In Kronik
[tab] [tab_item title=”ID”]

Dikutip dari Madjalah Purnama, No, 17, Tahun I, April 1962, halaman 3

Ketika hendak memulai produksi filem Anak Perawan di Sarang Penyamun, maka Usmar Ismail mengatakan kepada pers, bahwa usahanya itu berarti adalah buat pertama kali sebuah karya sastra dialihkan ke dalam bentuk filem. Anak Perawan di Sarang Penyamun adalah sebuah roman gubahan pujangga Sutan Takdir Alisyahbana yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada awal tahun 1930-an.

Anak Perawan di Sarang Penyamun (1962)

Secara tarikh (perhitungan waktu) tentulah tidak benar keterangan Usmar Ismail tadi. Kalau saja tak keliru, sebelum Perang Dunia ke-2 pernah difilemkan roman “Siti Nurbaya”, gubahan Marah Rusli. Tapi buat zaman sesudah penyerahan kedaulatan pastilah benar keterangan pemimpin perfileman tadi. Secara sekelebatan, keterangan Usmar Ismail itu kedengarannya biasa saja, tapi sesungguhnya di situ terkandung aspek-aspek lain yang lebih mendalam, yang menyangkut kerjasama antara sastrawan dengan sinemawan di negeri kita buat masa yang akan datang.[1]

Tragedy of Othello oleh William Shakespeare

Di studio-studio di luar negeri seperti Hollywood, Pinewood, Cine Citta, Moskwa dan lain sebagainya sudah biasa saja orang memfilemkan sebuah karya kesusastraan, baik yang berbentuk novel maupun lakon sandiwara. Karya-karya pujangga Shakespeare seperti Othello[2], yang difilemkan oleh Moskwa merupakan hasil-hasil yang terpuji sekali. Pemimpin-pemimpin perusahaan filem di Hollywood senantiasa awas di dalam “mencari” novel-novel mana yang sedang laku, merupakan best-seller atau lakon-lakon sandiwara yang sukses di Broadway. Biasanya serta-merta novel dan lakon itu dibeli hak ciptanya buat dijadikan filem. Sebab umumnya novel dan lakon yang suskses menjadi filem yang sukses pula. 

Filem Othello, disutradarai oleh Orson Welles

Demikianlah kita lihat misalnya pengarang James Michener[3], karyanya yang sering difilemkan seperti Sayonara, Cerita dari Pasifik Selatan. Pengarang Truman Capote[4] belum lama berselang melihat novelnya Breakfast at Tiffany’s diperankan di layar putih oleh Audrey Hepburn. Pengarang lakon sandiwara Tennessee William[5] terkenal dengan filem-filem seperti A Streetcar Named Desire, Sweet Bird of Youth, yang baru saja dipertunjukkan di New York dengan Paul Newman dan Geraldine Page. Pengarang Arthur Miller mendapat sambutan baik tidak saja di Broadway, tapi juga di Hollywood dengan lakon Death of a Salesman[6]. Kerjasama antara sastrawan dengan dunia filem itu begitu erat adanya di Hollywood, hingga suatu bentuk penulisan baru dicoba belum lama berselang oleh Arthur Miller, dan bukan sandiwara, melainkan suatu bentuk kompromi berupa novel-screenplay [Usmar menerjemahkan istilah ini menjadi lakon lajar putih] yang berjudul The Misfits[7], berdasarkan filem yang sama dimana bermain almarhun Clark Gable dan Marilyn Monroe. Kerjasama antara sastrawan dengan Sinemawan di Amerika Serikat bersifat menguntungkan secara timbal balik. Pada studio-studio filem ada pertimbangan komersil untuk membeli hak-hak filem sebuah novel lakon. Sebaliknya pihak pengarang memperoleh royality alias honorarium yang dobel, pertama dari penjualan buku kedua dari perusahaan filem.

A Streetcar Named Desire disutradarai oleh Elia Kazan

Dalam pertimbangan Usmar Ismail untuk memfilemkan novel Takdir Alisyahbana tidaklah terdapat aspek-aspek komersil oleh karena buku Takdir tidak terbukti sebagai suatu best-seller, pun masih satu pertanyaan apakah novel itu dikenal secara merata oleh publik. Bahwa Usmar Ismail namun memilih juga buat memfilemkan sebuah karya kesusastraan adalah agaknya disebabkan hasrat hendak merintis sebuah tradisi baru yakni kerjasama yang erat antara para sastrawan dengan industri filem. Ditilik dari sudut pandang ini dapatlah kiranya dikatakan bahwa Usmar Ismail itu suatu usaha pelopor.

Lalu timbul pertanyaan adakah pengertian dan apresiasi demikian di pihak sastrawan Indonesia? Sulit juga untuk mengetahuinya.

Spartacus (1960)

Ada sastrawan yang berpendirian bahwa dia tidaklah menulis untuk filem atau membayangkan kemungkinan karyanya akan difilemkan dikala dia baru mulai menulis sebuah novel atau sebuah lakon sandiwara. Pada waktu itu yang semata-mata dipikirkan hanyalah penulisan novel dan lakon, sedangkan lain-lain pertimbangan tak masuk asi [perhatian]. Dia menulis karena dorongan batiniah yang keras. Inilah pendirian seorang sastrawan sejati. Demikian halnya dengan Howard Fast, yang mengarang novel sejarah Spartacus. Waktu mengisahkan riwayat Jendral kaum budak belian yang berani menantang kekuasaan Imperium Romawi, tidak ada terbayang dimuka mata semangat Howard Fast sebagai aktor seperti Kirk Douglas atau Laurence Oliver[8]. Howard Fast hanyalah keranjingan oleh suatu gagasan yakni menyibak exploitation de l’homme par l’homme[9], menegaskan kepercayaan pokoknya seperti yang tertera di akhir novel: “Dan selama manusia bekerja, dan lain-lain manusia mengambil dan mempergunakan buah hasil daripada mereka yang telah bekerja itu maka nama Spartacus akan diingat, terkadang dibisikkan dan diteriakkan keras dan lantang di lain-lain waktu.”

Maka apabila kemudian novel Spartacus difilemkan oleh Hollywood, maka hal itu berarti hanya tambahan kebahagiaan dan keuntungan bagi Howard Fast. Benar, suatu keuntungan materil yang tak boleh ditampik namun bukanlah hal yang menguasai pikiran si pengarang pada ketika mulai menggubah novel. Demikian juga halnya dengan bekas wartawan New York Times, Allen Drury, yang menulis sebuah novel politik Advise and Consent, yang mengisahkan tentang keadaan di kalangan Senat Amerika Serikat. Novel itu kemudian jadi best-seller, lalu difilemkan dengan Spencer Tracy, Charles Laughton, dan lain-lain.[10] Juga disitu tadinya Allen Drury tidak berpikir untuk menulis bagi “kebutuhan” Hollywood.

Klip Advise and Consent

Sekalipun demikian halnya, namun sastrawan yang juga mesti “hidup” dan tidak bisa dikenyangkan oleh “angan-angan Melayu” belaka, niscaya akan menghargai sekali, bilamana karyanya mendapat tempat dalam rencana produksi filem. Pikirkanlah sejenak honorarium yang diterimanya dari perusahaan filem itu. Dan di Indonesia, di mana novel seorang pengarang belumlah mengenal jumlah peredaran yang banyak, dibandingkan dengan di negeri-negeri Barat dan Uni Sovyet, niscayalah merupakan suatu bantuan besar bagi sastrawan, bilamana karyanya juga difilemkan. Kedudukan ekonominya lalu mendapatkan tambahan kekuatan.

Adalah suatu kenyataan di negeri kita, bahwa jumlah novel yang diterbitkan terbatas sekali. Umumnya, sastrawan kita lebih mahir dan lebih banyak menghasilkan cerita-cerita pendek (cerpen) daripada sebuah karya besar seperti roman. Apa sebabnya? Kalau diikuti keterangan H.B Yassin dalam bukunya “Analisa – Sorotan atas Tjerita Pendek” (terbitan Gunung Agung, 1961), maka ada dua sebab; yakni (1) di Indonesia tak ada pengarang yang bisa hidup dengan pekerjaan mengarang roman, dalam hal ini cerpen lebih cepat memberikan penghasilan; (2) faktor penerbitan jangan pula dilupakan; karena tak ada orang yang mau membaca roman yang panjang, penerbit merasa gentar mencetak barang yang tak laku begitu. Baiklah tidak dipersoalkan dulu hingga keterangan Yassin dapat dibuktikan benar, akan tetapi taruhlah demikian halnya, lalu tidakkah di sini lantas timbul suatu pendapat baru? Tidakkah tradisi yang hendak dirintis oleh Usmar Ismail membuka sebuah prospek baru bagi pengarang novel dan lakon sandiwara? Dalam arti, bahwa kaum sastrawan banyak sedikitnya bisa hidup dengan pekerjaan mengarang roman, apabila mereka mendapat pula honorarium yang pantas dari perusahaan-perusahaan filem yang bersedia memfilemkan karya mereka? Kaum sastrawan jualah yang dapat manjawab.

Aimez-vous-Brahms

Dalam pada itu tentulah kudu dicatat pula, bahwa sastrawan Indonesia jangan sampai mengharapkan yang bukan-bukan dan menyangka, adapun industri filem Indonesia itu merupakan suatu “tambang emas” bagi hasil karyanya. Situasi di sini masih sangat beda dengan di Barat. Pengarang wanita Perancis, Francoise Sagan, menjadi seorang hartawan karena novel-novelnya. Bonjour Tristesse[11] tidak saja dicetak dalam oplah 200 ribu, tapi juga difilemkan. Begitu juga dengan novelnya Aimez-vous Brahms yang difilemkan dengan Inggrid Bergman, Tony Perkins, Tves Montand.[12] Kendati demikian halnya, kendati sastrawan Indonesia belum bisa mencapai situasi seperti pada Francoise Sagan, namun kemungkinan-kemungkinan baru secara ekonomis telah dibukakan baginya. Dan oleh karena itu saya menaruh arti yang lebih banyak daripada yang tampak secercah mata kepada keputusan Usmar Ismail untuk mengalihkan kedalam bentuk filem, sebuah novel Indonesia, Anak Perawan di Sarang Penyamun.

Novel Anak Perawan Disarang Penjamun, terbitan Pustaka Rakyat (1963)


[1] Filem Tjitra (1949) Usmar Ismail berdasarkan novelnya yang berjudul Tjitra yang pertama kali diterbitkan secara berseri di masa pendudukan Jepang. Tahun 50an, skenario filem ini juga telah dibukukan. Di tahun 50-60an juga banyak lakon lajar putih filem Indonesia yang kembali diterbitkan dalam bentuk buku.

[2] The Tragoedy of Othello, The Moore of Venice atau Tragedi Othello, Orang Moor dari Venice adalah novel karya William Shakespeare. Diperkirakan ditulis sekitar tahun 1603 yang berdasarkan cerita pendek Un Italia Capitano Moro yang ditulis oleh Cinthio, murid Boccaccio yang terbit kisaran tahun 1565. Novel ini telah banyak menginspirasi dan diterjemahkan ke berbagai medium seni seperti pertunjukan opera dan balet, komik, hingga lukisan yang dibuat oleh Eugene Delacroix (The Death of Desdemona), Dante Gabriel Rossetti (Desdemona’s Death Song). Novel ini juga diterjemahkan ke dalam bentuk filem sejak tahun 1909 hingga 2008. Orson Welles pernah membuat filemnya di tahun 1952 dengan judul yang sama dengan novel, sedang yang dimaksud oleh Rosihan Anwar dalam tulisan ini adalah filem yang disutradarai oleh Sergei Yutkevich di tahun 1955.

[3] Sepanjang hidupnya, James Albert Michener (3 Februari 1907 – 16 Oktober 1997) telah menulis lebih dari 40 judul. Ia banyak menceritakan kehidupan banyak generasi di lokasi geografis tertentu dan memasukkan fakta-fakta sejarah ke dalam cerita. Michener dikenal sebagai penulis yang kental dengan penelitian yang cermat untuk karya-karyanya. Bukunya yang terkenal antara lain Cerita dari Pasifik Selatan (yang memenangkan Hadiah Pulitzer untuk Fiksi pada tahun 1948).

[4] Nama asli penulis ini yaitu Truman Streckfus Persons. Truman Capote lahir 30 September 1924 dan meninggal pada 25 Agustus 1984. Ia seorang penulis Amerika yang produktif yang banyak menulis cerita pendek, novel, drama, dan nonfiksi. Karyanya seperti Breakfast at Tiffany (1958) pernah diterjemahkan ke dalam filem oleh Blake Edwards tahun 1961 dan novel kriminal sejati In Cold Blood (1966) yang dicap sebagai “novel nonfiksi” telah diterjemahkan ke dalam filem oleh Richard Brooks.

[5] Nama lengkapnya Thomas Lanier “Tennessee” Williams III (26 Maret 1911 – 25 Februari 1983), seorang penulis Amerika yang banyak bekerja sebagai penulis drama di teater-teater Amerika. Ia juga menulis cerita pendek, novel, puisi, esai, skenario dan beberapa memoar. Karir profesionalnya berlangsung dari pertengahan 1930-an sampai kematiannya pada tahun 1983. Salah satu karyanya yang mendapat penghargaan Pulitzer untuk drama yang berjudul A Streetcar Named Desire (1948) juga telah diterjemahkan ke dalam filem oleh Elia Kazan di tahun 1950.

[6] Diterjemahkan ke dalam filem di tahun 1985 oleh salah satu sutradara Sinema Baru Jerman, Volker Schlöndorff.

[7] Di tahun 1961, John Huston menerjemahkannya ke dalam filem dengan judul yang sama.

[8] Filem Spartacus yang dimaksud Rosihan adalah filem yang disutradarai oleh Stanley Kubrick di tahun 1960.

[9] Eksploitasi manusia oleh manusia.

[10] Filem ini disutradarai oleh Otto Preminger. Diproduksi tahun 1961 dan berhasil memenangkan Palem Emas dalam Festival Film Cannes 1962.

[11] Filem ini juga disutradarai oleh Otto Preminger di tahun 1958.

[12] Dalam ini diberi judul Goodbye Again yang disutradarai oleh Anatole Litvak tahun 1961.

[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]
Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search