, 2016), “Lanskap Etika dalam Pemikiran Deleuze Tentang Sinema”. IndoPROGRESS. Diakses dari http://indoprogress.com/2016/03/lanskap-etika-dalam-pemikiran-deleuze-tentang-sinema/ pada tanggal 14 Maret 2016, para. 31.

[2] Dengan mengesampingkan penghargaan yang berasal dari penyelenggara luar negeri, penghargaan yang diberikan oleh Festival Film Indonesia (untuk kategori “Film Terbaik”) dan Apresiasi Film Indonesia (untuk kategori “Film Fiksi Panjang Terbaik”), sebagai (yang seharusnya menjadi) rujukan wacana nasional, menjadi faktor lain bagi saya untuk tetap ragu pada Siti karena kualitas dua lembaga itu dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini.

[3] Andi Baso Jaya (24 November, 2015), “Mendukung Siti masuk bioskop”. Beritagar. Diakses dari https://beritagar.id/artikel/seni-hiburan/mendukung-siti-masuk-bioskop, tanggal 14 Maret, 2016.

[4] Adrian Jonathan Pasaribu (1 Desember, 2015), “Kemenangan Siti, Ketidakadilan FFI”. Cinema Poetica. Diakses dari http://cinemapoetica.com/kemenangan-siti-ketidakadilan-ffi/, tanggal 14 Maret, 2016.

[5] Hikmat Darmawan (1 Februari, 2016), “Kekuatan Itu Bernama Siti”. PABRIKULTUR. Diakses dari http://majalah.pabrikultur.com/film/51/Siti pada tanggal 14 Maret 2016, para. 1.

[6] Adya Nisita (28 April, 2015), “Siti: Perempuan Tidak Sebatas Peran”. Cinema Poetica. Diakses dari http://cinemapoetica.com/siti-perempuan-tidak-sebatas-peran/ pada tanggal 16 Maret, 2016, para. 2.

[7] Hikmat Darmawan, op. cit., para. 2.

[8] Noël Herpe & Cyril Neyrat (2004), “Interview with Eric Rohmer: Video Is Becoming Increasingly Significant”, dalam Fiona Handyside (Peny.), Eric Rohmer: interviews (Mississippi: University of Mississippi Press, 2013).

[9] S. Sudjojono (Oktober, 1939), “Seni Lukis Indonesia Sekarang dan yang Akan Datang”, dalam Aminudin TH Siregar & Enin Suriyanto (Peny.), Seni Rupa Modern Indonesia: Esai-esai Pilihan (Jakarta: Nalar, 2006).

[10] Darma Ismayanto (n.d.), “Mooi Indie Diserang Lalu Disayang”. Historia. Diakses dari http://historia.id/budaya/mooi-indie-diserang-lalu-disayang pada tanggal 18 Maret, 2016.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search