In Artikel

Pengantar
Di ranah film studies (kajian filem), perihal pembacaan terhadap filem mengalami perluasan konteks. Hal ini mengandaikan bahwa filem tidak lagi sekadar dimaknai sebagai dokumen estetika belaka, tetapi bisa diperluas sebagai dokumen sosial. Meskipun estetika sendiri sebenarnya juga mengandaikan pantulan sosial-kultural yang melingkupi praktik pemaknaan, filem sebagai sebuah dokumen sosial membawa perluasan perbincangan yang bisa melibatkan pembacaan dari bidang sosial lainnya, dengan harapan bahwa perbincangan mengenai filem bisa melibatkan publik studi yang juga lebih luas. Bisa jadi, dalam perkembangan kultur produksi filem di Indonesia belakangan, kepekaan terhadap isu-isu sosial dan politik memang menjadi keinsyafan yang lebih dominan ketimbang berangkat dari isu-isu estetika. Dalam edisi yang diterbitkan Jurnal Footage kali ini, kami menghadirkan tulisan tentang filem yang berangkat dari studi sosiologis terkait hal naratif dalam karya yang diulas. Ketermuatan tema dalam tulisan ini juga sehubungan dengan usaha memperluas publik sidang para penulis filem Jurnal Footage sendiri.


Filem Turah (2016) karya Wicaksono Wisnu Legowo menceritakan keseharian masyarakat yang tersisihkan dari persaingan kehidupan di Kampung Tirang, Tegal, Jawa Tengah. Sesuai dengan tempat yang dipilih, Wisnu menggunakan Bahasa Jawa dengan dialek Tegal sebagai bahasa tutur utama dalam filem ini. Bahasa Jawa dengan dialek Tegal—ngapak—dalam budaya populer Indonesia—misalnya tayangan televisi—senantiasa diidentikkan dengan kesan “kampungan”, bahasa kelas bawah. Karenanya, tak jarang bahasa tersebut dianggap lucu, bahkan kerap dijadikan ciri khas dari para pelawak beken Indonesia. Sebut saja dalam berbagai filem Warkop DKI, penggemar setianya tentu mafhum siapa yang bicara “Bocah ora ana pendidikane… Blabar pisan!”. Predikat “lucu” untuk Kasino, begitu juga Dono dan Indro, rasanya sulit dilepaskan dari konteks bahasa apa yang mereka gunakan. Dalam Turah, salah satu filem yang mendapat sambutan baik di kalangan kritikus dan pengamat filem Indonesia ini,[1] kesan tersebut sama sekali hilang. Bahasa Jawa dialek Tegal, “hanya” menjadi bahasa Jawa dengan dialek Tegal, tanpa embel-embel “kampungan”.

Salah satu cuplikan dalam filem Turah (2016) karya Wicaksono Wisnu Legowo: Generator listrik dan lampu pijar menjadi properti sekaligus penanda babak cerita di dalam filem.

Saya tertegun saat mengetahui bahwa naskah yang ditulis oleh Wisnu ternyata berbahasa Indonesia. Wisnu menyerahkan seluruh proses pengalihbahasaannya kepada para aktor. Pilihan yang barang tentu telah dipikirkan matang-matang jika kita lihat bagaimana para aktor—yang memang merupakan masyarakat sekitar dan pemain teater asal Tegal—secara lihai mengoper-oper dialog tanpa terpeleset. Penggunaan dialek Tegal membuat persoalan-persoalan yang diangkat Wisnu menjadi sangat luwes ketika diejawantahkan ke dalam bahasa filem. Filem menjadi tak terlepas konteks sosial-politiknya dari Kampung Tirang. Berbagai elemen sinema, seperti keaktoran, gerak tubuh, dan dialog, benar-benar dioptimalkan oleh Wisnu yang mampu melihat potensi ruang dan aktor-aktornya.

Kemiskinan sebagai Bentuk Kejahatan Negara

Filem menyambut penonton dengan kamera yang merekam lanskap sungai yang membelah Kampung Tirang dan wilayah di seberangnya pada senja hari, bersamanya terdengar nyaring suara pengumuman kabar duka kematian seorang anak dari salah satu warga: Slamet (9 tahun). Kemudian, adegan berlanjut ke suasana pemakamannya yang tak terlalu ramai. Permulaan yang seolah secara kentara ingin mengatakan bahwa filem ini bertemakan kemiskinan dan kesedihan. Berkaitan dengan hal tersebut, tentu sebagian besar dari kita merupakan khalayak yang rutin terpapar tayangan tentang kesedihan masyarakat miskin melalui konstruksi audiovisual dari televisi. Pada pertengahan 2005, survei Nielsen Media Research menunjukan bahwa acara bermodel reality show tentang kemiskinan menempati rating tertinggi. Artinya, kita dapat dikategorikan sebagai penonton kawakan tayangan audiovisual yang menguras air mata.[2] Setelah adegan pembuka, tokoh-tokoh mulai dikenalkan, konflik-konflik bermunculan, hingga dengan tiba-tiba filem ditutup secara sekonyong-konyong oleh Wisnu. Impresi pertama atas adegan pembuka—yang awalnya tampak menyedihkan—lantas menyisakan dahi mengernyit. Turah, menurut saya, berhasil menjadi filem bertema kemiskinan yang keluar dari jebakan adegan penderitaan dan tetesan air mata secara berlebihan, tanpa kesulitan menyampaikan pesan kepada para penontonnya.

Dalam salah satu kegiatan diskusi pada rangkaian kegiatan Akademi ARKIPEL (Januari 2017) yang lalu, Wisnu berujar bahwa Turah tidak ingin terlalu cerewet, bahkan cenderung menghindari upaya merangkum pelbagai permasalahan dari aspek ekonomi, sosial, dan politik menjadi satu filem. Namun, apabila kita tilik lebih jauh, kita dapat menjumpai tanda-tanda berserakan yang mengarah ke sana. Begitu banyak unsur-unsur kritis yang hadir dalam Turah. Keputusan mengangkat tema kemiskinan itu sendiri sebenarya dapat pula kita lihat sebagai sebentuk kritisisme juga. Dapat kita pertanyakan kemudian: sejauh mana tema ini didalami oleh Wisnu? Dalam filem ini, setidaknya tercatat beberapa hal yang menarik untuk didiskusikan: kejahatan, peran negara, dan sikap politik.

Kampung Tirang dalam Turah—sesuai lokasi sebenarnya—hanya berjarak sekitar 2,5 kilometer dari pusat Kota Tegal. Namun, kedekatannya dengan pusat kota tidak serta merta membuat warga Kampung Tirang dapat merasakan kemajuan teknologi. Satu-satunya cara untuk menggapai Kampung Tirang hanyalah dengan mengayuh gethek—rakit. Rumah-rumah warga yang bermaterialkan kayu dan bambu juga berdiri langsung di atas tanah. Dengan letaknya di pinggir laut, warga Kampung Tirang selalu menghadapi ancaman banjir rob pada musim tertentu. Hingga kini, tidak ada sejaras kabel pun yang mengalirkan listrik (secara resmi) dari kota.[3]

Keesokan hari setelah pemakaman, kamera berjalan-jalan menyusuri muara sungai menyapa anak-anak yang melompat dan berenang selagi perahu nelayan melintas dengan berlatar belakang tembok pembatas di seberang sungai (setelah diperiksa, tembok itu ternyata Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, salah satu pusat ekonomi pesisir di Tegal). Selepas itu, tanpa berbasa-basi, Wisnu langsung melancarkan naluri kritisnya soal kemiskinan di Kampung Tirang melalui percakapan Kanti (Narti Diono)—istri Turah—dan petugas sensus dari kecamatan. Kanti yang melongok dari jendela bertanya sesaat sebelum petugas pergi, kurang lebih terjemahannya sebagai berikut, “Sebentar, Pak. Saya mau tanya. Ini, kan kita sering didata, ya, Pak setiap akan dihelat Pilkada (pemilihan kepala daerah—red). Dijanjikan akan dialirkan listrik, dialirkan air bersih, dan apa. Tapi sampai saat ini tidak ada yang terwujud, Pak. Itu bagaimana, Pak?” Petugas hanya menggeleng-geleng sembari menjawab, “Saya tidak tahu. Itu bukan pekerjaan saya.” Selepas itu, mereka lantas angkat kaki dari frame.

Salah satu cuplikan dalam filem Turah (2016) karya Wicaksono Wisnu Legowo: Turah dan Jadag bergunjing tentang Darso dan status kepemilikan tanah di Kampung Tirang.

Di adegan lain, Jadag (Slamet Ambari) mempertanyakan tentang status tanah yang telah warga Kampung Tirang tinggali selama belasan tahun pada Turah (Ubaidillah). Ia mempermasalahkan status tanah yang mereka tempati, yang diklaim sebagai milik keluarga Darso. Padahal, menurutnya, apabila tanah itu adalah tanah timbul, maka tanah itu seharusnya milik pemerintah. Sebelumnya, Turah merespon Jadag yang mempersoalkan upahnya yang tak kunjung naik, padahal ia sudah bekerja belasan tahun kepada Darso. Menurut Turah, sudah sewajarnya Darso sebagai pemilik tanah yang mempekerjakan mereka menjadi penentu besaran upah yang diterima.

Lantas, apa kaitan sepenggal dialog-dialog tersebut dengan kejahatan dan peran negara dan sikap politik yang ditulis sebelumnya? Dalam kajian kriminologi, kita dapat menggunakan salah satu pendapat Mustofa sebagai pandangan yang cukup relevan dengan konteks filem, yakni “dalam mendefinisikan kejahatan seharusnya bertolak dari kerugian yang dialami oleh subjek korban.”[4] Gagasan ini menjadi relevan karena sutradara dalam posisi ini memegang peranan sebagai pihak yang membuat definisi pelaku, korban, dan kejahatan. Melalui salah satu elemen sinemanya, yakni tokoh Jadag, Wisnu menempatkan warga sebagai pihak yang dirugikan. Artinya, Wisnu menginginkan kita melihat penduduk Kampung Tirang sebagai korban (kejahatan) dari kondisi yang berada di luar jangkauan mereka.

Dalam Turah, negara tak mampu menyediakan hak-hak mendasar bagi warga Kampung Tirang. Dengan kata lain, negara melakukan pembiaran atas kondisi warganya yang terus berada dalam ketidakberdayaan dan kesulitan—miskin. Asumsinya, situasi ini telah terjadi dalam tempo yang tak sebentar. Kembali menyitir argumen Jadag, paling tidak kondisi ini sudah berlangsung lebih dari dua periode pemerintahan. Konteks periode ini didukung dengan kehadiran petugas sensus untuk Pilkada di awal filem. Dalam hal ini, apa yang dimaksud dengan “kejahatan”, atau apa kaitannya dengan “peran negara”?

Visual Kemiskinan yang Tidak Miskin Bahasa

Sebelum pembahasan dilanjutkan, kita terlebih dahulu perlu mengamati sajian-sajian visual dalam Turah. Meskipun aspek dialog memegang porsi yang cukup signifikan dalam penyampaian pesan Turah, bagaimanapun filem ialah perihal estetika visual yang terukur.[5] Percakapan Kanti tentang listrik dan air barangkali akan menjadi dialog sambil lalu saja apabila tidak disertai visual yang mendukungnya. Menurut saya, Wisnu secara konsisten telah secara baik menghadirkan kebutuhan tersebut. Wisnu tidak kesulitan merangkai gambar-gambar untuk menghadirkan situasi keterbatasan air dan listrik. Bahkan, alih-alih berpanjang dialog, Wisnu justru memilih bermain-main dengan ember, jeriken, lentera, dan generator listrik dalam karyanya.

Visual yang dipilih Wisnu sebagai halaman judul filem sudah memperlihatkan kesadarannya akan potensi subjek, objek, dan ruang di Kampung Tirang. Intensinya untuk mengatakan pada kita bahwa listrik begitu langka di Kampung Tirang dilakukannya dengan cerdik ketika ia memosisikan sungai dan memasukkannya ke dalam frame. Sungai digunakan Wisnu untuk membelah dua wilayah yang seolah lain peradaban. Di sisi kiri (perspektif penonton) tampak bangunan Pelabuhan Tegalsari yang terang-benderang, sedangkan di sisi kanan, tak lain adalah Kampung Tirang yang gelap gulita. Menegaskan hajatnya, beralih gambar, ia pun menghadirkan remang lentera beriringan suara generator dan lampu pijar yang berangsur menerang. Guna menepis dugaan bahwa situasi ini hanya kebetulan belaka atau mati listrik, visual dengan tema yang sama secara konsisten terus-menerus dihadirkan sutradara beberapa kali sampai filem berakhir. Tak kurang ada empat adegan lagi yang melibatkan Turah, lentera, dan generator setiap menjelang malam, ditambah beberapa situasi di dalam rumah masing-masing warga dengan lampu pijar yang menerang dan meremang. Bahkan, terang-remang-matinya lampu pijar ini juga ia gunakan sebagai tanda untuk menyampaikan bagaimana alur filem berlangsung.

Salah satu cuplikan dalam filem Turah (2016) karya Wicaksono Wisnu Legowo: Kanti berbicara dengan petugas sensus.

Dalam mengritik persoalan air bersih, upaya Wisnu agaknya terkesan tak sedalam galian visualnya terkait persoalan-persoalan lainnya yang ia bingkai dalam Turah. Tapi perlu dipahami, dalam rangka meruntuhkan kesan itu, dalam pandangan saya, Wisnu justru memang tak serta merta menghadirkan air bersih secara eksplisit sebagai suatu persoalan sebagaimana generator dihadirkan untuk menciptakan listrik, menggantikan peran negara. Memang, terdapat dialog dan visual yang benar-benar gamblang mengatakan bahwa air bersih menjadi masalah, misalnya dialog antara Sulis (Siti Khalimatus Sadiyah) dan Turah, yang membicarakan air bersih yang sudah datang ke Kampung Tirang; juga ada percakapan antara Darso (Yono Daryono) dan Pakel (Rudi Iteng) terkait pipa-pipa yang dibangun untuk mengalirkan air bersih. Namun, kemunculan visual lainnya tak terlalu linear diarahkan ke sana. Mereka lebih seperti potongan-potongan gambar yang baru dapat dipahami apabila kita jahit dengan konteks filem yang lebih luas.

Sebut saja, adegan anak-anak bermain sepeda air, melompat, dan berenang di muara sungai. Mereka hanya akan menjadi gambar sepintas lewat jika tak kita kaitkan dengan visual-visual dalam adegan lain. Warna air muara sungai yang keruh kehitaman baru dapat dibaca sebagai masalah jika kita kaitkan dengan visual dari adegan seorang perempuan berjilbab yang menampung air hujan menggunakan ember-ember. Seandainya saja Wisnu menampilkan gambar pengerjaan pipa air, barangkali kesan yang akan dihasilkan malah akan sangat berbeda, misalnya “sudah ada akses air, namun belum beroperasi”. Menampilkan adegan menampung air hujan merupakan pilihan yang cermat terhadap konteks lokal Kampung Tirang—dan kebanyakan kampung-kampung miskin lainnya. Lagi-lagi Wisnu sangat mengoptimalkan elemen-elemen sinema (dalam hal ini: visual) dengan mengikatkan tubuh filem pada konteks sosial politik Kampung Tirang. Dengan keberadaan contoh-contoh visual di atas, boleh dibilang aspek dialog yang menyertainya seakan menjadi tak terlalu dibutuhkan. Visual-visual yang tersaji sesungguhnya telah memiliki potensi metaforis tersendiri. Kritik-kritik yang ingin disampaikan pada akhirnya tetap dapat dipahami.

Kontekstualisasi Skenario Turah terhadap Masalah Kejahatan dan Peran Negara

Kembali pada pembahasan terkait kejahatan dan peran negara, perlu diingat bahwa situasi dan kondisi kesulitan akses atas air dan listrik ini sudah terjadi belasan tahun. Artinya, terdapat pembiaran oleh negara. Kajian kriminologi kritis menekankan bahwa kejahatan terjadi karena adanya suatu kekuatan yang mengakibatkan adanya ketimpangan kekuasaan secara struktural.[6] Barak (1991) berpendapat bahwa apabila terjadi tindakan pembiaran oleh negara yang menyebabkan sekelompok orang mengalami kerugian secara ekonomi, sosial, dan politik (termasuk juga, saya tambahkan, secara psikologis) sebagai dampak dari kebijakan yang tidak adil, maka negara dalam hal ini telah melakukan sebuah kejahatan—crime by the state.[7] Ide tentang ke-(tidak)-hadiran negara dalam konteks Turah ditangkap melalui tanda-tanda yang dihadirkan sutradara lewat peng-skenario-an yang apik. Terutama ialah signifikansi para tokoh, yakni petugas sensus, kepolisian, pemilik tanah, dan seorang sarjana. Atau, secara spesifik, ialah dalam konteks pemilik tanah (Darso) dan si sarjana (Pakel), sebagai penguasa (lahan dan pengetahuan).

Secara normatif, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutkan beberapa instrumen kebutuhan dasar untuk menjamin kualitas hidup yang wajib dipenuhi oleh negara dalam skala makro, antara lain akses pangan (termasuk air bersih), akses energi (termasuk listrik), akses kesehatan, dan keselamatan transportasi.[8] Dalam rangkaian adegan Turah yang dilihat melalui bingkai isu kejahatan dan peran negara, teruntuk kebutuhan dasar yang pertama dan kedua, secara konstan diperlihatkan bahwa negara tidak hadir—melakukan (tindakan kejahatan berupa) tindakan pembiaran.

Terkait hal itu, bagian yang saya kira penting untuk dicermati adalah tokoh Darso—tuan tanah. Bagaimana ia sebagai “penguasa lahan” memiliki kekuatan untuk menentukan akan seperti apa nasib warga Kampung Tirang: “Gung, Katakan pada Pakel. Mulai saat ini tidak usah mengirim apa pun lagi ke Kampung Tirang. Hentikan semuanya!” Pakel merupakan tokoh kelas menengah perkotaan dengan titel sarjana yang datang ke Kampung Tirang sebagai orang kepercayaan Darso. Agaknya, Wisnu juga hendak mengkritik bagaimana tindak-tanduk kaum intelektual (para sarjana, termasuk juga mahasiswa) yang menganggap diri mereka seakan-akan adalah pihak yang mengetahui berbagai hal, dan karenanya bersikap sok tahu serta angkuh. Kita ambil contoh bagaimana gestur Pakel ketika menyombongkan dirinya yang merupakan sarjana dan reaksi ekspresif yang muncul pada Jadag ketika ia direndahkan karena dirinya “Sekolah Dasar saja tidak lulus”. Pakel sebagai intelektual diperlihatkan sama sekali tidak memikirkan apalagi memedulikan nasib rakyat miskin di Kampung Tirang. Pakel, sebagai sarjana, malah menjilat raja-raja kecil (dalam hal ini: Darso) demi keuntungannya sendiri.

Salah satu cuplikan dalam filem (2016) karya Wicaksono Wisnu Legowo: Darso marah dan mengancam akan menghentikan pasokan energi, seperti energi listrik, ke Kampung Tirang.

Kembali ke Darso, si “penguasa lahan” yang ditempati warga Kampung Tirang. Sebagai timbal balik karena warga diperbolehkan menempati wilayah kekuasaannya, warga kemudian bekerja pada Darso. Dalam filem diceritakan bahwa ia menjadi “pusat sumber” penghidupan warga. Warga akhirnya menjadi amat bergantung (sekaligus tunduk) padanya, kecuali Jadag. Hal ini dapat kita temui secara konsisten di banyak gestur-gestur dari para tokoh yang membungkukkan tubuhnya, termasuk perbedaan antara gestur Jadag dan warga lainnya. Tanda yang sama pula ditemui dalam penggunaan bahasa tutur antartokoh.

Salah satu cuplikan dalam filem Turah (2016) karya Wicaksono Wisnu Legowo: Turah dan Jadag menguburkan mayat bayi yang ditemukan mengapung di rawa.

Adegan lain yang menampakkan tanda-tanda kritik Wisnu adalah penemuan mayat bayi oleh Turah di muara sungai yang kemudian dilanjutkan adegan penguburan. Panjang tiap-tiap makam yang ada di area pemakaman tersebut hampir seukuran. Hal ini mengarah pada dugaan bahwa hampir semua yang dimakamkan adalah bayi dan anak-anak. Bayi diwakili oleh mayat tersebut, sedangkan anak-anak diwakili oleh Slamet. Seperti dialek Tegal, bayi tetap menjadi bayi, Slamet tetap menjadi anak-anak. Wisnu tidak dengan berlebihan melakukan simbolisasi, melainkan memberikan tanda-tanda. Jika dicermati, lokasi makam Slamet yang muncul di adegan pembuka sama persis dengan lokasi penguburan mayat bayi. Tandanya adalah buah kelapa hijau yang diletakan di atas makam. Maka argumen bahwa bayi dan anak-anak yang dimakamkan memiliki justifikasi.

Mau tak mau pada konteks ini, dialog menjadi perlu dibahas untuk memeriksa apakah dugaan tadi masih dapat dipertanggungjawabkan dan menjawab apa kaitannya dengan peran negara. Pertanyaan-pertanyaan yang kemudian muncul dalam benak kita sebenarnya terrepresentasikan oleh wartawan yang mewawancarai Jadag. Kedua wartawan menanyakan apa upaya yang dilakukan oleh warga untuk merespon penemuan mayat yang sering terjadi secara berulang itu. Dengan begitu lugas, Jadag menjawab bahwa kejadian tersebut sudah sangat biasa, polisi yang datang dan berpatroli saja yang tak mampu memberi pengaruh apa-apa. Percakapan ini—jika disadari—sebelumnya sudah ditandai kemunculannya oleh gestur Turah yang menyapu pemakaman ketika adegan Slamet dimakamkan. Rangkaian-rangkaian adegan yang menampilkan gestur, visual, dan dialog yang tersajikan oleh tangkapan kamera dalam Turah dimontasekan dengan sangat ketat oleh Wisnu. Hal ini berkonsekuensi pada kontruksi naratif yang kuat sehingga menghadirkan logika bangunan filem yang utuh.

Susunan peristiwa tersebut kemudian memunculkan pertanyaan, bagaimana mungkin penemuan mayat menjadi “hal biasa” di Kampung Tirang? Bukankah kasus penemuan mayat semestinya menjadi suatu yang tak lumrah? Maka, kembalilah kita pada konteks kemiskinan yang menjadi tema Turah. Bisa saja situasi yang diceritakan filem ini memunculkan hipotesis: kemiskinan berkaitan dengan angka kematian bayi. Misalnya, mendiskusikan kaitan antara kemiskinan sebagai faktor hulu yang menyebabkan gizi buruk pada calon ibu sehingga menyebabkan bayi mengalami kelainan sejak dalam kandungan, sehingga terlahir tak normal bahkan meninggal (berkaitan dengan kebutuhan dasar ketiga: akses kesehatan). Namun agaknya pembuktian hipotesis ini tak dapat diselesaikan lantaran keterbatasan teori yang digunakan dalam tulisan ini.

Salah satu cuplikan dalam filem Turah (2016) karya Wicaksono Wisnu Legowo: Turah memberitahukan kabar kepada tetangganya yang seorang tua renta, bahwa dokter tidak jadi datang.

Slamet, yang rupanya tak terwujud selain dalam bentuk makam, memegang peran besar di isu ini. Meskipun ia hanya “divisualisasikan” melalui percakapan-percakapan dan layang-layang, ia justru menjadi benang merah antara kemiskinan dan aspek akses kesehatan. Misalnya, percakapan antara Turah dan Kanti tentang Slamet yang merengek dibuatkan layang-layang, namun setelah dibuat, layang-layang itu tak pernah ia terbangkan. Ia hanya berkeliling Kampung Tirang untuk memamerkannya pada teman-teman. Sebuah kebanggaan memiliki layang-layang tentu tak sepadan disandingkan dengan kebanggaan memiliki gawai model baru, namun itu cukup bagi Slamet untuk merasakan suka cita.

Slamet berkalang tanah setelah mengalami demam tinggi dan terlambat dibawa ke dokter. Cerita versi Kanti pada Turah ini kembali teringat, karena memiliki korelasi, ketika percakapan Turah dengan Nenek Sulis (Aminah): “Nek, dokter tidak jadi datang sore ini…” Jika muncul pertanyaan “Dokter yang mana?”, jawabannya “Dokter yang dijanjikan Pakel”. Jika muncul keheranan “Mengapa tidak jadi datang?”, ingatlah reaksi yang muncul atas perilaku Jadag pada Darso yang tercermin dalam percakapan Darso dengan Agung (M. Ilham Maulana) tentang “kiriman”. Ini menunjukkan kepiawaian si sutradara dalam meramu skenario yang syarat dengan pandangan kritis. Kritisisme Wisnu pada aspek kesehatan dijawabnya dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan pada benak kita sebagai penonton.

Sementara itu, untuk aspek kebutuhan dasar yang terakhir yang disebutkan YLKI (yakni akses keselamatan transportasi), Wisnu tak memperlihatkannya melalui dialog-dialog sebagaimana artikulasinya mengenai ketiga aspek lainnya. Terkait persoalan akses keselamatan transportasi itu, secara kasat mata perkara ini telah tervisualisasi dengan jelas: wilayah yang terisolir di balik sungai dan rakit yang merepresentasikan betapa terbatasnya fasilitas transportasi bagi warga Kampung Tirang.

Turah sebagai “Miniatur Negara”

Persoalan-persoalan terkait keempat aspek kebutuhan dasar yang terjadi dalam Turah juga dapat kita lihat secara umum terjadi di Indonesia. Ketahanan pangan, krisis energi khususnya listrik, akses kesehatan, dan keselamatan transportasi masih menjadi masalah yang belum dapat diselesaikan. Laporan Kinerja Badan Ketahanan Pangan Tahun 2016 menunjukan masih beragamnya persoalan yang belum mampu diselesaikan oleh negara, mulai dari aspek ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, konsumsi pangan hingga kinerja dari Kelembagaan dan Manajemen Ketahanan Pangan yang tidak berjalan secara maksimal.[9] Dalam Statistik Kelistrikan Tahun Anggaran 2016 yang dikeluarkan Kementerian ESDM disebutkan bahwa, hingga 4 April 2016, terdapat 5 wilayah yang mengalami defisit cadangan listrik, sedangkan 14 wilayah lain berada dalam kondisi siaga, hanya ada 4 wilayah yang memiliki cadangan normal.[10]

Aspek ketiga, yakni akses kesehatan juga menjadi persoalan. Saat dilangsungkan Rapat Kerja Kesehatan Nasional tahun 2017, Februari lalu, masalah Kesehatan Ibu dan Anak masih menjadi persoalan pokok di bidang kesehatan meski sudah ditanggapi dengan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat.[11] Sementara itu, konekivitas prasarana transportasi, baik darat, laut maupun udara masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Kementerian Perhubungan. Dalam sebuah seminar nasional yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil di Universitas Sebelas Maret, konektivitas transportasi akan memengaruhi arus barang, jasa, maupun penumpang di seluruh Indonesia.[12] Oleh karena itu, ia turut memengaruhi pemenuhan tiga aspek kebutuhan dasar masyarakat sebagaimana yang dipaparkan oleh YLKI. Sebut saja persoalan disparitas pangan antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur, tingginya harga pangan amat bergantung pada proses distribusi bahan pangan antarkota dan antarpulau di Indonesia.[13] Kondisi riil yang terjadi di Indonesia memiliki wakilnya masing-masing dalam skenario yang dirangkai oleh Wisnu dalam Turah. Hal ini lagi-lagi dilakukan Wisnu tanpa repot-repot memberikan simbolisasi berlebihan, cukup melalui tanda-tanda yang memberikan ruang pada kita sebagai penonton untuk melakukan eksplorasi lebih jauh sehingga filem tidak selesai begitu saja tanpa memberikan dampak apa pun.

Dengan konteks pembacaan yang sama, yakni Turah sebagai miniatur negara, dapat pula kita diskusikan sikap diam warga yang ditampakkan oleh Wisnu secara konsisten sejak awal filem. Barangkali sempat muncul pendapat di benak kita sebagai penonton tentang mengapa warga Kampung Tirang yang sudah belasan tahun tinggal di sana tidak melakukan perlawanan apa pun terhadap kondisi yang mereka alami, dan lebih jauh lagi, mengapa hanya Jadag. Untuk membahas ihwal pertama, agaknya diperlukan sebuah pembacaan atas konteks sosiologis Kampung Tirang dalam Turah sebagai ruang yang kemudian memengaruhi tindak-tanduk warganya. Untuk itu, menjadi tepat jika kita berangkat dari konsep ruang menurut Henri Lefebvre. Menurutnya, ruang dalam masyarakat kapitalis modern merupakan sebuah arena pertarungan yang tak akan pernah selesai diperebutkan. Di dalamnya selalu ada pihak-pihak berkepentingan yang akan melakukan berbagai cara untuk dapat melakukan dominasi atas pemakaian dan pemanfaatan ruang. Guna melanggengkan hegemoni mereka atas pemanfaatan ruang yang mereka kuasai, akan diproduksi pengetahuan-pengetahuan terkait makna ruang tersebut. Proses pembentukan dan pemapanan pengetahuan yang menghegemoni ini disebut sebagai proses produksi ruang secara spasial. Proses produksi ruang secara spasial, menurut Lefebvre, akan memengaruhi sikap dan tindakan para penghuninya, yang kemudian disebut sebagai produksi ruang sosial. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Aronowitz[14], bahwa Lefebvre melihat suatu ruang (space) adalah nyata, sebagaimana halnya komoditas dan uang, karena “ruang (sosial) adalah sebuah produk (sosial)”.[15] Karenanya, memahami Kampung Tirang dalam Turah membutuhkan pemahaman yang memadai tentang aspek sejarah dan konteks lokalnya.

Salah satu cuplikan dalam filem Turah (2016) karya Wicaksono Wisnu Legowo: Turah bekerja sebagai petani di kebun dan tambak milik Darso.

Jika kita coba urai, proses produksi ruang secara spasial dalam Turah tentunya dilakukan oleh orang berkepentingan yang dalam hal ini menjadi penguasa, tak lain adalah Darso. Pengetahuan yang terus-menerus dibangun di antaranya perihal status kepemilikan tanah, yang menurut Darso tanah tersebut adalah tanah milik orang tuanya (menyitir Jadag). Darso dalam posisi ini melakukan tindakan konstruksi atas ruang—dan hal semacam inilah (yaitu, konstruksi itu sendiri) yang sebenarnya menjadi esensi dari perkembangan kapitalisme. Pada akhirnya, ruang (dalam konteks ini: Kampung Tirang) kemudian hanya menjadi objek komoditas kapitalisme saja. Kampung Tirang sebagai common space lalu terbatasi geraknya oleh kehendak kepentingan Darso yang berupaya mempertahankan relasi produksi dan reproduksi di sana semata-mata bercorak ‘kapitalistik’, karena yang diutamakan ialah kepentingan [akumulasi modal] milik Darso. Jika ada yang hendak menggangu proses tersebut, maka Darso sebagai penguasa dapat menggunakan berbagai cara untuk mempertahankan status quo-nya. Konsekuensi logisnya, warga yang tinggal di Kampung Tirang akan menghormati Darso dengan relasi kuasa yang jelas: Darso sebagai “pemilik tanah” dan warga sebagai “pihak yang menumpang”. Sikap dan tindakan warga terbangun untuk bersifat diam dan pasif. Saya pikir begitu pulalah yang terjadi, misalnya, di lingkungan perkotaan. Warga tidak lagi memiliki kemampuan untuk menentukan aras perkembangan kota-[ruang]-nya.

Lefebvre menawarkan pemikiran, bahwa jalan yang dapat diambil untuk kembali menguasai ruang adalah dengan melakukan produksi ruang sosial. Warga yang hidup dan menghidupkan Kampung Tirang perlu melakukan aksi sosial berupa pemberian makna juga terhadap kampungnya, secara individu maupun bersama-sama. Relasi yang dialektis semacam inilah satu-satunya cara yang menurut Lefebvre dapat menandingi konsepsi ruang (kampung atau kota) yang bercorak kapitalistik. Aksi-aksi sosial ini, dibagi menjadi tiga rangkaian konseptual atas ruang, yaitu praktik spasial, representasi ruang, dan ruang representasional. Peran-peran tersebut kemudian dibebankan oleh Wisnu kepada tokoh-tokoh utama dalam filem, khususnya Jadag dan Turah. Namun, sampai sejauh mana Wisnu sebagai sutradara mengekstrasi proses tarik-menarik kepentingan atas ruang antartokoh tersebut dalam Turah?

Sikap Politik Turah

Meninjau sikap politik filem ini (yang dengan kata lain, berarti meninjau sikap politik si sutradara), pembahasan kita tentu tidak akan mengarah pada spektrum politik global: kiri, kanan, moderat, radikal, konservatif, fundamentalis, dan sebagainya. Lewat Turah, Wisnu dengan cerdas menyederhanakan spektrum sikap politik ini melalui aktivitas-aktivitas kunci pada adegan yang mempertemukan Turah dan Jadag, yakni terkait dengan bagaimana keduanya merespon orang lain, tindakan, dan peristiwa-peristiwa. Aktivitas-aktivitas keseharian mereka yang kemudian mengarah pada pilihan sikap—melawan status quo atau mencari alternatif yang tak semata-mata oportunis—diramu dengan tumbukan dan adukan yang pas oleh Wisnu.

Sejak filem dibuka dengan kabar kematian, hingga ditutup dengan bentuk kabar yang sama, Wisnu konsisten memperlihatkan situasi warga (di luar tokoh-tokoh utama) yang cenderung diam saja menyikapi masalah di Kampung Tirang. Menurut saya, selain kenyataan bahwa kondisi ini pula yang Wisnu saksikan dan alami langsung di Kampung Tirang, apa yang dilakukan si sutradara—memperlihatkan kondisi yang sama dan diangkat ke dalam kenyataan filem—itu adalah upayanya dalam rangka menegaskan keberadaan “ruang kosong” dan di dalam ruang kosong itulah nantinya ia melakukan eksperimen, yakni meletakkan sikap politiknya. Dengan kata lain, “ruang kosong” disikapi sebagai peluang atau pemicu potensi untuk memproduksi “ruang sosial” yang dimaksud oleh Lefebvre.

Sementara itu, Arendt (1963) menyebutkan dua kunci utama untuk memahami sifat dasar kejahatan. Pertama, kejahatan dapat terjadi karena manusia mampu melakukannya. Kedua, karena orang-orang lain memilih untuk diam saja dan membiarkan kejahatan terjadi.[16] Sifat dasar pertama dalam filem ini diwakili oleh negara yang memiliki kekuasaan, sedangkan sifat kedua dihadirkan Wisnu dengan menempatkan warga sebagai pihak yang cenderung pasif. Baik dari elemen dialog maupun visual, sikap diam warga dapat kita temukan setidaknya dalam lima adegan: mulai dari adegan ketika tokoh Jadag diperkenalkan, datangnya polisi dan wartawan dalam proses penguburan mayat bayi, Jadag yang berpidato, Jadag yang bersitegang dengan Darso, hingga menjelang penutup filem saat Roji kembali ke Kampung Tirang, warga diperlihatkan tidak hadir atau sekadar menjadi penonton pasif dari konflik-konflik yang terjadi.

Salah satu cuplikan dalam filem Turah (2016) karya Wicaksono Wisnu Legowo: sebagian warga menonton mayat Jadag yang digantung.

Oleh karena itu, intervensi Wisnu melalui tokoh-tokoh utama, khususnya Turah dan Jadag di dalam kenyataan filem, dapat dipahami sebagai siasat untuk menunjukkan keengganannya menerima kenyataan kondisi warga Kampung Tirang yang diam saja secara mentah-mentah—di posisi inilah Wisnu memperlihatkan sikap politik dan keberpihakannya pada isu sosial yang terjadi di Kampung Tirang. Dua spektrum kecil ini, terkait sikap politik dan keberpihakan Wisnu, diejawantahkan melalui Turah dan Jadag.

Dalam merespon seseorang, tindakan, dan peristiwa-peristiwa, Jadag menjadi tokoh yang responsif. Jadag di-skenario-kan sebagai tokoh yang berani menyanggah dan melawan tindakan-tindakan yang merugikan diri dan kampungnya. Sesungguhnya, untuk menjelaskan apa-apa saja permasalahan yang terjadi di Kampung Tirang, Jadag adalah tokoh yang mampu melakukan hal itu. Ia fasih membicarakan bagaimana tertindasnya warga Kampung Tirang kepada kita sebagai penonton.

Sedangkan Turah, ia pada dasarnya memahami apa-apa saja yang dimaksudkan oleh Jadag. Berbeda dengan Jadag yang cenderung vokal merespon status quo yang merugikan, Turah diperlihatkan sebagai orang yang reaksinya lebih hati-hati. Ia tak menyukai cara-cara yang dilakukan Jadag karena menurutnya terlalu keras. Itu pula yang agaknya menjadi pandangan Wisnu: Jadag benar dalam banyak hal, hanya saja tindak-tanduk dan visinya dinilai Wisnu terlalu utopis. Merujuk Lefebvre, langkah yang diambil Jadag untuk “mengubah kampung” dan dilakukannya secara individual adalah langkah keliru, sebab hak atas kota (dalam konteks ini Kampung Tirang) hanya dapat dilakukan melalui serangkaian perubahan terstruktur dengan model pergerakan kolektif. Jadag gagal menurunkan gagasan idealnya kepada warga lain di Kampung Tirang sehingga menyebabkan adanya ketidaksepahaman dalam memahami apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan komunal warga Kampung Tirang.

Salah satu cuplikan dalam filem Turah (2016) karya Wicaksono Wisnu Legowo: Turah dan istrinya memutuskan pergi dari Kampung Tirang.

Meninggalkan Jadag, Wisnu merasuk dalam tubuh Turah. Kelebihan yang dimiliki Turah dibandingkan dengan Jadag adalah aksesnya yang lebih luas dan cenderung dapat diterima oleh warga. Sebagai contoh, ia memiliki akses ke generator yang mengalirkan listrik ke seluruh warga Kampung Tirang. Tentu hal tersebut dapat menjadi modal yang baik untuk setidaknya memulai apa-apa saja yang menjadi visi Jadag untuk merespon Darso. Namun potensi ini tidak dikembangkan lebih jauh oleh Wisnu. Kemungkinan untuk menetap di Kampung Tirang pada dasarnya memiliki peluang-peluang menguntungkan bagi Turah, ia sudah diangkat status pekerjaannya dan upahnya akan dinaikkan, meskipun memang Turah mendapatkan ancaman pembunuhan, namun tidak ada satu riwayat pun di dalam filem itu yang menunjukkan Turah memiliki keberanian untuk membongkar apa yang sebenarnya terjadi. Ia bisa saja memilih tetap tinggal di Kampung Tirang dan, seperti warga yang lain, bersikap diam saja. Sambil berlagak diam, Turah bisa saja memanfaatkan sikap penerimaan warga terhadapnya untuk mulai mengubah persepsi warga atas ruang di Kampung Tirang, tetapi ini juga tak menjadi pilihan bagi Wisnu sebagai pengarang cerita. Daripada menentang status quo, ia justru memilih jalan alternatif. Di penghujung filem, kita saksikan untuk pertama kalinya kamera, dengan intensi yang jelas, merekam gambar dari arah luar Kampung Tirang, memperlihatkan Turah dan Kanti yang memilih pergi dari Kampung Tirang.

Menurut saya, di situlah letak sikap politik dan keberpihakan Wisnu terhadap isu sosial di Kampung Tirang. Ia mempertegas sikapnya dengan menjadikan tokoh Turah sebagai judul filem. Namun amat disayangkan, hingga filem berakhir, tidak ada kejelasan apa yang hendak ia maksud terkait pilihan jalan alternatif tersebut, apa yang ingin disampaikan dengan kepergian Turah dan Kanti selain ketidaksetujuannya dengan sikap politik Jadag. Turah dan Kanti hanya pergi, kemudian tak disinggung kembali.

Penutup

Kembali pada pandangan yang ditawarkan Mustofa, filem ini pada dasarnya telah bekerja sesuai dengan kerangka gagasan dalam pandangan Mustofa. Turah secara naratif dan visual memang menempatkan warga Kampung Tirang yang menderita kemiskinan sebagai korban kejahatan berupa pembiaran oleh negara, tetapi tanpa terlalu cerewet menggabungkan isu ekonomi, sosial, dan politik dalam satu rangkaian adegan yang banal; itu semua cukup melalui tanda-tanda.

Memang perlu dikritisi bahwa agaknya pembatasan ini pula yang menyebabkan Turah kurang berhasil menawarkan semacam simpulan alternatif tentang bagaimana persoalan-persoalan ini seharusnya diselesaikan. Akan tetapi, menurut pendapat saya, keputusan Wisnu atas skenario filem ini dapat diterima, karena toh itu bukanlah tugas utama sinema. Turah, sebagai filem, tetap memiliki kontribusi dalam membingkai isu kemiskinan. Bagi saya, Turah berhasil memberikan bahasa filemis yang baru kepada penonton yang “dibiasakan” menonton tayangan audiovisual bertema kemiskinan dengan gaya menyedihkan dan menguras air mata—membosankan. Filem ini membuang jauh kecenderungan meng-kapitalisasi “si miskin” demi meraup keuntungan.

 

Endnotes:

[1] Anggraeni Widhiasih. (13 Februari 2017). “Filem Turah: Membingkai Struktur Sosial melalui Struktur Filem”. Diakses dari Jurnal Footage, tanggal 3 Mei 2017 pukul 02:08 WIB.

[2] Aditya Widya Putri. (8 September 2016). “Kuaduk Emosimu, Kutuai Pendapatanku. Diakses dari tirto.id, tanggal 15 Februari 2017 pukul 02:10 WIB.

[3] DPRD Kota Tegal. (29 Mei 2016). “Komunitas Kami Peduli Bantu Warga Kampung Tirang. Diakses dari situs web resmi DPRD Kota Tegal, tanggal 19 Maret 2017 pukul 21:44 WIB.

[4] Mustofa, M. (2010). Kriminologi: Kajian Sosiologis Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang, dan Pelanggaran Hukum (Edisi Kedua). Bekasi: Sari Ilmu Pratama.

[5] Manshur Zikri. (19 Maret 2016). “Menemui Lagi Siti”. Diakses dari Jurnal Footage, tanggal 11 Februari 2017.

[6] George B. Vold, Thomas J. Bernard, dan Jeffrey B. Snipes. (1998). Theoretical Criminology. 4th. Ed. Oxford: Oxford University Press, Inc.

[7] Gregg Barak. (1991). Crime by the Capitalist State: An Introduction to State Criminality. New York: State of New York Press.

[8] Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. (14 Juni 2016). “Sudahkah Kebutuhan Dasar Konsumen Terpenuhi?”. Diakses dari situs web Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, tanggal 3 Februari 2017.

[9] Badan Ketahanan Pangan. (2017). Laporan Kinerja Badan Ketahanan Pangan Tahun 2016. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian

[10] Frendy Kurniawan. (4 April 2017). “Menghitung Ulang Ancaman Krisis Listrik di Masa Depan. Diakses dari Tirto.id, tanggal 6 Mei 2017.

[11] Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Sekjen Kemenkes RI. (28 Februari 2017). “Presiden: Masalah Kesehatan Fundamental Untuk Diselesaikan. Diakses dari situs web resmi Kementerian Kesehatan  Republik Indonesia, tanggal 6 Mei 2017.

[12] Universitas Sebelas Maret. (2016). “Tingkatkan Produktivitas Nasional dengan Bangun Konektivitas Prasarana Transportasi. Diakses dari situs web Universitas Sebelas Maret, tanggal 6 Mei 2017.

[13] Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan. (11 Oktober 2017). “Menhub Budi: Masalah Transportasi Indonesia, Sebuah PR yang Tidak Ringan”. Diakses dari situs web resmi Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, tanggal 6 Mei 2017.

[14] Stanley Aronowitz. (1 Juni 2012). “Lefebvre’s The Production of Space; a Unitary Approach to the City”. Diakses dari situs web Pilar Ortiz, tanggal 8 Mei 2017.

[15] Henri Lefebvre. (2000). The Production of Space. New York: Georgetown University Press.

[16] Simon Hallsworth dan Tara Young. 2008. Crime and Silence: ‘Death and Life Are in the Power of the Tongue’. Theoritical Criminology, Vol 12 (2): 131-152. SAGE Publications.

Recommended Posts
Comments
  • Lucky
    Reply

    Izin share bung.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search