In Artikel

Sinema dan sejarah adalah dua hal yang sulit dielakkan satu sama lain. Sejak kehadirannya, kamera telah memungkinkan peristiwa-peristiwa terabadikan hingga dapat dilihat kembali di masa depan. Sejarah dapat dikenali pada medium-medium yang berusaha merepresentasikannya. Sedangkan di sisi lain, filem merupakan medium representasi sejarah sekaligus sejarah itu sendiri; ia adalah peristiwa sekaligus aksi. Dalam hal ini, penelusuran terhadap sebuah karya sinema monumental, seperti filem Pengkhianatan Gerakan 30 September, yang menuturkan peristiwa sejarah pun adalah penelusuran terhadap kesejarahan sinema itu sendiri; bagaimana gambar bergerak dari satu medium ke medium lainnya hingga menjadi sebuah realitas di luar filem itu sendiri.

Merekam dengan Menonton

Awalnya, sebagai bagian dari generasi yang tidak mengalami peristiwa sejarah yang diceritakan dalam filem Pengkhianatan Gerakan 30 September dan tidak pula hidup dalam masa-masa dimana menonton filem tersebut adalah suatu kewajiban, saya pikir filem ini tidak akan memicu memori yang familiar pada saya. Namun saya keliru. Kenyataan bahwa filem Pengkhianatan Gerakan 30 September pernah diputar setiap tahun di televisi dan merupakan produksi resmi negara membuat aspek-aspek tertentu yang hadir dalam narasi filem telah disepakati menjadi normalitas. Sehingga jika pun bukan bentuk spesifik dalam filem yang masih familiar bagi generasi baru ini, maka setidaknya bentuk standar perilaku tertentu dalam masyarakatlah yang dapat dikenali. Sebab dalam jangka waktu yang panjang, melalui proses pendidikan pada berbagai pranata sosial – keluarga salah satunya – aspek-aspek tersebut terus direproduksi dan menjadi pengetahuan umum yang terkodekan di dalam tubuh.

Filem karya Arifin C. Noer yang berkisah tentang peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965 di mana ketujuh jenderal yang dituduh hendak melakukan kudeta pada presiden kala itu – Soekarno – mengalami penculikan dan pembunuhan. Penceritaan itu dibagi dalam dua babak. Babak pertama terdiri dari latar belakang peristiwa dan terjadinya peristiwa itu sendiri. Disusul dengan babak kedua yang diberi judul “Penumpasan”. Filem yang bergenre doku-drama ini meramu arsip koran, foto dan rekaman dengan gambar-gambar yang dibuat dari penerjemahan sutradara atas catatan-catatan dari negara. Ia, dengan metode fiksinya, meletakkan sejarah sebagai sebuah peristiwa kilas balik ingatan orang-orang yang kemudian disaksikan kembali oleh penonton yang menyaksikan terjadinya kilas balik tersebut.

Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September

Dalam sebuah adegan di mana salah seorang saksi peristiwa 30 September berusaha mencari lokasi penculikan dan pembunuhan, kamera menyajikan gambar-gambar kilas balik beserta bunyian yang kembali menayangkan adegan peristiwa ketika pembunuhan terjadi. Realita si saksi kembali lagi ketika kamera memperlihatkan pohon, tanah dan lokasi pembunuhan di masa kini (dalam filem). Sekuens gambar dan bunyian tersebut kemudian seolah menghasilkan sekat tipis pada ruang-ruang abstrak yang muncul selagi filem diputar dan ditonton: ruang memori si saksi, ruang hari ini dalam filem di mana si saksi sedang mengingat, ruang di antara penonton dan filem, serta ruang memori di kepala penonton. Lewat mata kamera filem, mata penonton turut melihat sebuah peristiwa meski tubuhnya tak pernah hadir pada lokasi dan waktu ketika peristiwa tersebut terjadi. Lewat peristiwa itu pulalah penonton merekam peristiwa yang tak pernah ia alami. Secara biografis, sebuah kosa kata dari filem tersebut telah menjadi bagian dari memori penonton. Kosa kata tersebut dapat menjadi salah satu pilihan kata yang kelak digunakan untuk mengartikulasikan atau menerjemahkan pengalaman, baik yang secara langsung terkait dengan pengalaman dalam filem tersebut atau pun sama sekali berbeda. Tentunya, peristiwa mengingat ini di satu sisi adalah hal yang sangat personal. Masing-masing dengan rekaman-rekaman lainnya yang sudah ia miliki, dengan mata kamera atau pun tidak, akan memutasikan ingatan tersebut menjadi apapun yang ia mau sesuai dengan impresi yang ia dapatkan.((Eric Shouse dalam Feeling, Emotion, Affect dari M/C Journal vol. 8, Issue 6, Dec. 2005 http://journal.media-culture.org.au/0512/03-shouse.php))

Saya pribadi mengingat filem ini sebagai sebuah gambaran tentang cerita keluarga di akhir tahun 1980-1990-an yang mengidamkan kepasifan feminin dan hasrat kemapanan dari modernitas sebagai sebuah warisan yang diturunkan. Sebuah cita-cita yang bergerak pada satu keluarga ke keluarga lainnya melalui sinema dan TV. Kesan ini dipicu oleh bagaimana ruang domestik keluarga di Indonesia – mulai dari keluarga miskin, menengah, kaya raya di kota, hingga keluarga miskin di pedesaan – dihadirkan di antara adegan rapat-rapat politik, latihan militer dan penculikan untuk mengisi jalinan konstruksi filem.

Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September

Pada sebuah adegan yang menggambarkan momen horor dan kehilangan dalam sebuah keluarga sederhana di desa, rangkaian adegan dimulai dari suasana Taman Kanak-Kanan yang ceria di kota yang menampilkan Ade Irma Suryani (diperankan oleh Keke Tumbuan) yang kemudian berpindah pada adegan seorang bocah dan ibunya yang tengah berada di sebuah stasiun yang kosong. Suara nyanyian TK berubah menjadi alunan musik Sunda, visualisasi tokoh bocah dan ibunya pun mengarahkan identifikasi pada sosok yang tidak berasal dari kota. Tiba-tiba, adegan berpindah pada shot extreme close-up mata dan mulut seorang lelaki (jenis shot yang sama beberapa kali muncul pada filem ini untuk menggambarkan D.N Aidit yang ambisius, diperankan oleh Syubah Asa((Tulisan tentang estetika filem Pengkhianatan Gerakan 30 September dalam menggambarkan tokoh-tokoh dan peristiwanya dapat dibaca lebih lanjut dalam tulisan Hafiz Rancajale berjudul “Mari Belajar Bahasa Filem dari Pengkhianatan G 30S/PKI” terbitan Jurnal Footage pada 1 Oktober 2010, tautan https://jurnalfootage.net/v4/mari-belajar-bahasa-filem-dari-pengkhianatan-g-30spki/ , diakses pada 7 November 2018 pukul 16:00 WIB.)) ). Adegan tersebut kemudian diikuti dengan peristiwa terbunuhnya seorang lelaki di desa dan suasana dukacita istri dan anak yang ia tinggalkan. Pentingnya maskulinitas Ayah ditekankan justru dengan kematiannya. Skema yang muncul di bagian awal filem ini kemudian muncul berulang-ulang kali pada pertengahan hingga akhir filem dalam bentuk penculikan dan pembunuhan para Jenderal.

Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September

Peristiwa kehilangan bocah bernama Urip tersebut dan ibunya menemukan penebusan mereka lewat migrasi ke kota. Tatapan awal tentang kota dalam rangkaian adegan Urip ini adalah tatapan akan industri yang muncul dalam bentuk suara dan rel kereta api. Hal ini terasa kian tegas pada adegan lainnya tentang Urip, ketika sebuah bidikan low angle kepada puncak Monas kemudian close up wajah Urip yang seakan sangat kehausan dan hendak mereguk Monas. Lebih dari sekadar sebuah adegan yang berusaha menunjukkan lokasi, adegan ini malah mengingatkan saya pada situasi ketika orang-orang di desa pertama kalinya menginjak kota dan melihat langsung apa yang biasanya hanya bisa ia lihat di TV: kagum dan penuh hasrat. Tentu sulit menampik bahwa bentuk Monas yang menyerupai phallus itu merupakan penanda atas maskulinitas, dan barangkali juga modernitas.

Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September

Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September

Lain halnya dengan Urip, seorang anak perempuan dalam keluarga menengah yang tengah dirundung kesulitan ekonomi muncul berkali-kali dalam keseluruhan filem ini, tapi tidak sekalipun berbicara. Ia terus menerus bergerak dan bekerja, memungkinkan monolog dan dialog Ayahnya tidak terganggu namun tak sekalipun berbicara maupun nampak berniat melakukannya. Ia bergerak secara luas dan jelas seolah jalur geraknya adalah sebuah lintasan kebiasaan yang telah sepenuhnya diingat tubuhnya. Koreografi yang serupa berulang pada kemunculan anak gadis itu selanjutnya. Ia, dalam bingkai sebuah keluarga, hadir melalui aktivitas kerjanya saja. Ia digambarkan sebagai subyek yang terus menerus bergerak tetapi juga diam secara bersamaan. Mengutip Hsu Fang-Tze, seorang akademisi dari Taiwan, ia digambarkan seperti huruf-huruf bisu dalam Bahasa Inggris, ada tetapi tidak dibunyikan.((Fang-Tze, Hsu. When Dead Labor Speaks: Subjectivity, Subjugation and Meta-Cinema. Forum festival 2017. Jakarta, Forum Lenteng. 2017. Hlm 9 dan 138.)) Sunyinya, di tengah percakapan tanpa habis antara Ayah dan kakak lelakinya seperti halnya kepatuhan penonton filem dalam ruang pemutaran yang dikondisikan tak berisik. Kehadirannya diperlukan sebagai pengabsahan cerita dan narasi tetapi tidak diperuntukkan bercerita balik, setidaknya sampai pada masa di mana kamera tidak melulu menjadi kemewahan yang dimiliki kelompok-kelompok tertentu saja.

Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September

Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September

Filem, dalam hal ini pun, merupakan sebuah representasi atas seperangkat referensi sosial, kultural, ekonomi, politik dan teknologis yang mewujud dalam tatapan kamera. Oleh karenanya, ia pun adalah visi tentang idelogi, identitas dan persepsi yang menata segala yang direkam menjadi sebuah kesatuan gambaran tentang dunia (image of the world) yang berevolusi menjadi dunia gambar (world of image) yang independen, yang terkomunikasikan pada publiknya lewat sinema. Ikatannya pada realitas yang sebelumnya ia ambil menjadi kian kendur bahkan bisa jadi terputus dan hubungan arbitrer yang baru pun terbentuk. Dunia gambar yang kemudian bekerja secara kolektif dalam filem adalah sejarah itu sendiri, dalam kebenarannya sendiri, dan pada amplifikasi yang masif mungkin menjadi sebuah rezim. Sebagaimana dalam sistem tatabahasa, kata-kata tersusun menjadi kalimat dan meresonansikan informasi melalui reseptor menuju pikiran dan mengendap dalam lokus mental. Begitu didaktis hingga dengan mudahnya dapat ter-refleksi kembali melalui tubuh yang berlaku.

Dalam sebuah pilihan bahasa sinema yang menabrakkan realitas dokumenter dan fiksi, kefiksian seluruh dunia gambar justru menjadi kentara. Sebuah adegan, nyaris di penghujung filem ini yaitu pada menit ke-258, menghadirkan sebuah kamera yang menyorot ke arah penonton filem. Gambar-gambar berwarna yang hadir sejak awal filem ini lalu segera diganti dengan gambar hitam-putih hingga kredit penanda film akan berakhir muncul. Meski pembahasan konten adegan dalam tulisan ini merujuk pada versi panjang filem ini, yang mana pada sekuens tertentu berbeda dengan versi pendeknya, namun persoalan warna ini muncul pada kedua versi. Saya simpulkan bahwa perihal kamera dan pewarnaan ini adalah pilihan estetika Arifin yang barangkali juga mengingatkan kita bahwa 272 menit gambar bergerak ini adalah filem.

Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September

Memori adalah gambar di pikiran

Saya pernah bicara pada seorang kawan, bahwa filem karya Harun Farocki bukanlah jenis yang mudah dan umum ditonton. Akan tetapi, justru kedua hal itulah yang memberi rasa ketergangguan ketika menonton filemnya, mengajak penontonnya berpikir kembali tentang gambar-gambar serupa namun tak sama yang sehari-hari kita lihat hingga konsepnya menetap di kepala kita. Di sisi lain, filem-filem Farocki pun seolah menawarkan metode untuk merefleksikan kembali bagaimana gambar-gambar, sebagaimana kata, juga merupakan suatu aparatus yang terkonstruksi dan memproduksi informasi, pengetahuan serta subjektivitas.

Pada karya-karyanya, Farocki banyak mengindikasikan bagaimana gambar tak lagi dapat dihadirkan sebagai sebuah representasi semata, namun juga sebagai kritik dan refleksi akan konsep representasi itu sendiri. Ketika membaca sinopsis-sinopsis filemnya – yang belum bisa saya tonton semua karena keterbatasan akses – sejak tahun 1966 hingga tahun 2013, terlihat bagaimana Farocki menelusuri gambar tak hanya pada satu medium representasi saja. Ia berusaha membedah estetika mulai dari lukisan, fotografi, video, filem, hingga pada gambar-gambar yang diproduksi secara digital dalam bentuk game. Beberapa karya Farocki, antara lain seperti seri Parallel (2012-2014), seri Serious Games (2009-2010), dan Inextinguishable Fire (1969), memperlihatkan bagaimana dunia gambar terhubung kuat pada bagaimana manusia kemudian mempersepsikan dan merespon peristiwa di sekelilingnya.((Tulisan yang lebih lengkap tentang bagaimana ketiga filem tersebut mengkomunikasikan ide tentang imajinasi yang dibentuk oleh media representatif dapat dibaca pada tulisan Manshur Zikri, Yang Paralel dari Sang Komandan Farocki, di Jurnal Footage terbitan 7 November 2014 di tautan https://jurnalfootage.net/v4/yang-paralel-dari-sang-komandan-farocki/ , diakses pada 6 November 2018, 21:51 WIB.)) Gambar-gambar yang ia hadirkan tak hanya menginterpelasi sistem tanda tertentu namun juga ‘melakukan’ sesuatu terhadap realitas fisik di luar filem. Ia  –  nyaris selalu – adalah bagian dari sebuah operasi.

Sebuah konsep yang disebut operative images didefiniskan Farocki menyasar gambar-gambar yang bukan diproduksi dalam rangka menghibur maupun memberikan informasi, sebab ia tak merepresentasikan objek, melainkan sebuah operasi.((Dari teks Phantom Images karya Harun Farocki versi terjemahan Bahasa Inggris Brian Poole. Teks tersebut dihadirkan pada sebuah acara diskusi di ZKM, Karlsruhe, Jerman pada tahun 2003. Teks ini dapat diunduh pada tautan https://public.journals.yorku.ca/index.php/public/article/view/30354/27882 , diakses pada 6 November 2018, 22:08 WIB.)) Dalam konsep tersebut, gambar-gambar dikatakan hadir sebagai sebuah visi mesin intelejen yang melihat dengan mekanisme otomatis nan independen sebagai efek bawaan dari mata mesin. Darinya terlihat bagaimana kerja mesin pemroduksi gambar siap memulai suatu rezim visual yang – biasanya – tak berjauhan pula dengan kepentingan rezim ekonomi dan politik. Rezim ini tak selalu muncul hanya dari bentuk keotoriteran aturan seperti yang biasanya muncul dalam hukum negara. Kadang ia juga bisa lahir melalui gambar-gambar yang bergerak untuk menghibur ataupun mengedukasi pemirsanya, pada sinema di antaranya.

Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September

Penggunaan sinema sebagai medium inskripsi pengetahuan dan subyektivitas tertentu oleh negara pernah terjadi cukup intensif di Indonesia pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto di tahun 1966-1998. Pada masa itu, produksi gambar bergerak merupakan salah satu aspek yang sangat diperhatikan negara. Bermula sejak tahun 1950-an yang berlanjut hingga era Orde Baru, departemen-departemen pemerintah dan kelompok-kelompok militer mendanai sejumlah filem sebagai medium propaganda. Hal ini berlanjut dilakukan secara terbuka ketika Perusahaan Film Negara (PFN) sejak tahun 1978 mulai memproduksi filem yang rata-rata bertema peristiwa sejarah pada berbagai era untuk menekankan rasa nasionalisme, namun juga cenderung mengkultuskan tokoh tertentu. Memasuki tahun 1980-an, sensor filem lokal pun diperketat dengan adanya kode etik bagi produksi film. Kode etik ini rata-rata menyangkut bagaimana pandangan akan moralitas dan ideologi Indonesia seharusnya ditampilkan. Kurasi yang ketat ini juga terjadi pada pertelevisian dimana saluran televisi hanya berasal dari negara hingga tahun 1989. Dengan demikian pilihan estetika yang dilihat warga saat itu pun terbatas.

Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September

Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September yang diproduksi oleh PFN ini, pada masanya diputarkan tak hanya di bioskop tapi juga di sekolah-sekolah, lapangan terbuka dan televisi. Menurut cerita yang pernah saya dengar, sejak rilisnya pada 1984 filem ini menjadi tontonan wajib yang selama setahun sekali diputarkan di TV dan harus ditonton. Karena terbatasnya kanal gambar waktu itu, tentu filem ini menjadi rujukan yang didaktis soal peristiwa 1965 tersebut, yang konon benar-benar terjadi dalam catatan sejarah.

Namun semua kondisi tersebut berakhir ketika kekuasaan Soeharto diakhiri oleh tuntutan besar-besaran mahasiswa akibat krisis ekonomi dan tuntutan akan sistem yang lebih demokratis. Di tahun 1998, pemutaran filem Pengkhianatan Gerakan 30 September di TV dihentikan dan bahkan untuk sekian lama, filem ini terkesan menghilang begitu saja.((“Tiga Tokoh di Balik Penghentian Pemutaran Film G 30 S PKI”. TEMPO.CO. terbit pada Senin, 18 September 2017 pukul 07:56 WIB. Diakses pada 7 November 2018 pukul 12:21 WIB tautan )) Saat saya masih di bangku Sekolah Dasar, saya ingat salah seorang guru les saya sempat mengatakan untuk tidak perlu menonton filem ini karena ia tidak ‘benar’. Saya sendiri sampai sekarang tidak menahu dengan pasti, ‘benar’ seperti apa yang ia maksud. Tetapi pesan tersebut membuat saya baru menonton filem ini jauh ketika saya sudah bukan kanak-kanak dan bukan untuk rujukan sejarah pula. Ia saya temukan sendiri pada cloud melalui Youtube, dalam durasi 217 menit, dengan kondisi gambar yang tidak baik akibat proses digitalisasi dari VCD/DVD.((Pada saat tulisan ini pertama kali dibuat, yaitu pada 10 Oktober 2017, unggahan filem ini yang ada di Youtube hanyalah yang berdurasi 217 menit dengan kualitas kurang baik. Menggunakan kata kunci pencarian yang sama, hari ini ketika tulisan ini diperbarui pada 7 November 2018, di Youtube telah ada unggahan filem ini dengan kualitas yang sangat baik, namun durasinya masih sangat bervariasi. Tautan https://www.youtube.com/results?search_query=g30s+pki merujuk pada laman pencarian di Youtube, akses terakhir pada 7 November 2018 pukul 12:29 WIB.)) Sejalan dengan filem ini yang mulai menghilang dan hanya muncul dengan gambar yang pecah-pecah, perdebatan akan kebenaran sejarah pun bermunculan dengan fragmentasi masing-masing yang tak selalu sama, seiring dengan kanal-kanal pilihan estetika lainnya yang juga mulai terbuka lebar. Era digital semakin memperluas pilihan tersebut dan rujukan sejarah tak lagi tunggal.

Dalam kontroversi sejarah yang terus berlanjut, filem ini kembali muncul pada September tahun 2017 lalu dalam arus perdebatan sejarah. Ia sepertinya sangat sulit dilepaskan dari konteks awal kemunculannya, dan mungkin memang tidak akan pernah bisa. Orang-orang berniat mengingat sejarah dan menganjurkan untuk kembali menonton filem Pengkhianatan Gerakan 30 September. Komando, mulai dari tingkat pimpinan militer hingga pada tingkat kepala RT, pun dikeluarkan dalam rangka menggiring warga dari berbagai lapisan usia untuk menonton filem ini baik lewat nobar (nonton bareng) ataupun lewat saluran TV yang memutar filem tersebut. Anak-anak tetangga saya di suatu pagi dekat penghujung bulan September 2017 sempat bercerita di teras tempat mereka biasa nongkrong tentang pengalaman mereka nobar filem Pengkhianatan Gerakan 30 September,yang lazimnya mereka sebut dnegan judul “G30SPKI”. Pagi 29 September 2017, saya pun mendengar cerita ibu-ibu tetangga yang semalam menonton filem itu di salah satu saluran TV swasta. Ia tak menuntaskannya, sebab terlalu banyak kekerasan.(( “Saksikan, Film Pengkhianatan G30S/PKI di tvOne Malam Ini”. Ansyari, Syahrul. Viva.co.id terbit [ada Jmat, 29 September 2017 pukul 08:12 WIB. Tautan https://www.viva.co.id/berita/nasional/961566-saksikan-film-pengkhianatan-g30s-pki-di-tvone-malam-ini diakses pada 7 November 2018, pukul 12:23 WIB.)) Namun ia terkejut-kejut sebab, setelah hampir 18 tahun tidak terlihat di layar TV pada tiap bulan September, filem itu telah kembali muncul dengan gambar yang begitu bening. September tahun 2018 ini pun ia kembali ditayankan oleh, salah satu stasiun TV swasta.((“Pemutaran Film G30S PKI Malam Ini di TV One, Karni Ilyas Ungkap Hal Ini”. TribunPekanbaru.com, terbit pada Minggu, 30 September 2018 08:07 tautan http://pekanbaru.tribunnews.com/2018/09/30/pemutaran-film-g30s-pki-malam-ini-di-tv-one-karni-ilyas-ungkap-hal-ini diakses pada 7 November 2018, pukul 13:35 WIB.)) Saya sendiri tidak menonton karena tak punya TV, jadi saya tak tahu berapa panjang durasi yang ditayangkan. Namun saya pun sempat menonton filem ini dalam kualitas yang baik sebagai hasil digitalisasi seluloid, dengan durasi yang lebih panjang dari yang saya temukan di Youtube, yaitu 272 menit.

Salah satu bagian dari pencarian tagar #nobarg30spki

Dalam kurun waktu sekejap, filem ini pun memiliki habitat dan ekosistem kehidupan yang baru. Dari seluloid, ke TV, ke VCD/DVD, ke Youtube, ke laptop kemudian kembali pada TV lagi dan kini dalam guliran laman Instagram, dan mungkin juga pada media sosial lainnya. Sebagai platform media sosial yang sangat berbasis visual ketimbang teks, Instagram memiliki aspek spesifik yang terkait dengan penggunaan kamera telepon genggam sebagai alat produksi gambar sehari-hari yang spontan – meski dalam perjalanannya visual yang diproduksi Instagram tak melulu dari kamera telepon genggam dan sudah melalui penyuntingan profesional.

Kehidupannya di medium Instagram berlanjut hingga tahun ini, sebagaimana kemunculan ia di TV pada September 2018 lalu. Namun berbeda dengan kemunculannya di TV sebagai semata filem, pada Instagram ia hadir dengan banyak penerjemahan. Lewat tagar #g30spki yang berisi 30,789 unggahan,(( Situs web Instagram dan pencariannya dapat dikunjungi pada tautan https://www.instagram.com/explore/tags/g30spki/ .Namun setiap saat jumlah dan kontennya dapat terus berubah. Akses terakhir pada 7 November 2018 pukul 19:00 WIB.)) filem ini justru tak banyak muncul. Ia digantikan dengan reka adegan dari anak-anak sekolah yang sepertinya sedang bermain teater, foto-foto diorama peristiwa Gerakan 30 September serta berbagai poster dan seruan. Namun iklan dan hal-hal lain yang seringkali tak ada urusannya dengan filem ini pun juga disematkan dengan tagar yang sama dan, akibatnya, muncul juga dalam daftar foto atau video yang diunggah dengan tagar ini.

Salah satu bagian dari pencarian tagar #nobarg30spki di tahun 2017

Salah satu bagian dari pencarian tagar #nobarg30spki di tahun 2017

Hal ini berbeda dengan tagar #nobarg30spki yang secara spesifik merujuk pada aktivitas menonton filem Pengkhianatan Gerakan 30 September. Pada sekitar 2,451 unggahan dengan tagar ini sempat saya temui di Instagram hingga tanggal 30 September 2017 malam, saya mendapatkan gambar-gambar suasana menonton filem dan juga banyak swafoto. Akan tetapi, perilaku swafoto bukan cuma dilakukan warga yang melakukan nobar. Dalam tagar tersebut, terlihat orang-orang yang butuh popularitas dan eksistensi, seperti politikus, selebriti, toko online, pun memakai tagar ini untuk mempublikkan swafotonya maupun untuk umpan komoditas ekonominya. Di titik ini, Instagram adalah medium propaganda diri bagi penggunanya. Orang-orang sepertinya lebih tertarik untuk memotret kehadiran diri mereka pada peristiwa yang dianggapnya penting di hari ini ketimbang mengurusi sejarah peristiwa tersebut di masa lalu. Sehingga nobarg3pki pada platform Instagram ini adalah peristiwa sekaligus aksi untuk menjadi ada dalam rekaman sejarah.

Salah satu bagian dari pencarian tagar #nobarg30spki di tahun 2018

Akan tetapi, konten unggahan pada tahun 2017 kian bergeser pada tahun 2018 ini. Jumlah unggahan per 5 November 2018 pukul 6:14 WIB menjadi 2.567 unggahan.((Situs web Instagram dan pencariannya dapat dikunjungi pada tautan https://www.instagram.com/explore/tags/nobarg30spki/ . Namun setiap saat jumlah dan kontennya dapat terus berubah. Akses terakhir pada 14 Oktober 2018 pukul 00:53.)) Penambahan sekitar 100 unggahan tersebut tak banyak menampilkan aksi atau peristiwa menonton seperti di tahun sebelumnya. Gambar-gambar yang muncul pun kebanyakan bukan produksi kamera telepon genggam sebab kebanyakan yang saya temui malahan poster, video, seruan atau malah iklan. Tentunya konteks tahun 2018 yang kian mendekati tahun politik 2019 membuat latar politik filem ini membuatnya rawan jadi gorengan politik. Namun demikian, aksi-aksi pengguna Instagram di Indonesia yang cenderung berhasrat mengambil bagian pada peristiwa bersejarah nobarg30spki sudah tak seheboh tahun 2017 lalu, ketika dalam hitungan hari ribuan gambar berisi aksi menonton muncul dengan tagar #nobarg30spki.

Salah satu bagian dari pencarian tagar #nobarg30spki di tahun 2018

Namun, apakah unggahan tersebut adalah bentuk keagensian dari warga yang menggunakan kamera untuk menarasikan balik peristiwa? Saya masih sangsi. Rezim, bagi sebuah negara yang pernah hidup dalam keotoriteran tidaklah hadir melulu dalam tata aturan hukum yang mengatur. Ia bisa saja hadir dalam sebuah karya audiovisual yang begitu apik hingga mampu awet bahkan setelah rezim tersebut berlalu. Peristiwa sejarah menjadi monumental bukan selalu karena peristiwanya yang besar tetapi justru resonansinya dan paparannya kepada orang-orang hingga mengubah cara massa merespon pengalaman suatu peristiwa lainlah yang membuatnya mengkristal dan gigantis. Memori atas paparan tersebut mampu membangun sebuah standar tentang bagaimana menatap dan berlaku. Ia menjadi gambar yang bergerak dalam kepala, terus-menerus, hingga kita bahkan tak tahu seberapa cepat ia bergerak dan membantu kita menerjemahkan pengalaman-pengalaman. Inskripsi gambar yang berubah menjadi inskripsi memori.

*Teks ini dibacakan pada acara Farocki Now: A temporary Academy  tanggal 18 – 21 Oktober 2017 di Berlin dan kini telah mengalami penyuntingan maupun penyesuaian ulang.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search