In Wawancara
[tab] [tab_item title=”ID”] Terkadang bosan melihat filem-filem yang disajikan bioskop-bioskop kebanyakan. Sebagian besar disebabkan ceritanya yang itu-itu saja. Para pemainnya juga sama. Menghadapi kondisi ini, kehadiran sebuah bioskop alternatif menjadi penting karena menghadirkan ruang tontonan yang berbeda. Di tengah kurangnya ruang menonton alternatif, Kineforum hadir dengan nuansa segar. Di sini, penonton disuguhkan filem-filem dalam dan luar negeri yang berbeda dari filem-filem arus utama, hampir setiap hari. Untuk masuk juga tidak dipungut biaya. Untuk menyingkap bagaiman konsep yang ditawarkan Kineforum, berikut adalah wawancara Jurnal Footage dengan Lisabona Rahman, Direktur Program Kineforum.

Sebenarnya Kineforum itu  di bawah cineplex 21 atau milik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)?
Semua gaji staf dan relawan Kineforum ditanggung DKJ. Begitu juga dengan programnya. Tempatnya diberikan oleh cineplex 21, atas dasar tanggung jawab sosial perusahaan. Tujuannya untuk memberi ruang bagi pendidikan filem.

Di Indonesia sendiri perkembangan bioskop semacam Kineforum ini bagaimana?
Kineforum bukan merupakan satu-satunya tempat alternatif menonton filem-filem berbobot. Ada Kinoki di Yogya, lalu Kineruku di Bandung. Tapi yang menjadi berbeda dari Kineforum adalah, di sini orang bisa nonoton banyak filem berbobot hampir setiap hari. Filem-filemnya juga diprogram dan karena ini cineplex, tempatnya juga enak untuk dikunjungi.

Perlu tidak ada tempat menonton seperti ini?

Buat saya harusnya tempat-tempat seperti ini penting. Jadi semestinya, pemerintah atau lembaga pendidikan memfasilitasi tempat-tempat seperti ini meski tidak seratus persen. Minimal di setiap kota harus ada satu tempat menonton alternatif. Banyak kota di Indonesia bahkan tidak punya bioskop sama sekali. Kalau kita membandingkan dengan Korea, pemerintahnya sengaja membuat bioskop dan memberi insentif bagi filem-filem bukan arus utama untuk diputar di bioskop-bioskop semacam ini. Betul bahwa penontonnya tidak dianggap sebagai penonton potensial bagi pasar filem arus utama, tapi bukan berarti mereka tidak boleh nonton filem dong? Nah, bagi saya, inisiatif seperti ini seharusnya ditiru, diduplikasi sebanyak mungkin, supaya kita nantinya tidak disalahkan ketika ada yang bertanya kenapa kita tidak pernah memberi alternatif di tengah-tengah berjubelnya filem-filem arus utama.

Daerah lain yang memiliki tempat representatif seperti Kineforum ada tidak?

Sejauh ini belum ada. Kinoki misalnya, berasal dari inisiatif pribadi, begitupun Kineruku. Dulu, di Purbalingga sempat ada komunitas bernama cinema lovers community, di mana mereka diberi ruang di aula kantor Bupati untuk memutar filem. Tetapi setelah beberapa waktu, akhirnya tidak perbolehkan lagi dengan alasan ruang kerjanya Bupati tidak boleh digunakan untuk kegiatan yang ‘macam-macam’. Mereka lalu membuat pemutaran filem keliling ke sekolah-sekolah dan komunitas. Mereka juga buat festival filem, tapi tempatnya pindah-pindah.

Prospek Kineforum ke depan seperti apa?
Saya sebenarnya tidak tahu tentang masa depan Kineforum dalam hal kelembagaan. Seandainya DKJ ganti kepengurusan apakah mereka akan meneruskan konsep ini atau tidak? Bayangan saya, sebagai institusi, sebaiknya Kineforum itu independen. Artinya, DKJ bisa saja memberi subsidi setiap tahunnya, tapi tidak seperti sekarang, di mana Kineforum langsung di bawah DKJ. Sebab kalau terus begini, eksistensi Kineforum akan sangat tergantung dengan kepengurusan DKJ. Sejauh ini masih ada konsisitensi, tetapi ke depan saya tidak tahu.

Jadi pemerintah kurang mendukung kehadiran bioskop independen?

Ya, kurang memang. Inisiatif Kineforum sendiri datangnya dari anggota dewan bukan dari pemerintah. Saya rasa pemerintah masih melihat filem sebagai sarana hiburan atau alat kampanye politik.

Apa gagasan mendasar dari Kineforum?
Pada dasarnya Kineforum dibentuk sebagai ruang pendidikan. Asumsinya, kalau penonton mengerti sejarah filem besar, maka ada kemungkinan ia akan punya pertimbangan lain dalam memilih filem. Di Indonesia belum ada ruang seperti ini, yang ada pun merupakan ruang inisiatif individu atau komunitas. Jadi kalau filem-filem di luar arus utama yang dipasarkan di Indonesia susah dilihat, maka penonton bisa melihatnya di Kineforum.

Kapan Kineforum mulai berjalan?
Oktober 2006. Sebelumnya ada art cinema yang merupakan inisiatif komite filem DKJ di masa kepengurusan sebelumnya (2005). Waktu itu mereka bikin pemutaran selama dua minggu dalam sebulan di tempat yang sama.

Ada beda tidak antara Kineforum dengan art cinema?

Terus terang kalau konsepnya saya tidak tahu. Saya berusaha cari dokumen seperti landasan konseptual art cinema tapi tidak ketemu. Yang saya ingat waktu itu saya diundang peluncurannya. Salah satu penggagasnya, Gatot, bilang: “Di Indonesia belum ada bioskop yang memutar filem-filem seni”. Jadi konsep art cinema itu lebih mirip ke ruang pameran, memutar filem-filem yang dianggap kuratornya sebagai ‘filem seni’. Sedangkan Kineforum tidak membatasi diri pada filem-filem seni saja. Kita tidak keberatan memutar filem-filem komersial selama ada keterkaitan dengan tema yang sudah kita rencanakan.

Anda sendiri bilang bukan orang yang biasa dalam bidang program, tantangannya apa?
Ketersediaan filem. Sebagai bioskop terprogram, Kineforum punya kelemahan mendasar yaitu tidak mampu membeli filem. Jadi filem-filem yang bisa kita dapatkan adalah filem-filem yang memang bisa diputar tanpa ada biaya pemutaran atau produsernya mau memutar filemnya dengan sistem bagi hasil. Nah, filem-filem yang  bisa diputar dengan prinsip seperti itu susah sekali didapat. Kalaupun bisa, kami kesulitan juga menyediakan biaya pengiriman filem-filem dari luar negeri. Itu kesulitannya. Di sisi lain, karena keterbatasan-keterbatasan itu, saya juga jadi bisa merintis jalan lain. Saya kemudian bisa berkenalan dengan sisi lain dunia produksi dan distribusi filem bukan arus utama.

Tujuan Kineforum sendiri apa?
Nonton filem itu kan pilihan personal, sama seperti pilihan membaca buku, majalah atau mendengar musik. Nonton  filem seperti itu, apalagi sekarang ada teknologi home video, dvd bajakan. Artinya, orang sudah membentuk seleranya sendiri. Tujuan Kineforum, walaupun tidak bisa memenuhi semua kebutuhan penonton karena begitu beragamnya mereka, setidaknya memberikan perbedaan menonton filem yang ditempatkan dalam suatu konteks program. Lebih dari itu, keinginan kami di sini adalah memberi banyak pilihan kepada penonton untuk menonton filem-filem yang bukan arus utama.

Kineforum tidak mengenakan biaya masuk, grafik penontonnya sendiri bagaimana?
Sangat bergantung pada tema. Januari dan Februari itu sepi, karena biasanya orang baru selesai nonton JIFFest (Jakarta International Film Festival), jadi mereka libur dulu ke bioskop. Maret itu ramai, karena itu satu bulan penuh mengenai sejarah filem Indonesia. Biasanya orang bukan hanya bernostalgia tapi banyak yang ingin tahu filem-filem lama Indonesia itu seperti apa. Bulan puasa Ramadhan juga ramai, entah karena iseng atau numpang tidur, tapi bioskop penuh. Saya juga melihat orang-orang yang datang itu tadinya kebanyakan cuma numpang lewat, kemudian jadi penonton rutin.

Berpengaruh tidak dengan gagasan dan tujuan Kineforum?
Tidak ada masalah. Bagaimana pun, tanggapan publik tidak pernah bisa diprediksi.

Bermasalah tidak dengan jumlah penonton yang tak menentu?
Masalah mendasar sebetulnya efisiensi. Ada biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalankan ruang ini. Artinya, kalau yang datang cuma dua orang tentu akan berbeda dengan 70 orang. Tapi buat saya bukan itu tujuan utamanya. Jadi sedikitnya penonton tidak lantas membuat kita menghentikan program. Meski yang datang menonton hanya satu orang kita tetap menghargai.

Filem seperti apa yang ramai ditonton?

Filem-filem Indonesia. Berbagai genre. Kalau kita hitung indeks penonton, 15 peringkat teratas pasti ditempati oleh filem-filem Indonesia, atau yang ada hubungannya dengan Indonesia.

Program Kineforum selain pemutaran filem?
Program-program lain seperti diskusi dan rangka kerja biasanya dilakukan tapi bukan Kineforum yang menjadi penyelenggara.

Ada tidak gerakan dari para pembuat filem Indonesia untuk membicarakan masalah keberadaan bioskop alternatif kepada pemerintah?
Sebetulnya ada. Tapi tidak terstruktur dengan rapi, dalam arti bukan berbentuk satu kelompok lobi yang solid dan benar-benar konsentrasi dalam mencapai tujuannya.

Perbedaan mendasar antara Indonesia dengan negara-negara lain?
Dari segi penonton, mereka memang memiliki minat tinggi untuk nonton di bioskop terprogram yang biasanya juga memutar filem-filem susah dicari. Di Indonesia masih susah buat seperti ini, karena mudahnya mendapat filem-filem bajakan. Jadi di sini kita tidak punya kebiasaan mengumpulkan orang kecuali mereka yang menjadi bagian dari komunitas. Dari segi pemerintah, negara-negara lain memberi subsidi kepada masyarakat filemnya. Korea misalnya, memberi subsidi 100% ke komite filem untuk membuat dan mendistribusikan filem, termasuk di dalamnya menyelenggarakan bioskop-bioskop terprogram seperti Kineforum. Di Jerman, bioskop-bioskop terprogram diselenggarakan oleh masyarakat perfileman mereka, di mana mereka mendapat subsidi dari pemerintah kotanya masing-masing, karena hal tersebut dianggap sebagai bagian dari kebudayaan kota. Kalau di Jepang, ada Lembaga Swadaya Masyarakat yang disubsidi pemerintah untuk membuat museum filem dan sebagainya. Inisiatifnya beda-beda, tapi hampir semuanya mendapat dukungan dari pemerintah berupa subsidi, tapi orang-orang yang terlibat di dalamnya bekerja secara independen.

[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]
Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search