In Tokoh

“… the past tense doesn’t fit Mekas,” tulis Bilge Ebiri, sebagai kalimat pertama di paragraf penutup pada bagian teks pengantar artikel wawancaranya dengan Jonas Mekas, yang terbit di The Village Voice Edisi Vol. LXII, No. 37, 20 September 2017.[1]

Memang begitu kenyataannya! Sosok yang pada 24 Desember nanti akan berusia 95 tahun itu dikenal sebagai tokoh revolusioner di dunia sinema independen, underground, dan avant-garde; hingga kini ia masih aktif berkarya dan menjadi wacana hidup. Tak heran jika Ebiri membuka teks pengantar wawancaranya tersebut dengan memparafrasekan percakapan antara tokoh Bernstein dan Thompson—dialog dalam skenario Citizane Kane[2]—untuk mendeskripsikan aktivisme kultural Jonas Mekas ke dalam satu kalimat tegas: “You were here before the beginning, and you’re still here, after the end.”[3]

Area pameran yang memamerkan buku-buku yang ditulis oleh Jonas Mekas dan beberapa lainnya yang berkaitan dengan Jonas Mekas. (Foto: Manshur Zikri)

Artikel wawancara itu adalah dokumen pertama yang saya baca di pameran bertajuk Again, Again It All Comes Back to Me in Brief Glimpses (8 November 2017 – 4 Maret 2018), di National Museum of Modern and Contemporary Art, Seoul, Korea Selatan, dikurasi oleh Kim Eunhee dan Francesco Urbano Ragazzi. Pameran ini adalah retrospektif pertama Jonas Mekas di Asia! Saya berkesempatan melihatnya karena kebetulan pada tanggal 29 November – 4 Desember, saya mengunjungi Seoul dalam rangka meneliti karya-karya salah satu seniman Korea, IM Heung-soon, yang proyek seni terbarunya juga dipresentasikan pada museum yang sama tapi dalam program pameran yang berbeda.

Meninjau kuratorial pameran, saya menangkap bahwa hadirnya edisi cetak terakhir The Village Voice (Vol. LXII, No. 37)[4], sebagai salah satu objek yang dipamerkan di pameran ini, adalah poin yang paling menarik. Dari segi penyajian (display) pamerannya, majalah mingguan alternatif pertama di Amerika itu ditempatkan di meja paling pertama yang akan kita temui pertama kali pula jika kita menelusuri pameran ini secara runut, ruang per ruang. Ini bisa kita baca sebagai kode—atau justru pernyataan tegas—bahwa pameran ini menarik konteks tentang situasi peralihan yang sedang berlangsung di ranah media massa. Mencakup juga di dalamnya ialah perubahan sirkulasi wacana tekstual di lingkungan praktik kebudayaan—dari analog ke digital.

Area pameran yang memamerkan teks-teks oleh dan tentang Jonas Mekas. (Foto: Manshur Zikri)

Majalah The Village Voice Edisi Vol. LXII, No. 37, 20 September 2017 (sebelah kiri) dan salah satu katalog Anthology Film Archives (Foto: Manshur Zikri)

Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa masa-masa Baby Boomers memang telah berakhir dan dunia kini dipenuhi oleh anak-anak mereka, para Millennials. Hal ini ditandai dengan meningkatnya penggunaan dan keakraban manusia dengan teknologi komunikasi-informasi-media berbasis digital, online, jaringan sosial, dan umumnya dioperasikan lewat perangkat mobile.[5] Keberadaan majalah cetak tersebut menjadi penting karena ia hadir lebih sebagai “artefak kontemporer” ketimbang “artefak masa lalu”; ia merepresentasikan optimisme masa kini daripada kesan ironisisme nostalgis. Majalah cetak itu justru menjadi penanda aktualitas Jonas Mekas. Sejarah perfileman dunia tak akan pernah lupa bahwa Jonas Mekas adalah salah satu kritikus filem pertama di majalah cetak itu. Namun, pada masa ketika majalah itu resmi berubah bentuk[6] demi mengikuti kehendak zaman, yaitu pada masa sekarang ini, Jonas Mekas tidak tinggal sebagai narasi historis-romantis. Melainkan, ia tetap eksis sebagai pelaku progresif, terdepan, dan visioner, yang masih merayakan situasi global kontemporer—khususnya, situasi media—dengan kritisisme estetiknya.

Jonas Mekas memiliki gairah dan intensitas yang tinggi terhadap gambar bergerak; hal itu membuat sosok yang telah mendapatkan banyak sekali penghargaan bergengsi dunia ini tetap penting dan selalu bersifat mutakhir untuk dibicarakan hingga ke generasi anak-cucu.

Salah satu konteks yang bisa kita tarik untuk menunjukkan betapa visionernya sosok ini, ialah terkait fenomena Millennials yang saling beradu cepat memproduksi beranekaragam konten audiovisual agar dapat eksis dan aktual lewat kanal-kanal online mereka. Aktivitas itu bukanlah hal baru bagi Jonas Mekas. Sebagaimana dicatat dalam pameran tersebut, bahwa sejak 2006 (beberapa bulan setelah YouTube rilis), Jonas Mekas telah menyadari arah jalan masa depan gambar bergerak dan karenanya ia lantas mengalihkan tempat presentasi “catatan harian visual”-nya ke internet. Lalu, pada tahun 2007, waktu ketika menjadi seorang YouTuber belumlah istimewa, ia telah mengkhatamkan aktivitas semacam itu dengan menyelesaikan 365 Day Project miliknya. Proyek itu pun tidak berhenti; Jonas Mekas terus melanjutkan proyek visual diary-nya dan menerbitkan video-video kesehariannya dengan jadwal yang lebih fleksibel di situs pribadi, beralamat di www.jonasmekas.com.[7] Dan hari ini kita tahu, kegiatan merekam sehari-hari menggunakan kamera video untuk diterbitkan secara online seperti itu sekarang sudah sangat populer di kalangan netizen dan dikenal dengan istilah vlog (video-blog).

“The past tense doesn’t fit Mekas!”

Sebagai seorang seniman atau pembuat filem, Jonas Mekas sudah pernah mendapatkan Grand Prize dari Venice Film Festival untuk filem berjudul The Brig (rilis pertama kali tahun 1964) yang ia buat bersama saudaranya, Adolfas Mekas. Ia jugalah yang membuat karya fenomenal berjudul Walden: Diaries, Notes, and Sketches (1969), salah satu filem yang menjadikannya lekat dengan teknik dan estetika single-frames; juga karya puitik berjudul Out-Takes from the Life of a Happy Man (yang diselesaikannya tahun 2012), sebuah filem berupa susunan footage-footage “sampah” dari materi-materi filem yang diproduksi kisaran tahun 1960 sampai 2000; dan masih banyak lagi karya audiovisual dan image-nya yang lain, yang tak henti-hentinya ia kembangkan, transformasi, dan perluas ke beragam bentuk presentasi.

Inilah energi si manusia bahagia kelahiran Lithuania itu; si kritikus, penyair, dan sekaligus seorang filmer—istilah ‘filmmaker’ tidak berlaku bagi Jonas Mekas. Ia jugalah yang menginspirasi banyak pelaku kebudayaan avant-garde dunia, salah satunya Andy Warhol yang di kemudian hari terdorong untuk membuat filem. Jonas Mekas memiliki gairah dan intensitas yang tinggi terhadap gambar bergerak; hal itu membuat sosok yang telah mendapatkan banyak sekali penghargaan bergengsi dunia ini—termasuk di antaranya adalah Life Achievement Award dari Rob Pruitt’s Art Awards (2010) dan menjadi Anggota Terpilih untuk Academy of Motion Picture Arts (2017)—tetap penting dan selalu bersifat mutakhir untuk dibicarakan hingga ke generasi anak-cucu.

***

Jalan masuk menuju ruang pamer karya-karya audiovisual Jonas Mekas. (Foto: Manshur Zikri)

Again, Again It All Comes Back to Me in Brief Glimpses adalah seri kedua dari pameran-pameran yang khusus diselenggarakan oleh National Museum of Modern and Contemporary Art, Korea Selatan, untuk mengenalkan karya-karya dari sutradara berpengaruh dunia—Philippe Garrel adalah tokoh pertama yang diangkat museum itu dalam seri pameran ini pada tahun 2015.[8] Pameran Jonas Mekas ini menghadirkan karya dan arsip yang cukup beragam. Di Galeri 6, lantai B1, dipamerkan teks-teks (arsip-arsip seperti buku, majalah, dan katalog—termasuk katalog Anthology Film Archives) yang dibuat oleh dan tentang Jonas Mekas, beberapa karya instalasi video, karya cetak (fotografi), dan juga instalasi sound. Sementara itu, ruang MMCA Film & Video (di lantai yang sama), setiap harinya secara berkala juga ditayangkan lebih-kurang 38 karya Jonas Mekas dan 10 karya lainnya yang berkaitan tentang dirinya, yang dikurasi ke dalam 24 program penayangan.[9]

Lorong yang menampilkan kronik kehidupan dan gerakan kultural Jonas Mekas. (Foto: Manshur Zikri)

Pernyataan kuratorial yang perlu digarisbawahi dari pameran ini ialah niatan kedua kurator untuk “…mengenalkan kengerian perang, misteri filem, keajaiban persahabatan, dan keindahan dan kebahagiaan hidup…”[10] lewat karya-karya audiovisual yang “…membiarkan kita membenamkan diri di dalam arus tenang citra-citra yang melintas bagaikan angin silir-semilir atau sebagai suatu ingatan sekilas di dalam benak; membiarkan kita agar tak risau dengan [keharusan untuk] membayangkan atau menciptakan cerita.”[11] Dan sebagaimana yang dijelaskan pula oleh ko-kurator Pip Chodorov, karya sinema Jonas Mekas yang tanpa plot, “anti-cerita”, dan tak menunjukkan keterangan waktu “masa lalu” atau “masa depan” itu, adalah rekaman-rekaman tentang hal “kekinian” dan “ke-di-sini-an”; rekaman-rekaman itu secara bersamaan juga menjadi memori personal Jonas Mekas, “…dan memori kolektif kita…yang ia rekam itu, berkembang ke dalam pusat budaya populer.”[12]

Jonas Mekas juga demikian optimis menyambut gejala-gejala baru yang muncul pada masanya, dan di negara tempat ia tinggal saat itu, ketika banyak para pembuat filem mulai bereksperimen terhadap metode penyajian dan pengalaman menonton filem—expanded cinema.

Berkaitan dengan pernyataan kuratorial di atas, saya memiliki pandangan terkait beberapa hal yang kiranya perlu diperhatikan saat memaknai karya-karya Jonas Mekas dalam rangka mengaitkan relevansinya dengan konsep “kekinian” dan “ke-di-sini-an” itu.

Yang pertama ialah latarbelakang Jonas Mekas sebagai saksi hidup kejahatan perang (Perang Dunia II) dan statusnya sebagai exile. Ini agaknya yang kemudian memengaruhi kepekaan dan empatinya terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan signifikansi peristiwa-peristiwa kecil di lingkungan terdekat.[13] Orang-orang mungkin bisa saja berargumen bahwa kepekaannya atas peristiwa-peristiwa kecil yang “selalu hadir dengan sekilas” itu, untuk ditangkap sebagai arsip-arsip visual, agaknya didorong oleh kehendak untuk memilih beranjak dari kubang trauma kekerasan yang memicu dampak buruk psikologis akibat kehilangan. Dalam kondisi tertentu, kita barangkali akan menangkap nuansa “kesendirian” atau “keterasingan” yang demikian jauh untuk dapat dijangkau di dalam karya-karya visualnya—yang mana aspek ini bisa dibilang adalah refleksi paling personal Jonas Mekas atas apa-apa yang ia alami sendiri. Namun, yang terpenting dari semua itu adalah, Jonas Mekas membungkus refleksinya atas konsep “keterasingan” sebagai suatu katalis untuk menggaungkan makna paling esensial dari hubungan sosial terkininya. Alih-alih hadir sebagai suatu keharuan atau penyesalan yang meratap-ratap, memori-memori yang diartikulasikannya dengan cara mengabadikan peristiwa-peristiwa terdekat menggunakan teknologi rekam itu justru berpendar sebagai bahasa metaforik dari perayaan tanpa henti atas apa yang terjadi di “hari ini”—visual-visual itu hadir sebagai energi yang optimistik terhadap kehidupan.

Bagi saya, hal itu dapat dirasakan demikian dekat, apalagi jika menyelami pengalaman puitik yang ia tawarkan melalui gaya ungkap visual kaleidoskopik pada beberapa karyanya, terutama yang sudah kerap menggunakan teknik dan estetika single-frames.

Optimisme Jonas Mekas sebagai pelaku budaya sebetulnya juga digambarkan dalam pameran ini dengan menghadirkan sejumlah buku, yang kesemuanya adalah kumpulan teks, puisi, dan visual yang dibuat oleh Jonas Mekas, serta beberapa lainnya yang terkait Jonas Mekas. Filmer yang pernah dengan sederhananya menyatakan bahwa “No! Cinema is not 100 years old! Cinema is young! Cinema is always beginning!”[14] ini menulis cukup banyak pemikiran tentang sinema dan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan “sinema alternatif” (dalam arti: di luar arus utama industri sinema dunia) di Amerika dan juga dunia.

Beberapa buku-buku yang ditulis oleh Jonas Mekas dipajang di atas meja dan para pengunjung dapat membacanya. (Foto: Manshur Zikri)

Beberapa buku-buku yang ditulis oleh Jonas Mekas dipajang di atas meja dan para pengunjung dapat membacanya. (Foto: Manshur Zikri)

Scrapbook of the Sixties: Writings 1954-2010 (2015, terbitan Spector Books) dan Movie Journal: The Rise of the New American Cinema, 1959-1971 (Edisi Kedua, 2016, terbitan Columbia University Press) adalah dua buku lainnya yang dipajang di atas meja dan para pengunjung dapat membaca isinya. Buku berisi kumpulan tulisan Jonas Mekas ini adalah bukti betapa pemikiran-pemikiran yang ia tuangkan ke dalam banyak tulisan sejak tahun 50-an masih memiliki relevansinya dengan perkembangan dunia seni dan filem pada zaman sekarang.

Di Forum Lenteng, kami memiliki versi cetak Scrapbook of the Sixties. Terdapat dua artikel yang telah saya baca dan saya kira cukup mewakili gambaran tentang progresivitas dan optimisme Jonas Mekas. Menyinggung konteks yang kedua, artikel-artikel yang saya baca di buku ini sehubungan dengan gerakan dan gagasan sinema yang dibayangkan oleh Jonas Mekas dalam rangka menandingi kanon-kanon sinema pada masanya. “Notes on Shooting ‘The Brig’”[15], menurut saya, adalah artikel yang penting untuk memahami pendirian Jonas Mekas dalam kontestasi produksi filem, dan bagaimana pada dasarnya Mekas tak bisa dilepaskan dari praktik-praktik eksperimental. Lewat artikel ini pulalah, salah satunya, kita akan mengetahui sejauh apa perhatian Jonas Mekas mengenai “dimensi bentuk” (form) dari karya gambar bergerak —dalam pengertian estetika, tentu saja. Jonas Mekas menjelaskan, bagaimana keputusannya untuk membuat filem berjudul The Brig dengan merekam secara langsung pertunjukan teater berjudul sama yang dibuat oleh Judith Malina dan Julian Beck, adalah bagian dari usahanya untuk menerabas pandangan-pandangan kolot terkait produksi filem, sekaligus untuk “…menggerogoti mitos dan mistifikasi dari cinéma vérité: apakah kebenaran di dalam sinema?”.[16] Jonas Mekas pun memaparkan bahwa eksperimen yang ia lakukan bahkan terus dilanjutkan hingga ke tahap editing dari filem tersebut. Maka, menurutnya, kelirulah jadinya jika ada yang menganggap filem tersebut adalah semata “adaptasi” dari sebuah naskah.

Jonas Mekas juga demikian optimis menyambut gejala-gejala baru yang muncul pada masanya, dan di negara tempat ia tinggal saat itu, ketika banyak para pembuat filem mulai bereksperimen terhadap metode penyajian dan pengalaman menonton filem—expanded cinema. Dalam “On Expanded Cinema”[17], kita dapat mengetahui pandangan Jonas Mekas yang meyakini bahwa praktik “sinema yang diperluas” bukan sekadar improvisasi dari penggunaan teknologi saja. Lebih filosofis daripada itu, menemukan “bahasa filem yang baru” dan “cara baru untuk melihat dunia” merupakan esensi dari expanded cinema. Jonas Mekas pun menyatakan dukungannya terhadap inovasi-inovasi yang telah dan sedang berkembang pada saat ia merekam gejala tersebut lewat tulisan:

“We have a number of talented men and women creating a new cinema, opening new visions—but we need critics and an audience capable of seeing those visions. We need an audience that is willing to educate, to expand their eyes. A new cinema needs new eyes to see it. That’s what it’s all about.”[18]

Membaca pemaparan Jonas Mekas yang demikian intens mengenai expanded cinema secara tidak langsung menunjukkan kita konteks yang lain, yaitu semangat kosmopolitanisme yang menjadi ciri khas dan faktor utama yang membentuk gerakan-gerakan yang dibangunnya. Lewat tulisan-tulisannya jugalah Jonas Mekas membangun wacana gambar bergerak di Amerika dan dengan lantang melawan dominasi seni Eropa.

Perlu dipahami, “kosmopolitanisme” di sini bukan semata berarti luasnya pergaulan atau jaringan perfileman dan seni yang ia miliki, tetapi juga korespondensi intelektual yang berlangsung di dalam lingkungan pertemanan Jonas Mekas yang lintas wilayah dan lintas generasi. Lewat karya-karya Jonas Mekas, baik yang berbentuk teks (tulisan kritik) maupun karya audiovisual, kita dapat merasakan makna dari kehangatan pertemanan yang menolak sosialita perfileman dan seni dalam pengertian-pengertian yang bersifat selebritas. Tokoh-tokoh besar yang muncul di dalam karya-karya (atau arsip-arsip yang dikumpulkan) Jonas Mekas secara ajaib hadir sebagai karakter-karakter yang bersahaja. Akan tetapi, rekaman-rekaman bersahaja itu tetap membawa kronik aktivisme kebudayaan yang di kemudian hari menjadi referensi penting untuk membangun basis-basis gerakan kesenian yang lebih baru.

Pemandangan instalasi dari karya-karya Jonas Mekas. Di sebelah kiri adalah The Brig (1964) dan di sebelah kanan adalah Destruction Quartet (2006). (Courtesy: Seniman dan MMCA; foto diakses dari http://moussemagazine.it/keep-going-ahead-jonas-mekas-21st-century/)

Hal-hal yang saya paparkan di atas terbentang dalam kurasi pameran tersebut dengan cukup komprehensif. Misalnya, karya audiovisual The Brig, yang kali itu dipresentasikan dalam format video kanal tunggal, bersanding dengan Destruction Quartet (2006) yang dipresentasikan dalam format instalasi video 4 kanal. Destruction Quartet adalah karya yang menempatkan secara berdampingan empat rekaman berbeda, bertopik “kekerasan”—dua rekaman peristiwa kebudayaan (pertunjukan seni) dan dua sisanya rekaman peristiwa sosiopolitik. Di mata saya, alih-alih dokumenter atau sekadar arsip rekaman, Destruction Quartet adalah gabungan fragmen yang dikonstruk untuk menyublim pengalaman atau memori yang lahir dari hubungan kompleks antara kekerasan struktural-kolektif, aksi-aksi teror, konflik transnasional, subversivitas kultural, dan kritisisme, menjadi suatu vortex bahasa yang di dalamnya tersembunyi kata-kata kunci untuk memahami bagaimana kekerasan secara terus-menerus mengambang dalam keseharian kita sebagai suatu hasil dari produksi gaib akibat adanya resiprokalitas antara diskursus politk dan diskursus kebudayaan. Benang merah dari kedua karya ini ialah tanggapan afirmatif Jonas Mekas mengenai ketimpangan global; dan keduanya seakan menjadi manifestasi dari sisi humanisme Jonas Mekas dan keberpihakannya terhadap inovasi bentuk (dari seni gambar bergerak).

The Brig (1964) karya Jonas Mekas. (Foto: Manshur Zikri)

Destruction Quartet (2006) karya Jonas Mekas. (Foto: Manshur Zikri)

Aktivisme kosmopolitan Jonas Mekas agaknya terepresentasi lewat karya-karya fotografis yang merupakan cetakan (prints) dari arsip-arsip visualnya, antara lain Fluxus Family (2007) dan Birth of Nation (2007)—dengan teknik cetak kromogenik digital (C-prints)—atau Summer Manifesto (2008), Notes on Andy Warhol (2007), dan Dumpling Party (2012)—dengan teknik pencetakan pigmen (inkjet prints); serta lewat sebuah karya video puitik yang bersifat sangat personal, berjudul I Don’t Know which Tree It Comes from that Fragrance (2017). Sementara itu, terdapat juga rekaman yang mengombinasi pandangan personal dan politik Jonas Mekas lainnya, yang dihadirkan lewat instalasi bunyi, yang berasal dari kumpulan arsip dari kisaran tahun 60-an hingga hari ini. Karya-karya ini dibuat dengan metode “anti-naratif” itu, tanpa tendensi untuk menjelaskan secara runut peristiwa-peristiwa yang terjadi. Namun bagi saya, “ketiadaan” sisi naratif itulah yang membuat karya-karya tersebut menjadi lebih tepat untuk diinterpretasi sebagai artefak yang memang melekat pada konteks waktu ketika format karya itu ditampilkan—visual-visual itu bukanlah tentang masa lalu.

Summer Manifesto (2008) karya Jonas Mekas. (Foto: Manshur Zikri)

Penampakan instalasi karya Jonas Mekas. (Courtesy: Seniman dan MMCA; foto diakses dari http://moussemagazine.it/keep-going-ahead-jonas-mekas-21st-century/)

I Don’t Know which Tree It Comes from that Fragrance (2017) karya Jonas Mekas. (Foto: Manshur Zikri)

Fluxus Family (2007) karya Jonas Mekas. (Foto: Manshur Zikri)

Notes on Andy Warhol (2007) (kiri) dan Birth of Nation (2007) (kanan) karya Jonas Mekas. (Foto: Manshur Zikri)

Travel Song (1981-2003) karya Jonas Mekas. (Foto: Manshur Zikri)

Sedangkan pada dua ruangan terakhir, kita akan disuguhi karya berjudul Out-Takes from the Life of a Happy Man (dipresentasikan dalam bentuk video kanal tunggal di dinding galeri) yang bersanding dengan instalasi video 12 kanal dari 365 Day Project di tengah-tengah ruangan; serta In an Instant It All Came Back to Me (2015)—berupa 768 still-frames yang dicetak di atas vinil dan diaplikasikan ke atas 32 panel kaca—dan 491 Broadway (2009)—rekaman bunyi dari beragam sumber yang direkam Jonas Mekas ketika ia masih tinggal di Soho[19]. Empat karya yang saya sebutkan terakhir ini membuktikan bahwa pergulatan Jonas Mekas terhadap audiovisual adalah sebuah jalan estetik seumur hidup, “…yang terus berjalan dan menghidupkan ritme sinema”.[20]

Out-Takes from the Life of a Happy Man (2012) karya Jonas Mekas. Diproyeksikan ke dinding. (Foto: Manshur Zikri)

Penampakan dari instalasi video 12 kanal 365 Day Project (2007) karya Jonas Mekas. (Foto: Manshur Zikri)

In an Instant It All Came Back to Me (2015) karya Jonas Mekas. (Foto: Manshur Zikri)

Apa yang dapat kita pelajari dari pameran ini ialah usaha kurator yang tidak hanya menyoroti capaian-capaian artistik si seniman, tetapi juga konteks kekinian dari fenomena gambar bergerak, dan aspek-aspek sosial-politiknya, sebagai suatu polemik yang memang sengaja dikemas untuk mengikat perhatian dan kesadaran para pengunjung. Pameran ini menunjukkan bahwa apa yang telah dan masih dilakukan oleh Jonas Mekas dalam aktivitas kekaryaannya menggemakan suatu spirit yang, di satu sisi, mengajarkan kita betapa pentingnya craftsmanship—sebuah kedisiplinan yang pada kenyataannya mulai dianggap sebelah mata oleh para “seniman kontemporer” bangsa kita—dan konsistensi di jalur aktivisme kebudayaan.

Di sisi yang lain, Jonas Mekas bukanlah sosok yang anti terhadap kebaruan dan justru selalu hadir dengan tangkas menanggapi gejala-gejala ter-kontemporer. Si kakek tua ini adalah seniman mutakhir, dan di mata saya, meneladani cara berpikir dan kedisiplinannya adalah salah satu cara untuk menjadi “seniman keren” pada masa sekarang. Saya rasa, pameran ini berhasil mengumpulkan dan menghadirkan karya-karya Jonas Mekas sebagai sebuah buku pegangan terbaru untuk memicu cara pandang baru kita terhadap gambar bergerak. ***

 

Catatan Kaki

[1] Bilge Ebiri (2017), teks pengantar dalam Jonas Mekas. ‘I’m Like the Last Leaf of a Big Tree’. Wawancara oleh Bilge Ebiri untuk The Village Voice, Vol. LXII, No. 37, 20 September 2017, hal. 40. Versi online artikel wawancara ini juga dapat diakses di Bilge Ebiri (21 September 2017), I’m Like The Last Leaf of a Big Tree, situs web The Village Voice.

[2] Akses naskah Citizen Kane (1941, sutradara: Orson Welles) oleh Herman J. Mankiewicz dan Orson Welles di situs web Aellea Classic Movie Scripts: http://www.aellea.com/script/citizenkane_script.txt, diperoleh tanggal 6 Desember 2017.

[3] Bilge Ebiri, op. cit.

[4] Pada bulan Agustus 2017, The Village Voice mengumumkan bahwa mereka akan mengakhiri penerbitan versi cetak (lihat John Leland dan Sarah Maslin Nir, 22 Agustus 2017, After 62 Years and Many Battles, Village Voice Will End Print Publication di situs web The New York Times). Edisi cetak terakhir The Village Voice (20 September 2017, Vol. LXII No. 37) kemudian terbit dengan memajang foto Bob Dylan pada sampulnya (lihat Edward Helmore, 21 September 2017, The Village Voice prints its final edition – with Bob Dylan on the cover di situs web The Guardian).

[5] Lihat Pew Research Center, Millennials: Confident. Connected. Open to Chance (Editor P. Taylor & S. Keeter). Laporan Penelitian. Februari 2010, hal. 1. Diperoleh tanggal 6 Desember 2017 dari situs web Pew Research Center.

[6] Kini, majalah The Village Voice dalam bentuk media online: https://www.villagevoice.com/

[7] Lihat katalog Again, Again It All Comes Back to Me in Brief Glimpses, MMCA Seoul Exhibition, National Museum of Modern and Contemporary Art, Seoul, 2017, hal. 13.

[8] Katalog Again, Again It All Comes Back to Me in Brief Glimpses, ibid., hal. 3.

[9] Kim Eunhee, “Foreword”, dalam katalog Jonas Mekas Retrospective, MMCA Film & Video, National Museum of Modern and Contemporary Art, Seoul, 2017, hal. 17.

[10] Katalog Again, Again It All Comes Back to Me in Brief Glimpses, ibid. Terjemahan Indonesia oleh penulis.

[11] Kim Eunhee, ibid. Terjemahan Indonesia oleh penulis; kata di dalam kurung kotak oleh penulis.

[12] Pip Chodorov, “Jonas Mekas: Eye of the Century”, dalam katalog Jonas Mekas Retrospective, MMCA Film & Video, National Museum of Modern and Contemporary Art, Seou, 2017, hal. 20. Terjemahan Indonesia oleh penulis.

[13] Beberapa pengamat menjulukinya sebagai kritikus filem yang sangat humanis.

[14] Jonas Mekas (Sutradara), 1996, Cinema Is Not 100 Years Old [Video], Amerika Serikat, 3 menit 35 detik. Diperoleh tanggal 11 Desember 2017 dari situs web Jonas Mekas: http://jonasmekas.com/40/film.php?film=1

[15] Terbit pertama kali di The Village Voice, “Movie Journal”, 24 Juni 1965. Dimuat ulang dalam Jonas Mekas, Scrapbook of the Sixties: Writings 1954-2010, Anne König (ed.), Spectre Books, 2015, hal. 53-58.

[16] Jonas Mekas (1965), “Notes on Shooting ‘The Brig’”, dalam Jonas Mekas, Scrapbook of the Sixties: Writings 1954-2010, Anne König (ed.), Spectre Books, 2015, hal. 55.

[17] Artikel berupa kumpulan teks yang diseleksi dari artikel-artikel yang terbit lebih dahulu di The Village Voice, “Movie Journal”, dari tanggal 6 Februari 1964 hingga 23 Juni 1966. Dimuat ulang dalam Jonas Mekas, Scrapbook of the Sixties: Writings 1954-2010, Anne König (ed.), Spectre Books, 2015, hal. 100-140.

[18] Jonas Mekas (1964), dalam Jonas Mekas, Scrapbook of the Sixties: Writings 1954-2010, Anne König (ed.), Spectre Books, 2015, hal. 102-103.

[19] Menurut keterangan di pameran tersebut, Jonas Mekas pindah ke Brooklyn pada tahun 2005.

[20] Lihat keterantan kuratorial di Katalog Again, Again It All Comes Back to Me in Brief Glimpses, ibid., hal. 14.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search