In Artikel

Menurut filsuf Henri Bergson, memori adalah sesuatu yang eksternal dan berada di luar manusia. Memori tidak melekat di dalam diri manusia, namun manusia lah yang bergerak di dalam memori-Ada. Gerak memori manusia tersebut tidak bergerak dari masa kini ke masa lalu, atau dari persepsi ke rekoleksi, namun gerak memori lebih ke masa lalu ke masa kini atau rekoleksi ke persepsi. Seperti halnya jika melihat sebuah tempat atau peristiwa tertentu berdasarkan visual, figur, suara sampai dengan bau, biasanya terkoneksi dengan pada sesuatu di masa lalu.

endless namenless

Endless, Nameless (2014), adalah salah satu karya dokumenter yang terkait dengan bagaimana memori sebagai sumber daya sinema pada Arkipel Festival 2015 lalu. Karya sutradara Thailand, Mont Tesprateep ini adalah perihal pengalaman personal terhadap peristiwa di masa lalu yang terkesan dipenuhi oleh trauma dan kekerasan. Berisikan adegan-adegan para orang-orang yang berseragam militer di sebuah taman pepohonan tropis, karya ini adalah sebuah gambaran tentang streotipitas kode-kode militer di dunia ketiga. Memori terhadap masa lalu, seakan bergerak membentuk persepsi tentang peristiwa-peristiwa yang tidak lagi dokumentatif. Ia sudah berbaur dengan kesituasiaan yang mempengaruhi pembentukan ingatan yang menjadi persepsi, sehingga masa lalu yang hadir di masa kini menjadi semacam daur ulang yang sudah dipenuhi oleh satire, stereotip, dan lain sebagaianya sebagai bagian dari pembentukan persepsi.

Sinema pada karya ini dibayangkan berasal dari sebuah mata manusia yang tertutup, sehingga yang tersisa adalah memori-memori tentang peristiwa di masa lalu. Kemudian melalui kemungkinan medium mengikuti memori, sementara peristiwa-peristiwa yang dihadirkan hanya memungkinkan sebuah artifisialitas dari ketidakmungkinan dokumentatif. Yang tersisa adalah memori adalah satu-satunya sumber daya sinema, dimana kemungkinan medium adalah kemungkinan manusia dan peristiwa yang berlangsung juga secara serentak. Realisme dalam karya ini dibayangkan seperti kolase dari peristiwa dan tempat. Dalam karya ini, sinema menjadi sebuah medium yang cukup dekat dengan pengertian memori-Ada atau memori-Dunia. Ia seperti perwujudan visual memori dari masa lalu yang dihadirkan berbaur dalam kekiniaan dan konteks kultural.

Pathompon Mont Tesprateep Endless, nameless 15

Adegan-adegan oleh empat orang aktor yang berpakaian militer di sebuah taman, bukan sebuah kolase antara peristiwa dan tempat secara dokumentatif, namun lebih menggambarkan kolase antara peristiwa dan stereotip latar landskap kultural yang melingkupi peristiwa tersebut. Seperti membayangkan sebuah praktik kekerasan militer di dunia ketiga adalah bagaimana membayangkan sebuah landskap kultural di dunia ketiga yang dipenuhi oleh taman-taman tropis yang indah dan damai, namun didalamnya memuat sebuah kekerasan militerial. Memori terhadap kekerasan tersebut menjadi semacam parodi, atau semacam usaha melepaskan sebuah gambaran kekerasan yang terhindar dari trauma, sehingga kekerasan tidak lagi digambarkan dalam pengertiannya yang emosional dan instrumental dalam praktik otoritas aparatus institusional. Kekerasan tersebut berlaku juga tidak lepas sebagai memori, karena tidak adanya kehadiran kesaksian dokumentatif. Gambaran aparatus militer menjadi semacam parodi, atau semacam praktik institusi di dunia ketiga yang banyak diselubungi kultur landskap taman-taman tropis.

Sinema pada dasarnya fenomena ide itu sendiri, sehingga praktik dokumenter secara kekinian tidak lagi mengacu pada bahan baku realitas. Konteks realitas dalam kerangka dokumenter sebagai fenomena ide tidak lagi merujuk pada perihal aktualitas pada perekaman realitas di lapangan, namun lebih pada aktualitas pada realitas manusia itu sendiri. Sebagai sebuah fenomena ide, maka ketika dokumenter bekerja untuk menghadirkan realitas di masa lalu, ia tidak lagi bergantung pada kemungkinan-kemungkinan dokumentatif atau kearsipan tentang peristiwa di masa lalu. Dasar dari fenomena ide inilah yang memungkinkan dokumenter bekerja pada ranah ingatan-ingatan yang memorial, atau pembayangan terhadap imajinasi di masa lalu dimana realitasnya sudah menyatu dengan latar kultural dan psikologis dari subyek yang mengalami masa lalu tersebut. Dalam hal ini, sinema selalu bisa mendaur ulang masa lalu menjadi sebuah kekinian yang dipenuhi oleh endapan dari penuturnya, sehingga masa lalu ada sesuatu yang sangat terbuka dan tidak tertutup oleh keabsahan bukti atau kesaksian dokumentatif

Dalam pandangan Bergson sendiri, sinema berkorespondensi langsung terhadap fungsi intelek. Salah seorang pemikir yang mengembangkan konsepsi Bergson, Gilles Deleuze, menyatakan kesadaran kamera tidak lagi didefinisikan melalui gerak-gerak yang menciptakan kesadaran tertentu, namun lebih melalui relasi mental yang memungkinkan kamera masuk dalam kesadaran. Berdasarkan relasi mental tersebutlah, kamera kini lebih ditempatkan sebagai perangkat yang memiliki kapasitas untuk mempertanyakan, merespon, mengobjekkan, dan lain sebagainya dimana kesemuanya menjadi semacam menciptakan sebuah hipotesa. Menurut Deleuze, kamera bisa bekerja melalui konjungsi logis, dan dengan demikian kamera bukanlah sekedar mata yang bersifat non-human atau mata ketiga, namun lebih karena kamera juga sebagai ‘mata pikiran’.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search