In Kronik

 

Artikel ini aslinya merupakan makalah yang disampaikan oleh Penulis dalam Simposium Sastra ke-V Fakultas Sastra Universitas Indonesia, lalu dimuat menjadi dua bagian dalam majalah Aneka: 1958, No. 31, 1 Januari, h. 18-19, dan No. 32, 10 Januari, h. 14-16.


Menurut surat undangan yang diedarkan, maka, tugas yang harus saya pikul hari ini ialah: membicarakan “Kedudukan sastra dalam sandiwara pentas, radio, dan filem”.

Foto: Asrul Sani

Sepintas lalu, perumusan dari tugas tersebut tidak menimbulkan kesulitan, apalagi jika kita berpikir dalam rangka pemikiran-pemikiran yang mengaburkan segala batas-batas. Tapi, jika kita hendak beroleh suatu pandangan yang jernih dalam masalah yang kita hadapi maka, tidaklah dapat dielakkan bahwa kita harus bekerja dengan batas-batas. Batas-batas ini memang ada, bukan saja dalam pikiran kita tapi juga dalam kenyataannya. Sekiranya kita masukkan batas-batas ini dalam perhitungan, maka akan kelihatanlah dengan segera bahwa, pembicaraan mengenai kedudukan sastra, radio dan filem bukanlah suatu kewajiban yang mudah ditempuh. Sebab, setelah memerhatikan sejarah sastra dan sandiwara yang berabad-abad, dengan filem dan radio yang berpuluh-puluh tahun, jelas sudah bahwa, pada saat ini ke setiap medium itu telah matang menjadi medium-medium yang berdiri sendiri dengan hukum-hukum yang tegak sendiri pula. Biar pun, barangkali, ada benarnya ucapan Menno ter Braak [1902–1940, pengarang modernis Belanda] bahwa, sebetulnya, “tidak ada estetika filem…” karena dalam “perumusan estetika, kita tidak bertolak dari bahan atau benda tetapi manusia yang mencipta dan menikmati…”. Yang ada “hanya kemungkinan untuk menggunakan pandangan estetis yang umum mengenai bahan yang disusun secara artistik terhadap bentuk yang khas, dalam hal ini, filem”. Toh, keempat medium itu mencapai tujuannya dengan alat-alat dan cara-cara yang begitu berbeda—yang dengan sendirinya menghasilkan hukum-hukum dan kemungkinan-kemungkinan yang berbeda-beda—sehingga keempat mereka tidak bisa kita senafaskan. Karena itu, setelah memperoleh tugas tersebut saya seolah-olah beroleh kewajiban untuk membicarakan kedudukan “rama-rama dalam susunan tubuh ular sawah”. Saya berharap, supaya saudara ketua dan saudara-saudara yang menyelenggarakan simposion ini jangan salah terima. Ucapan saya ini bukan sebuah olok-olok yang lahir dari sikap yang sinis, atau sebuah cemooh untuk mengecilkan kerja saudara-saudara, tapi adalah ucapan yang sungguh-sungguh yang lahir dari kehendak untuk menjernihkan persoalan yang hendak dikemukakan.

Satu-satunya kemungkinan yang tinggal ialah, mencari maksud sebenarnya dari perumusan tersebut yang dapat kita pakai dalam perbincangan ini. Karena, bukan tidak mungkin bahwa maksud panitia, sebetulnya benar tapi tidak dirumuskan dengan betul. Sekiranya kita coba merumuskan sastra atau kesusastraan menurut contoh-contoh yang sampai sekarang ada, nyatalah, bahwa seni ini adalah seni dan bahwa “kesatuan komunikasinya yang terkecil terdiri dari kalimat yang dibentuk oleh kata-kata”. Kesatuan komunikasi tersebut tidak bisa kita gunakan, baik bagi filem, bagi sandiwara, bagi sandiwara radio. Memang, pada filem, misalnya, kita jumpai suatu bentuk yang dinamakan screenplay, atau pada sebuah sandiwara sebuah cerita drama, tapi kedudukan kedua terakhir ini dalam hubungan mediumnya masing-masing sangat berbeda betul dengan kedudukan sebuah roman atau sajak dalam hubungan kesusastraan.

Hubungan screenplay filem, misalnya, tidaklah lebih dari[pada] hubungan sebuah bagan yang dibuat oleh seorang arsitek untuk mendirikan sebuah gedung yang didirikannya. Biarpun bagan itu terdiri dari garis-garis yang, barangkali, juga kita temui pada seni lukis tapi garis-garis ini di sini bukan merupakan bentuk terakhir dari ciptaan ciptaan seorang arsitek seperti halnya sebuah lukisan adalah bentuk terakhir dari ciptaan seorang pelukis. Demikian juga, biarpun sebuah screenplay mempergunakan kata-kata, tapi ia baru hanya pedoman untuk membuat sebuah filem, bukan begitu halnya dengan hasil sastra. Sebuah sajak bukanlah pedoman untuk menciptakan yang lain. Sebuah sajak adalah sebuah sajak, yang harus dinikmati atau tidak dinikmati sebagaimana adanya. Jadi, biarpun kita mempunyai phenomenon yang disebut orang screenplay, janganlah kita serta-merta ingat kepada sastra karena ia mengutarakan diri dengan kata-kata. Seperti juga kita tidak bergembira karena telah lahir satu bentuk sastra yang baru jika kantor pajak mengirimkan tagihannya kepada kita. Biarpun surat kantor pajak itu juga mempergunakan kata-kata.

Foto: Menno ter Braak

Tapi ada  unsur-unsur dalam kesusastraan yang kemudian kita temui kembali dalam filem, sandiwara atau radio. Unsur itu ialah ‘unsur bercerita’. Seperti seorang pengarang roman atau novel bercerita, maka suatu kombinasi dari penulis skenario dan seorang sutradara filem juga menyampaikan suatu cerita. Sebuah unsur kesusastraan tentu belum lagi dapat disebut kesusastraan, seperti juga halnya garis-garis dan warna belum lagi dapat disebut seni lukis. Karena, menurut hemat saya, hanya pembicaraan dari perbandingan unsur-unsur kesusastraan—dalam hal ini, cerita—yang dapat membawa kita kepada suatu pembicaraan yang bermanfaat, maka tugas itu saya tafsirkan sebagai berikut: yaitu kita akan membicarakan masalah cerita atau penyampaian cerita dalam sandiwara pentas radio dan filem dengan kesusastraan  sebagai titik persoalan.

*

Saudara ketua, sungguhpun perumusan tugas tersebut telah dipemudah begitu rupa, masih juga ada lagi keberatan-keberatan di dalamnya. Yaitu, dalam jumlah medium yang disinggung. Demi kepentingan kejernihan maka kita harus menggambarkan alat-alat pengutaraan setiap medium. Hal ini tidaklah akan dapat dilakukan dalam waktu singkat. Karena itu, menurut hemat saya, akan lebih baik lagi jika dalam pertemuan ini kita bicarakan masalah cerita bukannya dalam hubungan[nya dengan] sandiwara pentas, radio dan filem saja. Saya kira, dengan mengambil satu medium saja kita sudah lebih dari cukup [untuk] mengisi waktu kita yang sangat sempit ini.

Kalau kita selidiki kesusastraan dan kita cari bentuk yang aspek fundamentalnya adalah ‘cerita’ maka kita akan memilih bentuk roman atau novel maupun cerita pendek. Tentu saja, sebuah sajak juga dapat menyampaikan sebuah cerita tapi ‘menyampaikan kisah’ tidaklah dapat dianggap aspek fundamental puisi, apalagi jika  kita ingat puisi moderen. Secara mudah[nya], sebuah cerita dapat dianggap sebagai ‘pengisahan rentetan kejadian menurut terjadinya dalam waktu atau dalam perurutan waktu’. Sebagai cerita, ia hanya mempunyai satu tujuan, yaitu membuat pembaca bertanya: Apa yang terjadi sesudah itu? Sehingga, satu-satunya kesalahan yang dapat diperbuat seorang tukang cerita ialah bercerita begitu rupa sehingga pendengar tidak ingin mengetahui apa yang bakal terjadi selanjutnya. Biarpun kritik ini adalah sebuah kritik yang paling primitif yang dapat dilancarkan terhadap sebuah cerita, tapi unsur ini adalah unsur yang asasi sifatnya yang bisa kita temui dalam setiap novel atau cerita pendek yang baik. Rasa ingin tahu ini, rupanya, adalah suatu sifat fundamental yang kita temui pada manusia umumnya. Ia begitu rupa kerasnya, sehingga diceritakan, bahwa ia telah  dapat menyelamatkan nyawa putri Scheherazade. Putri ini, biarpun ia disebutkan orang [sebagai] seorang tukang cerita yang pandai mempergunakan bunga-bunga kata dan menggambarkan kejadian-kejadian yang menarik, sebetulnya, telah diselamatkan oleh satu-satunya alat kesusastraan yang kuat, yang bahkan dapat menjinakkan orang yang paling liar sekalipun. Alat ini ialah: alat yang menimbulkan rasa ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. jika semalam-malaman ia telah bercerita dan sinar pagi kelihatan di tepi langit, maka tiba-tiba ia berhenti, dan pendengarnya ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya sehingga diundurkanlah pembunuhan-[terhadap]-nya, karena mau mendengar apa yang akan terjadi selanjutnya. Saya kira, inilah salah satu tulang punggung dari kekuatan Cerita Seribu Satu Malam.

Foto: Utuy Tatang Sontani

Tapi cerita, tentu saja, bukan hanya rentetan kejadian dalam waktu. Karena, waktu saja belumlah akan membuat cerita itu berarti. Dalam kehidupan kita sehari-hari, di samping waktu, terdapat lagi apa yang orang katakan nilai, sesuatu yang tidak diukur dengan jam atau pun menit tapi dengan intensitasnya. Kehidupan sehari-hari, praktisnya, terdiri dari dua kehidupan; pertama, kehidupan dalam waktu, dan kehidupan dengan nilai. Cerita mengisahkan kehidupan dalam waktu. Tidak ada pengarang roman yang dapat dikatakan berhasil jika ia mencoba meniadakan unsur waktu. Pengarang Amerika, Gertrude Stein, misalnya, pernha mencoba untuk tidak menghiraukan faktor waktu dan hanya mengemukakan nilai. Saya kira usahanya tidak dapat dikatakan berhasil karena pokok utama yang harus ada pada sebuah cerita tidak ia penuhi sama sekali. Untuk memberikan sebuah contoh singkat dari unsur waktu dan nilai tersebut, saya ambil di bawah ini sebuah nukilan pendek dari roman Utuy Tatang Sontani, Tambera:

       “Dengan sendirinja Gapipo! Dengan sendirinja!” djawab Imbata dengan suara agak menggetah bawang. “Bahkan boleh kau lihat nanti”.

       Hening seketika. Kemudian Lambaru memecah kesunjian dengan perkataan yang demikian bunjinja:

       “Biarlah kita membitjarakan orang Inggeris itu. Memang, dimana-mana ia membawa kerewelan. Sekarang marilah kita menghadapi orang-orang Belanda, jang datang kesini resmi atas nama kepalanja. Kesana pikiran dihadapkan.”

       “Apa pula jang harus kita pikir itu, Lambaru?” tanya Imbata dengan suara seperti biasa lagi.

       “Sebab pada pendapat saja sebagai orang tua, orang-orang Belanda berbeda dengan orang Inggeris jang datangnja berbeda pula dengan orang-orang Spanjol atau orang-orang Portugis jang dulu datang kesini terutama mengemukakan pedangnja kepada bangsa kita. tidakkah orang-orang Belanda itu mengemukakan persahabatan dan hadiah kepadamu? Inilah, perbedaan inilah jang menarik pikiran kita.”

       Belum habis Lambaru berkata, Imbala sudah menjela…” dan seterusnya.

Dalam contoh ini jelas bagaimana rentetan kejadian dikisahkan dalam rentetan waktu. Jika kita boleh memakai gambaran yang lebih plastis maka saya ingin memakai perumpamaan [tentang] sebuah sungai di mana kejadian-kejadian mengalir terus-menerus dari saat ke saat.

*

 Aspek lain dari sebuah novel yang berhubungan dengan pengisahan sebuah cerita ialah aspek dari ‘para pelaku’-nya. Dan, karena umumnya dalam roman-roman yang kita jumpai sebagai pelaku adalah manusia maka dapatlah dikatakan: manusia-manusia dalam cerita. Dalam soal waktu tadi kita bertanya: Apakah yang terjadi selanjutnya? maka dalam dalam soal ‘manusia-manusia dalam cerita’ ini kita bertanya: Atas diri siapakah hal-hal itu terjadi?

Apa yang Kau Cari Palupi (1969), salah satu filem arahan Asrul Sani.

Salah sebuah dari manfaat roman, demikian para pengkritik tertentu menjatakan, ialah karena roman dapat memberikan kepada kita pengalaman-pengalaman dari berbagai manusia. Pengalaman mana tidak dapat kita alami sendiri, semata karena tidak mungkinnya seorang manusia mengalami segala kejadian yang terdapat di dunia ini. Jadi, ia memberikan kepada kita suatu kekayaan yang tidak bisa kita peroleh dengan jalan lain. Buku-buku lain yang membicarakan suatu pengalaman tidak  mungkin akan memberikan efek yang sama kepada kita karena perbedaan dari cara bekerja seorang pengarang roman dan seorang penulis teori ialah, karena yang pertama tidak mengemukakan kepada kita pendapat-pendapat dengan langsung tapi membangunkan bagi kita kembali satu dunia di mana pengalaman-pengalaman itu berlangsung sehingga kita dapat mengukur sendiri apa artinya pengalaman atau kejadian tersebut. Sedangkan yang terakhir hanya memberikan ulasan tentang suatu kejadian. Yang pertama mengadakan appeal-nya terhadap seluruh tubuh, sedangkan yang terakhir, terutama mengadakan appeal-nya terhadap pikiran dan timbangan saja. Tentu saja, tokoh-tokoh yang dilukiskan seorang pengarang tidak usah identik dengan tokoh-tokoh yang kita temui setiap hari. Pertama, karena tokoh seorang pengarang lahir dari penyaksian tokoh itu sendiri dalam kehidupan ditambah dengan sejumlah temperamen yang terdapat dalam diri pengarang. Dan karena tokoh yang dikemukakan dalam sebuah roman adalah tokoh yang lebih lengkap. Dalam kehidupan sehari-hari, suatu perasaan tersembunyi hanya dapat kita arifi jika ia diutarakan dengan lahir. Jika hal ini tidak terjadi, maka tidak akan kita kenali perasaan tersebut. Sedangkan dalam roman, dari seorang tokoh tidak ada yang tersembunyi. Toh, dalam roman-roman yang baik semua tokoh ini dilahirkan dari kehidupan sehari-hari. Dan jika kita mau mempergunakan kata ‘khayalan’ bagi sebuah roman, maka yang ‘khayal’ dalam roman itu bukanlah ceritanya tapi adalah cara [bagaimana] pikiran berkembang menjadi tindakan, suatu cara yang tidak dapat kita lihat dengan mata dalam kehidupan sehari-hari.

Suatu aspek lain dari roman ialah, apa yang orang sebutkan ‘plot’. Ada bermacam-macam perumusan yang diberikan mengenai ‘plot’ ini tapi dalam ceramah ini saya akan memakai pengertian seperti yang dikemukakan oleh Forster [E. M. Forster (1879–1970), pengarang Inggris]. Menurut dia, sebuah plot adalah sebuah pengisahan dari kejadian-kejadian dengan tekanan pada sebab-musabab. Demikian “Baginda mangkat dan permaisuri pin mangkat” adalah sebuah plot. Faktor rentetan waktu dipertahankan tapi pertanyaan kepada sebab lebih menekan di sini. Dari itu, sekiranya dalam soal cerita kita bertanya “sesudah itu apa?” dan dalam soal tokoh-tokoh kita bertanya “siapa” maka mengenai plot ini kita bertanya “mengapa”. Plot menghendaki kecerdasan yang lebih tinggi pada pembacanya dan juga kesanggupan untuk mengingat apa yang telah terjadi. Sebuah plot tidak akan berhasil jika yang membaca sudah lupa sama-sekali apa yang terjadi sebelumnya. Ia harus sanggup menimbulkan pertanyaan dalam dirinya, mengapa kejadian-kejadian sebelumnya itu terjadi.

*

Ketiga aspek yang saya kemukakan di atas tadi aspek-aspek fundamental di atas mana sebuah roman bisa didirikan. Tentu [ada] penambahan terhadap ketiga aspek tersebut: jadi, adanya cerita, waktu dan plot, belum lagi membentuk sebuah hasil yang dapat dianggap hasil seni atau hasil kesusastraan. Ada lagi sesuatu yang belum [ter]masuk tapi yang tidak dapat kita rumuskan. Dalam seni, sering-sering kita harus memajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat memusingkan. Dalam ilmu hitung, misalnya, kita merasa puas jika seorang mengatakan “dua mangga dengan dua mangga bukan sama dengan empat mangga” tapi sama dengan empat mangga ditambah dengan “dan”. “Dan” ini adalah faktor yang tidak kita ketahui tapi ia bersifat menentukan bagi tinggi rendahnya nilai sastra dari sebuah roman. Paling jauh kita hanya dapat mengemukakan kumpulan-kumpulan dari penamaan sifat-sifat yang kita temui dalam roman-roman yang baik, seperti, keaslian fantasi pengarang, kedalaman analisanya, kelincahan tokohnya, irama penulisannya yang sedap dan sebagainya. Pendeknya, dalam hal ini kita sampai pada suatu daerah yang sangat nisbi yang ukuran-ukurannya tidak dapat dipakai secara mutlak bagi setiap roman. Tapi, bagaimanapun juga faktor tambahan ini, ketiga aspek pertama selalu ada dalam sebuah roman. Jadi, mereka adalah tulang punggung dari sebuah phenomenon sastra, yaitu novel. 

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search