In Kronik
[tab] [tab_item title=”ID”]

Artikel ini pernah dimuat dalam majalah berbahasa Belanda, Koloniale Studien, Vol. 25/No. 5/1941 yang diberi judul “De vestiging van een Indische Filemindustrie”. Jurnal Footage akan memuat tulisan ini dalam dua artikel berseri.

Pendahuluan

Siapa saja, terutama publik penggemar bioskop, tentu sudah tahu, bahwa akhir-akhir ini filem-filem suara yang berbahasa Melayu meningkat jumlahnya. Yang pasti belum diketahui oleh semua orang ialah, bahwa hampir semua filem ini –dengan beberapa pengecualian yang dibuat di Malaka (Malaysia), The Straits– diproduseri di Hindia, dan bahwa pada waktu ini di Betawi saja tidak kurang dari 6 perusahaan pembuat filem mempunyai studio mereka. Selanjutnya perlu juga diketahui bahwa semua perusahaan ini didirikan oleh orang-orang Cina dan bahwa beberapa diantara mereka telah bertahun-tahun bekerja di bidang ini, yang sama sakali baru untuk pengusaha-pengusaha Cina bersangkutan dan juga untuk seluruh Hindia. Bahkan lama sebelum filem suara berbahasa Melayu dengan judul Pareh (1936, Albert Balink dan Mannus Franken), yang dibuat di Nederland (Belanda) dan filem hiburan berbahasa Melayu berjudul Terang Boelan (1937, Albert Balink) yang dibuat oleh ANIF[1] di ibukota Hindia, diputar di gedung-gedung bioskop. Ini merupakan satu bukti lagi tentang semangat usaha orang-orang Cina, yang tidak gentar memasuki satu bidang, yang sampai belum lama (hari) ini masih gelap sekali bagi mereka dan siap menanggung resikonya secara finansial. Cina-cina ini dengan begitu telah membuka kemungkinan-kemungkinan untuk industri baru. Melihat keadaan sekarang, industri ini telah memberi perspektif-perspektif yang cerah, asal dibina dengan benar-benar dan selalu ditingkatkan. Bagaimana juga, perusahaan-perusahaan baru bermunculan terus disamping yang telah ada.

Terang Boelan (1937)

Terang Boelan (1937)

Apabila hingga kini Betawi menjadi tempat terpilih untuk membangun studio-studio filem, Jawa Timur tidak ketinggalan juga. Berita-berita di surat kabar mengabarkan tentang rencana-rencana persiapan-persiapan yang telah dan sedang dibuat di Malang untuk mendirikan dua perusahaan filem di sana. Bahkan diberitakan tentang adanya maksud untuk melengkapi salah satu dari perusahaan itu dengan sekolah untuk pendidikan artis, dimana para calon ‘bintang-bintang filem’ akan mendapat pendidikannya yang pertama mengenai seni bermain di muka kamera.

Di ibukota Hindia, industri ini boleh bangga sampai mendapat perhatian dari wartawan Eropa, dan laporan mengenai salah satu studio telah dapat dibaca di beberapa majalah dan harian-harian, seperti juga surat kabar Surabaya telah memberitakan tentang rencana-rencana perfileman Jawa Timur dalam kolom-kolomnya.

Berdirinya perusahaan-perusahaan filem Hindia menambah alasan untuk menaruh harapan-harapan baik. Bukankah kemajuan industri baru yang memberi banyak harapan ini mempunyai arti penting pula untuk negeri ini.

Filem Cina Sebagai Faktor Persiapan untuk Industri Filem Hindia

Menarik juga untuk diketahui bahwa terwujudnya bentuk usaha yang untuk di Hindia masih baru ini, sangat dipengaruhi oleh filem-filem yang dibuat di Cina. Sekitar tahun 1924 filem Cina pertama dipertunjukkan di Betawi. Satu sensasi besar untuk penduduk golongan Cina. Kalau tidak salah filem itu merupakan produksi Star Motion Picture Co. di Shanghai dengan judul Seorang Cucu Menyelamatkan Kakeknya (Een Kleinzoon Redt Zijn Grootvader), dimana seorang laki-laki kecil, Tan Djie Tjoen, ikut berperan. Seluruh kota memuji filem ini. Memang dapat dimengerti, sebab dimana tindak laku diatas layar pada pertunjukan filem-filem Amerika dan Eropa sulit dimengerti untuk sebagian besar orang Cina, yakni untuk kategori yang tak bisa bahasa Inggris atau Belanda. Maka sekarang mereka dapat mengikuti jalan filem itu yang dengan sendirinya disertai teks-teks dalam bahasa Cina, disamping bahasa Inggris, merasa tertarik. Maka dari itu, gedung-gedung bioskop di Hindia, yang memutar filem itu diserbu para penonton.

Bioskop Rex Batavia 1940

Bioskop Rex Batavia 1940

Kualitas filem-filem Cina pertama tidak begitu baik, yang bisa dimengerti sebagai produk-produk industri yang baru, yang masih harus meraba-raba dan mencari-cari untuk menemukan jalannya sendiri. Pada masa permulaan kami bahkan pernah melihat filem Cina, dimana pengambilan-pengambilan gambarnya tidak hanya tidak tajam tetapi mengambang dan setelah pertunjukan berakhir kami bertanya-tanya, mengapa filem seperti itu masih dianggap pantas untuk diputar.

Tetapi lambat laun pengambilan-pengambilan gambarnya membaik. Dan ini membawa perubahan pada sikap orang-orang Cina yang suka nonton. Kalau mula-mula orang Cina di negeri ini, terutama Cina peranakan, tertarik pada filem-filem Cina karena hanya ingin tahu, yang sebelumnya bersikap skeptis, kemudian dengan meningkatnya kualitas-kualitas filem Cina, mereka menonton dengan senang hati untuk mencari hiburan, seperti halnya menonton filem-filem Amerika dan Eropa. Hanya satu golongan yakni yang berpendidikan Barat dan terbiasa dengan filem-filem Barat, tidak tertarik pada filem Cina.

Berbagai sebab dapat disebut mengapa filem-filem Cina di Hindia dalam waktu sangat singkat menjadi populer di kalangan kebanyakan orang Cina. Pertama, yang dipertunjukkan menggambarkan keadaan suatu lingkungan yang dikenal benar oleh orang-orang Cina. Kedua, alasan-alasan dan motif tindak laku di atas layar timbul dari pandangan hidup yang menjadi milik mereka. Ketiga, beberapa studio filem tentu saja atas anjuran importir Cina di negeri ini dan melengkapi filem mereka denga teks-teks penjelasan dalam bahasa Melayu sehingga sebagian orang-orang Cina yang hanya bisa berbahasa Melayu juga dapat menikmati filem-filem itu.

Bioskop Rex Batavia 1939

Bioskop Rex Batavia 1939

Terutama teks-teks Melayu sangat penting untuk suksesnya filem-filem Cina (dalam periode filem yang masih “bisu” ini). Para impotir memang benar juga untuk mengusahakan agar filem-filem Cina yang diimpor diberi teks Melayu. Dengan demikian pada waktu itu ada filem-filem Cina dengan teks-teks penjelasan tidak kurang dari tiga bahasa, yakni Cina, Inggris dan Melayu, disamping dengan teks-teks hanya dalam bahasa Cina dan Inggris atau dalam bahasa Cina dan Melayu. Kami mendapat kesan, bahwa filem-filem Cina tanpa teks-teks Melayu tidak mendapat perhatian begitu besar seperti filem-filem yang disertai teks-teks ini. Di sini bahasa Melayu tampak nilainya sebagai bahasa umum di kawasan Nusantara ini. Tentang teks-teks Melayu pada filem-filem Cina kami dapat mengatakan bahwa teks-teks itu dibuat untuk menarik lebih banyak Cina-Cina yang dilahirkan di sini. Jadi tidak begitu dimaksudkan untuk, disamping mereka ini, juga memikat penduduk-penduduk dari golongan lain yang memakai bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan mereka, penalaran ini tidak dapat diterapkan pada filem-filem Amerika –tentu saja dalam zaman “filem-filem bisu” yang dibicarakan disini –yang juga memuat teks-teks penjelasan dalam bahasa Melayu. Dan filem-filem Barat dengan teks-teks bahasa Melayu memang ada. Karena hal terakhir ini kami sulit bisa menerima, bahwa hal itu dilakukan demi penduduk golongan Cina. Maka kami harus menyimpulkan bahwa pada zaman, ketika pelaku-pelaku yang main dalam filem belum tentu dapat menjelaskan sendiri tindak-laku mereka, telah disadari orang pentingnya bahasa Melayu menarik penonton dalam jumlah besar.

Beberapa filem Cina bahkan berhasil mencapai taraf kemajuan sedemikian rupa, sehingga dapat memikat publik berbangsa Eropa. Salah satu diantaranya ialah filem Why Divorce (Mengapa Cerai) (?), yang mendapat resensi baik dari pers Eropa di Semarang. Juga di lain-lain tempat dimana filem-filem ini diputar, gedung-gedung bioskop benar-benar diserbu penonton.

Filem-filem Cina yang kami sebut tadi, semuanya mengambil cerita modern. Lingkungan yang digambarkan filem itu terutama ialah lingkungan keluarga atau rumah tangga. Ia mengisahkan kehidupan keluarga dengan liku-liku yang biasa terjadi di dalamnnya, misalnya konflik antara paham-paham lama, dibawakan oleh orang-orang tua, dan gagasan-gagasan modern, yang diwakili oleh anak-anak mereka.

Tetapi industri filem-filem Cina tidak lama kemudian mengambil cara lain. Ia membuat filem-filem dari cerita-cerita rakyat klasik moden, seperti yang dari abad ke abad dapat bertahan dan masih selalu dibawakan para juru cerita di Cina. Novel-novel ini hampir semuanya panjang dan karenanya kurang cocok untuk seluruhnya digarap di filem. Dari cerita-cerita semacam itu fragmen-fragmen saja yang difilemkan. Demikian bagian-bagian dari misalnya San Kuo (Tiga Kerajaan)[2], Hsi Yu Chi (Perjalanan ke Barat)[3] dan Fengshen (Pengangkatan Menjadi Dewa-dewa)[4] digarap menjadi satu karya filem. Penggarapan fragmen dari San Kuo begitu panjangnya sehingga harus dipotong menjadi dua bagian. Pertunjukan filem itu khusus untuk pers dan para undangan, yang dimulai pagi hari, sampai harus dipotong atau diputus menjelang pertunjukan diteruskan lagi. Cerita-cerita yang lebih pendek sering difilemkan seluruh ceritanya dan filem-filem ini sering sekali dipotong menjadi 2 dan 3 bagian.

Novel Feng Shen

Novel Feng Shen

Jadi pembuatan filem dari cerita-cerita panjang, tanpa menjadikannya apa yang dinamakan filem-filem seri, telah dilakukan di Cina, berahun-tahun sebelum Gone with the Wind[5], filem Amerika terpanjang yang pertama, yang waktu pemutarannya menghabiskan waktu semalam penuh.

Dengan menampilkan pahlawan-pahlawan pria dan wanita dari cerita-cerita rakyat pada layar putih, jumlah pengunjung pada pemutaran filem-filem Cina di Hindia meningkat.

Kebanyakan dari cerita-cerita itu telah diterjemahkan dalam bahasa Melayu oleh dan untuk orang-orang Cina yang dilahirkan di sini. Karena sekarang fragmen-fragmen dari novel ini dapat dilihat di layar perak, maka sudah dimengerti bahwa banyak orang tidak mau membiarkan kesempatan ini, untuk mengagumi keelokan orang-orang yang hidup di zaman dahulu, berlalu bergitu saja.

Penyalin dari cerita-cerita rakyat bersangkutan dalam bahasa Melayu telah membuka jalan pula untuk suksesnya filem-filem Cina. Tetapi di pihak lain, penerjemah dari novel-novel Cina ini dalam bahasa Melayu di Hindia akan menjadi sebab, bahwa, beberapa diantaranya dibuat filem, baik seluruhnya maupun secara fragmentaris. Nampak benar, bahwa dari novel-novel Cina yang dapat dibaca dalam bahasa Melayu hanya yang paling terkenal yang dibuat filem. Sehingga tidak tanpa alasan agaknya kalau orang berpendapat bahwa dalam hal ini para pembuat filem di Shanghai ingin memenuhi selera penggemar-penggemar filem Cina di Hindia dengan membuat filem justru dari cerita-cerita yang paling senang dibaca. Tetapi di lain pihak ada fakta, bahwa cerita-cerita yang kami maksud disini memang sudah selama berabad-abad termahsyur, sehingga dengan sendirinya dalam mencari novel-novel yang baik untuk membuat filem, perhatian orang terutama ditujukan pada cerita-cerita tersebut tadi. Sehingga mengenai cerita-cerita tersohor tidak begitu banyak alasan untuk mengatakan bahwa para produser dipengaruhi oleh para peminat-peminat filem Cina yang tinggal di Hindia, mereka menentukan sendiri pilihan mereka berdasarkan besar kecilnya popularitas cerita-cerita rakyat yang bersangkutan di kalangan rakyat banyak. Pada kategori tertentu, yang kurang menonjol, pendapat seperti itu memang berdasarkan fakta-fakta. Dari pihak tertentu, yang banyak berhubungan denga importir filem-filem Cina di Cina, novel-novel mana yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Melayu, yang harus mereka buat filem untuk juga menarik cina-cina peranakan, yang tidak lagi mengerti bahasa Cina tetapi mempunyai minat besar pada hasil-hasil karya sastra Cina, meskipun melalui terjemahannya, yang mula-mula jelek sekali.

Poster Ouw Peh Tjoa

Dengan demikian kami dapat menyimpulkan, bahwa penterjemahan produk-produk sastra Cina ikut berpengaruh pada pembuatan filem dari novel-novel Cina tertentu. Ini telah terjadi misalnya dengan cerita Ouw Phe Tjoa[6], yang dalam sejarah sastra Cina karena kurang penting biasanya tidak disebut, tetapi di negeri ini di kalangan Cina peranakan sangat terkenal, berkat penyalinannya ke dalam bahasa Melayu. Filem tentang cerita ini begitu panjangnya, sehingga dipotong menjadi tiga bagian. Pemutaran-pemutaran filem ini selalu membuat gedung-gedung bioskop penuh sesak.

Sebaliknya kami mendapatkan kesan juga, bahwa pengaruh pertunjukan dari novel-novel Cina yang belum dapat dibaca dalam bahasa Melayu hampir nihil. Sejauh pengetahuan kami, belum ada cerita Cina yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu sebagai hasil langsung dari filemnya. Novel Hung Lew Meng (Impian di Kamar Merah)[7], yang di Cina tergolong banyak dibaca, pada tahun-tahun pertama berdirinya industri filem Cina juga sudah dapat dilihat di bioskop Hindia, tetapi sampai kini belum ada terjemahannya dalam bahasa Melayu dalam bentuk buku.

Novel Hung Lew Meng

Apakah artinya filem Cina untuk Hindia? Untuk publik pengunjung bioskop ia menyebabkan bahwa mereka belajar mengenal produksi-produksi yang lain dari apa yang dihasilkan Hollywood. Jadi filem Cina membuka jalan bagi filem-filem lain untuk filem lain yang bukan dihasilkan oleh Amerika dan Eropa. Filem-filem Cina mempunyai pengaruh, juga di bidang lain. Impor filem-filem Cina, yang praktis hanya dilakukan oleh orang-orang Cina menambah jumlah barang-barang impor di kawasan ini. Dan ini berarti menggalakkan impor dan mengintensifkan relasi-relasi ekonomi dengan Cina.

Selanjutnya ini membuka lapangan perdagangan baru bagi orang-orang Cina. Dengan suksesnya filem-filem Cina pertama yang diimpor ke sini (Indonesia), jumlah mereka menjadikan filem-filem impor Cina sebagai usaha tetap maupun usaha sampingan, meningkat. Memang di kalangan importir filem Cina di sini terjadi proses yang sama seperti di kalangan perusahaan-perusahaan filem Cina, yakni banyak yang didirikan tetapi juga tidak sedikit yang setelah jalan (memproduksi) sebentar ditutup lagi, tetapi pemasukan filem-filem Cina tetap penting, terutama mengingat fakta bahwa di Betawi dulu dan sampai sekarang masih ada bioskop Cina yang hanya memutar filem-filem Cina. Gejala ini tentu timbul juga di kota-kota besar lainnya di Hindia. Impor filem Cina rupa-rupanya cukup banyak untuk melayani beberapa bioskop yang khusus memutar filem-filem semacam ini.

Perhatian para importir filem Cina terhadap filem-filem Cina mencakup sejak dari bioskop-bioskop yang ada di Hindia sampai ke studio-studio di Cina, yang sebagian besar berada di Shanghai.

Di atas telah kami katakan, bahwa menurut pihak tertentu para produsen telah menerima permintaan-permintaan dari Hindia untuk membuat filem dari cerita-cerita yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan populer di sini. Ini berarti bahwa selera masyarakat Cina di sini mempunyai pengaruh pada pembuatan filem-filem di Cina. Dalam hubungan lebih luas, kami bahkan dapat mengatakan, bahwa Hindia mempengaruhi produksi filem Cina.

Posisi “ikut bicara” ini dari Hindia dalam pembuatan filem-filem Cina menjangkau lebih jauh lagi. Pada waktu itu pada zaman filem-filem bisu yang sekarang telah berakhir, bahkan ada seorang Cina peranakan dari Betawi, yang dalam satu filem, merupakan fragmen dari novel Feng Shen (Pengangkatan Menjadi Dewa-dewa) yang banyak dibaca orang, dan dari novel mana pada tahun 1940 di Sin Po, Betawi, diterbitkan sadurannya dalam bahasa Belanda oleh penulis Nio Joe Lan[8] (…tidak ada lanjutan) Ikut main! Ini menimbulkan sensasi besar, terutama di Betawi, tempat kediaman Cina peranakan bersangkutan. Seorang Cina peranakan yang pernah bertemu dengan anda dan mungkin anda kenal, di layar perak! Orang-orang harus melihatnya!

Arti yang sebenarnya dan yang besar dalam hal ini tidak terletak pada fakta, bahwa Cina-Cina Hindia dapat melihat teman sebangsanya di Hindia di layar perak, meskipun ini sesuatu yang baru, tetapi bahwa Cina-Cina Hindia kini tidak hanya tertarik pada filem-filem Cina sebagai penonton dan sebagai importir (saja), tetapi juga sebagai peserta pada pembuatannya (sutradara).

Kemunculan seorang Cina Hindia dalam filem Cina pasti akan menyadarkan mereka yang berjiwa enerjik, bahwa Cina-Cina yang dilahirkan di Hindia dapat pula memasuki bidang produksi filem.

Dalam filem ini dengan seorang Cina Hindia sebagai salah satu pemainnya, kami melihat pantulan fajar menyingsing untuk industri baru di Hindia, Industri filem.


[1] Algemeen Nederlandsch Indisch Filemsyndicaat (ANIF) adalah perusahaan filem milik Albert Balink yang didirikan tahun 1938. Perusahaan ini banyak membuat filem dokumenter dan filem berita tentang Hindia untuk diputar di Belanda. Salah satu filem dokumenter panjang yang diproduksi ANIF adalah Tanah Sabrang (1938) yang disutradarai oleh Mannus Franken. Februari-Maret 1940, ANIF ditutup.

[2] Novel Tiga Kerajaan (San Kuo) ditulis oleh Lo Kuan-chung pada akhir abad keempat belas yang berlatar pada saat kejatuhan Dinasti Han. Novel ini mengisahkan sejarah seputar runtuhnya Dinasti Han dalam peralihan ke periode tiga kerajaan. Kisah ini mengangkat riwayat tiga serangkai Lauw Pie, Kwan Kong dan Thio Hoei (Liu Bei, Guan Yu dan Zhang Fei) yang oleh masyarakat Tionghoa Indonesia terutama dikenal sebagai dewa Kwan Kong yang dipuja di klenteng-klenteng, serta ahli strategi militer Zhuge Liang (Tjoekat Liang atau Khong Beng), yang dengan kepandaiannya dalam ilmu militer maupun diplomasi sanggup menghadapi tekanan-tekanan dari dua kerajaan tetangga yang lebih besar dan lebih kuat.

[3] Novel Perjalanan ke Barat (Hsi Yu Chi) adalah salah satu dari Empat Novel Klasik Besar sastra Cina. Ditulis kisaran abad ke-16 oleh seseorang yang mengatasnamakan Wu Cheng’en. Novel ini ditulis pada masa Dinasti Ming. Di Indonesia, cerita ini sangat populer dengan judul Monkey King, Sunwukong (Sun Go Kong), Son Goku dalam bahasa Jepang. Mengisahkan pendeta Xuanzang (Tong Sam Tjong) dengan pengiringnya siluman monyet Sun Go Kong, siluman babi Tie Pat Kay (Zhu Bajie), dan siluman air See Tjeng (Sha Wujing) melawat ke India menjemput kitab Tripitaka.

[4] Novel Pengangkatan Menjadi Dewa-dewa (Fengshen Bang, juga dikenal sebagai Fengshen Yanyi) ditulis pada masa Dinasti Ming (1368-1644). Novel klasik Cina abad ke-16 ini pertama kali diterbitkan dalam bentuk buku di kisaran tahun 1550an dengan tebal 100 bab yang mengisahkan masa transisi Dinasti Shang yang mulai menurun dan kebangkitan Dinasti Zhou. Novel ini menghadirkan seluruh dewa-dewa dalam mitologi Tiongkok ikut serta berperang.

[5] Gone With The Wind berdurasi 224 menit yang disutradarai oleh Victor Fleming di tahun 1939. Filem ini mengadaptasi novel Margaret Mitchell dengan judul yang sama yang diterbitkan pertama kali tahun 1936.

[6]  Doea Siloeman Oeler Poeti en Item disutradarai oleh The Teng Chun dan diproduksi oleh perusahaan filem miliknya, Java Industrial Film Company di tahun 1934. Filem ini kemudian bersambung dengan judul Anaknja Siloeman Oeler Poeti di tahun 1936. (Katalog Film Indonesia 1926-2007, JB Kristanto, Penerbit Nalar, Juni 2007, h.4).

[7] Roman Impian Kamar (Istana) Merah berjumlah 120 jilid yang mengisahkan tentang seluk-beluk kebudayaan feodal masyarakat Cina pada akhir Dinasti Manchu (kisaran abad 18).

[8] Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan diedit oleh Nio Joe Lan dengan judul “Feng Shen, de verheffing tot goden”, Berisi 332 halaman dan diterbitkan oleh NV. Handel Mij & Drukkerij ‘Sin Po’ Batavia, 1940.


Pembangunan Industri Filem Hindia (II)


[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]
Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search