In Wawancara

Pada akhir tahun lalu (2016), Forum Lenteng berkesempatan menonton filem Istirahatlah Kata-Kata, karya sutradara Yosep Anggi Noen di Jogja NETPAC Asian Film Festival 2016. Filem ini mendapat perhatian dan antusias yang sangat besar dari penonton muda Yogyakarta. Di festival itu pula kami bertemu sutradara dan bersepakat untuk bertemu lagi untuk wawancara bersama Jurnal Footage. Sesudahnya, beberapa kali kami mengontak, namun selalu gagal karena Anggi menjadi sangat sibuk oleh berbagai kegiatan yang terkait dengan filem yang mendapat perhatian cukup besar oleh publik ini. Setelah hampir setahun, secara kebetulan kami bertemu Anggi di sebuah acara seorang teman, dan memintanya untuk jadi pembicara di salah satu program kelas di Forum Lenteng. Pada Jumat, 29 September 2017, Yosep Anggi Noen sampai di Forum Lenteng dengan naik komuter dari kawasan Serpong, Tangerang Selatan. Sebelum memberi  materi kuliah santai, tim Jurnal Footage (Hafiz Rancajale dan Syaiful Anwar) ‘menculiknya’ untuk diwawancara. Berikut hasil wawancara yang telah kami edit di beberapa bagian dengan tidak mengurangi maksud dan makna isinya.

 

Hafiz Rancajale (Hafiz): Baiklah, kita mulai. Wawancara ini adalah usaha merekam orang-orang yang kami anggap penting dalam perkembangan filem terutama produksi gambar bergerak (moving image) di Indonesia. Kami ingin tahu lebih mendalam apa-apa yang dilakukan baik secara artistik maupun konteks sosio-politik karyanya. Juga terkait dengan pilihan-pilihan berkesenian, kenapa seseorang memilih bidang itu. Aktivitas ini kami lakukan dari tahun 2010, dan sempat vakum beberapa tahun terakhir. Nah, sekarang kami mulai lagi dengan pertemuan dengan kamu. Hal ini tentu berangkat dari filem-filem kamu yang sudah kami tonton, dan dianggap penting dalam sejarah sinema Indonesia. Pertama, mungkin kamu bisa cerita dari awal secara biografis, kenapa kamu memilih dunia filem? Siapa yang menginspirasi?

Yosep Anggi Noen (Anggi): Untuk hal semacam ini perlu ditarik agak jauh kebelakang, yaitu ketika saat saya kecil di Kali Duren, Sleman, Yogyakarta. Saya tinggal di satu kampung di mana tidak banyak rumah yang punya televisi. Salah satu rumah yang punya televisi adalah milik keluarga Bapak saya. Jadi, setiap malam tertentu dan acara tertentu, banyak tetangga kami yang datang ke rumah. Mereka berkumpul di ruang keluarga, menonton televisi kecil hitam putih. Mereka menonton siaran favorit, ketoprak yang ditayangkan TVRI Yogyakarta.

Hafiz: Itu kapan?

Anggi: Tahun 1980an. Setelah tahun 1990an, banyak yang punya televisi di rumah. Dan televisi pun berubah dari hitam-putih jadi berwarna. Saya kira waktu itu sangat masif ya… Televisi dimiliki oleh banyak orang, yang pada akhirnya situasi menonton bersama itu semakin hilang, mereka menonton di rumah sendiri. Tapi, situasi 1980an itu membekas buat saya, karena banyak orang yang datang ke rumah, menonton TV. Program yang paling menarik adalah Ketoprak Sayembara, di mana habis tayangan ada pertanyaan misalnya; “Siapakah yang membunuh sang Pangeran?”. Nah, program itu serial. Setiap minggu mereka menonton kemudian mencari tahu siapa pembunuhnya. Jawabannya akan muncul di akhir season. Satu season kira-kira ada enam serial. Menarik, karena membuat kami takjub. Ada seorang namanya Pakde Miran yang tahu jawabannya, dan mengirim jawaban melalui pos ke TVRI Yogyakarta. Ia menang dan mendapat hadiah jam dinding. Artinya, bagi saya ada koneksi antara layar kaca dengan peristiwa keseharian. Ketoprak Sayembara bukan rekaman panggung teatrikal, tapi setting-nya di alam terbuka. Mungkin di studio alam TVRI atau di perkampungan. Jadi, ada pengalaman lain dibanding ketoprak reguler. Bagi saya moving image itu membuat orang berkumpul atau ada magnetnya. Jadi, pertemuan pertama saya dengan sinema bukan pada filem tapi dengan televisi di mana waktu itu pun tidak banyak pilihan. Pengalaman di ruang keluarga tadi, sangat berpengaruh pada saya sekarang ini.

Hafiz: Jadi, bisa aku bilang pertemuan pertama kamu dengan sinema adalah melalui media massa yaitu televisi. Tapi, kamu pernah datang ke bioskop dan menonton pada waktu itu?

Anggi: Saya pertama kali menonton di bioskop sekitar tahun 1989 di Jogja, filem Saur Sepuh (Imam Tantowi, 1988), bersama kakak, dan  Bapak. Kami naik motor dari Kali Duren ke Jogja Teater. Sekarang bioskop itu sudah berubah menjadi Taman Pintar. Sebelumnya, saya beberapa kali menonton layar tancap di kampung. Pulang nonton Saur Sepuh itu, saya punya banyak pertanyaan pada ibu; “Kenapa banyak orang mati di filem itu?” Apakah harus sebanyak itu orang mati untuk sebuah filem?” Ibu bilang “Oh… tidak. Itu bukan orang mati. Itu bohongan. Itu sesuatu yang dibuat oleh pembuat filem, dan matinya bukan mati betulan”.

Hafiz: Waktu itu kamu umur berapa?

Anggi: Saya 6 tahun.

Hafiz: Bapakmu suka menonton filem?

Anggi: Bapak saya sangat dekat dengan dunia seni. Dulu, dia pemain ketoprak di kampung, dan cukup reguler manggung. Dia juga main gamelan dan penyanyi paduan suara gereja. Ia hobi merangkai bunga. Jadi, kalau ada rangkaian bunga di gereja kami, itu bapak saya yang merangkainya.

Hafiz: Ada banyak stimulus estetika di lingkungan keluarga ya?

Anggi: Saya kira iya…! Cuma bukan estetika untuk kepentingan komoditi. Lebih pada kegiatan sosial, seperti untuk acara pernikahan. Bapak saya punya kelompok pembuat janur. Jadi, dia sering diundang buat janur dan hiasan pernikahan di kampung sebelah. Jadi, tradisi estetika di keluarga, kental dengan cara yang lain.

Hafiz: Yang lain apa lagi?

Anggi: Pengalaman mengesankan lainnya, saat saya diperbolehkan sendiri untuk jalan menonton ketoprak di kampung kami atau kampung sebelah. Pertunjukan ketoprak sampai lima jam. Di situ saya punya kesempatan untuk melihat yang di balik panggung. Pada ketoprak kan ada geber-nya atau tirai. Itu sangat memukau. Nah, saya selalu ingin tahu keajaiban apa yang akan ada di panggung dan bagaimana membuatnya. Artinya, sinema itu bukan nature saya. Saya pernah menganggap ketoprak, my first cinema, karena ada geber yang bisa buka-tutup seperti fade-in dan fade-out. Setelah masuk masa ramaja, saya sekolah di SMA 3 Yogyakarta, yang bersebelahan dengan Bentara Budaya, yang sering ada pameran fotografi, lukisan, dan pemutaran filem. Saya sering menonton filem di situ, ataupun datang ke pembukaan pameran untuk cari makanan gratis. Juga untuk mendapatkan majalah gratis seperti majalah Aikon, yang dikelola oleh Mbak Ade Tanesia. Pada masa-masa SMA itulah saya mulai bergaul dengan dunia filem pada saat UMY (Universitas Muhamadyah Yogyakarta) mengadakan semacam festival filem.

Hafiz: Bergaul macam apa?

Anggi: Saya mulai membuat filem. Waktu itu saya sudah menuju kelulusan dari SMA. Filem pendek itu ingin saya daftarkan ke festival di UMY. Sebelumnya, saya sempat melihat pemutaran oleh Konfiden (Komunitas Film Independen). Tahun 1999 itu aura pasca Reformasi masih sangat meriah terlihat dari filem independen atau filem indie. Dari pergaulan itu saya dapat banyak akses dan informasi, termasuk meminjan handycam teman. Filem pertama saya dibuat dengan kamera handycam High 8, judulnya Tapi Maaf (2000), B.W. Purba Negara sebagai pemain. Kami satu sekolah dan sekelas. Dia aktif di teater dan pernah mau mementaskan naskah Pintu Tertutup karya Sartre, tapi tidak jadi.

Hafiz: Oh, kalian anak SMA yang sok tahu, ya?

Anggi: Iya dong! “Neraka adalah orang lain!”. Zaman SMA kan teks semacam itu kan rasanya keren sekali. Naskah Sartre tidak jadi dipentaskan, kami alihkan ke naskah Putu Wijaya. Saya membuat filem pertama dengan pengetahuan terbatas, dan dimulai hanya dengan niat untuk bisa diputar di festival UMY. Saat itu, saya bawa kaset video yang belum di edit ke situ. Lalu, mereka mengajarkan meng-edit tape to tape pakai VHS player. Setelah jadi, mereka bilang “sudah telat dan tidak bisa masuk ke festival, karena sudah tutup hari ini”. “Oh gitu ya? Ya sudah tidak apa-apa” jawab saya. Setidaknya saya pernah buat filem dengan editan tape-to-tape. Setelah gagal diputar di UMY, akhirnya masuk ke festival Konfiden, diputar di layar besar Pusat Perfilman Haji Usmar Ismai (PPHUI). Saat filem selesai diputar, ada tepuk tangan penonton. Ini menjadi titik penting dalam hidup saya.

Hafiz: Itu tahun berapa?

Anggi: Tahun 2001. Saya menuju masuk kuliah.

Trainspotting, Danny Boyle (1996)

Hafiz: Apa yang kamu lihat dari suasana euforia di Konfiden waktu itu? Itu kan kumpulan anak muda semua, dan menjadi pengalaman sinema pertama sebagai pembuat.

Anggi: Saya bangga karya saya diputar dan ditonton di tempat yang ‘pantas’. Pada masa itu saya juga sudah mulai menonton karya-karya filem sutradara terbaik dunia semacam Akira Kurosawa dan Satyajit Ray yang saya dapat dari kawan-kawan UMY tadi. Mereka memperkenalkan filem seperti Trainspotting (Danny Boyle, 1996). Aku perlu memberi hormat pada mereka, terutama Kine Klub UMY yang membuka saya pada hal-hal semacam itu. Pengalaman di Konfiden itu greget banget. Mendengar tepuk tangan. “Apa yang saya buat ini menggerakkan orang-orang ya?” Menggerakkan emosi penonton. Filem pertama saya ceritanya sederhana; bercerita tentang seorang anak perempuan usia SMP yang bandel. Ia dikasih lunchbox oleh kakaknya, yang hilang terjatuh. Kemudian ditemukan oleh seorang gelandangan. Si gelandangan ingin mengembalikan, namun si anak melihatnya seperti orang gila. Jadi dia menghindar. Dari sisi si gelandangan, isi lunchbox antara untuk makan malam atau harus mengembalikannya.

Hafiz: Yang jadi gelandangan B.W. Purba Negara?

Anggi: Ya… hehe. Secara tidak sengaja si gelandangan berpapasan dengan anak tersebut, dan mengembalikan lunchbox. Dia bilang “tapi sudah aku makan satu potong”. Lalu, filem selesai. Filem itu masih terasa masih moralis; berargumentasi tentang hal yang hitam-putih. Waktu itu, saya sudah punya kesadaran sesuatu yang baik tidak 100% baik, dan yang buruk tidak 100% buruk.

Hafiz: Durasi filemnya berapa menit?

Anggi: 8 menit.

Hafiz: Apa respon penonton dari obrolan setelah pemutaran?

Anggi: Wah, saya agak lupa. Yang jelas tepuk tangannya meriah. Itu yang membuat saya terenyuh. Mungkin itu kali pertama saya merasa yakin dengan pilihan pada dunia filem. Sebenarnya setelah lulus SMA saya mau kuliah di sekolah filem IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Tapi, tidak diizinkan Bapak dan Ibu. “Kamu kuliah di UGM saja”, kata mereka. Saya diterima di UGM.

Hafiz: Apa kepuasan yang kamu rasa ketika berada di belakang kamera dan mengatur orang lain, baik sebagai aktor, kameramen, dan lainnya?

Anggi: Waktu itu saya masih SMA, mediumnya baru saya kenal. Berada di belakang kamera seperti punya kekuatan memanipulasi sesuatu. Dulu kesadarannya bukan seperti itu, lebih di level permukaan “saya bisa bercerita tentang sesuatu yang saya gelisahkan dengan kamera”. Waktu SMA saya juga belajar fotografi, mengabadikan cerita dan sesuatu dengan teknik kamera. Kepuasannya terbangun sedikit demi sedikit saat karya diapresiasi. Pernah waktu kelas 2 atau kelas 3, salah satu karya fotografi saya terpilih berpameran di Bentara Budaya. Pengalaman saya tidak langsung menggunakan kamera video.

Hafiz: Apa yang kamu foto waktu itu?

Anggi: Saya mengabadikan angkringan, sekumpulan ibu-ibu berjajar menanam padi di kampung. Hal-hal yang sangat mewakili keseharian saya. Setiap hari saya melihat sawah, dan nongkrong di angkringan. Saya masih ingat angkringan di depan mesjid Syuhada di belakang sekolah.

Hafiz: Kemudian pada saat kuliah bagaimana? Kamu ambil jurusan apa?

Anggi: Jurusan ilmu komunikasi. Nah, kuliah ilmu komunikasi kan banyak belajar teori sosial, dan dengan ilmu politik cukup dekat. Jadi, pelajarannya banyak pada critical thinking. Pada masa kuliah lebih banyak kesempatan; membuat dan menonton filem, karena ada klub filem, walaupun saya tidak terlalu aktif. Saya lebih aktif di luar kampus, bertemu aktivitas seni yang lain. Saat awal kuliah jadi volunteer Teater Garasi, volunteer untuk FKY (Festival Kesenian Yogyakarta). Hal ini jadi pelajaran buat saya. Lalu, pertemuan dengan berbagai kelompok dan organisasi yang mengadakan diskusi filem di Jogja, yang membawa saya pada pengetahuan bahwa filem bukan hanya sekedar tontonan. Bukan semata-mata ekspresi personal pembuat filem. Namun, filem juga tanggung-jawab sosial. Pengalaman menonton berbagai macam filem membawa saya pada petualangan melihat karya sinema yang lain dari yang selama ini saya kenal. Pada waktu itu filem paling dikenal seperti Bintang Jatuh (Rudi Soedjarwo, 2000), dan Petualangan Sherina (Riri Riza, 2000). Di Jogja ada Doni Kuss Indarto yang membuat filem Video Cinta: Pak Pos Tolong Antarkan Bibirku (Komunitas Belajar Bikin Film, 2000). Masa kuliah itu menjadikan saya berpikiran lebih terbuka.

Hafiz: Dalam prosesnya, bisa disebut di sini kamu menemukan cara membahasakan  sebuah konteks sosial-politik dalam filem. Dimulai dari mana itu? Apakah ada relasinya dengan pengalaman panggung waktu kecil?

Anggi: Selama ini saya hanya ingin bercerita yang saya ketahui. Tentu ada pengaruh sutradara semacam Akira Kurosawa atau Satyajit Ray karena saya menonton filem-filem mereka. Juga pengaruh filem-filem Iran. Filem pendek kedua saya berangkat dari kejadian di belakang rumah di kampung. Saya modifikasi jadi cerita tentang desa dan kota. Sekitar tahun 2000an, ada orang-orang berkumpul mabuk sambil dangdutan di sebuah rumah yang tidak ada listriknya. Mereka memutar musik pakai mini compo dengan menarik kabel listrik dari rumah sebelah yang jaraknya agak jauh. Karena mabuk, pagi hari mereka tidak sadar aliran listrik dari rumah sebelah belum dicabut. Kabel masih melintang dari rumah sebelah. Kemudian ada seorang polisi lewat. Dia melihat kabel itu, dan menyentuhnya. Pak polisi itu tersengat aliran listrik dan mati. Terjadilah kegemparan di kampung; ada polisi mati. Akhirnya, sekelompok anak muda itu diciduk, diadili dan dipenjara. Penjara bagi kami di kampung sesuatu yang jauh sekali.

Di kampung kami tidak ada yang pernah dipenjara sebelumnya. Penjara artinya sesuatu yang ada di kota. Nah, ide saya; bagaimana kalau ada seorang anak kecil jadi senang sekali saat diajak ibunya menjenguk bapaknya di penjara, karena bisa melihat kota? Filemnya berjudul Ketemu Bapak (2002), hitam-putih, dan direkam dengan handycam Hi8. Jadi, dari awal saya selalu menggali cerita dari sekitar. Saya tidak suka cerita yang spektakuler. Dulu, saya menonton filem Dennis Adhiswara, Sudah Sore, Sudah Jam 5, Cepat Pulang (1998). Sebagai filem saya menikmati, tapi saya merasa tidak tergerak. Tidak tahu kenapa? Filem itu berhenti di situ, tidak cukup membawa penonton pada sebuah refleksi. Filem Dennis ini sering dipakai untuk kampanye Konfiden tentang “membuat filem itu mudah”. Tapi saya merasa butuh sesuatu yang lebih. Medium ini penting digunakan untuk refleksi atas situasi sosial.

Hafiz: Persoalan moral bagaimana?

Anggi: Yang paling bisa aku akui sebagai proses adalah saya menghindari hal-hal spektakuler. Saya bercerita hal-hal yang dialami oleh orang-orang di sekitar saya. Filem panjang pertama saya, Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya (2012), merupakan gumpalan dari cerita orang-orang di sekitar saya, terutama salah seorang saudaraku. Ceritanya si perempuan pergi meninggalkan rumah selama setahun karena kepincut dengan uang atau petualangan orang lain, yang kita tidak tahu apa alasannya. Ketika pulang ke rumah, keadaannya biasa saja. Tidak ada pertengkaran. Si perempuan pulang setelah habis kecelakaan, ya…sudah, suami istri kembali biasa. Jadi, saya pikir pengalaman-pengalaman menjadi biasa itu justru malah menjadi penting.

Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya, 2012

Hafiz: Moment apa dalam karir kamu sehingga akhirnya memutuskan serius dalam bidang ini?

Anggi: Pada saat saya diajak oleh Mas Garin Nugroho, Ifa Isfansyah, Mas Budi Irawanto dan Philip Cheah untuk memulai JAFF (Jogja-NETPAC Asian Film Festival). Saya merasa sejak saya mulai membuat filem pendek, saya jadi dikenal orang-orang dan mengakuinya sebagai pembuat filem. Buktinya, mereka mengajak saya memulai festival filem tahun 2005. Di situ saya sangat bersemangat. Pertama, karena saya dapat melihat referensi filem lain dengan berbagai gaya yang sulit didapatkan. Saya semakin percaya diri bahwa pilihan yang selama ini tidak popular, ternyata ada temannya. Setahun setelahnya, saya masuk dalam Asian Film Academy di Busan Korea Selatan. Itu adalah sebuah achievement buat saya. Saya masuk ke medan film yang lebih besar dan itu untuk pertama kalinya saya ke luar negeri. Jadi, itu titik penting dalam hidup saya.

Hafiz: Merujuk pada penjelasan tadi, pada saat kamu membuat filem panjang pertama, bisa gak aku bilang kamu me-excluded drama? Filem kan salalu ada drama. Itu yang selalu dijual. Kamu lebih memilih untuk menghadirkan hal-hal yang biasa dan reflektif. Apa yang membuat kamu mereduksi drama? Apakah kamu lebih percaya pada visual? Atau mungkin karena pertemuan kamu dengan disiplin seni-seni yang lain?

Anggi: Saya dibesarkan dalam keluarga yang tidak pernah punya gejolak yang luar biasa. Bapak dan Ibu baik-baik saja hingga Bapak meninggal. Keluarga kami tidak pernah punya gejolak. Satu-satunya gejolak, ketika salah satu anggota keluarga kami pergi meninggalkan anak-anaknya. Setelah beberapa lama dia pulang dan ternyata biasa-biasa saja. Tentu itu cukup memberi shock. Tapi membuat saya mengerti bahwa manusia itu sangat kompleks. Manusia tidak bisa diterjemahkan satu sifat saja. Bagi saya, menguliti tokoh (dalam filem) dengan karakter 3D kurang kompleks untuk mewujudkan ketokohan. Karena kadang-kadang keputusan yang muncul dari seorang manusia tidak bisa diraba dengan menggunakan tools yang lain. Jadi, kadang sangat spesifik. Kita selalu melihat pada kejadian yang ‘tampak’. Padahal manusia hidup bukan hanya pada yang tampak. Bukan hanya yang ada di layar. Layar itu adalah batas. Di luar layar ada kehidupan yang lain. Ada kejadian yang kemudian membentuk peristiwa di layar yang tampak sederhana tapi punya kompleksitas yang luar biasa. Nah, itu mewujud dalam pilihan visual filem saya. Misalnya, peristiwa menjemur kasur dalam filem Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya. Buat saya itu luar biasa, meskipun bagi orang lain biasa. Bagi saya, menjemur kasur itu ada gemuruh; kasur adalah tempat dia tidur bersama orang yang layak cintai. Menjemur kasur bernegosiasi dengan cuaca, kutu busuk, dan rasa gatal, karena tidak pernah dijemur. Itu kompleks buat saya. Cuma memang wujudnya adalah menjemur kasur.

Saya percaya itu punya relasi dengan penonton atau kedekatan dengan apa yang dialami. Kita selalu melihat peristiwa spektakuler di layar, justru peristiwa yang punya relasi dekat dengan kita malah hilangkan atau dihindari. Menjemur kasur itu dekat dan tidak ada dramanya. Contoh lainnya adegan memasak indomie. Filem biasanya membahasakan lebih mudah; ‘makan malam romantis di sebuah tempat lantai tujuh belas sambil melihat langit’. Kenapa adegan kisah cinta itu tidak di taruh di sebuah ruang keluarga dengan semangkok indomie yang kematangan? Nah, justru kesadaran itu muncul ketika hal-hal biasa yang ada di depan mata kita. Ia punya riwayat yang panjang. Kesadaran itu ada saat saya menulis atau membuat filem, secara alami saya menolak mendramakan sesuatu, hal yang spektakuler. Karena hal semacam itu sudah terlalu banyak dalam sejarah medium visual ini. Sedangkan keseharian sesuatu yang kita pahami tanpa perlu kita pindahkan ke layar, lalu kemudian dipahami ulang untuk refleksi. Dan buat saya itu harus. Siapa yang mencatat keseharian, kalau semua orang mencatat hanya hal yang spektakuler saja? Menurut saya mencatat persoalan keseharian, seperti menyusun kehidupan, lebih dari persoalan spektakulernya.

Hafiz: Ada seorang sutradara besar Indonesia yang sangat saya kagumi kalau merujuk pada hal yang kamu bicarakan tadi. Sutradara itu adalah Teguh Karya. Pak Teguh sangat sensitif pada hal-hal yang detail dalam merekam keseharian. Kan, frame adalah menegaskan apa yang tadinya kita anggap biasa. Dia bisa menjadi spektakuler. Nah, Pak Teguh adalah salah satu sutradara yang sangat sensitif dan detail pada objek-objek, seperti detail debu di atas meja pun penting dalam shot-nya. Drama terbentuk dari sekuen-sekuen yang saling mengisi. Dalam visual, saya tidak melihat Pak Teguh membuat shot yang spektakuler. Kenapa shot yang spektakuler itu jadi bahasa yang baku kalau secara umum kita  lihat filem-filem kita sekarang? Visual dalam filem selalu diterjemahkan dengan upgrading dari kenyataan hal yang biasa.

Anggi: Mungkin banyak pembuat filem yang tidak peka atau sensitif pada terhadap perubahan di sekitarnya. Tentu ini hanya pendapat saya dan perlu penelitian komprehensif untuk melihat pilihan estetika para pembuat filem kita. Ketidak-pekaan itu terutama pada kemanusiaan dalam konteks filem. Jadi, wujud drama yang diwujukan adalah drama yang ‘seolah-olah’ dianggap akan menjadi referensi kehidupan penontonnya nanti. Bisa jadi kekurang-pekaan itu karena niat ‘mulia’ pemikiran seorang sutradara. Dia berpikir akan membuat karya yang mulia yang akan menjadi referensi kehidupan, yaitu dengan keputusan serba besar (spektakuler). Padahal sebenarnya fungsi filem bisa juga sebagai catatan ‘sahaja’ mengenai keseharian jaman sekarang atau hari ini. Maka, hal yang paling diutamakan sebuah cara untuk peka terhadap hari ini. Bukan menjadikan filem itu jadi terlalu jauh dari penontonnya. Kemudian seolah-olah kita menonton filem seperti mendongakkan kepala, seperti kita memandang ‘moral’ atau membaca narasi-narasi moralitas seperti yang ada di kitab suci dan agama. Jadi, ada jarak yang memang ditimbulkan secara sengaja oleh si pembuat filem karena tujuan-tujuan yang terlalu mulia dari sebuah filem. Padahal, ‘menjadi peka’ menurut saya kewajiban pertama seseorang yang diberi kemampuan menggunakan kamera dan menarasikan cerita menggunakan visual.

Tapi persoalan lain adalah selama ini filem itu dikampanyekan sebagai cara untuk melihat yang lain; melihat hal yang tidak ada dalam keseharian. Artinya, penonton memahami ketika mereka menonton filem dalam sebuah bioskop, mereka sedang melihat hal yang di luar kenyataan. Sesuatu yang tidak akan mereka alami dalam kenyataan. Seperti terbang… dalam Superman atau superhero yang menyelesaikan persoalan-persoalan besar. Nah, persoalannya di Indonesia kan narasi itu kan semakin ‘menunggal’ kan. Filem itu seolah-olah hanya untuk kepentingan-kepentingan ‘mulia’ tadi. Buat saya filem adalah catatan. Filem itu cermin dan refleksi. Refleksinya itu bukan berarti membuat penonton itu merasa berdosa terus-menerus gitu. Tapi, merasa hidup seharusnya. Atau merasa teguh pada identitasnya. Merasa harus merubah sesuatu bukan karena dia dijejali dengan hal-hal yang serba moralis. Tapi, justru merubah sesuatu menjadi lebih manusiawi, yang kadang itu yang dihindari penonton.

Akhirnya, membuat si pembuat filem merasa terlalu berisiko untuk menjadikan filem sebagai catatan. Mereka lebih memilh menjadikan filem itu sebagai ‘ruang’ yang lain. Hal ini yang membuat penonton berbondong-bondong ke bioskop. Artinya, hitung-hitungannya adalah masalah ekonomi. Jadi, yang dibutuhkan adalah konsistensi. Konsistensi yang saya maksud dari berbagai elemen pembuatan filem dalam kerangka industri. Ini termasuk eksibitor, kritikus dan para pembuat filem. Termasuk juga aktor. Jadi, aktor tidak perlu menggunakan bahasa-bahasa tubuh serba ‘besar’ atau serba selebritas. Jadi tubuh keaktorannya menjadi representasi tubuh yang ada di kenyataan. Menurut saya, penontonnya pasti akan kebentuk. Tentu tidak akan sampai tujuh juta penonton.

A Lady Caddy Who Never Saw a Hole in One (2013)

Hafiz: Baiklah. Kita kembali ke filem-filem kamu. Tadi kamu bilang realitas itu bukan hanya hal yang disuguhkan. Realitas ada di luar itu, bukan hanya yang ada di filem. Menurutku, di filem-filem kamu ada beberapa lapisan yang saling menghimpit dan memberi ruang ke penonton untuk memilih lapisan untuk intepretasi. Lapisan pertama adalah visual, di situ ada sensitivitas pada objek-objek. Lapisan kedua adalah cerita, yang mencoba untuk tidak deskriptif dalam arti dimulai dari A sampai Z. Lapisan berikutnya adalah konteks sosio-politik, meskipun tidak langsung. Aku sangat suka dengan filem kamu A Lady Caddy Who Never Saw a Hole in One (2013), meskipun filem itu sangat ‘langsung’ saat ada pengantar di depannya, namun pada menit-menit berikutnya, kamu berhasil memainkan tiga lapisan itu dengan sangat baik, Misalnya, kamu bisa menghadirkan cerita tidak linear dengan gambar. Ada persoalan sosio-politik dengan sengaja kamu pilih. Kenapa menghadirkan lapisan-lapisan itu perlu dalam filem? Tadi kamu bilang ada pembuat-pembuat filem yang memilih zona nyaman, bahkan ada yang sama sekali menghindari isu-isu yang kompleks dalam sosio-politik itu. Tanggapan kamu gimana?

Anggi: Mungkin karena pergaulan saya di Yogyakarta, dimana kita tidak bisa hanya menunjukkan karya itu hanya dalam satu layer. Karena kami selalu mendapatkan pertanyaan dari siapapun, bahkan orang-orang di sekitar kita dalam proses membuatnya. Kenapa filem itu dibuat? Apa urgensi ceritanya? Jadi, sebuah ide itu dibentuk memang berdasarkan kekhawatiran atau kegelisahan dulu. Jadi, bukan mendapatkan bentuk, terus mencari kegelisahannya. Tapi kita balik. Proses yang saya alami; saya menggilasahkan diri dulu, baru kemudian kita mencari bentuknya.

Hafiz: Jadi punya alasan kenapa dibuat?

Anggi: Betul. Kenapa seperti itu? Karena mungkin saya selama ini tidak pernah terpikat pada bentuk. Saya selalu terpikat pada ide, ideologi dan konteks yang kemudian melatar-belakangi pemunculan sebuah bentuk. Atau ‘sub-teks’ yang kemudian memang muncul dari kemungkinan teks yang akan muncul di belakang, yang bisa dilihat dari banyak layer. Saya selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai proses dengan cara yang agak fasis. Kalau bikin karya yang asal bentuk saja di Yogya, memalukan. Karena kita akan banyak sekali yang akan menghajar dari kiri-kanan. Jadi, itu yang membuat saya merasa “yah, kita harus punya kegelisahan dulu.” Kalau tidak punya kegelisahan, tidak usah bikin filem! “Buat apa kamu membuat filem, ketika kamu tidak menggelisahkan bagaimana modal kapital itu sekarang menyerang Jogja habis-habisan dengan membangun banyak sekali hotel?”. Yah… kemudian saya muncul dengan filem A Lady Caddy Who Never Saw a Hole in One. Atau pada filem Genre Sub Genre (2014) ketika saya melihat hal yang sama di Kupang. Jadi, ketika sebuah teks filem itu muncul, kemudian bisa dibaca dengan layer yang banyak, justru karena bentuk itu muncul belakangan. Kemudian pada filem Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya (2014), kegelisahan yang saya temukan adalah manusia dengan keputusan, persoalan keluarga dan hubungan lelaki dan perempuan dalam sebuah konstelasi ekonomi.

Genre Sub Genre (2014)

Hafiz: Bagaimana mengerucutkan persoalan-persoalan yang besar, terutama yang terkait  sosio-politik? Bagaimana cara kamu menemukan bahasa  biar menjadi jauh lebih sensible dan biasa?

Anggi: Bagaimana ya? Mungkin kembali ke lingkungan terdekat saya atau peristiwa-peristiwa yang dekat dari saya. Misalnya tadi saya menyebut tentang salah satu filem saya bahwa penjara itu adalah kota, dan itu adalah temuan keseharian. Sebagai anak kecil, dulu bagi saya pergi ke kota itu sebuah peristiwa luar biasa. Nah, saya tinggal memasukkan tentang ide pergi ke kota yang punya ironi yaitu; pergi ke penjara. Jadi, keterikatan antara pengalaman keseharian dengan ‘ide besar’, itulah yang mengerucutkan. Contoh lain filem A Lady Caddy Who Never Saw a Hole in One, merupakan persoalan yang sebenarnya mencoba memasukkan ironi ke dalam kegelisahan mengenai kapitalisme yang kemudian menggerus ruang yang paling produktif saat ini di Jogja, yaitu pertanian. Dan tentu ada kisah cinta. Nah, kadang-kadang itu muncul dengan sendirinya; kisah cinta mewakili sebuah konteks besar, kemudian kita tarik satu per satu.

Hafiz: Dia bisa menjadi ingredients?

Anggi: Iya. Menurut saya negara pertama itu adalah ranjang. Jadi, organisasi yang bernama negara itu, pertama-tama adalah ranjang yang kemudian melebar. Pada filem Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya juga menunjukkan hal itu; sepasang manusia yang secara struktural bernama suami-istri atau keluarga, kemudian diuji dengan konstelasi ekonomi yaitu perempuan mendapat peran besar. Tapi, memang kemudian tidak spektakuler. Peristiwa akhirnya menjadi “ya sudah, kamu di rumah jemur kasur, aku mau pergi kerja”. Nah, hal-hal semacam itu menjadi ingredients buat saya untuk mengkorelasi antara layer sosio-politik terhadap estetika di layar.

Hafiz: Saat kamu membuat filem, biasanya kamu percaya dengan cerita atau ide? Kalau kita percaya dengan cerita, biasanya runut saat menggiring penonton. Tapi, kalau kita percaya dengan ide, akan menggiring penonton pada refleksi dan kejutan yang tidak terduga. Apa kamu melihat filem sebagai the way of communication dalam konteks kamu bicara tentang ide?

Anggi: Saya tidak terlalu yakin bahwa filem itu adalah the way of communication. Kalau dilihat dari tiga pertanyaan tadi; cerita itu penting. Saya tidak banyak ruang improvisasi pada saat memproduksi filem. Itu yang terjadi. Jadi, kalau dilihat naskah filem saya, hampir semuanya tertulis, mungkin 80% persis. Saya memang cukup taat dengan itu. Mungkin saya bukan tipe orang yang liar di kepalanya. Tentu, di satu-dua titik, ketika saya menemukan sebuah lokasi yang begitu menggoda dan mempunyai relasi kuat dengan ide besar di belakangnya…, seperti ide menghadirkan bioskop dari kayu di pinggir kota Pontianak. Mau tidak mau saya membongkar cerita untuk memasukkan bioskop itu ke dalam cerita. Hal semacam itu buat saya improvisasi. Dan itu toh, masih tertulis. Saya masih menuliskannya, dan membagikan ke tim, bahwa saya memasukkannya karena hal-hal yang jelas. Pranata teknisnya terjadi pada lembar-lembar yang formal. Jadi, saya tidak seintuitif Mas Garin Nugroho misalnya. Kabarnya dia sering dia sering minta sesuatu di lapangan. Artinya, seliar-liarnya improvisasi yang saya lakukan, semuanya tertulis. Jadi semua bisa di-track.

Banyak orang sebenarnya tidak percaya bahwa saya cukup intens menulis, gitu. Menjadi ‘merdeka’ itu bukan berarti asal-asalan saja, karena kita punya pertanggungjawaban pada banyak hal. Apalagi sebuah proses filmmaking itu buat saya seperti sebuah keluarga. Kalau kita tidak mampu atau punya cara untuk mengkomunikasikan ide kita pada anggota keluarga kita yang akan membangun sebuah filem, akan ada hal yang akan dikorbankan. Menurut saya cara yang paling bisa digunakan untuk berkomunikasi adalah naskah. Justru hal yang intuitif itu muncul pasa saat proses editing. Jadi, ketika semua hal yang ada di naskah sudah dijalankan sesuai dengan porsinya, seperti tafsir dari aktor, penata kamera, penata artistik, dan sebagainya, kemudian di meja editing ada keajaiban yang lain. Bisa jadi bisa lebih liar. Jadi, faktor pasca produksi itu biasanya menjadi faktor yang lebih ajaib biasanya di karya-karya saya.

Istirahatlah Kata-Kata (2016)

Hafiz: Berarti dugaanku bahwa kamu tidak cukup ketat terhadap apa yang kamu tulis sebelumnya benar? Bahwa ketika proses editing kan kejadian.

Anggi: Iya. Itu terjadi. Seperti pada filem Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya, editing-nya seperti spiral. Itu tidak ada di naskah. Naskah yang saya tulis linear, tapi di editing kami membuatnya jadi liar. Pada filem Istirahatlah Kata-Kata (2016) juga ada hal yang kami putuskan untuk tidak masuk. Ada bagian yang kami ramu dengan cara lain. Tentu karena ada temuan konstruksi visual yang baru saat editing yang menghasilkan makna yang baru pula.

Hafiz: Kamu sudah menyinggung filem Istirahatlah Kata-Kata, bisa cerita tentang filem ini? Filem ini adalah filem panjang kamu yang paling banyak mendapat perhatian publik. Bagi saya juga problematik, karena filem ini menggambarkan seorang tokoh legendaris dari kalangan aktivis, dimana ekspektasi publik cukup besar. Kamu bisa cerita proses filem ini sampai diproduksi?

Anggi: Awalnya, saya adalah sutradara yang diminta untuk membuat. Jadi, ide awal membuat filem tentang Widji Thukul itu bukan dari saya, tapi dari teman-teman Muara Foundation. Satu tahun sebelumnya Muara Foundation mengadakan Asian Literary Festival, yang menjadikan Widji Thukul sebagai tokoh sentral bahasannya. Kemudian, direncanakanlah pembuatan filemnya. Awalnya, sudah ada naskah yang sudah disiapkan. Setelah saya baca naskahnya, ada dua pilihan; pertama, mahal sekali produksinya karena panjang, mulai dari Widji masa SMP hingga ia hilang di tahun 1998. Kedua, naskah yang sudah ada itu, memang ditulis tidak dengan manner sebuah naskah filem. Jadi, naskah ditulis dengan sajian yang serba informatif secara kronologis dengan berbagai peristiwa-peristiwa penting. Kalaupun ada dana yang cukup besar untuk merealisasikan naskah ini, saya tetap harus menulis ulang naskahnya, karena saya ingin membahasakannya menjadi blue-print pembuatan filem yang memang bisa dibaca, dicerna, dipecah-pecah menjadi kerangka teknis untuk filem. Termasuk drama yang mungkin dilakukan untuk naskah ini.

Istirahatlah Kata-Kata (2016)

Akhirnya, ada kesepakatan baru karena kami tidak punya dana besar untuk mewujudkan naskah itu. Maka, saya menawarkan diri untuk menulis ulang semuanya. Jadi, naskah yang awal itu dipinggirkan dan menjadikan naskah pertama itu sebagai referensi dan data kronologis tentang bagaimana sebenarnya Widji hidup. Kemudian, saya pergi ke Pontianak untuk mencari tahun tentang hidup Widji di kota itu, yang sebenarnya justru tidak banyak orang yang tahu. Dari saya bertemu dengan banyak orang-orang dan mulai menulis naskah baru yang lebih fokus ke masa di Pontianak. Jadi, harus disebut bahwa ini adalah semacam strategi untuk melihat kemampuan kita membuat sesuatu yang legendaris, krusial, dan juga sensitif.

Kemudian kami mengerucut pada hidup Widji yang pendek di Pontianak, itu adalah pilihan logis yang bisa kita lakukan. Baik secara biaya, maupun strategi menghadirkan situasi yang lain dari dia, yang mungkin teman-temanya sendiri tidak cukup mengetahui hal itu. Akhirnya, saya tidak hanya menjadi sutradara di filem ini. Saya menjadi penulis untuk filem ini. Karena teman-teman di Muara Foundation tidak cukup akrab dalam produksi filem, segala strategi pengelolaan dan pengorganisasian juga saya bantu. Sehingga nama saya juga tercatat sebagai produser, yang punya kesempatan untuk mendesain riwayat filem ini nantinya seperti apa. Jadi saya bukan lagi director on hire, hanya menjalankan tugas sebagai sutradara. Tapi, saya juga punya wewenang untuk keputusan-keputusan yang lain. Itu disepakati oleh teman-teman dari Muara Foundation. Filem ini akhirnya menghasilkan cukup banyak penonton yaitu 53.000 untuk filem semacam ini. Untuk filem dengan isu orang hilang, saya pikir prestasi membanggakan, dan saya menjadi bagian dari itu.

Istirahatlah Kata-Kata (2016)

Hafiz: Terus gimana?

Anggi: Widji Thukul dalam hidup saya on and off. Sejak SMP, saya membaca puisi dia yang dibawa oleh teman, kakak kelas yang kuliah di Sanata Dharma. Saat itu, saya merasa itu bukan puisi yang spesial. Saya masih ingat membaca Tikar Plastik-Tikar Pandan (Solo, 1988). “Kok, puisi kayak begini?”. Selama ini saya membaca sastra itu yang banyak metafora-nya. Bapak saya kan guru Bahasa Indonesia. Jadi, saya membaca buku-buku sastra yang lain, mungkin lebih berbunga-bunga atau liris. Sedangkan puisi Widji kasar, menurut saya. Hal ini yang membuat saya tidak tertarik. Kemudian, saat saya sudah mulai bergaul dengan berbagai macam aktivitas, seperti dengan Teater Garasi, ikut diskusi di Insist, saya melihat Widji sebagai sosok yang lain. Akhirnya, saya menggelutinya. Kemudian ada tawaran untuk membuat filem ini, saya langsung jawab ‘Ya…!’. Akhirnya saya mengenal lebih jauh tentang Widji, bertemu keluarganya, teman-teman pergerakan, yang buat saya itu adalah blank spot dalam hidup saya.

Tahun 1995-1998 itu kan saya masih SMP dan tinggal jauh di kampung. Jadi, berbagai peristiwa dan informasi tentang hal itu tidak sampai ke kampung saya. Bahkan euforia Reformasi 1998 itu… jauh. Yang paling saya ingat dari jaman itu hanya ‘Krismon” atau Krisis Moneter, yang buat kami itu sesuatu yang lebih besar daripada peristiwa Reformasi itu sendiri. Dan saya tidak pernah terlibat dalam pergerakan sosial apapun. Justru ketika ada tawaran membuat filem ini, saya pikir ini waktunya penjelajahan di blank spot hidup saya, yang berkorelasi dengan pergerakan sosial pro demokrasi; bertemu dengan figur-figurnya yang sekarang mungkin sudah punya nasib yang lain. Saya belajar dan membaca lagi buku Max Lane, Unfinish Nation (2007)… itu membuat saya merasa “Wow…! Gila ya… anak-anak muda jaman itu luar biasa perjuangannya”. Sedangkan buat saya berjuang berat itu hanya berjuang untuk membuat filem atau berkesenian. Dulu membuat filem atau berkesenian ‘plus’ dikejar-kejar tentara. Itu hal-hal yang tidak pernah dekat dengan saya. Jadi, membuat Istirahat Kata-Kata adalah pelajaran tentang memahami keputusan orang untuk mengorbankan dirinya dan hidupnya untuk sebuah pergerakan sosial.

Hafiz: Kalau saya coba masuk sedikit ke filemnya, ada yang menarik dari filem ini dimana kamu menemukan bahasa filem yang ‘menghancurkan’ stereotype militer dalam filem maupun teks, yang selama ini dikenal masyarakat. Apa lagi orang seumuran saya, yang merupakan bagian dari masa itu, atau juga oleh kalian generasi sesudahnya. Keterpersonaan saya dengan filem ini adalah ketika filem ini dibuka; si tentara atau intel makan lemper. Buat aku itu sebuah temuan. Artinya, temuan estetika filem dalam konteks masyarakat Indonesia. Juga adegan gelas dan air putih di akhir filem sangat menarik. Gelas dan air putih itu menjadi ‘spektakuler’ dalam dalam bangunan cerita filemmu. Kritikku pada filem ini adalah kamu tidak menemukan cara yang lain membangun imajinasi penonton dengan teks kamu sendiri, namun bergantung dengan teks Widji. Mungkin ada lebih 40% teks sang penyair dibacakan dalam filem untuk membangun narasi dan konteks bagi penonton. Jadi, narasinya dibangun dari puisi-puisi Widji Thukul.

Pertanyaannya menjadi, “Apa Anggi Noen dimakan oleh puisi Widji Thukul?”. Misalnya, aku cukup jengah pada adegan yang di sampan dengan narasi puisi Aku Terima Kabar dari Kampung (1996-1998) untuk mejelaskan trauma sebuah generasi. Karena tak cukup kuat secara gambar, dan itu terselamatkan karena kekuatan puisinya. Namun, jujur secara keseluruhan filem ini baik. Dan bagi saya ini adalah salah satu filem terbaik yang pernah ada di Indonesia. Bagi saya hal-hal yang kecil seperti lemper, air putih, Si Pon menyapu kemudian Widji menghilang, persoalan sikat gigi dengan tetangga, menjadi menarik dalam konstelasi ide yang besar. Jadi, pertanyaanku adalah apakah kamu memang tidak bisa menemukan cara lain untuk konteks menarasikan ide itu, tanpa harus sebegitu banyak memasukkan puisi Widji? Apa ada relasinya dengan hal-hal yang aku sebutkan di awal tadi, ini orang besar, tokoh pergerakan, dan menjadi ikon para aktivis?

Anggi: Saya sangat menaruh hormat pada puisi-puisi Widji. Saya sebegitu terpesonanya dengan puisi-puisnya, dan mungkin kamu bisa baca itu semua dari filemnya. Saya menemukan hal yang lain. Mungkin banyak orang mengenal Widji dari satu-dua puisi saja. Saya membaca ulang banyak sekali puisi dia, bahkan yang masih dalam tulisan tangan. Kemudian membaca tulisan-tulisan dia di luar puisi, seperti tulisan dia yang dimuat pada terbitan mahasiswa di Malang misalnya. Menurut saya ini menjadi menarik, karena saya bisa melihat Widji Thukul dan jaman. Melihat Widji Thukul dan Orde Baru, dari puisi-puisinya yang tumbuh dari jari dan penanya. Tentu, awalnya saya ingin menjadikan Widji Thukul ada dalam konstruksi saya sendiri. Karena saya sutradara, jadi punya otoritas untuk mengkonstruksi seorang Widji menggunakan segala macam daya upaya dalam sinema.

Saya bukan satu-satunya orang yang tahu bahwa puisi Widji itu banyak. Artinya banyak orang yang tidak tahu puisi-puisi Widji yang lain. Seperti puisi tentang bagaiman Widji rebutan ikan asin dengan seekor kucing, sehingga ia memutuskan memberi kepala ikan asin pada kucing, kemudian dia memakan tubuh ikan asin. “Kita sama-sama senang. Dia hidup, aku hidup.” itu akhir dari bait puisinya. Menurut saya itu luar biasa! Sangat filemis, tapi sehari-hari. Terus ada juga puisinya tentang bagaimana kondisi kampung seberang sungai dimana dia tinggal, yang beberapa orang laki-laki memasak kucing saking sulitnya cari makan. Kucing dimasak jadi tongseng. Itu seperti menghunjam diri saya. Mungkin tidak banyak orang mengetahui puisi itu. Makanya saya ingin mewujudkan itu dalam filem, sebagai cara mengenalkan Widji dengan sudut pandang yang lain. Juga begitu dengan puisi Widji yang berbahasa Jawa. Ada yang bercerita bagaimana seorang ibu warung menawari Widji perempuan. “Ada selimut baru, jenenge Narti. Selimute iso ngentut”… Wah…! Nah itu puisi bahasa Jawa. Atau puisi yang saya narasikan dalam filem “Ing Telenging Ning” atau Dalam Hening yang Paling Hening. Itu sangat mendalam puisinya. Wah… saya harus mencatatnya dalam sinema. Mungkin memang saya akhirnya tidak punya lagi ruang yang lebih luas atas keliaran untuk temuan saya sendiri.

Namun saya yakin sebenarnya itu adalah satu-satunya hal yang bisa saya lakukan untuk menghormati tokoh yang membuat saya bisa mengenyam demokrasi, dan bisa membuat filem. Meskipun memang ada yang mengulang, seperti “kuterima kabar dari kampung rumahku kalian geledah, buku-buku kalian jarah”… itu kan puisi yang sudah saya wujudkan dalam scene. Tapi saya bacakan ulang di tengah. Saya ingin membangun relasi antara rumah dan puisi, rumah dan keterasingan, rumbah dan menjadi buron. Tapi, di tengah dijawab; “tapi kuucapkan terimakasih karena kamu sudah mengenalkan kepada anak-anakku betapa kejamnya penindasan…”. Harus saya sadari betul bahwa filem Widji Thukul itu bukan milik saya sendiri. Dan ternyata milik banyak sekali orang.

Hujan Tak Jadi Datang/It’s Not Raining Outside (2009)

Hafiz: Buat aku itu kan pilihan, bagaimana kamu membangung kesinambungan itu. Kritik aku berangkat dari keterpesonaan aku pada temuan lemper tadi. Kenapa keterpesonaan lemper itu tidak aku temukan di sampan itu?

Anggi: Hahaha… betul! Betul…!

Hafiz: Aku ngobrol dengan beberapa orang, tidak cukup banyak yang aware itu, karena mungkin tidak berulang. Padahal lemper, anak, Si Pon, ruangan,… itu visual yang cukup gila menurut saya. Kamu menemukan representasi penindasan melalui lemper.

Anggi: Termasuk adegan cukur?

Hafiz: Iya..! Buat aku juga itu bagus sekali. Tentu ada beberapa puisi yang dibacakan sangat pas dari sisi permainan bahasa sinema, seperti adegan narasi puisi berak dan kencing di restoran itu. Karena ada relevansinya dengan gambar, scene, dan emosi yang kamu bangun di bagian itu.

Anggi: Harus diakui bahwa sebenarnya hampir di setiap scene di filem Istirahatlah Kata-Kata dari puisi.

Hafiz: Kembali ke lemper, bagaimana bisa kamu menemukannya?

Anggi: Hahaha… saya agak lupa. Kalau tidak salah itu saat shooting atau di lokasi. Karena dalam naskahnya tetap rokok. Tapi aku harus cek ulang. Saya sangat merasa bahwa aktor, ruang,… itu sangat punya pengaruh pada keputusan-keputusan kecil yang nantinya membawa pada ide besarnya. Seperti shot terakhir yang delapan menit di filem ini, terfasilitasi oleh ruang. Maksudnya, ruang memungkinkan saya untuk membuat shot itu. Sebenarnya bisa saya memecahnya jadi beberapa shot, tapi saya lihat secara ruang, kamera bisa menyapu dalam satu sapuan, dan kemudian ceritanya berakhir. Jadi, filem ini terbangun dari rencana yang matang, tapi kemudian elemen-elemennya menyatu dalam satu frame, tentu ada ‘tambahan’ kematangan. Itu yang membuat saya harus peka terhadap situasi. Artinya, perencanaan yang baik menghasilkan keleluasaan saat kita mengambil gambar untuk berpikir hal-hal yang di luar rencana. Tapi perencanaan yang buruk dalam proses pembuatan filem, akan menghasilkan kecerobohan-kecerobohan dan kebuntuan pemikiran ketika mengambil gambar. Jadi, kalau tadi ketemunya lemper bisa sangat intuitif sebagai pengganti rokok. Tentu saya memikirkan sesuatu yang lebih besar dari itu. Bisa jadi itu sangat alami muncul “bagaimana jika seorang intel itu kita indentikan baru yaitu lemper. Toh, cara dia menggunakan bahasa sudah mengindentifikasikan siapa dia, tanpa support yang lain seperti rokok, seragam, lencana dan gestur. Bahkan saya mereduksi gestur intel supaya jangan jadi terlalu besar, seperti dengan lampu yang disorotkan ke muka kamu.

Hafiz: Bisa cerita beberapa filem yang kamu anggap penting dalam karir dan kenapa dia penting?

Anggi: OK. Bagi saya filem Tapi Maaf penting, karena menyadari bahwa membuat filem itu sebuah proses yang rumit. Dan kemudian dari filem itu saya mendapatkan achievement tepuk tangan yang cukup panjang dari penonton. Kemudian filem Ketemu Bapak yang hitam putih, saya mencoba membuat semacam proses produksi filem yang teratur, meskipun dalam produksinya saya masih belum tahu siapa yang bilang action, rolling untuk kamera… saya cuma menjalaninya. Kemudian filem It’s Not Raining Outside (2009) adalah perkenalan saya dengan scene internasional. Saya ke Rotterdam Film Festival, berkenalan dengan banyak orang di sana. Berkenalan dengan filem yang lebih liar dan lebih mapan dalam perkara teknis. Kemudian filem pertama saya Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainya (2012). Pencapaian terbesar dari filem panjang pertama saya itu adalah karena filem itu ada. Karena ketika itu di Jogja belum ada yang membuat filem panjang, kecuali Doni Kuss Indarto yang tadi saya sebutkan. Tapi di tahun 2011-2012, belum ada filem panjang yang dibuat secara mandiri di Jogja. Ifa Isfansyah sudah membuat filem panjang, tapi itu produksi di Jakarta. Kalaupun ada, semua menggunakan ekosistem industri Jakarta. Dari filem ini saya berhasil mengumpulkan orang-orang yang punya passion pada pilihannya.

Kemudian filem Lady Caddy Who Never Saw a Hole in One (2013) merupakan achievement karena itu filem ‘relaksasi’ buat saya. Saya menulisnya dalam waktu beberapa menit. Dan saya produksi filem itu setelah vakum produksi karena mendampingi filem Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya. Filem Laddy Caddy… mendapatkan penghargaan yang cukup banyak. Kemudian Istirahatlah Kata-Kata merupakan sebuah pencapaian, karena saya bisa bernegosiasi dengan banyak hal. Filem ini paling banyak menguras energi untuk bernegosiasi dengan banyak pihak, hal-hal yang sensitif, dan medium filem itu sendiri dalam bercerita. Artinya, bernegosiasi dengan pilihan estetika juga. Kemudian filem Genre Sub Genre (2014) menurut saya mengagetkan karena secara filem kan itu diawali dari sebuah proposal, yang kemudian didanai. Sebenarnya itu keluar dari manner saya yang filem, karena itu karya berbasis arsip dan visual. Dan cara memandangnya pun berbeda, bukan seperti sinema, tapi sebagai produk visual yang instalatif, beda dengan interaksi di sinema.

Itu sebuah pelajaran berharga buat saya. Karya itu kemudian kamu pamerkan di Indonesia Contemporary Art and Design 2015. Juga dipamerkan di Media City Biennale Soul, yang itu tidak pernah saya kenal sebelumnya, karena itu ruang dan medan kesenian yang lain. Saya merasa filem semacam Genre Sub Genre, sesuatu yang harus saya bikin lagi dengan cara seperti itu. Karena itu rileks banget rasanya. Beda banget…! Tapi itu ngangeni.

Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya (2012)

Hafiz: Ke depan apa lagi yang akan kamu lakukan?

Anggi: Saya sedang menyiapkan filem panjang. Mumpung ini direkam, filem ini akan menjadi filem panjang saya yang paling mahal selama hidup… hahaha. Filem ini sebenarnya saya siapkan sejak saya membuat filem panjang pertama. Saya sudah menulisnya saat Vakansi Yang Janggal… selesai dibuat. Cuma butuh waktu panjang, karena idenya besar dan kompleks, serta membutuhkan biaya yang banyak. Jadi, saya mengumpulkan sedikit demi sedikit energi untuk membuat filem ini dengan proper. Ceritanya tentang pendaratan manusia di Bulan. Ada seorang petani di Bantul melihat syuting pendaratan manusia di Bulan pada tahun 1960an awal. Si petani dipotong lidahnya, dia tidak bisa ngomong, dan dia tidak bisa menulis juga. Dia ingin memberi informasi kepada penduduk kampung bahwa dia melihat event yang bernama “syuting pendaratan manusia di Bulan”. Itu yang membuat dia bergerak pelan seperti berada di luar angkasa selama 40 tahun. Cara meyakinkan penduduk kampung itu dengan bergerak pelan. Termasuk membangun kubah raksasa seperti pesawat ruang angkasa dan menjahit kostum seperti astronot, yang kadang-kadang dia pakai di keseharian. Itu layer pertamanya. Tapi saya juga mau berbicara tentang tubuh, luka dan politik. Trauma rezim itu membuat seseorang sebenarnya punya kompleksitas perasaan. Mungkin seperti Stockholm Syndrome dimana orang jatuh cinta pada orang yang berbuat buruk padanya. Saya melihat bahwa bangsa kita ini adalah bangsa yang mudah lupa, mudah terluka, tapi juga menikmati luka itu.

Hafiz: Luka itu terus dirawat?

Anggi: Iya, luka itu terus dirawat. Sekarang kalau ada sinyal-sinyal orang memanfaatkan Orde Baru atau situasi pada masa itu sebagai kampanye untuk meraih dukungan stiker sederhana “Enak Jamanku, Toh?”, menurut saya itu sinyal banyak orang lebih nyaman hidup dalam tekanan tapi merasa dirinya aman. Aman dari banyak hal serba romantis, seperti beragama, tidak ada interupsi-interupsi. Semua seolah-olah seperti itu. Aman dari persoalan ekonomi. Itu adalah problem besar, karena mereka mengorbankan kebebasan dia berekspresei dan berpikir, demi hal-hal yang serba fiktif ini. Orde Baru menjadi seolah-olah nyaman secara ekonomi, kan kita utang? Besar sekali utang kita. Terus seakan-akan korban dari Reformasi… artinya sebagian orang lebih menyukai hidup dalam fiksi. Lebih menyukai hidup dia yang abstrak atau yang nyata “bisa makan enak”. Nah, tokoh yang aku bangun ini adalah tokoh yang bertahan pada kebenaran ide dia tentang hal  yang besar, menghubungkan Bumi ini ke dalam satu gagasan bersama di Perang Dingin bernama Bulan.

Dengan kata lain, Bumi ini kan ternyata dapat dilihat dengan cara lain, ketika ada pendaran manusia di Bulan. Dimulai di situ. Tapi tubuhnya merekam luka-luka yang ditimbulkan dari gerak politik yang besar atau global; perang dingin. Termasuk pertanyaannya apakah Peristiwa 1965 itu adalah efek dari Perang Dingin? Kalau ada relasinya, jelas ada. Tapi bagaimana sebernarnya pengaruh besar Amerika Serikat menggunakan Space Race-nya sebagai upaya untuk menjadikan penunggalan mengenai gagasan adikuasa. Menurut saya filem yang judulnya The Science of Fiction ini adalah rangkuman dari tubuh-tubuh yang terluka karena konstelasi besar bernama negara dan kuasa.

Hafiz: Pertanyaan terakhir. Kami kan di Forum Lenteng selalu mengkaitkan apa-apa yang dikerjakan terkait dengan persoalan yang kamu maksud tadi. Tapi, kan tidak terlalu banyak seniman atau sutradara yang yang bicara tentang persoalan negara dan kuasa. Tapi seniman dari generasiku masih cukup banyak yang terus aware dengan soal ini, karena bersentuhan langsung pada masa represi itu. Jadi, generasi 1990an ini punya relevansinya untuk selalu bersentuhan dengan persoalan sosio-politik. Dan kamu generasi sesudahnya, yang menurut aku cukup unik karena tertarik dengan isu ini. Kalau kita lihat sekarang, apakah seniman atau sutradara banyak yang ahistoris atau menganggap persoalan sejarah sosio-politik itu adalah masa lalu? Apakah kita inginnya selalu di zona nyaman? Padahal, kalau dalam bacaan saya sekarang, terjadinya ketakutan-ketakutan yang tidak berdasar pada komunisme, muncul fundamentalisme dalam agama, itu kan muncul karena kita tidak mau belajar pada masa lalu.

Anggi: Mungkin agak sulit dijawab. Aku dan kamu mungkin sama cara berpikirnya bahwa karya itu ujung dari banyak tarik menarik kegelisahan dalam diri seseorang. Termasuk di situ luka-luka, hal-hal yang membangun sikap merdeka. Nah itu saya pikir memang karena kita ada di satu tempat. Kita sekarang sedang membicarakan orang lain. Yang artinya sekelompok besar orang dalam bangsa ini yang memang berbeda dengan kita. Ini dugaan. Kalau ada sutradara filem yang membuat filem cinta-cintaan itu di sini, mungkin dia punya alasan yang lain. Dugaan saya karena tidak banyak narasi-narasi mengenai masa lalu yang  dibuat dan disediakan ruangnya untuk bertemu dengan banyak orang. Saya melihat gejalanya seperti ini, sekarang ini orang mempelajari persoalan Orde Baru dari media sosial, atau bahkan dari mime strip. Jadi, tidak komprehensif. Sehingga kemudian memunculkan keputusan-keputusan yang serba reaktif. Itu terjadi karena selama kita lepas dari Orde Baru, kita pun tidak punya ruang untuk mempelajari itu dengan terbuka, bersemangat, dan menyenangkan. Dan juga tidak pernah menganggap bahwa perjalanan sebuah bangsa itu penting.

Jadi, yang dirayakan itu selalu hari ini. Menurust saya bangsa kita adalah bangsa yang memuja apa yang ada hari ini. Semuanya serba reaktif, dan eceran. Bahkan ayat-ayat bisa kita ecer. Sejarah bisa kita ecer. Kita kan bicara mengenai isu komunisme kan begitu, “bagian sini banyak orang komunis yang membunuh ulama, bagian yang lain banyak orang yang tertuduh komunis dibunuh oleh Orde Baru”. Tapi memahami konstelasi besarnya, itu problem besar buat kita. Tidak ada upaya untuk menjadikan bahwa setiap peristiwa itu punya dimensi yang luar biasa banyak. Selalu yang kita puja itu hanya dimensi yang sesuai dengan maksud dan tujuan klita hidup. Pokoknya sederhananya begini deh… selama di Indonesia itu rokok masih bisa ngecer, sejarah masih bisa di ecer, ayat juga bisa di ecer…hehehe. Itu memang gambaran pola pikir menurut saya. Kita merokok, setiap kali ingin merokon, tidak punya uang, bukan kemudian berhenti merokok dan menabung. Tapi yang terjadi adalah beli sebatang, untuk tetap bisa merokok. Etos bangsa itu begitu… etos ngecer atau ngeteng.

Hafiz: Berarti perubahan yang dibayangkan Reformasi, gagal? Apa ada optimisme di situ?

Anggi: Kalau hari-hari terakhir ini saya pesimis; terlalu banyak yang harus kita pelajari bersama, dan terlalu banyak orang yang tertutup karena doktrin-doktrin mereka sendiri. Ada pesimisme besar dari saya pada bangsa ini untuk menjadi lebih maju, terbuka dan lebih toleran. Atau dalam bahasa saya sekarang makin tampak seperti utopia. Cuma optimisme kita sebagai seniman harus tetap ada. Karena apapun yang terjadi pada masyarakat kita, tugas kita adalah mencatatnya dengan estetika, supaya di masa depan bisa dipelajari. Kita bagian dari masyarakat tentunya. Dan saya rasa kita juga bagian dari pesimisme besar. Tapi ketika kita mencoba memberi jarak, sebagai seniman, sebenarnya kita mencatat. Bahkan mencatat pesimisme hari ini.

Hafiz: Terima kasih Anggi.

Anggi: Sama-sama Bang Hafiz.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search