In Wawancara

Pada saat proses produksi filem Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan, tim produksi mewawancarai JB Kristanto seorang jurnalis senior. Ia juga dikenal dari sedikit kritikus filem yang ada di Indonesia. Buku ‘Katalog Film Indonesia 1926-2007’, merupakan salah satu sumbangan terbesar bagi pengetahuan sejarah filem Indonesia. Selain itu, saat ini ia aktif mengelola www.filmindonesia.or.id, sebuah website yang secara khusus mengulas filem Indonesia. Pada wawancara di rumahnya pada 25 April 2012 ini, hadir Hafiz (editor Jurnal Footage), Syaiful Anwar ‘Paul’ (kamera) dan Mohamad Fauzi (asisten kamera). Mas Kris, begitu kami memanggilnya, bicara banyak hal dari sejarah estetika filem, distribusi dan monopoli, kritik filem, hingga arsip filem Indonesia. Transkripsi wawancara ini adalah yang terlengkap dari sesi wawancara yang kami lakukan lebih dari 200 menit. Jurnal Footage melakukan editing dan penyelarasan bahasa, tanpa mengurangi subtansi dari wawancara itu sendiri. Selamat membaca.

JB Kristanto

Hafiz: Pertama, saya ingin tahu, Mas Kris kapan mulai terlibat di filem atau mulai menulis tentang filem?

JB Kristanto: Tulisan pertama saya, …tahun berapa ya? Tahun 1970 atau 1971 ya…? Di Harian Kompas. Saya belum masuk, baru kirim tulisan resensi saja ke Kompas.

Hafiz: Waktu itu menulis tentang apa?

JB Kristanto: Resensi filem. Saya lupa… Tapi di buku saya Nonton Film, Nonton Indonesia (2004, red), rasanya ada. Kalau gak salah resensi filem ‘Mama’ karya Wim Umboh…

Hafiz: Kenapa tertarik dunia filem?

JB Kristanto: Gara-gara nonton! Waktu itu ada dua pusat kebudayaan asing yang rutin memutar filem, di luar bioskop. Pusat kebudayaan Perancis, Pusat Kebudayaan Cekoslowakia, yang sekarang sudah gak ada. Pusat Kebudayaan Cekoslowakia ada di jalan Juanda, seberang Istana Negara. Di situ rutin nonton. Tiba-tiba saya melihat ada jenis filem yang lain sama sekali. ‘Filem’ yang sebelumnya cuma saya anggap hanya media hiburan, ternyata bisa menjadi ‘kesenian’. Hal itulah yang ‘menarik’ saya. Awalnya tertarik, rutin nonton, lalu cari buku… ya sudah, mengalir saja! Waktu itu kan belum ada DVD dan di Taman Ismail Marzuki (TIM) juga rutin sebulan sekali… gak persis seperti Kineforum sekarang ya… ada keanggotaan, semacam ‘kine club’. Ada bergiliran ‘pekan-pekan filem’ setiap bulan. Bergantian… ada pekan filem Swedia, Jerman, Amerika, sehingga makin banyak referensi filem yang saya dapat.

Hafiz: Apa yang membedakan antara filem yang ada di pusat-pusat kebudayaan itu dengan filem yang Anda ketahui sebelumnya, yang Anda sebut tadi bisa juga disebut ‘kesenian’?

JB Kristanto: Ya… sama dengan kesenian lainnya. Filem bisa menjadi ‘personal statement’ dari pembuatnya. Itu yang membedakan. Jadi bukan sekedar kita tertawa, menangis, atau takut, tapi ada ‘sesuatu’! Masalah-masalah sosial, bisa tampil juga disitu. Gak usah dikasih ‘gula-gula’ atau ‘selimut’, telanjang saja, bisa kelihatan gitu. Itu yang menarik buat saya. Problemnya yang menarik!

Hafiz: Problem kultural yang ada di dalam situ?

JB Kristanto: Ya! Kultural maupun problem sosial.

Hafiz: Berapa presentase filem Indonesia yang seperti Mas Kris maksud itu ada?

JB Kristanto: Dari dulu sampai sekarang, sama ya…! Kecil sekali! Lalu saya masuk Harian Kompas, jadi wartawan. Boleh dibilang hampir sepanjang karir saya di situ, selalu ada ‘latar’ kebudayaan. Meskipun  pindah-pindah, pernah di desk opini, di Kompas Minggu, tapi perhatian saya tetap di kebudayaan. Tulisan dan liputan saya sebagian besar kebudayaan. Sehingga semakin membentuk pandangan saya terhadap problem kultural maupun problem sosial di Indonesia.

Hafiz: Kalau kita lihat apa yang selalu dipersoalkan kalangan aktivis filem atau kebudayaan, yaitu; dominasi, seperti yang Mas Kris bilang “dari dulu sampai sekarang sama saja”.  Dalam sejarah, seperti Usmar Ismail  sudah memulai, yaitu, keberpihakan pada bidang kebudayaan, politik, dan nasionalisme, menurut Mas Kris, bagaimana perubahan-perubahan itu dari zaman Pareh, hingga sekarang?

JB Kristanto: Terus terang saja, kalau filem tahun 1930an dan 1940an, saya belum pernah menonton sampai sekarang. Cuma lihat gambar-gambarnya dan ceritanya. Pak Misbach banyak membantu saya memahami hal itu. Waktu saya diminta untuk mengantarkan launching hasil restorasi Lewat Djam Malam di Singapura, saya bilang “Usmar adalah sutradara Indonesia pertama, yang memperlakukan filem, bukan sebagai hiburan semata, tetapi sudah menjadi pernyataan pribadi dia tentang situasi yang ada pada saat ia membuat filem”. Karena itu pada saat filem (Lewat Djam Malam, red) diputar, saya memberikan latar belakang sosial politik Indonesia. Taruh lah dalam filem Lewat Djam Malam, itu baru merdeka, de facto merdeka, karena kita dari 1945 hingga 1950, perang terus. Berhenti perang itu tahun 1950. Tahun 1954, Usmar Ismail membuat Lewat Djam Malam. Sebelumnya. tahun 1952 kalau gak salah, dia bikin Long March (Darah dan Doa, 1950, red). Long March dan Lewat Djam Malam, temanya sama buat saya, yaitu, hubungan sipil dan militer, bahwa perang Revolusi itu sebenarnya kotor, gak bersih-bersih amat, dan gak heroik. Itu kan beda sama sekali. Bahkan sampai dengan tahun-tahun… katakanlah kita badingkan dengan Janur Kuning (Alam Rengga Surawidjaja, 1979, red), Serangan Fadjar (Arifin C. Noer, 1981, red)… segala macem, yang heroik ya… Juga dengan sandirawa-sandiwara televisi dan sandiwara di RT (Rukun Tetangga) kalau acara ‘Tujuh Belasan’, pandangan Usmar beda sekali. Meskipun harus kita akui pandangan Usmar dalam Long March dan Lewat Jam Malam, lalu juga yang berikutnya Tamu Agung (1955) yang diputar di Singapura kemarin, Tamu Agung itu tahun  1955, dan dia ‘meledek’ Soekarno jelas-jelas. Ternyata dia itu gak ditangkap. Kalau kata Pak Misbach Yusa Biran “orang gak ngerti!” gitu kan? Tapi itu jelas ‘meledek’ Soekarno, partai-partai sampai ke ‘ujung gunung’ itu memecah belah orang, dan menjadikan ‘ruwet’ semua urusan. Jadi, secara ‘paradigma, ia lompat dari filem-filem kita sebelumnya! Coba saja lihat dari judul-judulnya; Loetoeng Kasaroeng (1926, red) hingga Long March, Usmar Ismail membuat lompatan jauh. Itu  juga baru belakangan saya sadar. Usmar sudah menjalankan yang disebut author theory yang dirumuskan oleh Andre Bazin. Ia sudah melakukan jauh sebelum teori itu keluar. Teori itu kan keluar pada akhir 1950-an, ya? 1960-an dengan new wave segala macem. Saya gak tahu dari mana Usmar bisa begitu. Ada yang bilang itu pengaruh neorealisme Italia, mungkin saja. Tapi toh… apapun ya… dia sudah merumuskan itu! Pendapat Usmar ini kalau di sastra Indonesia bukan hal yang baru. Kita kenal ada pada Idrus, bahwa Revolusi itu yang kotor dan gak bersih-bersih amat. Ada di cerita-cerita Idrus, Pramoedya Perburuan (Balai Pustaka, 1950, red) dan Keluarga Gerilya (Balai Pustaka, 1950, red) sudah ada. Usmar itu orangnya bergaul, ‘sesuatu’ yang sebelumnya gak ada. Sejarah filem kita kan seperti yang ditulis Pak Misbach sebagai ‘Sejarah Anak Wayang’! Sejarah Anak Wayang artinya, mereka yang berkecimpung, mulai dari pedagang China yang tertarik pada filem, lalu membuat filem pada tahun 1930-an, menggunakan cerita-cerita China peranakan, seperti Njai Dasima (Lie Tek Swie, 1929, red), Bunga Roos dari Tjikembang (The Teng Chun, 1931, red), Zubaidah, kalau Anda lihat ditulis oleh… bukan jelek, ya… cuma dulu gak dianggap oleh Balai Pustaka. Bukan standar. Tapi sekarang sudah berubah… ternyata berperan besar dalam sastra kita. Karya Lie Tek Swie, yang pernah diterbitkan KPG (Kepustakan Populer Gramedia), seri tulisan yang pernah difilemkan pada saat itu. Melodramatik…! Sangat melodramatik…! Dan niatnya memang cari duit, karena pedagang yang mengawali. Lalu mereka merekrut… karena ini dagang, mereka merekrut pemain-pemain yang sudah dikenal oleh masyarakat. Pemain-pemain itu macam Tan Tjeng Bok (1899-1985, red), Roekiah (1917-1945, red), Miss Tjijih, adalah orang-orang yang sudah kenyang pengalaman di panggung, yang disebut sandiwara. Dardanella, Bintang Timor, semacam itu. Panggungnya pindah-pindah. Pertunjukan mereka boleh dibilang kayak “kabaret”. Mereka menyanyi. Tapi jangan lupa, mereka sudah menyadur cerita-cerita Shakespeare dalam ‘repertoire’ mereka. Tapi sudah jadi lain sama sekali. Kecuali cerita-cerita semacam 1001 Malam, itu selalu. Tapi dari benih-benih ini, juga muncul naskah-naskah asli drama Indonesia, Dr Samsi (1930, Andjar Asmara, red). Dan kebetulan pada tahun berapa ya? Waktu itu meliput… keliling Jawa saya, bersama Sardono dan Bre Redana, sampai ke ujung Timur, di daerah Puger, Jember Selatan, di situ ada suatu panggung sandiwara, yang punya namanya Pak Amir. Pak Amir ini adalah bapaknya salah satu pemain perempuan Srimulat, dia mementaskan naskah tahun 1940an, 1930an itu. Saya sangat beruntung bisa lihat itu.

Hafiz: Apa dia intepretasi ulang?

JB Kristanto: Nggak…! Dia dulu ikut Bintang Timoer, kelompok sandiwara itu… jadi dia meneruskan saja. Naskahnya asli. Saya melihat benang merahnya, dari naskah-naskah itu, filem-filem masa itu, cerita dan novel China Peranakan tadi, sampai ke cerita-cerita filem kita, sinetron, itu masih sama! Benang merahnya itu masih sama! Intinya adalah melodrama…! Itu yang dominan dalam warna perfileman kita. Boleh dibilang, itu telah terbukti laku, sehingga ‘resep’ itu dipakai terus.

Hafiz: Apa bisa saya bilang ini adalah salah satu kegagapan kita pada konsep ‘modernitas’ dalam kebudayaan? Atau belum siap menerima perubahan dalam konteks kebudayaan, karena dalam filem ada teknologi dan sebagainya. Kalau kita merujuk filem di Amerika Latin misalnya, juga sama membawa hal yang ‘melodramatik’ seperti yang Mas Kris bilang, namun dibungkus dengan sesuatu yang lebih ‘jenial’. Apakah ini sebuah gambaran bahwa pemecahan persoalan kebudayaan dalam konteks filem ini tidak tuntas?

JB Kristanto: Enggak…! Tadinya saya berpendapat begitu. Tapi lama-lama saya berpikir ulang, kenapa sih sebetulnya terjadi seperti itu? Saya harus berpikir keras… yang paling jelas kan logika, ya.  Logikanya (filem kita, red) itu kan gak masuk akal, katakanlah begitu. Boleh dibilang tema kritik saya selama ini. Bahkan sampai ke Garin Nugroho, maupun Nan T. Achnas,  ternyata mereka yang dibungkus oleh ilmu baru, postmodern lah… apalah namanya,… Tapi sebenarnya mereka gak menguasai logika yang rigit dan keras. Yang terjadi sebetulnya adalah akulturasi, semacam hybrid saja gitu. Sinkretisasi yang sebetulnya terjadi. Jadi, bagaimana orang kita menggunakan alat, atau menafsirkan masalah dengan cara dan berpikir mereka, sebetulnya itu lah yang terjadi. Nah, karena itu yang saya kritik cara berpikirnya. Bukan gagap teknologi atau segala macam. Contohnya begini, kalau Anda lihat panggung-panggung rakyat, itu hampir tidak ada nuansa cahaya, semuanya terang, perhatikan saja ludruk, wayang…

Hafiz: Flat…?

JB Kristanto: Flat…! Kita akan menjumpai hal yang sama di filem-filem kita! Semuanya terang, tidak ada nuansa ‘cahaya’! Dia mau lucu, mau menakutkan, mau apa… dia ‘terang’! Coba aja perhatikan sampai filem tahun 1990an. Sesudah itu ada perubahan, ada kebutuhan yang cukup besar. Seperti bagaimana teknologi itu disinkretasi dengan cara dia. Nah, ini juga berlaku pada struktur penceritaan. Jadi, bukan hanya teknologi secara fisik, tapi juga ‘teknologi’ cara bertutur, yaitu dramaturginya. Dramaturgi (filem) kita itu sama dengan dramaturgi wayang dan novel-novel pop. Coba bandingkan dengan novel-novel pop Marga T atau sekarang yang lagi populer siapa lah… Andre Harera apa?

Hafiz: Andrea Hirata…!

JB Kristanto: Andre Hirata! Ada juga Lima Menara siapa nih…? Lalu bandingkan dengan Lie Tek Swie, sama! Secara prinsip itu sama! Itulah yang dibawa ke filem. Dalam hal ini, Usmar Ismail menjadi pengecualian.

Hafiz: Kenapa hal itu bisa terjadi? Kalau kita badingkan dengan karya sastra yang cukup baik dalam bertutur, seperti Pramoedya, Mochtar Lubis, menurut saya cukup bisa menghasilkan ‘sesuatu’ yang dicoba dimulai oleh Usmar Ismail. Dan itu pun kita  cukup ‘tua’ dalam hal filem, yaitu lebih dari 50 tahun yang lalu.

JB Kristanto: Mungkin… ini mungkin, saya hanya spekulasi… pendidikan! Pergaulan! Artinya, lebih pada pergaulan gagasan. Orang-orang sastra kita itu bergaul dengan orang intelektual-intelektual pada zamannya, dan akrab. Coba bandingkan dengan zaman awal, Tito Adisuryo. Sekarang kita tahu, karena berkat jasa Pramoedya kita tahu tokoh ini. Lebih kemari… ada Douwes Dekker, Tan Malaka… mulai tahun 1920an banyak orang kita yang belajar ke Belanda,  tapi ini betul-betul elitis dan sangat sedikit. Nah, sastrawan kita termasuk yang elitis yang sedikit ini. Mereka bergaul dengan gagasan-gagasan baru. Mereka menangkap “peradaban lain”, peradaban yang lebih rasional dibanding kita, dalam pengertian  rasional ala Barat, mereka menjadi ‘lain’. Nah, orang-orang sandiwara, tonil, Dardanella, dan filem, itu dunia lain. Mereka gak ada hubungan. Gak ada pergaulan. Usmar lah yang…

Hafiz: Menjembatani?

JB Kristanto: Bukan menjembatani! Dia bergaul dengan sastrawan, intelektual, politikus kita, seperti, Sudjatmoko dan Rosihan Anwar. Rosihan Anwar itu masuk  dalam Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia, red). Jadi, di situ sangat kelihatan kenapa dia beda. Orang-orang Perfini kalau kita lihat sekarang, kayak Pak Misbach… dia Perfini juga dan lulusan Taman Siswa. Taman Siswa itu salah satu kawah candradimuka, penggodokan intelektual kita. Di situ ada Pramoedya, Sjuman Djaja, gitu. Itulah yang membedakan Perfini dengan yang lainnya. Makanya sebetulnya tidak aneh kalau dia melompat ke filem, yang lain belum ada yang tertarik. Usmar lah yang mendobrak itu semua, ‘anak wayang’ yang mendasari budaya filem tadi, sehingga hasilnya beda.

Hafiz: Kalau memang cita-cita Usmar Ismail dan kawan-kawan adalah yang paling ideal, kemudian eksponennya mendirikan sekolah filem juga, yaitu LPKJ Departemen Sinematografi (IKJ). Namun, wilayah kultural yang dibayangkan oleh Usmar dan kawan-kawan, mayoritas tidak tampak pada filem-filem yang dihasilkan oleh lulusannya. Kenapa ini sepertinya gagal?

JB Kristanto: Enggak gagal! Hasilnya sekarang. Ternyata lama, gitu loh. Kita harus cukup sabar. Garin Nugroho adalah pendobrak pertama. Sebelum Garin, anak-anak IKJ terserah pada industrinya, kultur ‘anak wayang’. Garin lah yang menjadi tonggak, sesudah Usmar. Ada Sjuman Djaja… tapi dia larut juga. Sebagian, karena kekurangan praktis. Ada Teguh Karya, yang mencoba memperbaiki, dan filem-filem dia juga cukup baik, ada yang berhasil. Tapi secara umum saya melihat, Garin dan sesudahnya. Kenapa? Lagi-lagi menurut saya, kalau kita lihat ke belakang tadi bagaimana Usmar bergaul, itu saja masalahnya. Coba Anda lihat sekarang. Apa yang saya kritik dulu, tahun 1970an, 1980an, 1990an, mulai kelihatan dan membaik. Dramaturgi melodramatika itu, di tangan Riri Riza, Mira Lesmana… bahkan filem-filem horor kita itu, lebih ‘bisa’, katakanlah Reza Mantovani, mencoba merasionalisasi. Mereka tetap pakai ‘kuntilanak, ‘pocong’, tapi dirasionalisasi. Ada sebab akibat yang dicoba diramu. Itu kan berbeda sama sekali cara berpikirnya, dibandikan yang dulu. Mungkin generasi tahun 2000an lah. Tapi kenapa ini? Anda lihatlah latar belakang mereka. Memang yang cuma bergaul dengan intelektual cuma… mungkin Garin Nugroho, ya? Bahkan Garin itu dengan politikus dengan siapa pun, dengan LSM. Riri Riza dalam kadar yang lebih rendah… dia juga bergaul. Kita lihat itu sebenarnya yang terjadi. Sama saja seperti Usmar Ismail yang bergaul, sekarang sama. Dalam satu hal… ini tesisnya Salim Said; “pendidikan menentukan hasil”. Anak-anak wayang itu kan gak berpendidikan. Kru-kru filem kita juga gak berpendidikan. Bandingkan dengan sekarang, hampir semua lulusan IKJ dan banyak sekali yang mayoritas sekolah di luar negeri. Cara melihat mereka sudah beda sama sekali. Ada sisa-sisa yang tadi yaitu kultur anak wayang itu, bagaimanapun, gak akan hilang begitu saja. Tapi saya melihat perbedaan cara berpikir, cara bertutur. Tonggak pertama adalah filem Ada Apa Dengan Cinta (Rudi Soedjarwo, Miles, 2000, red); melodrama, remaja, resep umum… tapi dituturkan dengan masuk akal. Yang tadinya salah satu ciri melodrama kita adalah dia melebih-lebihkan semuanya; kalau sedih sampai melarat-larat, kalau perlu dibikin supaya sedih terus. Kalau ketawa dibikin supaya adegannya itu lucu terus, tanpa memperhatikan konteks sosial, tanpa memperhatikan peristiwa itu masuk akal atau tidak. Hanya kebetulan-kebetulan yang banyak terjadi. Dalam Ada Apa Dengan Cinta, saya lihat, itu sudah dikurangi banyak sekali. Mereka mencoba peristiwa-peristiwa yang berlangsung itu semua masuk akal. Semua ada latar belakangnya. Ada sebab akibatnya. Itu bedanya. Makanya saya bilang Ada Apa Dengan Cinta itu, boleh dibilang tonggak dalam perubahan cara berfikir dan cara bertutur.

JB Kristanto

Hafiz: Tapi kenapa akhirnya kita terjebak dengan cara bertutur yang sama? Misalnya begini, kemasan yang lebih sama, ketika Ada Apa Dengan Cinta hadir, semua jadi begitu. Juga seperti horor tadi, artinya kita punya semacam mental yang sama juga saya kira. Artinya, kita balik lagi dengan tesis yang tadi yaitu kultur anak wayang yang melakukan pengulangan-pengulangan terus.

JB Kristanto: Menurut saya itu hukum dagang saja. Ya… mau ngapain…! Orang kan mau cari gampang dan untung, ya? Kalau ada yang bisa untung dengan gampang kenapa mesti susah? Sebetulnya sesederhana itu. Saya kasih perbandinganlah untuk hal ini, saya pernah dapat fellowship dari Japan Foundation, empat bulan saya di Jepang. Saya mengamati masyarakat di sana, coba sekarang kita bandingkan…. Suzuki, Honda, Toyota, apalagi, merek-merek yang ada di sini sekarang, Daihatsu, Nissan, semua membuat mobil yang sama. Dari MPV yang kayak bis kecil, sampai ke MPV yang ‘gede’ kayak Alphard. Sedannya juga, cc-nya sama, segmen pasarnya sama, gitu. Di sini itu sudah biasa. Menurut saya, sesimpel itu penjelasannya.

Hafiz: Tapi kan kalau balik lagi kepada impresi pertama Mas Kris terhadap filem, saat pertanyaan pertama saya tadi, sepertinya Anda tertarik pada filem karena persoalan estetika atau kesenian. Pertanyaan saya sekarang, apakah cita-cita filem itu pada dagang itu atau kebudayaan?

JB Kristanto: Gak lain, harus dua-duanya! Yang ‘kebudayaan’ itu, dimana pun adalah minoritas.  Karena apa? Kesenian ini (filem) adalah teknologi. Itu bedanya dengan lukisan, sastra, dan teater. Sangat sarat dengan teknologi…! Dan itu mahal, meskipun dengan digitial, diharapkan bisa lebih murah. Tapi saya gak begitu yakin. Tapi memang mahal. Sehingga dia membutuhkan satu infrastruktur tertentu untuk membiayainya. Jadi, mau gak mau!

Hafiz: Jadi ‘industri’ harus tetap ada?

JB Kristanto: Harus! Harus dimana pun. Kalau gak ada industri, yang terjadi adalah subsidi. Itu terjadi di negara-negara Eropa, seperti negara-negara Skandinavia, industri filemnya gak ada.  Bahkan katakanlah negara yang “jagoan” kebudayaan, Perancis, melakukan hal yang sama. Jadi, mau gak mau memang, filem sebagai kesenian itu minoritas. Kalau tidak ditunjang dengan industri, tidak akan muncul. Contoh yang paling gampang adalah Amerika. Amerika itu luar biasa, semuanya swasta gak ada subsidi, tapi kenapa mereka bisa memunculkan kesenian? Sundance (Sundance Film Festival) itu, adalah contoh dari kemasan pemberontakan terhadap Hollywood. Tapi hasilnya Sundance diambil sama Hollywood. Banyak pemenang Sundance diambil sama Hollywood. Bukan hanya itu, Hollywood juga menyerap tenaga-tenaga yang ideal dari seluruh dunia, Ang Li, contohnya… Zhang Yi Mao saja yang gak buat di sana. Jadi, kalau industrinya matang betul, mereka tahu, bahwa mereka gak akan hidup tanpa itu (kultural, red).

Hafiz: Dalam konteks Indonesia, apakah ada industri filem Indonesia? Kan dalam industri itu sendiri ada prasyarat-prasyaratnya?

JB Kristanto: Betul… betul!

Hafiz: Saya bicara begitu, kan gak fair juga kalau kita membandingkan dengan Hollywood?

JB Kristanto: Beda sama sekali…! Beda sama sekali…! Menurut saya ada industri…! Dalam pengertian ada orang produksi, penyedia alat, menyewakan, distribusi yang teratur… itu semua prasarana. Cuma skala industrinya saja… ‘industri rumahan’! Siapa sih produser kita yang paling besar, sekarang? Yang paling rajin… katakanlah Chand Parwez, setahun paling enam filem. Yang lainnya? Satu, dua… gitu. Tapi ada terus. Dan saya melihat dari tahun 1950-an sampai sekarang, tidak pernah ada tahun yang lowong produksi. Selalu ada! Meskipun setahun cuma dua, tiga atau empat, tapi ada. Bahkan Anda mungkin kaget, tahun 1965, ada tujuh atau delapan filem. Jadi, gak pernah berhenti. Itu menurut saya adalah ‘kelihatan’ orang-orang filem. Dalam situasi apapun, ada yang bertahan, muncul lagi, kayak menarik lagi… dan tumbuh lagi.

Hafiz: Yang saya maksud dengan industri tadi kan tentang strukturnya. Bagaimana kita membuat sebuah standarisasi sebuah produksi filem? Seperti bagaimana seseorang bisa disebut sutradara, kameraman, editor dan sebagainya. Sebuah industri kan membuat ukuran-ukuran tersebut.

JB Kristanto: Saya tadinya berpikir begitu, tapi sekarang gak lagi. Apa perlu perlunya standar-standar kayak gitu?  Biar sajalah…! Karena industrinya juga ‘industri rumahan’ kok. Kenapa kita perlu standar-standar yang kaku kayak gitu? Terus terang saja, gak akan jalan! Karena kalau ada standar keterampilan macam itu, akan ada konsekuensi lain, yang tidak akan bisa dipenuhi oleh industri produksi kita sekarang ini. Kecuali ada studio yang besar sekali, dia bisa memproduksi banyak filem, itu pun sekarang sudah gak lagi. Hollywood pun sudah gak bisa. India saja yang masih bisa. Karena India produser filem terbesar di dunia. Ada 700-an hingga 800-an filem setahun. Hollywood cuma sekitar 200-an filem. Hongkong saja sudah hancur. Saya juga ragu apakah di India juga ada standarisasi ketat itu, apalagi India negara berkembang. Kalau ada standarisasi keterampilan, ada konsekuensinya; standarisasi honor, asuransi, dan segala macem. Kaitannya akan ke sana dan sukar dipenuhi. Biaya akan sangat tinggi sekali, sementara pasar nggak. Yang bisa memenuhi ini cuma Amerika Serikat. Karena apa? Pasar dia dunia. Pasar kita cuma 200 juta orang. Itu pun yang nonton filem mungkin gak sampai 100 juta. Gak sampai separuhnya, karena bioskop kita cuma ada 600 layar. Hitung saja! Kalau 600 kali 200 kursi atau 300 kursi rata-rata, itu kan hanya 18 ribu. Itu pun kalau penuh. Kita hitung separohnya, 9 ribu, kali setahun, 365 hari, cuma berapa juta, sih? Itu pasar kita. Dengan pasar yang kayak begitu, kan gak mungkin kita bikin filem… katakanlah 1 juta dolar. Itu dianggap gak ada artinya di Hollywood. Paling di atas 20, 30 juta dolar gitu. Gak balik duitnya…!

Hafiz: Tadi kalau kita menyebutnya ‘industri rumahan’, kenapa para pengusaha atau pembuat filem tidak berani dengan potensi pasar kita yang sampai 100 juta itu?

JB Kristanto: Butuh modal besar! Siapa yang bisa? Kenapa sekarang cuma ada 600 layar? Kan harusnya lebih dari 6000 layar, 10 kali gitu. Kalau kita sampai 10 kali lipat, berarti kita bisa sampai ke 100 juta penonton. Sekarang realistis saja, mau gak mau dengan potensi pasar sekarang, kita gak bisa lagi bikin bioskop satu layar. Iya kan? Karena gak akan menguntungkan. Sehingga harus ada empat layar paling tidak, supaya dia bisa jalan. Karena cara distribusi dan infrastruktur peredaran yang ada sekarang memang mengharuskan begitu. Untuk satu layar saja dibutuhkan berapa milyar, apalagi dengan peralihan proyektor yang analog ke digital. Proyektor digital itu 1 milyar lah kayaknya. Itu baru proyektornya. Kursinya? Layarnya? Karena semuanya harus memenuhi syarat. Melengkungnya layar harus sekian derajat, segala macam itu. Bukan kain sprei kan yang buat layar? Ada bahan khusus yang agak bolong-bolong sedikit itu, sehingga begitu ada gambar kayak ada tiga dimensinya gitu. Belum sound. Kalau kita gak bisa memberikan dolby di bioskop, ya… mendingan nonton di rumah. Sama! Dengan harga yang lebih murah, kita bisa membuat dolby digital di rumah. Sangat murah dibandingkan bikin bioskop. Peralatan-peralatan elektronik sekarang sudah memungkan kita di rumah pakai surround digital, dolby, sudah sama di bioskop. Mungkin (harganya) gak sampai 10 juta. Pengalaman pergi ke bioskop itu, harus pengalaman yang lain daripada pengalaman di rumah, kan? Makanya saya bilang; modal! Membutuhkan modal yang sangat luar biasa besar. Dan gak ada yang berani. Dan gak bisa sekaligus jalan… bikin! Kecuali kayak Lotte (perusahaan Korea, red.) yang berniat membikin 100 layar. Dia punya uang, tapi menurut saya bukan hanya itu. Dia akan di-backing oleh filem-filem Korea, jaringan dia, distribusi di Korea, segala macem. Sehingga gak gampang…! Kenapa orang-orang kita gak mau? Ya… pecah dulu dong monopoli! Akhirnya ke situ! Selama sumber filem ada di satu filem, gak ada orang yang mau masuk. Itu sebabnya, harus itu yang dipecah. Makanya dalam salah satu tulisan saya bilang, “buka itu impor filem, biar mereka langsung kemari! SBY Kurang apa sih? Katakanlah kalau kita mau becanda saja; mau bangun jembatan Selat Sunda saja bisa, masa bikin sekian ratus layar saja gak bisa? Menurut saya masalahnya di situ.

Hafiz: Kita masuk ke wilayah policy

JB Kristanto: Iya…!

Hafiz: Kalau dari amatannya Mas Kris, dari tahun 1970an, pas masih aktif sebagai wartawan, kenapa kran itu diambil oleh segelintir orang? Kita tahu Sudwikatmono dekat dengan lingkarannya Soeharto. Terus setelah ‘kekuasan’ yang menopang itu jatuh, tapi toh masih dikuasai oleh segelintir orang itu. Kenapa? Kenapa dia tidak bisa direformasi seperti bidang-bidang lain?

JB Kristanto: Sebetulnya, segelintir orang yang sekarang ini adalah ‘yang terakhir’. Sebelumnya yang sama, ganti-ganti saja! Intinya adalah impor filem itu adalah menjadi ‘sapi perahan’ untuk kementrian yang bertanggung jawab. Itu saja sebetulnya. Cuma yang terakhir ini lihai sekali, ada Reformasi dia dapat ‘gantolan’ kekusaan lagi, sehingga langgeng. Lalu, menjadi begitu kokohnya. Ini kan awalnya dari Ali Moertopo yang sekarang ini. Ali Moertopo memberikan monopoli impor kepada Sudwikatmono, Suptan Film, Benny Soeherman sekarang. Awalnya kan begitu, tadinya enggak. Tadinya masih pecah-pecah, tapi semuanya setor ke Departemen Penerangan waktu itu. Ini seperti ‘sapi perahan’. Salah satu yang sangat mencolok dari hasil ‘sapi perahan’ ini, gedung Dewan Pers sekarang ini, yang di Kebon Sirih. Itu kan (berdiri, red.) zamannya Ali Moertopo. Itu yang membangun Suptan Film… yang sekarang apa namanya saya gak tahu PT apa. Dari Suptan jadi Subentra, trus menjadi apa, tapi orangnya sama.

Hafiz: Tapi setelah Reformasi ‘cantolannya’ kemana?

JB Kristanto: Gak tahu…!

Hafiz: Masih bisa langgeng begitu, ya?

JB Kristanto: Iya…! Ternyata masih.

Hafiz: Aktivis filem juga sudah ‘berkoar-koar’, seperti kasus ‘penyetopan’ impor filem dan lain sebagainya. Gak berubah juga, ya?

JB Kristanto: Enggak…! Dan Lotte ini juga gak akan bisa masuk, loh.

Hafiz: Oh ya?

JB Kristanto: Karena? Bioskop itu masih negative list dalam investasi. Jadi, orang asing gak bisa bikin bioskop di sini. Salah satu industri yang diproteksi dengan ‘daftar negatif’ itu adalah, karena industri itu masih dianggap bayi! Masuk akal gak sih? Sampai sekarang masih begitu…!

Hafiz: Masih bayi?

JB Kristanto: Iya…! Padahal sudah kayak apa mereka ini. Sementara tahun lalu, ada yang lepas dari negative list di bidang film, yaitu; Lab filem (labolatorium). Sekarang orang asing bisa bikin Lab, padahal ini benar-benar masih bayi.

Hafiz: Dalam konteks teknologinya ya?

JB Kristanto: Iya…! Bikin Lab itu mahal sekali dan pendapatannya gak seberapa. Jadi aneh memang…!

Hafiz: Kenapa? Dari pengalaman Mas Kris bertahun-tahun, kenapa policy maker melihat itu tetap bayi?

JB Kristanto: Masalah loby…! Gak ada yang lain.

Hafiz: Apa karena knowledge mereka dan sebagainya?

JB Kristanto: Oh… enggak…! Itu masalah duit saja. Gak ada konteks apa-apa. Teknologi mau beli, gampang kok! Gak… Gak… Gak ada itu! Itu soal duit saja! Dalam Undang-undang Perfileman yang baru, tahun 2008, eksplisit disebutkan; “perfileman itu di bawah menteri yang membidangi kebudayaan”. Eksplisit…! Itu gak ada tafsir-menafsir! Makanya dulu di bawah Direktorat Perfileman Budpar karena budaya dan pariwisata, di bawah Dirjen Kebudayaan. Sekarang namanya bukan Budpar lagi, Kementerian Parwisata dan Ekonomi Kreatif. Kebudayaan di pindahkah ke Pendidikan. Kenapa filemnya masih tetap di situ? Yang dipindah ke kebudayaan hanya arsip dan sensor. Industrinya tetap di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, karena  dianggap industri, bukan kebudayaan! Akal-akalan saja kan? Di pecah dua sekarang filem, gak di satu kementrian. Kok bisa gitu? Kok bisa komprominya kayak begitu? Kalau gak kompromi, saya pikir gak ada lain. Dan ada orang-orang yang berkepentingan keras supaya dia di sana. Itu dugaan, pasti dugaan! Karena gak ada bukti kok. Tapi kan dengan mata telanjang kan bisa lihat. Kita bisa duga apa yang terjadi di situ.

Hafiz: Kalau boleh tahu berapa perputaran uang di filem, sampai-sampai policy maker atau orang-orang yang punya kepentingan begitu gigih?

JB Kristanto: Gak tahu…! Gak tahu saya. Itu hanya bisa diduga-duga. Hanya bisa diduga-duga! Karena data tentang itu hampir gak ada.

Hafiz: Gak bisa diukur dari jumlah penonton dan sebagainya?

JB Kristanto: Dari kita dapat data itu? Apalagi data filem impor, dari mana, coba?

Hafiz: Dari mereka juga?

JB Kristanto: Nah dia…! Itu yang menurut Undang-Undang gak bisa dilaporkan ke kementrian tapi gak perlu dilakukan, dengan alasan tidak ada peraturan pelaksanaan sampai sek merdeka, karena kita dari 1945 hingga 1950, perang terus. Berhenti perang itu tahun 1950. Tahun 1954, Usmar Ismail membuat em Apa bisa saya bilang ini adalah salah satu kegagapan kita pada konsep ‘modernitas’ dalam kebudayaan? Atau belum siap menerima perubahan dalam konteks kebudayaan, karena dalam filem ada teknologi dan sebagainya. Kalau kita merujuk filem di Amerika Latin misalnya, juga sama membawa hal yang ‘melodramatik’ seperti yang Mas Kris bilang, namun dibungkus dengan sesuatu yang lebih ‘jenial’. Apakah ini sebuah gambaran bahwa pemecahan persoalan kebudayaan dalam konteks filem ini tidak tuntas?pa/emprang. Padahal Undang-Undang itu mengharuskan setiap departemen membuat peraturan setahun setelah diundang-undangkan. Sekarang 2011, mana peraturan pelaksanaan? Mereka tidak punya kewajiban untuk mengeluarkan data itu… Gak ngerti saya, terus terang aja… tapi pasti besar. Artinya kan gini, anda bisa kalkulasi sendiri sekarang, kita ngasih data perfileman nasional, cuma data penonton bukan data rupiahnya, tapi kita kasih clue, kita kasih… kalau mau memperkirakan ‘gros’  pendapatan di filem nasional, kita kasih di halaman web kita. Tahun ini jumlah penonton kali 22 ribu. Sekarang tinggal jumlahkan saja semuanya, lalu kali 22 ribu. Sampai bulan ini jumlah penonton filem Indonesia sampai sekitar 4 jutaan lebih, dikali 22 ribu… kira-kira 80 milyar. Itu baru filem nasional. Kalau mau filem impor, sekarang data yang ada di web, Anda bisa cari di Mojo, cuma ada film MPA (Motion Picture Association). Karena itu kewajiban mereka melaporkan ke MPA. Bukan ke departemen sini, tapi ke Amerika. Itu bisa dilihat dan bisa hitung juga sendiri pendapatannya. Yang lucu dari Januari sampai April ini (2012), filem Amerika, MPA ya, karena di luar filem MPA masih ada puluhan filem lain, yang disebut independen, itu ada puluhan. Bahkan saya dengar, di gudang mereka yang import filem itu, ada ratusan filem yang diputar. Kenapa ada ratusan? Karena mereka beli saja semua. Supaya gak ada ‘pemain lain’ yang bisa beli. Sesimpel itu…!

Hafiz: Di dalam Undang-Undang Persaingan Usaha kan ada aturan anti monopoli?

JB Kristanto: Karena secara legal gak monopoli!

Hafiz: Jelas monopoli dong dari penjelasan tadi?

JB Kristanto: Prakteknya di lapangan monopoli! Tapi secara legal; kepemilikian dan segala macam, gak ada monopoli. Namanya lain-lain semua.

Hafiz: Jadi, secara badan hukumnya beda-beda, ya?

JB Kristanto: Iya…! Bahkan saya bilang; ini orang ada di sini… sini dan di sini…! Tapi mereka berhasil terus membuktikan bahwa mereka gak monopoli. Dan lucunya, dan paling lucu dari Undang-Undang Persaingan Usaha itu, dalam undang-undang persaingan usaha itu, adalah undang-undang itu Undang-Undang Persaingan Usaha, dan bukan Undang-Undang Anti Monopoli! Nah di situ krusialnya. Sehingga mereka bisa leluasa. Mereka gak menghalangi ada pemain masuk. Siapa saja boleh impor.

Hafiz: Konteks monopoli disebut gak dalam Undang-Undang itu?

JB Kristanto: Gak ada monopoli…! Kalau undang-undang anti monopoli di luar negeri, sederhana sekali; “mereka yang menguasai pasar lebih dari 50% atau 60%, itu monopoli!” Nah, di peraturan itu gak ada…! “Boleh menguasai pasar atau dominan di pasar, 80%  atau 90%, tapi tidak boleh menghambat untuk pemain lain!” Hanya itu. Ya… gampang toh…! Dia gak menghambat kok! Orang mau impor, silahkan! Mau putar, kita puterin! Jadi, masalahnya ada di undang-undang. Saya gak tahu kenapa undang-undang jadi kayak begitu bunyinya. Pasti lobi-lobinya. Bukan hanya di filem, di berbagai bidang.

JB Kristanto

Hafiz: Oke, balik tontonan yang Mas Kris dari tahun 1970-an. Kami dari Forum Lenteng bukan tidak memikirkan industri, tapi kami melihat dengan cara lain; dengan cara kritisisem. Menurut Anda, dalam rentang waktu, dari tahun 1970an sampai sekarang, berapa persen filem yang dibuat dengan bungkusan ‘kesenian’ dan kebudayaan itu?

JB Kristanto: Kalau presentasinya saya gak tahu.

Hafiz: Ya kira-kira…?

JB Kristanto: Gak tahu saya. Mesti hitung ulang. Anda lakukan sendiri juga bisa dari katalog atau website saya. Berapa judul filem yang kita anggap kesenian dan yang bukan hanya hiburan?

Hafiz: Kalau bagi Mas Kris ‘masa emas’ filem Indonesia kapan?

JB Kristanto: Maksudnya ‘masa emas’ itu banyaknya produksi?

Hafiz: Bukan! Ada presentasi yang bisa kita anggap cukup banyak filem yang berkualitas.

JB Kristanto: Nggak ada…!

Hafiz: Misalnya dalam setahun menghasilkan lima film yang baik. Seperti pada tahun 1977 atau 1978 yang sempat ramai, Festival Film Indonesia gak ada filem terbaik.

JB Kristanto: Iya, itu kan FFI. Beda perspektifnya, dalam pengertian gak ada filem yang dianggap baik pada tahun itu. Tapi, sekarang sederhana saja, berapa gelintir orang yang kita anggap pembuat filem bikin filem dengan niat berkesenian? Kan gak banyak? Itu aja sebenarnya, sesederhana itu. Bukan berarti itu akan mati, nggak! Itu akan terus ada. Saya gak pesimis dalam soal itu. Akan terus ada. Akan terus muncul orang-orang semacam itu. Cuma itu memang ‘nasib’ dalam industri dan dunia filem, dia selalu memang minoritas. Tapi, tanpa orang-orang ini, berhenti filem…!

Hafiz: Dia akan tetap penting?

JB Kristanto: Tetap penting! Dia akan terus ada…! Dia akan terus mencoba menggali, mengubah birokrasi segala macem, memberikan visi yang baru, akan ada. Kita belum tahu saja. Sesudah Garin ada Edwin yang bergerilya. Bikin filem 3 tahun lamanya. Gak gampang. Terlepas dari hasilnya, tapi niatnya. Bahkan dia berani melawan sensor. Filemnya gak ada yang di sensor, karena itu dia gak putar (di bioskop). Itu contoh-contoh yang mencoba mendobrak. Dan akan selalu ada orang-orang kayak begini. Jadi gak usah pesimis menurut saya. Meskipun satu atau dua orang. Gak apa-apa. Lalu ada tiba-tiba, ada Shalahuddin, yang bikin dokumenter itu. Anda juga membikin sendiri, dokumenter. Akan selalu ada! Saya optimis! Kalau gak ada orang-orang semacam ini, selesai semua! Dan akan ada orang-orang yang gelisah untuk melakukan itu. Dia gak akan senang jika hanya membuat seperti orang lain. Itu kan alamiah, makanya saya optimis. Kalau gak, saya juga berhenti… loh.

Hafiz: Kalau tradisi kritik filem di Indonesia, bagaimana?

JB Kristanto: Oh… berhenti, ya! Kritik filem berhenti sudah. Gak ada lagi kritik filem. Saya mencoba ‘mengompor-ngompori’, ya… apalah namanya, kalau membina terlalu sombong ya. Tapi, ‘mengompor-ngompori’ lah, memprovokasi; “menulis, ayo menulis!” Lalu kita diskusikan tulisannya, supaya tulisannya lebih baik kayak apa. Sehingga di website saya, tulisan minimal bisa dipertanggungjawabkan. Kalau boleh sombong, satu-satunya website, kecuali yang Anda punya (www.jurnalfootage.net), dan Adrian Jonathan punya, Cinema Poetica, yang serius yang menulis tentang filem. Media cetak? Selesai semua! Gak ada lagi. Jadi wartawan filem? Sudah gak ada lagi.

Hafiz: Kenapa?

JB Kristanto: Gak tahu.

Hafiz: Apakah karena ruangnya gak ada lagi?

JB Kristanto: Enggak. Menurut saya ruangnya ada.

Hafiz: Misalnya kayak Kompas?

JB Kristanto: Gak ada yang bisa menulis dengan baik. Ada yang menulis, contoh di Kompas Minggu, menulis tentang Modus Anomali (Joko Anwar, 2012, red), seenteng gitu. Gak ada yang serius. Memang menulis resensi itu, harus ada keberanian. Kita akan dimusuhin orang. Adrian pernah wawancara Joko Anwar, pertanyaan pertama dia (Joko Anwar) pada Adrian, “Editornya siapa sih www.filmindonesia.or.id?”. Jawab Adrian, “JB Kristanto!”. “Kenapa sih orang-orang itu gak bisa pernah senang dengan filem saya?”  Ini contohnya. Kita harus bisa menerima itu.

Hafiz: Ya, memang sering tradisi kritik tidak bisa diterima oleh para pembuat filem.

JB Kristanto: Memang…!

Hafiz: Itu kenapa, Mas Kris?

JB Kristanto: Ya, biasa saja.

Hafiz: Tapi dalam hal ini, yang saya maksud adalah persoalan keterbukaan pada kritik.

JB Kristanto: Betul. Itu di semua cabang kesenian. Yang namanya Rendra, Putu Wijaya, Arifin C. Noer, dan Teguh Karya, gak senang kok dikritik. Itu biasa sekali. Saya pernah ‘ngobrol’ sama Rendra satu waktu, betapa dia marah-marah sama Subagiyo Sastrawardoyo. Dia menulis panjang lebar waktu itu di Budaya Djaya. Marah dia…! Itu biasa saja. Jadi, makanya harus menerima posisi itu. Kalau tidak, gak akan bisa jujur. Itu yang paling sulit, menurut saya. Hal yang lain adalah mau belajar filem dengan sungguh-sungguh. Itu gampang-gampang susah. Sekarang lebih gampang dari pada zaman dulu; DVD ada di mana-mana kalau kita mau belajar. Buku juga gampang dicari, kalau online juga ada dimana-mana. Kalau kita ‘googling’ kita bisa dapatkan. Bahkan how to write a review pun ada. Jadi, tinggal mau apa enggak sebetulnya. Yang paling susah memang belajar teknis filem. Tapi tanpa itu pun sebetulnya sudah bisa. Tanpa kita persis kerja teknis kayak apa dan terus menilai editing yang betul kayak apa, tanpa itu pun sebenarnya sudah bisa menulis. Tapi dengan mengerti itu semua, orang jauh lebih mengerti.

Hafiz: Berarti, gak ada harapan sama kritik filem?

JB Kristanto: Akan ada…! Saya sih tetap optimis. Sama saja, akan tetap ada! Sekarang di website saya ada Adrian, Totot… sama saja dengan yang lain. Dia juga minoritas juga. Yang lain sudah gak ada. Di Tempo masih ada Seno Joko Suyono, tapi dia jarang menulis. Tapi kalau dia menulis, bagus. Tinggal dia, menurut saya di Tempo. Yang lainnya sih sudah gak ada. Karena gampang-gampang susah menulis menulis kritik filem itu. Pertama, ya… ada itu (wawasan). Keduanya, harus memahami juga karya dan pembuatnya. Kalau gak, kita juga bisa misleading dan salah tafsir juga.

Hafiz: Memang harus selalu tahu membuatnya?

JB Kristanto: Enggak! Tapi tahu, lebih baik. Karena ada yang bilang, karya yang bicara. Itu nomor satu. Memang harus gitu. Tapi kadang-kadang, “kenapa ya kayak gitu?” itu bisa ditafsirkan kalau kita tahu pembuatnya. Lebih bisa paham, bukan berarti lebih membenarkannya. Tapi lebih bisa paham soal ini-itu. Saya memang ada pergulatan panjang soal kritik filem dari tahun 1970. Setelah 10 tahunan lah saya baru mendapatkan pemikiran yang lebih utuh. Karena problemnya banyak. Saya tadi kan cerita, melihat filem-filem Ceko, dan Prancis. Juga filem-filem baik di Kineklub; Ingmar Bergman. Karya sutradara yang besar-besar itu sudah saya tonton waktu itu. Lalu saya menonton filem Indonesia, dimana saya harus tulis. Beda jauh…! Kalau saya pakai ukuran-ukuran yang saya tonton itu, filem Indonesia akan jelek terus. Gak bisa masuk (dimuat). Nah, ini yang menggelisahkan saya. Terus, saya melihat filem-filem Jepang, filem-filemnya Satyajit Ray dari India, beda. Akhirnya, saya kan sampai pada suatu kesimpulan, saya harus menyingkirkan semua ukuran-ukuran itu. Jadi, saya menonton filem itu (Indonesia) tanpa ukuran. Kalau tanpa ukuran, anarki, kan? Kan gak boleh begitu. Lalu saya melihat, ukuran itu ditentukan oleh filem itu sendiri. Jadi, saya menonton dengan blank (kosong)… Saya harus mencari ukuran pada filem yang saya tonton. Bukan berdasarkan referensi yang saya punya. Nah, itu yang paling susah. Karena hanya dengan cara itu saya bisa fair terhadap filem-filem yang saya tonton. Kenapa?  Setiap filem itu kan unik. Setiap kesenian, hasil karya, itu unik. Dia gak akan sama dengan yang lain. Sama seperti orang. Setiap orang kan unik. Kalau gak, sama saja kita lihat outliner semua, coklat sama, hitamnya sama semua. Kita gak tahu lagi yang mana namanya A, dan B. Setiap orang punya hidung, mulut, punya mata dua, tinggi yang beda-beda, tapi kenapa kita bilang ini Hafiz… ini siapa, ini siapa, kan ada uniqumnya? Nah, keunikannya itu yang mesti dicari dari setiap karya.

Hafiz: Tapi untuk mencari yang unik itu, harus sepakat dulu dengan hal-hal yang universal dari filem?

JB Kristanto: Nggak. Dari situ baru dia ditarik. Jadi bukan terbalik. Bukan universal untuk uniqum. Tapi yang uniqum-uniqum ditarik, baru menjadi universal. Terbalik…! Itu yang saya lakukan. Sehingga dengan begitu, saya bisa sangat menghormati filem-filem Nya Abbas Akub. Saya bisa memahami betul Warkop. Dan saya bisa menghargai Warkop. Hanya dengan cara begitu! Kalau gak saya akan bilang…

Hafiz: Sampah…?

JB Kristanto: “Sampah semua…!” Begitu. Itu panjang pergulatan saya. Ada 10 tahunan, gelisah terus saya.

Hafiz: Ya… tapi untuk ‘melepaskan’ itu harus tahu dulu kan?

JB Kristanto: Memang…! Sesudah kebentur-bentur, kan tadi sudah saya bilang. Itu baru filem cerita, belum lagi jenis horor, drama, melodrama, action, perang, apa pun. Belum lagi ‘daerah’, filem Jepang saja estetikanya lain betul dengan filem India, Amerika, dan Prancis. Masing-masing mempunyai uniqum. Menciptakan estetika-estetikanya sendiri. Itu problem yang saya hadapi. Itu baru jenis filem cerita. Dokumenter? Eksperimen? Kan saya gak bisa? Saya harus punya satu metode untuk semua. Kalau gak, saya gak akan konsisten. Seperti terhadap ini, saya pakai ukuran itu, terhadap itu, saya pakai ukuran ini. Terhadap eksperimental, saya pakai ukuran lain lagi. Itu gak benar dong…!

Hafiz: Kalau dari pengalaman saya, membaca filem, yang paling utama itu bahasa visualnya. Itu yang membuat dia jadi sesuatu, apapun jadinya. Apakah itu dokumenter, fiksi, dan sebagainya.

JB Kristanto: Visual itu baru salah satu kalau bagi saya. Ini kan audio visual? Audio visual itu ada pikiran yang dikemukakan. Nah, semua itu yang harus kita cermati dan perhatikan. Pergulatan semacam ini baru kelihatan dalam tulisan-tulisan kita. Kegelisahan itu baru kelihatan. Itu memang gak pernah dipublikasikan, problemnya tetap itu. Saya harus punya satu metode, untuk segala macam ukuran, supaya konsisten. Supaya jelas orang melihat saya. Posisi saya. Kalau gak begitu, susah. Bukan hanya untuk kepentingan praktis saya sendiri, juga kepentingan orang lain yang mau membaca tulisan saya. Itu kan sederhana sekali. Sepuluh tahunan, saya bergulat dengan ‘nilai’ dan ‘penilaian’. Jadi, saya sudah ketemu, tinggal jalan saja. Itu bukan hanya hasil kegelisahan saya saja, tapi bersamaan dengan kegelisahan dengan pekerjaan saya sebagai wartawan. Saya melakukan itu dengan metode. Metode penilaian saya harus bisa saya pakai juga untuk saya meliput teater, dan pameran lukisan. Harus saya pakai semua. Harus bisa…! Kalau gak…, susah. Itu yang membuat saya campur aduk antara pekerjaan yang mengharuskan saya menghadapi berbagai persoalan. Begitu menemukan itu, akan sangat membantu sekali, untuk apa pun. Misal, saya harus memeriksa cerpen, yang ragam cerpennya bermacam-macam. Waktu saya di desk opini, saya harus memeriksa tulisan-tulisan orang yang akan di muat. Itu kepakai semua. Sehingga dalam suatu “penemuan” itu bisa saya pakai untuk segala macem pekerjaan.

JB Kristanto

Hafiz: Apa sebenarnya perangkat objektivitas itu dalam menilai?

JB Kristanto: Ya..?

Hafiz: Penjelasan Anda itu kan mengenai objektifitas dalam melihat subjek?

JB Kristanto: Bukan perangkatnya. Yang saya sebut objektif adalah yang bisa diperdebatkan tulisan-tulisan saya itu. Contohnya, kalau saya mengatakan “Fiz, tulisan kamu jelek”, itu tidak bisa diperdebatkan. Itu subjektif. Tapi kalau saya bilang “Fiz, tulisan kamu jelek, karena apa?” Bagian ini kamu tulis begini, bagian itu kamu tulis begitu, gak konsisten pikiran kamu antara paragraf ini dengan paragraf itu”. Ada argumentasi, ada uraian terhadap pernyataan ‘jelek’ tadi. Uraian ini, bisa diperdebatkan. Itulah objektif, meskipun itu subyektif saya. Kamu bisa katakan “nggak benar! Maksud saya begini loh!” Kamu bisa bilang, dan bantah-bantahan kita. Nah, itu obyektif. Tapi kalau hanya misalnya hanya bilang ‘jelek’ doang, titik! Kamu mau bantah apa? “Nggak kok, bagus! Titik” Selesai kan? Nah itu subjektif. Buat saya yang objektif itu bisa kita diskusikan.

Hafiz: Ada ruang perdebatan…

JB Kristanto: Iya…!

Hafiz: Kalau di dalam filem ada gak objektifitas itu?

JB Kristanto: Maksudnya apa?

Hafiz: Dalam produk filem itu sendiri.

JB Kristanto: Bisa saja, kalau kita bicara kaidah-kaidah tadi. Kalau dia menyatakan sesuatu lalu diuraikan, itu kan juga obyektif.

Hafiz: Misalkan kita menonton filem Alain Resnais atau generasi sekarang lah, misalkan dari Asia, Tsai Ming-liang, kalau kata beberapa penulis mengatakan dia memberi ‘ruang perdebatan’ tentang konteks apa yang dibicarakan. Sama gak dengan itu?

JB Kristanto: Enggak, beda…! Karena hasil kesenian pada dasarnya adalah subyektif. Tapi kalau dia memberikan uraian, dan lalu memberikan argumentasi terhadap ‘anu’ (konten) dia, kita bisa berdebat, bisa saja obyektif. Tapi pada dasarnya dia melihat daru sudut pandang tertentu.

Hafiz: Jadi kesenian itu absolut?

JB Kristanto: Enggak juga. Bisa absolut bisa enggak! Kalau dia menganggapnya absolut, boleh saja. Dalam jenis kesenian eee… apa ya? Bukan lukisan. Kalau lukisan cuma satu frame. Tapi kalau filem, teater, sastra, bahkan musik, itu ada ‘uraian’. Tidak satu saja gitu. Ada uraiannya. Pada saat itu lah kita bisa berdebat. Saya juga mengakui, kesenian yang bagus adalah kesenian yang subyektif dan jujur. Karena kalau gak subyektif, dan dia tidak menuangkan pengalaman batinnya dan pengalaman pribadinya, dengan ‘cara dia melihat’, berarti dia tidak menyumbang ‘sesuatu’ pada masyarakat. Bisa kita bilang klise kan? Tapi kalau betul-betul dari sudut pandang dan pengalaman batin dia, kita akan menemukan pengalaman baru yang lain dalam kesenian. Nah, itulah sumbangan dia. Tinggal kita boleh setuju, senang atau enggak. Lalu kita mengatakan uraian kita. Kita bilang “sudut pandang kamu itu nggak bener! Karena ini-itu”. Di sini sebenarnya sama-sama obyektif.

Hafiz: Seperti pernyataan S. Sudjojono tentang jiwa ketok, ya?

JB Kristanto: Ya, mungkin saja. Buat saya sumbangan seniman untuk masyarakat itu, ‘sudut pandang dia’. Lalu itu menjadi unik.

Hafiz: Dalam sudut pandang ini, dia punyai obyektivitas gak, Mas Kris? Maksud saya begini, banyak sekali orang yang menyatakan pendapat “karya seni subyektif banget buat saya”. Dengan bangga mereka mengatakan “Saya bisa mengekspresikan pribadi saya. Terserah penonton menerimanya”. Itu kan sangat ‘laten’ pada seniman kita. Dimana pun, tidak hanya di Indonesia. Tapi, fenomena 20 tahun terakhir, ada kesenian yang membangun obyektifitasnya dengan mengumpulkan berbagai elemen-elemen subyektif itu.

JB Kristanto: Mungkin lebih tepat bukan obyektif atau subyektif soalnya. Lebih tepat komunikatif atau enggak. Artinya, ini gak ada urusan dengan obyektif dan subyektif. Karena buat saya kesenian itu selalu subyektif. Semakin ‘tinggi’ kesenian itu, subyetifitasnya semakin tinggi. Itu salah satu kesimpulan yang saya dapat. Karana itulah saya menggali dari kesenian itu. Salah satu ‘adagium universalnya’, sesudah ditarik dari berbagai macam itu, ‘kalau dia makin subyektif, makin makin tinggi’. Masalahnya adalah bagaimana si seniman memakai jargon, ikon, benda-benda, atau apapun, untuk bisa mengkomunikasikannya dengan khalayak yang lebih luas. Jadi yang mengerti bukan yang dia sendiri. Jadi problemnya adalah komunikasi, bukan problem obyektif atau subyektif. Ada yang betul-betul “kursi ini bermakna begini buat dia”, kan belum tentu dong? Dia harus bilang “kursi ini bermakna buat dia, karena begini”. Nah, itu baru bisa dikomunikasikan. Nah, mau nggak dia memakai atau ‘melebarkan’ pemahaman dia yang subyektif memakai ‘bahasa’ yang bisa dimengerti oleh banyak orang. Bukan teman-teman di sekelilingnya saja. Menurut saya itu yang problem. Problem komunikasi, dia mau pakai ‘bahasa’ apa? Bahasa yang dimengerti oleh banyak orang. Itu sebabnya, ada filem yang kita gak mengerti sama sekali, karena memang kita nggak ‘ngerti’.

Hafiz: Dia gak kasih clue…?

JB Kristanto: Iya…! Kalau pun kasih clue, juga sangat personal yang buat dia saja artinya, bukan buat orang lain. Nah, itu adalah problem komunikasi.

Hafiz: Kalau clue itu hanya buat dia sendiri, apa itu bisa menjadi penting?

JB Kristanto: Ya, terserah dia! Kalau dia mau berkomunikasi dengan orang banyak, lebih-lebih filem, karena ditonton orang banyak yang beragam latar belakang, itu harus diperhitungkan. Kalau dia mau berkomunikasi, kalau dia gak mau… ya terserah dia!

Hafiz: Hubungan ini saya tanyakan ketika kita bicara kritik tadi. Ketika subyektifitas seperti yang disampaikan Mas Kris, penting atau tidak bagi Anda, kalau clue-nya sudah enggak ada?

JB Kristanto: Ya, gak bisa ditulis.

Hafiz: Jadi gak penting…?

JB Kristanto: Ya…! Buat apa? Saya gak tulis saja. Saya gak ‘ngerti kok. Karena saya jujur. Saya pernah baca review di mana ya? Saya lupa. Dia bicara hal ini. Kelihatannya sih bukan penulis yang hebat. Dia me-review Joko Anwar, Modus Anomali, di sebuah website. Dia tulis komentar cukup panjang dan menguraikan ketidakmengertian dia.

Hafiz: Oh ya?

JB Kristanto: Saya baca, “kejam banget nih tulisan…!” Dia gak ngerti “maksudnya apa ini-itu. Ya, itu menurut saya apa yang dimau si pembuat, gak sampai.

Hafiz: Saya pernah berdebat dengan teman, kaitannya dengan pendapat Mas Kris itu. Saya menganggap ada kesepakatan dalam hubungannya dengan bahasa visual atau ‘bahasanya’ yang sebenarnya bisa dibaca oleh publik, kritikus, atau siapapun yang intens dengan filem. Berarti ketika dia tidak bisa dibaca, ada logika bahasa yang tidak bisa terbaca dalam konteks filem. Pertanyaan saya, apakah sebenarnya subyektifitas itu? Saya percaya sekali kalau subyektifitas itu selalu dengan obyektifitasnya. Kalau Mas Kris bilang itu persoalan komunikasi. Itu persoalan bahasa…

JB Kristanto: Memang persoalan bahasa, artinya bahasa audio-visual.

Hafiz: Kalau terjadi yang seperti itu, menurut Anda bagaimana?

JB Kristanto: Ya gimana dong? Ya gak bisa apa-apa. Karena memang gak ada yang bisa dilakukan. Gak bisa dimengerti. Saya kasih contoh, saya tiga tahun jadi juri filem pendek. Waktu itu tidak disebut filem pendek tapi filem 8 mm…

Hafiz: Festival yang diadakan DKJ (Dewan Kesenian Jakarta)?

JB Kristanto: Ya, yang di DKJ. Ada satu filem, juri bertiga sepakat memenangkan, judulnya The Leader

Hafiz: Karya siapa?

JB Kristanto: Saya lupa namanya…

Hafiz: Mahasiswa IKJ (Institut Kesenian Jakarta)?

JB Kristanto: Mahasiswa IKJ. Dia sudah gak di filem lagi. Malah jadi sufi atau da’i atau apalah… Dia jauh di atas Garin. Masih angkatan pertama IKJ, waktu itu masih LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta). Itu dia muter filem The Leader judulnya, ternyata benar-benar leader filem. Sekarang gak ada leader. Leader itu adalah ujung awal filem, kalau di proyektor, yang ‘menggantel’ ke rel berikutnya. Jadi dia gak kelihatan. Itu istilahnya leader. Itu yang diputar sama dia. Leader 8 mm, gambarnya adalah putih dan strip dua merah di tengahnya. Satu menit saja. Lalu kita menangkan! Kenapa? Dia mau bicara filem itu adalah cahaya dan gerak. Cuma sesimpel itu apa yang mau dia bilang. Tapi kan kita paham. Kita bisa tangkap apa yang dia mau. Itu contoh ekstrem sekali. “Apa sih itu filem cuma garis merah sama putih? Cuma semenit lagi!” Dan pas mungkin, kalau sejam, kalah dia. Gak mungkin, buat apa sejam? Waktu menjadi penting dalam filem itu, bukan dalam filem yang lain. Lebih dari semenit, bubar. Karena dia cuma mau bicara “ini loh, filem itu cuma ini loh, cahaya dan gerak!” Gerak itu pun karena hampir gak bergerak, karena cuma merah begini doang. Ini contoh, kita bisa paham, mengerti, kemudian kita bisa “ohh, iya, ya….”, kita diingatkan kembali ke yang paling dasar dari apa yang disebut filem. Belum tentu orang bisa ngerti, belum tentu semuanya.

Hafiz: Dari cerita Mas Kris ini, jadi pengalaman baru buat saya. Berarti kita punya eksperimentasi sampai ke level itu. Kalau kita ‘ngobrol’ sama teman-teman yang kerja di industri atau eksperimental, eksperimentasi itu cuma ‘gila-gilaan’ saja. Sampai-sampai mereka gak berani atau takut melakukan eksperimentasi, kalau-kalau penonton tidak mengerti. Tapi ada cerita komentar seseorang, seperti yang Mas Kris ceritakan menulis tentang Modus Anomali tadi. Kalau dalam kasus filem 8 mm tadi, berarti kita punya sejarah eksperimentasi dong? Bagaimana sekarang?

JB Kristanto: Gak tahu saya. Kalau sekarang saya benar-benar gak tahu. Mungkin juga suasana zamannya lain. Karena tahun 1970an itu, TIM lagi mekar-mekarnya. Zaman keemasannya TIM, teater dan seni. Menurut saya, Umar Kayam salah satu motor. Dia itu kan dalam ‘liberal’ sekali pandangan keseniannya, tidak konservatif. Dia memasukkan lenong ke TIM, God Bless, Koes Plus. Itulah Umar Kayam. Bagi dia gak ada tuh ‘kesenian pop’ dan kesenian tinggi. Dia adu saja semuanya. Tapi dia menimbulkan gejolak macam-macam. Ada Gerakan Seni Rupa Baru pada tahun 1970an itu… Gak ada lagi saya lihat sekarang. Suasana yang membuat orang mau bereksperimen. Tapi, secara sendiri-sendiri dan kelompok, itu masih dilakukan. Seni rupa kita itu luar biasa menurut saya. Menurut saya itu kesenian yang paling maju. Kenapa itu terjadi? Karena didukung pasar. Ada pasar yang menyerap eksperimentasi itu. Sementara pada filem gak ada.

JBKristanto06

Hafiz: Pasarnya gak ada?

JB Kristanto: Gak ada…! Dulu juga gak ada. Artinya penggerakan eksperimentasi pada seni rupa itu pasar. Bukan pasar dalam negeri ya. Yang namanya Heri Dono, Agus Suwage, siapa lagi orang-orang Yogya itu… boleh dibilang hampir gak ada di Indonesia kan? Saya dan Agus tidak begitu dekat. Dengan Heri Dono pernah dekat, jadi saya tahu. Dia sudah kayak orang kantoran. Dari rumah ke studio itu naik sepeda, sampai jam 5 pulang. Kayak orang kantoran. Karena dia tahu, nanti karya yang ini untuk museum ini-itu. Sudah betul-betul kayak orang kerja, bukan ‘seniman’ lagi. Padahal kerja kesenian. Seniman itu sekarang bukan lagi romantik. Romantik kayak jaman, katakanlah kalau kita baca cerpen-cerpennya Pak Misbach, Seniman Senen. Itu kan romantik, ‘ngerokok’, ‘ngelamun’, gak ada lagi kita kayak gitu. Seniman itu kerjaan. Ilham itu diubah, bukan ditunggu. Nah, di seni rupa penggerakan “pasar” bukan dalam pengertian pada duit saja. Pasar Heri Dono museum, bukan pasar kayak Sotheby atau Christie. Jadi museum dan biennale yang pesan.

Hafiz: Institusi besar ya…?

JB Kristanto: Iya. Sehingga dia juga bisa hidup dari situ. Saya gak tahu dia kaya atau enggak (tertawa). Tapi dia bisa hidup dari itu. Pada tahun 1970an, festival filem pendek itu hanya 3 tahun apa 4 tahun ya? Pasarnya adalah Oberhausen (International Short Film Festival Oberhausen Jerman, red). Kalau berhasil masuk sana, senang kita. Jadi ada…! Nah, sekarang saya gak lihat lagi. Oberhausen sudah gak begitu dikenal lagi sekarang, meskipun sekarang mungkin masih ada. Saya gak tahu.

Hafiz: Saya beberapa kali ke sana, Mas Kris.

JB Kristanto: Artinya, Berlin, Cannes, yang gede-gede dan mapan ini, sudah ada sesi short film-nya. Diserap sendiri di sana. Tapi kan gak fokus. Dia ‘dimakan’ habis sama yang filem-filem cerita. Gak pernah diberitakan pemenang filem pendek itu siapa. Padahal kemungkinan eksperimentasi itu hanya di situ. Karena murah. Kalau kita mau eksperimen filem 90 menit, ya minta ampun dong? Berapa milyar biayanya. Dalam hal ini, saya salut sama Garin. Dia berhasil bikin filem terus, baik biaya murah ataupun mahal. Setiap filemnya, eksperimen. Bayangkan Garin, dari satu filem ke filem lain, kayaknya beda terus bahasa audio visual yang dia pakai, struktur, segala macam. Itu berubah terus. Berarti, dia bereksperimentasi terus. Itu saya hormat sama dia. Berhasil apa nggak, itu urusan lain (tertawa kecil). Karena semua gak berhasil kan? Opera Jawa (2006) berhasil, tapi apa yang…

Hafiz: Bulan Tertusuk Ilalang (1995)?

JB Kristanto: Bulan Tertusuk Ilalang menurut saya gagal. Buat saya gagal karena gak nyambung, yang satu dengan yang lain. Jadi yang terjadi di filem begitu, dia (Garin Nugroho) dan Edwin. Filem pendek saya gak ikuti lagi. Sesudah Festival Konfiden (Komunitas Film Independen, red) gak ada, saya gak ngikutin lagi. Apa ada filem? Tapi yang Konfiden itu saja, boleh dibilang gak ada eksperimentasinya. Ya… yang ada adalah filem panjang dipendekin (tertawa).

Hafiz: Seperti sinetron, juga?

JB Kristanto: Iya. Jadi yang itu saya tangkap sekarang. Saya gak pernah datang ke Purbalingga (Festival Film Purbalingga, red.). Mereka ada setiap tahun, saya gak tahu gimana yang mereka lakukan. Sekarang ada juga Solo (Festival Film Solo, red.). Tapi saya gak tahu sejauh mana. Tapi di pihak lain, festival-festival pendek itu memang gak kelihatan lagi secara menonjol (eksperimentasinya). Saya paham. Di dunia juga gak begitu menarik dan berkembang eksperimentasinya di filem. Itu yang saya dengar. (Filem) eksperimen itu kan di mulai tahun 1936, atau 39 gitu. Dia orang Kanada… saya lupa namanya. Saya pernah melihat beberapa filemnya. Terus ada Maya Deren, tahun 1940-an sampai ke tahun 1960-an. Di tahun 1970-an… habis itu, surut. Saya menduga, batasan audio visual itu sudah mentok. Gak mungkin lagi dieksplorasi lagi. Sehingga yang berkembang adalah kayak yang dikembangkan sama Krisna Murti dengan multimedia. Perkembangannya kayak begitu. Karena bahasa audio visual sebagai ‘bahasa’, kelihatannya sudah berhenti. Sudah sampai pada titik-titik yang sudah gak bisa dibikin lagi. ‘Nyoret-nyoret’ paku di seluloid sudah dilakukan. Menggambar langsung, mewarnai langsung seluloid sudah dilakukan. Jadi apapun yang dia coba eksperimentasikan dengan bahan seluloid itu, sudah ada. Nah, kalau digital video, saya gak tahu. Karena sangat teknologis. Saya gak tahu bagaimana eksperimentasinya.

Hafiz: Kebetulan saya beberapa kali ikut festival Oberhausen. Terakhir, saya sama Edwin di CPH:DOX Kopenhagen, sebuah festival dokumenter eksperimental. Kalau amatan saya, sebenarnya eksperimental filem itu gak ‘mentok’ seperti gambaran Mas Kris. Sekarang malah ada benang, ada persinggungan antara filem eksperimental dengan dunia seni rupa, dengan video art, seni digital, dan lain sebagainya. Bahkan festival filem eksperimental itu sekarang mengubah dirinya menjadi ‘moving images’. Misalnya, saya pernah jadi juri di sebuah festival di Kanada, namanya Images Festival 2011, salah satu festival eksperimentasi visual terbesar di Amerika Utara. Yang dihadirkan bukan hanya seluloid atau filem, ada seni video, seni sound, seni digital, dan segala macam. Dari yang paling canggih sampai yang paling manual. Saya kira eksperimentasi ini karena itu adalah sifat yang manusia, saya kira gak akan pernah berakhir.

JB Kristanto: Ya. Bisa saja. Karena itu tadi kan dugaan saya. Saya gak ngikutin lagi. Yang saystronga /emlihat itu tadi. Keluar dari bingkainya… menjadi video art, kayak begitu. Tapi filem yang satu reel kita tonton, kok kayaknya sudah mentok. Karena segala macam eskperimen dengan itu sudah pernah dilakukan. Eksperimentasi itu penting buat saya. Karena kalau tanpa itu, dia gak berkembang. Dan harus ada yang berani ‘meluaskan’ (eksperimentasi) itu. Kalau bagi saya, pentingnya di situ.

Hafiz: Sekarang pertanyaan lain, tentang Katalog Film Indonesia itu, semuanya fiksi/strong kan? Bagaimana dengan filem dokumenter, tahun 1950-an, 1960-an?

JB Kristanto: Tahu tapi… tahun 1950an itu, PFN (Perusahaan Film Nasional, red) yang membuat. Bentuknya newsreel. Jadi dulu kalau kita nonton di bioskop ada itu… kan dulu belum ada televisi, kita akan menonton dulu berita-berita yang terjadi minggu itu apa. Newsreel oleh PFN yang paling dominan. Apakah PFN juga membuat proyek dokumenter sendiri di luar itu, saya gak tahu. Tapi saya gak dengar sama sekali. Kalau Anda membaca katalog, di tahun 1960-an banyak filem yang dibuat atas pesanan; dari bank, departemen perhubungan, dan sebagainya. Sebetulnya filem itu setengah dokumenter, setengah filem cerita. Pesenan semua, jadi lebih propaganda untuk instansi atau lembaga bersangkutan. Nah, saya gak tahu kapan mulai sejarah filem dokumenter terjadi.

Hafiz: D.A. Peransi gimana?

JB Kristanto: D.A. Peransi dia pernah membuat bareng sama mahasiswa IKJ, namanya Sinevisi. Saya belum pernah lihat dokumenternya. Filem dokumenter berkembang sesudah ada video, menurut saya. Sebelumnya itu sangat-sangat mahal. Artinya, kalau pun ada, karena pesanan. Saya gak tahu yang Garin bikin itu, soal air itu…

Hafiz: Oh Air (Air dan Romi, 1991, red.)

JB Kristanto: Itu masih pakai filem atau video? Kalau video, berarti gak ada. Tapi kalau hubungannya dengan katalog saya, sebetulnya sederhana sekali. Saya sudah menulis pengantar di jilid pertama. Sebetulnya kan saya ingin menulis buku tentang filem Indonesia. Saya punya asumsi-asumsi tertentu tentang filem Indonesia. Tapi, sampai sekarang gak kesampaian. Ya sudah. Waktu saya mulai mengutak-atik, membuat bab, dan segala macem, saya kekurangan bahan. Ya sudah, saya kumpulkan bahan dulu. Sesimpel itu mulanya. Terus, keterusan, yang ini (menulis buku) ‘hilang’. Akhirnya, saya harus cukup tahu diri, rendah hati… orang lain saja yang meneruskan. Yang meneliti. Contohnya, ada gak style khusus Wim Umboh? Saya menduga ada, tapi itu harus dipelajari betul-betul. Harus melihat semua filemnya. Harus shot per shot, lalu kita akan melihat style dia. Ada apa enggak? Nah, ini bisa juga dilakukan pada Teguh Karya, Sjuman Djaya, dan lainnya. Asumsi saya yang lain, Teguh Karya yang menyempurnakan gaya Wim Umboh. Wim dari tradisi ‘anak wayang’. Datang dari Manado umur 13 tahun. Menjadi tukang sapu di perusahaan studio filem orang China. Berkembang, sampai dia bisa dapat beasiswa setahun ke Perancis. Dia gak punya latar belakang acting. Dia gak punya latar belakang teater. Dan dia juga gak punya latar belakang penyutradaraan.

Hafiz: Sastra?

JB Kristanto: Sastra juga gak. Betul-betul orang filem. Filem dia ‘jadi’ dengan cara ‘diedit’. Jadi, dia itu editor, bukan sutradara sebetulnya. Ini dugaan saya. Makanya harus buktikan dengan shot, itu yang ingin saya lakukan. Cuma… sudahlah… sudah saya relakan saja orang lain yang melakukan. Kalau dia dengan latar belakang kayak begini, yang saya perhatikan, ini bisa dibantah kalau sudah ada penelitian, adalah shot dia itu medium dan close up. Hampir gak ada master shot. Karena dia gak bisa men-direct pemain. Dia memanipulasi pemain dengan editing. “Pokoknya kamu jalan kemari. Tampang kayak gini…! Sudah. Di kepala dia sudah jadi susunan gambarnya. Kan beda sekali sama Garin Nugroho. Di Garin itu bahkan gak ada close up. Semuanya master shot. Editingnya ya… editing dalam shot. Lalu-lalang orang, segala macem. Ini ekstrem yang lain. Nah, yang gitu-gitu kan harus ada studi tentang itu? Kalau gak, kita gak akan kemana-mana…!

Hafiz: Ya, memang kita gak punya semacam studi dan kajian estetika dan sejaprah filem kita. Kurang serius, ya.

JB Kristanto: Sebetulnya, itu yang ingin saya lakukan. Tapi gak ada bahan. Akhirnya ‘ngumpulin’ bahan, ‘ngumpulin foto’… ah bisa jadi buku. Ya ini saja terus yang saya jalankan. Enggak sengaja. Nah, Teguh Karya menyempurnakan, karena acting pemain yang diperhatikan.

Hafiz: Ruangan juga, set…?

JB Kristanto: Iya.

Hafiz: Terakhir, tentang Pak Misbach, pandangan Mas Kris, Pak Misbach bagaimana?

JB Kristanto: Dia adalah orang yang pertama sadar bahwa sejarah itu penting. Bahwa masa lalu itu penting. Dia adalah orang yang pertama, karena dia membangun Sinematek Indonesia dengan segala jerih payahnya. Orang gak sadar, apa yang ada di gudang Sinematek Indonesia itu, lebih-lebih yang seluloid segala macem, pokoknya semua yang berbentuk audiovisual, seluloid, VHS, Betamax, DVD, VCD segala macem, itu harta karun. Harta karun budaya. Kalau gak dirawat, kita gak punya masa lalu. Kita gak punya sejarah. Menurut saya, dialah orang yang memahami itu. Kepeloporan dan keperintisan dia, dia mau menghabiskan, boleh dibilang hidupnya, untuk itu. Karena sebagai pembuat filem, dia gak… boleh dibilang gak punya nama lah. Dia punya pendirian, saya hormat, dia gak mau bikin filem lagi. Oke gitu. Tapi apa yang dilakukan untuk Sinematek, menurut saya dia mengelola harta karun. Betapa kita punya problem yang sampai sekarang belum terpecahkan. Itu yang membuat saya mau bersama teman-teman Konfiden, waktu ada tawaran dari Museum Nasional Singapura merestorasi (Lewat Djam Malam). Wah… semangat saya. Nah, itu mau kita pakai untuk bikin gerakan lagi di sini, untuk merawat harta karun kita. Orang bisa studi lagi dengan itu. Bukan hanya studi masalah sosial. Kita bisa lihat, dialek orang pada saat itu, bahasa, cara tutur pada saat itu…

Hafiz: Gaya hidup…

JB Kristanto: Gaya hidup. Pakaian yang dia pakai. Bayangkan, di filem Lewat Djam Malam itu, banyak yang pakai jas, gak aneh kan? Ya itu lah yang terjadi pada zamannya. Pesta di rumah, dansa-dansi di rumah, yang sekarang sudah gak ada lagi. Itu sampai tahun 1965 hingga awal 1970 masih ada. Karena belum ada night club, karaoke, sehingga pesta di rumah, dansa di rumah, walaupun membentuk gaya hidup tersendiri. Contoh lagi, orang jadi tahu artsitektur kita. Jadi, kekayaan filem itu menurut saya sebagai artefak, jauh lebih kaya daripada artefak-artefak yang lain. Karena dia hidup, bukan gambar mati. Contoh lagi, ada satu filem, saya lupa, Lapangan Banteng tahun 1970-an oleh Ali Sadikin dijadikan pusat terminal bus kota maupun antar kota. Jadi, Lapangan Banteng itu dibelah empat, ada dua jalan besar di tengah. Jadi wajah kota, arsitektur, bahasa yang dipakai, cara tutur, dialek, semua yang ada di filem itu. Nah, itu yang saya bilang harta karun. Misbach lah yang mulai, orang pertama yang memahami itu.

Hafiz: Dengan kondisi dari beberapa bulan ini kita bekerja bikin dokumenter, bolak balik ke sana, kan kondisinya memprihatinkan, sampai merinding melihat itu. Bukan hanya filem, tapi juga foto-foto, berserakan foto-foto. Padahal klise-klise filem dimasukan ke dalam katalog atau slide filem yang sangat bagus oleh Pak Misbach.

JB Kristanto: Susah! Terus terang saja. Karena itu kita mau bikin gerakan lewat filem Lewat Djam Malam. Kita mau kampanye, “kita mau bantu Sinematek!”. Tapi Sinemateknya sendiri, susah dibantu. Selama lembaganya masih kayak sekarang. Makanya, kita mau lakukan seperti yang kita lakukan pada Lewat Djam Malam. Kita mau kumpulkan duit, “Oke, sekarang apa yang mau kita bantu Sinematek? Kita kerjain!” Nanti kita balikin lagi ke Sinematek.

Hafiz: Hanya dengan cara itu?

JB Kristanto: Hanya dengan cara itu! Gak bisa dengan lembaganya.

Hafiz: Kenapa?

JB Kristanto: Sudah ruwet…! Pak Misbach ‘ngomong’ sama saya… Dia kan yang ikut mendirikan Yayasan Citra, yang menaungi Sinematek itu? Maksudnya yayasan yang cari duit, supaya Sinematek jalan. Ya, ini kan gak melakukan apa-apa. Bahkan orang mau bantu, ini yang saya dengar… gak bisa! Karena yayasan gak mau terima! Gimana sih? Nah, gerakan ini yang akan kita lakukan. Kalau mau sama Yayasan Citra, nanti kayak gitu lagi. Pak Misbach ‘ngomong’ terakhir ke saya, “Gak ada akuisisi sama sekali”. Jadi gak ada tambahan.

Hafiz: Ya, saya juga tanya dengan karyawan. Gak ada penambahan koleksi filem.

JB Kristanto: Saya yang kasih. Riset saya untuk katalog itu kan ada ratusan VCD, DVD… saya kasih ke Sinematek. Tanya saja sama Pak Adi Pranajaya, dia yang terima waktu itu. Habis, ngapain saya simpan disini? Orang sudah ada lembaga yang tempat penyimpanan. Makanya saya serahkan semuanya.

Hafiz: Menurut Mas Kris, harusnya tanggung jawab negara atau siapa?

JB Kristanto: Harusnya tanggung jawab negara. Makanya terakhir Pak Misbach ‘ngomong’ sama saya, cita-cita dia itu supaya yayasan enggak macam-macam lagi, dia pingin bikin Pusat Dokumentasi Seni. Yang lebih ‘gede’ sehingga yayasan gak berlaku lagi. Itu yang dia bilang sama saya. “Waduh Pak, repot deh…!”. Tapi saya bisa paham.

 


JB Kristanto

JB Kristanto lahir 8 Agustus 1944. Sejak awal tahun 70-an mulai menulis resensi filem Indonesia di media massa yang kemudian membawanya pada profesi sebagai wartawan di harian Kompas sejak pertengahan tahun 70-an. Selepas menjadi wartawan, Mas Kris, nama panggilannya, membuat buku Katalog Film Indonesia 1926-2005 yang kemudian diperbaharui menjadi Katalog Film Indonesia 1926-2007. Tahun 2008 ia bersama Lisabona Rahman menerbitkan edisi terakhir hardcopy Katalog Filem Indonesia. Setelah itu, buku yang sangat penting untuk menelusuri jejak filem Indonesia itu bertransformasi bentuk menjadi media online, www.filmindonesia.or.id dan ia bertindak sebagai editor. Tahun 2004, Nonton Film, Nonton Indonesia, buku kumpulan tulisan resensi dan kritik filemnya rentang 1972-2002 diterbitkan oleh Kompas. Beberapa kali ia menjadi anggota Dewan Juri FFI. Di tahun 2012 lalu, ia mendapatkan penghargaan Penerima Satyalencana Kebudayaan dari pemerintah.

Recent Posts
Showing 2 comments
  • Kp hardi (pelukis hardi)
    Reply

    Tulisan bagus. Salut. Ini proyek membikin sejarah. Dikbud kemen harus mendanai.beaya untuk sejarah saat ini tdk mahal,ketimbang hanya dikorupsi.

  • Ismail Basbeth
    Reply

    Penting. Terima kasih teman-teman untuk wawancaranya. Terima kasih.

Leave a Reply to Kp hardi (pelukis hardi) Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search