In Artikel

Filem Jermal meneguhkan kembali kaidah-kaidah neorealisme. Filem cerita panjang kedua yang disutradarai Ravi Bharwani bersama Rayya Makarim, Utawa Tresno dan diproduseri oleh Orlow Suenke ini menampilkan sebuah gugatan fundamental atas sejarah filem Indonesia. Ia berdiri pada semacam manifesto yang memposisikan diri untuk tidak terjebak arus utama filem nasional. Defiansi ini bukan kali pertama dihadirkan Ravi, melainkan telah ditancapkan dalam debut filem cerita panjangnya, Impian Kemarau. Jermal seperti menjadi representasi realitas yang tersarikan pada laku estetis neorealisme. Tak berlebihan apabila filem ini dikategorikan sebagai filem yang mengusung bahasa baru dalam sinema Indonesia.

Neorealisme Sebagai Bentuk Kesadaran
Darah dan Doa bisa disebut sebagai tonggak sinema realis di Indonesia. Filem besutan Usmar Ismail ini begitu kontekstual dengan pencapaian kejayaan neorealisme di Italia. Sebagai tonggak, Darah dan Doa menandai bentuk bahasa baru sinema Indonesia. Dalam konteks kekinian, kehadiran filem Jermal melanjutkan tradisi realis gaya Indonesia. Sebuah filem yang setia pada kaidah-kaidah sinema neorealisme.

Sinema neorealisme sendiri hadir sebagai kecenderungan untuk menghadirkan sebuah kondisi realitas sedemikian otentik dan membedakannya dengan filem-filem yang difasilitasi rezim diktator fasis Benito Mussolini. Di bawah rezim Mussolini juga diselenggarakan Venice Film Festival pada tahun 1932 yang memuat film-film Italia bergenre epik kolosal dan melodrama kelas menengah atas. Filem-filem yang disajikan merupakan sebuah ilusi eskapis berbanding terbalik dengan peristiwa sosial dan politik Italia ketika itu. Lahirnya sinema neorealisme sangat relevan dengan kondisi Perang Dunia II. Perubahan demi perubahan berlangsung sangat massif di seantero Apenina. Di tengah-tengah situasi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang amat memprihatinkan itulah sinema neorealisme terlahir, di mana bencana sosial akibat Perang Dunia II dan cengkeraman rezim fasis acapkali menimpa rakyat Italia. Tak ayal, tema-tema dalam sinema neorealisme sangat dekat dengan permasalahan rakyat Italia, semisal problem kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, disorientasi, keputusasaan, dan problem-problem eksistensial lainnya yang berhubungan dengan kondisi sosiologis dan politis Italia. Sinema neorealisme merupakan bentuk negasi terhadap filem-filem telefono bianco/white telephone yang menarasikan kehidupan penuh  kemewahan, drama-drama epik kolosal dan melodramatik.

Andre Bazin, seorang teoretisi filem yang begitu menaruh perhatian kepada sinema neorealisme, melihat bahwa setelah kejatuhan rezim totaliter fasis dan pembebasan Italia oleh tentara sekutu menjadi lembaran baru bagi tegaknya fondasi sinema neorealisme. Pada masa pembebasan inilah sebuah cakrawala baru gerakan sinema Italia muncul. Adalah filem Roma Citta Aperta yang telah memulainya, kemudian disusul dengan Paisa. Dua-duanya merupakan karya Roberto Rosellini, seorang eksponen terpenting dalam sejarah sinema dunia yang memberikan kontribusi signifikan bagi perkembangan sinema moderen. Melalui Paisa, Roma Citta Aperta dan Sciusca, Bazin menyebutkan bahwa sebuah formulasi estetika telah bangkit dari gerakan neorealisme yang beroposisi dengan bahasa sinema sebelumnya.

Sinema neorealisme menurut Bazin benar-benar menggambarkan konteks Italia saat itu. Sinema neorealisme memihak pada sebuah peristiwa paling aktual dengan permasalahan yang dialami rakyat Italia. Latar sosial sangat terasa dayanya dalam sinema neorealisme di mana kehidupan sehari-hari menjadi penting untuk direpresentasikan. Oleh karena itu, sinema neorealisme membawa visi baru tentang manusia, visi tentang sebuah sinema yang berangkat pada nilai-nilai etis kemanusiaan dan gelora semangat humanisme revolusioner. Bagi Bazin, humanisme revolusioner berisi sebuah kesadaran baru tentang bagaimana pentingnya individu yang mengandaikan konsepsi etis dalam kehidupannya sebagai bentuk kesadaran akan nilai-nilai kebebasan.

Estetika Neorealisme dan Jermal
Sinema neorealisme merupakan pencapaian tertinggi dalam evolusi bahasa sinema yang oleh Bazin dinilai menuntaskan pendekatan realis dalam sinema –di mana pada fase awal telah ditancapkan Lumiere dan kaidah-kaidahnya telah digunakan dalam sinema Rusia dengan menggunakan aktor non-profesional sebagai ruh filem. Sciuscia, misalnya, menunjukkan bagaimana de Sica merekrut anak jalanan sebagai pemainnya. Bagi Bazin, estetika neorealisme sama sekali tidak mengakibatkan kemunduran estetis, justru sebaliknya, membawa kemajuan dalam pengungkapan –suatu evolusi bahasa sinematografis yang mengubah dan memperluas stilistika.

Estetika yang diwartakan dalam sinema neorealisme benar-benar sebuah kesahihan realitas sebagai medium ceritanya. Totalitas pada kehidupan sehari-hari. Jika dalam pengamatan Bazin sebelumnya sinema Italia itu anti realitas, maka kehadiran sinema neorealisme dalam pusaran kebudayaan Italia, sungguh membuat takjub. Citraan sinematografisnya tampil utuh apa adanya tanpa manipulasi retoris tapi hidmat pada realitas. Dalam pada itu, neorealisme tampil dengan karakterisasi spontan dari para pemain tanpa dramatisasi yang dibuat-buat. Roma Citta Aperta menunjukkan wujud spontan itu.

Aktualitas skenario, kesungguhan aktor, merupakan bahan dasar dalam estetika filem Italia. Dalam proses ambilan gambar, lokasi sangat menentukan dan merupakan elemen fundamental dalam sinema neorealisme. Gambar-gambar yang ditangkap oleh kamera tidak dimanipulasi efek-efek tertentu. Pemilahan gambar (montase) sangat minim bahkan nyaris tidak ada. Begitu pun dengan dialognya, membuat kamera dapat bekerja dengan leluasa. Tokoh diperankan oleh aktor non-profesional atau gabungan aktor profesional dan non-profesional sehingga otentisitas sinema neorealisme memberikan kualitas humanisnya. Sejatinya, melalui aktor orang-orang biasa inilah sinema neorealisme memberikan pandangan mendalamnya, sebab para pemain tersebut benar-benar memainkan peran keseharian mereka. Berdasar pada faktualitas cerita, otentisitas sinematografis, pergerakan kamera yang biasa saja, proses pengambilan gambar di lokasi tanpa rekayasa, menghindari ornamen efek khusus, dan benar-benar menampilkan realitas secara total. Dengan begitu, neorealisme memberikan sumbangan berharga bagi sinema moderen. Sungguh merupakan capaian revolusioner!

Konteks neorealisme rupanya sesuai dengan cerita yang diangkat dalam filem Jermal.  Dari segi representasi dan konsepsi  stilistik, filem ini dapat dikatakan sebagai bentuk sinema neorealisme. Watak dan karakterisasinya sangat mirip dengan gerakan sinema neorealisme Italia. Jermal berkisah tentang seorang anak bernama Jaya (Iqbal S. Manurung) yang harus menghadapi kenyataan pahit dalam hidupnya. Menjadi pekerja jermal. Dalam pernyataan resmi Ravi Bharwani, filem ini mencoba menggambarkan sakitnya pergulatan orang-orang yang ingin diterima sesamanya. Ravi ingin melukiskan secara rinci perasaan orang-orang yang menjalani pengalaman-pengalaman tertentu: rasa kesepian, perjuangan untuk mendapatkan rasa bangga, kehormatan dan harga diri, rasa senang saat memperoleh sedikit saja perhatian atau kasih sayang dari orang lain, perasaan saat mengalami penolakan, kecemburuan, prasangka, rasa bersalah, malu dan benci. Pada dasarnya, inilah kisah perjuangan hidup dan kebutuhan diakui serta diterima oleh orang lain.

Jaya menjadi pekerja jermal setelah kehilangan ibunya. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi kecuali ayahnya, Johar (Didi Petet), yang masih hidup dan bekerja sebagai kepala di sebuah jermal. Di tempat ini ayah dan anak dipertemukan, namun kondisi ini bukanlah suatu hal yang mudah karena Johar, ayah kandungnya, tidak mau mengakuinya. Terlepas dari persoalan tersebut, Johar mau tak mau menerima Jaya bekerja di jermal. Ketakutannya ditangkap polisi apabila mengembalikan Jaya ke darat embuatnya tidak memiliki pilihan. Di masa lalu, ia pernah melakukan pembunuhan pada laki-laki yang ditengarai berselingkuh dengan istrinya. Memori masa lalunya yang kelam membuat ia tidak bisa berada di darat.

Bagi Jaya, tidak mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan baru apalagi Jaya adalah anak yang mempunyai sifat dan perilaku yang sangat berbeda dengan anak-anak pekerja jermal lainnya. Namun, dengan berjalannya waktu, lambat laun Jaya beradaptasi dengan lingkungan jermal, di mana ada sebuah daya hidup untuk dapat bertahan dalam kondisi kritis. Daya tahan Jaya terus berkobar meskipun ia pernah melarikan diri dari jermal. Akibat ulahnya itu, ia dikenai hukuman, namun para pekerja jermal menaruh hormat padanya atas keberanian itu. Hari-hari yang dilalui Jaya terus bergulir, kali ini ia tak mau menyerah pada nasib, ia tak lagi mengharapkan pengakuan ayahnya dan memusatkan segala daya upayanya untuk bertahan hidup di jermal. Ia berubah menjadi kuat, keras dan berdaya tahan hebat.

Keteguhan Jaya membuat Johar membenarikan diri terbuka pada masa lalunya. Ia pun mulai membaca surat-surat istrinya yang tak pernah sedikitpun ia baca sebelumnya. Dalam kondisi ini, ia dihadapkan dengan masa lalunya yang kelam. Perlahan ia menebus kesalahannya dengan mencoba mengenal putranya lebih jauh. Jaya telah berubah menjadi seorang yang hilang kehangatan dan kepekaan. Puncaknya saat di mana Jaya berkelahi dengan seorang anak lain hingga luka berat. Kejadian ini semakin membuat Johar teringat masa lalunya. Ia menyaksikan sejarah berulang pada anaknya. Di suatu kesempatan Johar mengungkap rahasia masa lalunya yang tragis pada Jaya. Anak ini sadar dan meratapi kepribadiannya yang telah berubah drastis.

Singkat cerita, Johar menyadari bahwa anaknya ini seseorang yang mempunyai potensi untuk menjadi orang baik. Johar membawanya ke daratan meskipun harus dibayar mahal, kemungkinan ditangkap polisi ketika sampai. Akhirnya Johar dan Jaya berangkat menuju daratan. Dengan status baru: sebagai ayah dan anak.

Pendekatan neorealisme dalam filem ini semakin sulit disangkal ketika Ravi, dkk. merekrut pemain dengan metode amalgam. Para pemain dipilih dari penduduk lokal dan dipersandingkan dengan aktor profesional semisal Didi Petet. Begitupun dengan faktualitas adegannya yang sangat natural tanpa dramatisasi. Gerak pembingkaiannya sangat sederhana dan selalu dekat dengan tokoh-tokohnya. Adegan yang hanya menyajikan fakta memberikan ruang bagi imajinasi penonton untuk bebas menafsir. Dialog yang minim juga semakin menegaskan konstruksi imaji yang ingin menekankan pada aspek kedalaman fokus. Gambar-gambar yang direkam tidak dipotong-potong agar spontanitas aksi dapat dipertahankan. Struktur naratif filem ini hormat pada kredo-kredo neorealisme yang mementingkan representasi realitas. Dengan menganut falsafah ini, Jermal tetap menjaga sisi ambiguitas dari peristiwa dalam bentukan filem sebagai sebuah penampakan. Jermal dalam filem ini bukanlah sekadar perkara latar, melainkan mikrokosmos kehidupan yang dialami oleh penghuninya beserta segala keriuhan dan pergulatan yang terjadi di dalamnya. Jermal dikonstruksi sebagai dunia kehidupan (lebenswelts)—meminjam terminologi Husserl—yang memiliki konvensi-konvensi dan etik sosial, seperti keterasingan, kerasnya pekerjaan, daya tahan hidup dan hak-hak yang tergilas. Sisi ironi inilah yang tertancap kuat dalam bingkai kehidupan di jermal. Filem ini melambangkan kisah seorang laki-laki yang terperangkap dalam hidupnya; terasing secara fisik dan mental, namun dipaksa untuk membuka diri akibat pertemuan dengan anak kandung yang belum pernah dilihatnya. Jermal menggambarkan kehidupan seperti laut, tak bisa ditebak; dan kebenaran seperti masa lalu, tak bisa ditinggalkan begitu saja.

Foto-foto oleh Faita Novti Krishna

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search