In Kronik
[tab] [tab_item title=”ID”] Dikutip dari surat kabar Berita Yudha, 07 Oktober 1976. Tulisan ini merupakan makalah yang disampaikan Misbach Yusa Biran dalam diskusi filem di Taman Ismail Marzuki pada 30 Juli 1976.

Kalau benar pembuatan filem cerita dimulai tahun 1927, maka artinya tepat sepuluh tahun kemudian barulah orang membikin filem yang sanggup membuktikan bahwa usaha pembuatan filem di negeri ini bisa merupakan usaha yang serius, yakni dengan dibuatnya filem Terang Boelan oleh ANIF (Algemeene Ned. Indische Film Syndicat). Karya Albert Balink dan Wong Brothers yang mulai beredar tahun 1938 itu telah berhasil menarik penonton yang berlipat-lipat ganda dari jumlah yang mampu didapat oleh filem buatan dalam negeri sebelumnya. Dan ada yang santer, bahwa dalam peredarannya di Malaya yang dilakukan oleh RKO[1] dalam tempo singkat bisa mengeduk 20.000 dollar Malaysia.

Albert Balink dan Wong Brothers

Albert Balink dan Wong Brothers

Syahdan, sesudah itu muncullah “panen” perusahaan dan produksi yang pertama dalam sejarah filem kita.

Pembuat filem sebelumnya hanya meraba-raba saja apa keinginan penonton, tanpa tahu dengan baik siapa yang hendak mereka capai serta memaklumi kemampuan yang ada pada pembuatnya sendiri. Kemudian Balink dan Wong oleh penasehat mereka, (wartawan) Saeroen, diajak menoleh kepada penonton “tonil”. Kalangan penonton ini dalam belasan tahun terakhir telah membuktikan kemampuan mereka dalam memberikan keuntungan kepada teater, hingga panggung-panggung opera dan tonil bisa hidup makmur dan “anak wayang”-nya mendapat honor yang menyilaukan.

Terang Boelan yang model ceritanya dikutip dari filem serial Amerika, “South Sea”, yang laris di penghujung tahun 30-an itu diberi bumbu resep tonil. Yakni romantik, terbuai dalam alam mimpi, bintang cemerlang, action dan musik yang disajikan dalam tingkat dan selera kalangan bawah. Lagu keroncong yang waktu itu oleh kalangan menengah ke atas dipandang semacam lagu “dangdut” oleh orang sekarang, dimasukkan ke dalamnya. Hasilnya adalah melahirkan “panen” yang dimulai sejak tahun 1940 yang dipengaruhi pula oleh resep Terang Boelan ini, sejak itu pula orang menganggap pentingnya kedudukan bintang filem kita dengan contoh Roekiah dan Raden Mochtar. ANIF berikut Balink menarik diri dari pembuatan filem cerita, karena tidak sesuai dengan policy ANIF. Maka panen ini pun melulu diisi oleh produser Cina. Bidang usaha ini masih belum betul-betul jelas prospeknya, modalnya besar, menuntut keberanian spekulasi yang tinggi. Semua produser memiliki studio sendiri, sebagaimana yang dicontohkan oleh Balink, menangani filem dengan sungguh-sungguh, bukan seperti yang dilakukan oleh orang sebelumnya yang serba gerilya.

Kecuali Wong, yang lain adalah Cina peranakan yang lahir dan besar disini. Wong unggul pengalaman, pengetahuan dan memiliki Roekiah, RD Mochtar, tapi Cina Hoakiau lebih sigap menerjemahkan resep baru ini dengan memboyong orang-orang panggung. Tonil jadi sekarat, yang unggul dalam perlombaan ini adalah The Teng Chun, pemilik “Java Industrial Film” (JIF).

RD Mochtar dan Roekiah

RD Mochtar dan Roekiah

The yang telah mulai sejak tahun 1931 itu memusatkan penghasilannya yang sedikit pada peningkatan sarana teknis dan studio. Di akhir tahun 1935 ia telah menamakan perusahaannya “industri” dan mulai melakukan pembagian tugas dalam penyelenggaraan produksi. Maka ketika resep Balink muncul, ia hanya tinggal tancap gas dan berhasil memboyong tenaga-tenaga teater yang terbaik, eks Dardanella. Dimulai dengan menarik dedengkotnya: Andjar Asmara. Dari 45 produksi yang dihasilkan, Indonesia dalam tahun 1940 -1941, sepertiga terdiri dari produksi JIF, kata The jumlah itu bisa dicapainya semata-mata disebabkan karena ia memiliki tenaga yang produktif.

Iklim pergerakan kemerdekaan yang menghangat saat itu telah merangkul juga filem Indonesia agar dicintai oleh anak negeri dalam rangka meningkatkan kesadaran akan milik sendiri.

Dr. AK Gani, tokoh pergerakan, bahkan terjun main filem untuk mengangkat nama pemain kita di mata kalangan terpelajar yang merasa kurang seronok dengan latar belakang mereka di panggung yang penuh dengan kisah avontuur [petualangan] dan joli [percintaan]. Usaha AK Gani mendapat kecaman pedas, dituduh mengotori nama perjuangan. Tapi usaha pemuda-pemuda pergerakan telah berhasil membantu perfileman. Ada rasa nasionalisme yang membuat filem buatan dalam negeri tiba-tiba mendapat perhatian yang demikian besar hingga mendorong lajunya produksi. Tapi sesaat kemudian, kalangan terpelajar yang kritis itu sudah menuntut filem yang lebih baik. Dan orang filem menyambut perhatian kalangan “gedean” ini dengan menarik pemain dari kalangan terpelajar atau bertitel Raden. Seperti RS Fatimah yang diberitakan sebagai ningrat pertama yang terjun ke filem, atau seperti Ariati yang berpendidikan setingkat MULO. Jalan cerita berkisar di kalangan atas, dalam keluarga bertitel Raden atau tentang mahasiswa. Filem mengambil cerita Njai Dasima dibubuhi subtitle “Moderne Versie”, dalam versi modern ini tidak dimasukkan unsur guna-guna, tidak kampungan seperti cerita aslinya.

Dr. AK Gani

Dr. AK Gani

Di mata penonton bawah, filem yang serba “gedean” ini jadi rada asing dan kalangan atas tambah tajam kritiknya. Pekerja filem jadi kewalahan menghadapi harapan kalangan atas ini. Mereka baru sekali mengenal sarana filem ini dan belum berapa minggu saja datang dari panggung tonil, bidang yang tertinggal jauh perkembangannya dari cabang-cabang seni lainnya. Cerita tonil karya baru yang top adalah seperti Dr. Samsi atau Gagak Solo. Ada dicoba membuat yang berbobot seperti Siti Nurbaya atau karya Parada Harahap Melati van Agam, tapi jadinya kedodoran, tidak menarik perhatian kalangan bawah maupun atas. Maka langkah yang mereka ambil berikutnya adalah menghadapkan diri kepada penonton bawahan saja. Menjelang pembuatan filem terhenti oleh masuknya Jepang, muncul filem-filem yang ceritanya diangkat dari nenek moyang tonil, stambul, cerita 1001 malam. Kejadian ini kita lihat akan kembali berulang dalam sejarah perjalanan filem kita.

Pada suatu masa pendudukan Jepang, semua perusahaan filem ditutup. Yang berdiri cuma Nippon Eiga Sha. Orang filem pindah ke panggung-panggung sandiwara yang subur waktu itu karena dibutuhkan Jepang sebagai alat propaganda. Hanya beberapa saja yang masuk perusahaan filem milik Jepang ini. Filem cerita yang dibuat, beberapa filem pendek dan satu full lenght, tapi contoh sederhana yang lahir di negeri sendiri ini nampaknya menyentak juga: bahwa filem bukan cuma alat hiburan, melainkan sanggup juga menjadi alat pengecepan cita yang penting.

Pada masa perang kemerdekaan, tiba-tiba muncul perhatian besar di kalangan seniman kita terhadap filem. Di Yogya para seniman muda seperti Usmar Ismail, Gayus Siagian dan Djajakusuma bikin kelompok diskusi filem. Kemudian malah dibangun orang pula sekolah filem yang umurnya hanya beberapa bulan karena keadaan rusuh, tapi animo cukup besar.

usmar-ismail-gayus-siagiah-djajakusuma

Usmar Ismail, Gayus Siagian dan Djajakusuma

Di tahun-tahun itu pula di Jakarta ada yang sudah mulai bikin filem. Hasil penjualannya menunjukkan gambaran yang perspektif yang baik bagi pembuatan filem di negeri ini.

Maka ketika keamanan telah pulih, perusahaan-perusaahaan filem segera berbangkitan. Kini produser pribumi mulai turut serta, yakni Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik. Orang Indonesia lagi dirasuk cita-cita dan harapan. Meskipun Djamal pedagang, idealismenya cukup. Apalagi Usmar. Kata Usmar pada pers, ia tidak mempertimbangkan segi komersial, dengan modal bakat dan kemauan ia menciptakan filem nasional. Usmar berharap hasil pertama dari perusahaannya akan dikirim ke festival internasional di Cannes. Dalam pelaksanaannya Usmar tersandung modal dan tuntutan berbagai keterampilan. Hasil peredarannya sendiri tidak mengecewakan, seperti filem Indonesia lainnya yang lebih buruk. Masyarakat butuh hiburan, juga rasa nasionalisme yang meluap ambil bagian penting, ingin lihat buatan negeri sendiri setelah mereka ini. Produksi melonjak dari 24 filem pada tahun 1959 menjadi 40 di tahun berikutnya. Orang sandiwara kembali tersedot. Tenaga bertambah lagi dengan orang daerah yang boyong ke ibukota karena merasa terpanggil untuk membangun Indonesia melalui sarana moderen ini. Tingkat pengetahuan orang sandiwara masih seperti dulu dan orang baru masih nol.

Tahun 1952 mulai kelihatan kejengkelan orang melihat filem Indonesia masih terus saja macam filem sebelum perang. Tidak berkembang, padahal kita sudah dua tahun hidup dalam kemerdekaan penuh.

Penerbitan pers yang juga berkembang pesat dan aktif mengamati filem Indonesia telah memberikan saham yang besar dalam melancarkan kritik-kritik tajam, hanya satu-dua filem saja yang dinilai “bolehlah”, ditolerir. Langkah yang diambil orang filem dalam menanggapi sorotan penonton “gedean” tidak banyak berbeda seperti masa sebelum perang. Menonjolkan pemain terpelajar dan mencoba bicara tinggi yang membuat kedodoran. Filem kurang laku dan pukulan kritik tambah seru, ada yang menulis bahwa filem impor Malaya lebih laku sebab menceritakan hal yang sederhana saja, sedangkan filem kita bertele-tele.

Mau bikin apa lagi? Ya, seperti tempo hari, banting stir kepada penonton bawah saja, kembali dibuat filem “1001 malam” yang nampaknya diilhami oleh filem impor Filipina Juan Tamad. Tipe ini segera menjadi wabah antara tahun 1952-1954.

Si Juan Tamad (1947)

Si Juan Tamad (1947)

Pembuat-pembuat filem yang idealis jadi terjepit. Kesungguhan mereka membuat filem baik dengan menelan biaya Rp. 300.000, disaingi oleh filem-filem buatan produser Cina yang ngebut dengan biaya separuhnya saja. Dalam penjualan mereka bisa tekan harga dan melakukan akrobatik dalam pemasaran. Filem-filem yang berusaha dibuat dengan approach dan selera baik kabur di mata masyarakat terselimut image buruk dari sebagian besar filem dewasa itu. Perhatian hanya datang dari kalangan bawah saja, sedang selera mereka tetap dibikin buruk. Pemburukan ini dibantu pula oleh filem-filem impor Filipina dan Malaya yang mulai merebut pasaran.

Tempat mengadu tidak ada. Organ pemerintah satu-satunya yang berhubungan dengan filem cuma badan sensor. Kongres kebudayaan ke-2 tahun 1951 telah meminta kepada pemerintah untuk turut membantu meningkatkan perfileman nasional. Usul panjang lebar yang antara lain juga disusun oleh Asrul Sani itu hanya sekadar menggerakkan pemerintah memindahkan badan sensor dari Kementerian Dalam Negeri ke Kementerian Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PP & K).

Dr. Huyung alias Enatsu Heitaro, sutradara Antara Bumi dan Langit yang di-ban karena berisi “ciuman pertama di Indonesia” menyerukan perlunya dibuat Undang Undang Perfileman. Tidak bergema, kemudian Djamaluddin Malik dan Usmar mengambil langkah yang lebih kongkrit di tahun 1954, mendirikan PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia).

antara-bumi-dan-langit(1950)

Antara Bumi dan Langit (1950)

Melalui organisasi suara akan bisa lebih keras, di tahun itu juga Walikota Jakarta Soerdiro, dapat diyakinkan untuk mengeluarkan “wajib putar” filem Indonesia di bioskop kelas I. Kemudian Kementerian Perdagangan berhasil pula dimintai tolong untuk membendung masuknya filem Malaya dan Filipina.

Tapi wajib putar pelaksanaannya kurang lancar. Bukan saja ada hambatan-hambatan dari pihak bioskop, tapi juga perlahan-lahan terasa bahwa kadang-kadang filem kita lebih cocok diputar di kelas II. Sementara itu tahu-tahu filem India telah menjadi oposisi yang mengejutkan.

Semula rasanya filem India ini tidak akan bisa berakar di sini, tidak akan seperti filem Filipina atau Malaya yang orangnya sama dengan kita, dibiarkan saja lewat. Setahun setelah ribut-ribut menyetop filem Filipina dan Malaya, orang kalang-kabut pula menyetop filem India. Filem India ternyata telah memenuhi booking bioskop-bioskop kelas II, pasar filem Indonesia.

Berkat desakan PPFI yang menyatakan diancam kebangkrutan serta demonstrasi yang dilancarkan oleh pemain dan pekerja filem akhirnya Menteri Perekonomian setuju untuk menurunkan kuota impor filem India. Berita ini tersebar luas, tapi peraturannya sendiri baru keluar 8 bulan kemudian. Maka dalam masa itu orang berlomba memasukkan filem India. Pada waktu peraturan dikeluarkan, disinyalir di sini sudah ada 200 filem yang menurut perhitungan akan memenuhi bioskop kelas II selama 3 tahun. Sedang di tahun 1956 ini filem Indonesia yang tertumpuk tidak dapat booking ada sekitar 50 filem.

Kalau hanya melihat grafik produksi, maka sejak tahun 1948 memperlihatkan garis yang terus menanjak dengan tajam.

Bioskop Menteng (1950-1960)

Tapi tubuh industri ini tidak sehat. Sebagian besar produksi sejak tahun 1952 adalah dihasilkan oleh freelance producers (tidak memiliki studio) yang memproduksi satu-dua filem lalu mundur. Yang tetap menangani pemasaran dengan tekun adalah produser pemilik studio saja, yang punya kepentingan jauh ke depan. Padahal 5 dari 7 studio yang ada berada di tangan Cina yang lebih banyak ngebut bikin filem kodian yang tidak bisa membantu memperbaiki citra masyarakat, malahan mempersempit wilayah penonton yang bisa dicapai.

Maka ketika justru garis grafik sedang menunjukkan jumlah produksi yang amat tinggi, di gudang tersimpan 50 filem, termasuk Lagi-lagi Krisis karya Usmar.

Kembali didengungkan wajib putar, kali ini dikeluarkan oleh Dewan Film yang dibentuk oleh SK Menteri PP & K pada bulan Maret 1956. Seruan ini tidak memberi akibat yang memadai. Dewan sendiri tidak jelas kekuatannya.

Kini pers filem juga merasa perlu bikin organisasi. Demikian juga pemain dan pekerja filem. Berdiri Perfini (Persatuan Pers Fim Indonesia) dan Parfi, tergabung di situ karyawan dan pemain. PPFI punya teman. Pembentuan Parfi cukup menarik perhatian, hingga Ibu Fatmawati hadir. Banyak usul dan resolusi ditelurkan, tapi tidak membuahi apa-apa.

perfini

Perfini (Persatuan Pers Fim Indonesia)

Langkah lain adalah dimulainya ekspor ke Malaya dengan sitem konsinyasi setahun, pembagian untung 65% pemilik dan 35% pengedar di Malaya. Usaha ini segera diketahui bukan merupakan jalan keluar dalam pemasaran, karena memang sulit mengawasi kejujuran pengedar di negeri orang.

Maka pada awal 1957 PPFI merasa tidak melihat lagi jalan keluar. Kesalahan ditumpahkan kepada pemerintah yang tidak mengubris usul PPFI. Yang terpenting dari usul PPFI tersebut adalah merubah peraturan impor agar tidak merugikan produksi, agar pemerintah membantu meningkatkan kemampuan teknis dan tenaga serta dibuatnya undang-undang perfileman.

Kesalahan yang utama dari peraturan impor, menurut tulisan Gayus Siagian adalah terletak pada kebijaksanaan yang menjadikan filem impor hanya jadi berharga sepertiga saja dari biaya pembuatan filem dalam negeri, hingga secara langsung impor menjadi saingan yang berat.

Tanggapan pemerintah atas usul PPFI barulah pada penurunan kuota impor bagi filem Malaya, Filipina dan India, serta dikeluarkannya izin ekspor. Tapi menurut PPFI penanggulangan itupun tidak cukup membantu. Karena penurunan kuota tidak disertai peraturan screen time quota [waktu putar], hingga meskipun jumlahnya sedikit filem ekspor tersebut tetap saja memenuhi bioskop karena masing-masing diputar dalam waktu yang panjang. Sedang ekspor tetap tidak menarik karena tanpa ada insentif berupa premi ekspor.

Buntunya langkah PPFI tersebut telah melahirkan pernyataan bahwa sejak tanggal 19 maret 1957 ketujuh buah studio yang ada menutup usaha mereka.

Peristiwa di atas segera disusul dengan menghebatnya perang pendapat yang telah dimulai sejak krisis mulai memuncak di akhir 1955, yakni pendapat-pendapat yang simpang-siur yang jarang berdasar pengetahuan yang betul tentang duduk masalahnya. Pendapat dilontarkan dalam nada marah dan bermusuhan.

Suasana semakin keruh. Kesimpang-siuran itu rupanya telah pula membingungkan pemerintah yang masih juga belum matang pengetahuannya mengenai perfileman kita, hingga menjengkelkan Usmar, karena ternyata pemerintah telah pula memungut pendapat-pendapat yang tidak karuan.


[1] RKO (Radio Keith Orpheum) merupakan perusahaan produksi filem Amerika sekaligus menjadi perusahaan distribusi yang berdiri sejak tahun 23 Oktober 1928. Perusahaan ini merupakan salah satu dari lima studio yang berkuasa di masa jaya awal Hollywood. King Kong dan Citizen Kane merupakan dua filem yang diproduksi dan didistribusikannya.
[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search